يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَاَنْتُمْ حُرُمٌ ۗوَمَنْ قَتَلَهٗ مِنْكُمْ مُّتَعَمِّدًا فَجَزَۤاءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهٖ ذَوَا عَدْلٍ مِّنْكُمْ هَدْيًاۢ بٰلِغَ الْكَعْبَةِ اَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسٰكِيْنَ اَوْ عَدْلُ ذٰلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوْقَ وَبَالَ اَمْرِهٖ ۗعَفَا اللّٰهُ عَمَّا سَلَفَ ۗوَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللّٰهُ مِنْهُ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ ذُو انْتِقَامٍ ( الماۤئدة : ٩٥) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa y
Kalau di masa Nabi Musa ada Fir’aun, maka di masa umat Nabi Muhammad juga ada Fir’aunnya. Siapa dia?
Khalifah ke-11 Dinasti Umayyah al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik (709-744), yang dikenal dengan julukan al-Walid II, disebut oleh para ulama sebagai Fir’aunnya Umat Islam.
Apa saja kelakuannya sampai dijuluki Fir’aun?
Imam Suyuthi mengatakan al-Walid II adalah seorang fasik, peminum khamr, dan banyak melanggar aturan syari’at.
Bahkan, masih menurut penuturan Imam Suyuthi, al-Walid II naik haji ke Mekkah dengan tujuan hendak minum khamr (yang memabukkan) di depan Ka’bah. Dia juga menikahi istri-istri ayahnya–sesuatu yang diharamkan dalam Islam.
Imam Suyuthi meriwayatkan dari Dzahabi bahwa al-Walid II juga melakukan liwath. Karenanya, ada yang mengatakan dia seorang zindiq.
Apa yang disampaikan Imam Suyuthi dalam kitabnya, Tarikh al-Khulafa, senada dan seirama dengan penuturan Imam Thabari dalam kitab Tarikh-nya sebagai berikut: al-Walid II membawa anjing dalam kardus saat naik haji, dan juga membawa khamr, bahkan dia membawa kanopi seukuran Ka’bah dan bermaksud menutupi Ka’bah dengan kanopi lalu dia duduk di atas kanopi itu.
Syukurlah, kawannya mencegah sehingga kanopi itu hanya ditaruh di depan Ka’bah. Imam Thabari mengatakan masih banyak peristiwa tercela lainnya, namun dia tidak mau mengotori isi kitabnya dengan menuliskan semua perilaku buruk al-Walid II.
Dengan kata lain, al-Walid II bukan hanya melanggar syari’at Islam tapi juga berani menantang dan mengolok-olok agama Allah. Dia tidak takut dosa.
Begitu tercelanya dia sampai orang-orang menjuluki dia sebagai Fir’aun. Tapi, apa dasarnya julukan tersebut?
Julukan tersebut berasal dari sebuah riwayat yang diklaim berasal dari Hadis Nabi:
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا ابْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنِي الْأَوْزَاعِيُّ وَغَيْرُهُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ وُلِدَ لِأَخِي أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غُلَامٌ فَسَمَّوْهُ الْوَلِيدَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمَّيْتُمُوهُ بِأَسْمَاءِ فَرَاعِنَتِكُمْ لَيَكُونَنَّ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ الْوَلِيدُ لَهُوَ شَرٌّ عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ مِنْ فِرْعَوْنَ لِقَوْمِهِ
“Telah menceritakan kepada kami Abul Mughirah, telah pula menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ayyasy, dia berkata: Telah menceritakan kepadaku Al-Auza’i dan yang lainnya, dari Az-Zuhri dari Sa’id bin Al-Musayyib dari Umar bin Khattab dia berkata; “Telah lahir seorang anak dari saudara laki-laki Ummu Salamah, istri Nabi SAW, kemudian diberi nama al-Walid, maka Nabi bersabda: “Kalian memberi nama dia dengan nama-nama Fir’aun kalian. Sungguh akan ada pada umat ini seorang lelaki yang diberi nama al-Walid. Sungguh dia lebih buruk bagi umat ini ketimbang Fir’aun kepada kaumnya.”
Hadis di atas terdapat dalam Musnad Ahmad, hadis nomor 104.
Jadi, para ulama menjuluki Khalifah al-Walid II sebagai Fir’aunya umat Islam itu berdasarkan tingkah lakunya yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam dan juga ada riwayat hadis yang mendukung sebutan itu.
Di luar itu, kita harus lebih berhati-hati mengatakan si A dan si B sebagai Fir’aun —apalagi kalau hanya berdasarkan perbedaan sikap dan pilihan politik semata.
Wa Allahu a’lam bish shawab
Tabik,
Komentar
Posting Komentar