Kamis, 25 November 2021

Selamat Hari Guru Nasional




HAKEKAT GURU 💚

Al-Imam Ibnu Athoillah al-Askandary r.a berkata;

 ليس شيخك من سمعت منه
وإنما شيخك من أخذت عنه
و ليس شيخك من واجهتك عبارته
وإنما شيخك الذى سرت فيك إشارته
وليس شيخك من دعاك الى الباب
وإنما شيخك الذى رفع بينك وبينه الحجاب
وليس شيخك من واجهك مقاله
وإنما شيخك الذى نهض بك حاله
شيخك هو الذى أخرجك من سجن الهوى و دخل بك على المولى
شيخك هو الذى مازال يجلو مرآة قلبك حتى تجلت فيها انوار ربك

Guru sejati bukanlah orang yang engkau dengar (ceramah-ceramah) sebatas dari lisannya saja.

Tapi, 
dia adalah seorang yang menjadi tempatmu didalam mengambil hikmah dan akhlaq. 

Bukanlah guru sejati,
seseorang yang hanya membimbingmu sekedar makna dari kata-kata

Tapi,
orang yang disebut guru sejati bagimu adalah orang yang isyarat-isyaratnya mampu menyusup dalam sanubarimu.

Dia bukan hanya seorang yang mengajakmu sampai ke pintu.

Tapi,
yang disebut guru bagimu itu adalah orang yang (bisa) menyingkap hijab (penutup) antara dirimu dan dirinya.

Bukanlah gurumu,
orang yang ucapan-ucapannya membimbingmu. 

Tapi, 
Yang disebut guru bagimu adalah orang yang aura kearifannya dapat membuat jiwamu bangkit dan bersemangat.

Gurumu yang sejati adalah yang membebaskanmu dari penjara hawa nafsu, lalu memasukkanmu ke ruangan Tuhanmu. 

Guru sejati bagimu adalah orang yang senantiasa menjernihkan cermin hatimu, sehingga cahaya Tuhanmu dapat bersinar terang di dalam hatimu

SELAMAT HARI GURU

Jumat, 19 November 2021

Jangan Tumbang




Perjalanan masih panjang,
Titian pematang masih belum kelihatan ujungnya,
Jangan tumbang,
Karena masih banyak yang belum terselesaikan.

Matahari masih setia memancarkan sinarnya,
Bulan pun tetap indah di pandang mata,
Kadang gerimis mengiringi sepanjang perjalanan,
Jangan tumbang,
Karena perjalanan masih panjang dan belum terlihat kapan ujungnya.

Cintamu yang tak seberapa,
Kasihmu yang sebatas helaan nafas,
Mungkin itulah puncak pengabdianmu,
Menghikmati teduhnya Firman,
Menghayati ayat-ayat suci,
Jangan tumbang,
Karena perjalanan masih panjang,
Pengabdian belum diselesaikan.

Batuceper - Tangerang, 19-11-2021

Kamis, 11 November 2021

Ingat Kamu



Ingat Kamu

Di tempat terpencil ini,
Di hamparan sajadah tubuh lelahku terbaring,
Masih semerbak harum minyak kasturi,
Minyak pengharum di kala ku bersujud kepada Ilahi,
Tapi kenapa pikiran liarku mengajaku ke sini,
Tempat dimana aku bukan siapa- siapa lagi,
Masa dimana jazad ini sudah tidak muda lagi.

Kenapa aku harus ingat kamu,
Karena selalu benar apa kata-katamu,
Kenapa harus muncul ingatan pada wajahmu,
Karena binar matamu penuh sinar yang teduh dan kasih,
Kenapa harus lirih kusebutkan namamu,
Karena kau bersemayam dalam hati.

Di tempat terpencil ini,
Selalu ku ingat desah nafasmu,
Indah pesonamu,
Seharum minyak kasturi,
Seindah mawar dan melati,
Mengiringi ruku' dan sujud ku,
Di sajadah Kumal ini.

Batu Ceper - Tangerang, 11-11-2021

Sabtu, 06 November 2021

Asyuro: Membaca Kembali Sejarah Islam

Bagi sebagian masyarakat Islam di Nusantara bulan Muharram adalah bulan istimewa. Sebagai bulan pertama tahun hijriyah, Muharram menjadi ruang ruang muhasabah (intropeksi diri) akan amal masa lalu guna menjadi pedoman langkah masa depan. Muharram menjadi serambi sebuah rumah yang berisikan sebelas bulan lainnya. Oleh karena itu Muharram dipercaya memantulkan nuansa peribadatan seseorang dalam satu tahun ke depan. Seperti halnya serambi yang bagus biasaya dimiliki sebuah rumah yang mewah. Begitu pula bulan Muharram, amal yang shalih di bulan ini mencitrakan sebelas bulan lainnya. Dengan demikian Muharram mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan bulan lainnya. Wajar saja jika umat muslim berbondong-bondong melakukan kebaikan dan sedekah pada bulan ini.Secara historis, bulan Muharram juga memiliki keistimewaan. Pada bulan inilah Nabi Muhammad saw. memutuskan berpindah dari Makkah menuju Madinah demi kesuksesan dakwah Islam. Bulan ini merupakan waktu yang berharga yang di dalamnya Rasulullah saw menemukan kunci keberhasilan dakwah Islam yaitu hijrah. Hijrah yang berarti ‘pindah’ tidak semata-mata mencari ruang yang sesuai untuk berdakwah, ruang yang lebih minim bahaya, ruang yang lebih kondusif. Tidak. Karena Rasulullah saw sendiri tidak pernah takut dengan berbagai ancaman kafir Makkah. Namun hijrah memiliki makna lain yaitu berpindah, merubah dan me-upgrade- semangat pada tataran yang lebih tinggi. Secara psikologis, suasana yang baru, kawan baru, tantangan baru akan menjadikan semangat diri dan jiwa seseorang lebih dinamis. Mengenai semangat hijrah ini Rasulullah saw sendiri dalam sebuah haditsnya pernah bersabda.


عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كان هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَن كان هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .


Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah ε bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan (amal) tergantun niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.


Dalam asbabul wurud diceritakan ada seorang sahabat yang melaksanakan hijrah dari Makkah ke Madinah dengan niatan mengawini seorang perempuan bernama Ummu Qais. Karena niatnya itulah maka ia tidak mendapatkan keutamaan hijrah. Bahkan proses hijrah sahabat tersebut dijuluki dengan Hijratu Ummu Qais. Ini menunjukkan bahwa niat seseorang sangatlah penting. Niat bukanlah sekedar motifasi belaka, karena di dalam niat itu Allah titipkan sebuah pahala yang secara otomatis akan me-cover segala yang kita lakukan dalam sisi-Nya. Inilah yang membedakan bulan Muharram dengan lainnya. Muharram menjadi berbeda karena di dalamnya ada kejadian yang sangat berharga bagi Agama Islam yaitu Hijrah Rasulullah saw.


Selain itu Muharram menjadi berbeda karena hari ke-sepuluh dalam bulan ini dipadati dengan nilai yang sarat dengan sejarah, yang lebih dikenal dengan hari ‘asyura’ atau hari kesepuluh pada bulan Muharram. Karena pada hari ‘asyura’ itulah (seperti yang termaktub dalam I’anatut Thalibin) Allah untuk pertama kali menciptakan dunia, dan pada hari yang sama pula Allah akan mengakhiri kehidupan di dunia (qiyamat). Pada hari ‘asyura’ pula Allah mencipta Lauh Mahfudh dan Qalam, menurunkan hujan untuk pertama kalinya, menurunkan rahmat di atas bumi. Dan pada hari ‘asyura’ itu Allah mengangkat Nabi Isa as. ke atas langit. Dan pada hari ‘asyura’ itulah Nabi Nuh as. turun dari kapal setelah berlayar karena banjir bandang. Sesampainya di daratan Nabi Nuh as. bertanya kepada pada umatnya “masihkah ada bekal pelayaran yang tersisa untuk dimakan?” kemudian mereka menjawab “masih ya Nabi” Kemudian Nabi Nuh memerintahkan untuk mengaduk sisa-sisa makanan itu menjadi adonan bubur, dan disedekahkan ke semua orang. Karena itulah kita mengenal bubur suro. Yaitu bubur yang dibikin untuk menghormati hari ‘asyuro’ yang diterjemahkan dalam bahasa kita menjadi bubur untuk selametan.

 

Bubur suro merupakan pengejawentahan rasa syukur manusia atas keselamatan yang Selma ini diberikan oleh Allah swt. Namun dibalik itu bubur suro (jawa) selain simbol dari keselamatan juga pengabadian atas kemenangan Nabi Musa as, dan hancurnya bala Fir’aun yang terjadi pada hari ’asyuro juga. Oleh karena itu barang siapa berpuasa dihari ‘asyura’ seperti berpuasa selama satu tahun penuh, karena puasa di hari ‘asyura’ seperti puasanya para Nabi. Intinya hari ‘syura’ adalah hari istimewa. Banyak keistimewaan yang diberikan oleh Allah pada hari ini diantaranya adalah pelipat gandaan pahala bagi yang melaksanakan ibadah pada hari itu. Hari ini adalah hari kasih sayang, dianjurkan oleh semua muslim untuk melaksanakan kebaikan, menambah pundi-pundi pahala dengan bersilaturrahim, beribadah, dan banyak sedekah terutama bersedekah kepada anak yatim-piatu.

 

Bagi kelompok syi’ah hari kesepuluh bulan Muharram sangatlah penting. Karena pada hari inilah tepatnya tahun 61 H Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib sang Cucu Rasulullah saw terbunuh oleh Yazid bin Muawiyah. Pembunuhan ini lebih tepat bila disebut dengan pembantaian karena tidak seimbangnya dua kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Pembantaian ini terjadi di padang Karbala ketika dalam perjalanan menuju Irak.

 

Tentunya berbagai kejadian sejarah tersebut mulai dari sejarah transcendental yang berhubungan langsung proses penciptaan hujan oleh Allah swt hingga hijrah Rasulullah saw dan terbunuhnya Husain cucu Rasulullah saw. tidak boleh terhapus dari memori kolektif maupun individu generasi Muslim. Kejadian-kejadian dalam sejarah ini harus selalu dipupuk dengan subur sebagai salah satu media pendidikan kepahlawanan dalam Islam.


Berbagai metode peawatan sejarah ini terejawantahkan dalam berbagai tradisi kolaitas. Di Jawa misalnya kita mengenal bubur abang dan bubur putih yang dibagikan dan disajikan pada hari ‘asyura tidak lain untuk merawat ingatan sejarah tersebut secara perlambang. Bubur putih bermakna rasa syukur akan panjngnya umur hingga mendapatkan tahun baru kembali, semoga kehidupan tambah makmur. Seperti rasa syukunya Nabi Nuh setelah berlayar dari banjir bandang, seperti syukurnya Nabi Musa setelah mengalahkan Fir’aun. Disamping itu Bubur Putih merupakan lambing kebenaran dan kesucian hati yang selalu menang dalam catatan sejarah yang panjang. Meskipun kemenangan itu tidak selamanya identik dengan kekuasaan, seperti Sayyidina Husain sebagai kelompok putihan yang ditumpas oleh Yazid bin Muaswiyyah sang penguasa laknat.


Sedangkan Bubur Abang (bubur merah) adalah pembanding yang selalu hadir dalam kehidupan di dunia berpasang-pasangan. Ada indah ada buruk, ada kebaikan ada kejahatan. Semoga semua hal-hal buruk itu senantiasa dijauhkan oleh Allah dari kita amien. Jadi bubur suro ini yang berwarna merah dan putih merupakan representasi dari rasa syukur yang mendalam. Atas segala karunia Allah swt. Dan yang lebih penting dari itu semua, Bubur Suro merupakan wahana untuk merawat ingatan akan adanya sejarah besar dalam Islam. [NU Online]

Makna dan Nama Muharram

Sebelum Khalifah Umar Bin Khattab menentukan momentum hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah sebagai titik penentu perhitungan hijriyah, bulan Muharram disebut dengan bulan Shafar Awal, karena posisinya yang terletak sebelum bulan shafar.

 

Nama Muharram secara bahasa dapat diartikan sebagai bulan yang diharamkan. Yaitu bulan yang didalamnya orang-orang Arab diharamkan dilarang (diharamkan) melakukan peperangan. Begitulah kebiasaan mereka tempo dulu mengkhususkan bulan-bulan peperangan dan bulan-bulan gencatan senjata. Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir terdapat keterangan berikut.

 

أَنَّ الْمُحَرَّمَ سُمِّيَ بِذَلِكَ لِكَوْنِهِ شَهْرًا مُحَرَّمًا، وَعِنْدِي أَنَّهُ سُمِّيَ بِذَلِكَ تَأْكِيدًا لِتَحْرِيمِهِ؛ لِأَنَّ الْعَرَبَ كَانَتْ تَتَقَلَّبُ بِهِ، فَتُحِلُّهُ عَامًا وَتُحَرِّمُهُ عَامًا

 

Dinamakan bulan Muharram karena bulan tersebut memiliki banyak keutamaan dan kemuliaan, bahkan bulan ini memiliki keistimewaan serta kemuliaan yang sangat amat sekali dikarenakan orang arab tempo dulu menyebutnya sebagai bulan yang mulia (haram), tahun berikutnya menyebut bulan biasa (halal).

 

Orang arab jaman dulu meyakini bahwa bulan Muharram adalah bulan suci sehingga tidak layak menodai bulan tersebut dengan peperangan, sedangkan pada bulan lain misalnya shafar, diperbolehkan melakukan peperangan. Nama shafar sendiri memiliki arti sepi atau sunyi dikarenakan tradisi orang arab yang pada keluar untuk berperang atau untuk bepergian pada bulan tersebut.

 

صَفَرٌ: سُمِّيَ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ بُيُوتِهِمْ مِنْهُ، حِينَ يَخْرُجُونَ لِلْقِتَالِ وَالْأَسْفَارِ.

 

Dinamakan bulan shafar karena rumah-rumah mereka sepi, sedangkan para penghuninya keluar untuk berperang dan bepergian.

 

Maka, sesuai dengan penamaannya bulan Muharaam adalah bulan yang di muliakan dan bulan dimana di larang melakukan peperangan. Demikianlah Allah swt. telah menentukan empat bulan yang dimuliakan, tiga di antaranya berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, sedangkan yang terakhir adalah Rajab terletak antara bulan Jumadal Ula dan Sya’ban. [Penulis: Fuad H. Basya/FM]

 


Sayangi Binatang Agar Disayang Tuhan

Sayangi Binatang Agar Disayang Tuhan
 Sayangi Binatang Agar Disayang Tuhan


Tentu kita geram bila ada kucing atau binatang lain memakan makanan kesukaan kita tanpa sepengatahuan. Bahkan, karena ulahnya itu terkadang kita lepas kontrol. Memukulnya habis-habisan. Padahal, jika kita mau berfikir sejenak, kita akan menyadari bahwa tindakan yang sedemikian itu salah. Binatang seperti kucing tidak akan memakan makanan seseorang kecuali pemiliknya lalai, tidak menjaganya atau tidak menaruh pada tempat yang aman.

 

Sebagai seorang Muslim, kita dilarang berbuat semena-mena terhadap binatang, apalagi menyiksanya. Sebagai agama yang tinggi dan luhur, Islam mengajarkan kepada umatnya berbuat baik bukan hanya kepada sesama manusia, tapi juga kepada binatang. Bahkan binatang yang najis sekalipun, semisal anjing. Sebab, pada hakikatnya segala makhluk di dunia ini seperti binatang dan lainnya senantiasa bertasbih (memuji) Allah SWT. (17/44).

 

Berikut akan dijelaskan adab-adab terhadap binatang.

 

Memberi Makan dan Minum

 

Sama seperti halnya manusia binatang juga butuh makan dan minum. Binatang juga merasakan lapar, haus. Untuk itu kita diharuskan memeliharanya dengan memberinya makan dan minum. Kita dilarang membiarkannya kelaparan atau kehausan, karena perbuatan ini dapat menjerumuskan pelakunya pada api neraka. Rasulullah Saw pernah menceritakan ada seorang perempuan disiksa karena seekor kucing dikurungnya sampai mati.

 

Menyayangi

 

Menyangi dan mengasihi hewan sangat dianjurkan oleh agama. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis, orang yang menyayangi siapa saja, termasuk binatang, akan disayangi oleh siapa saja yang di langit. Beliau sendiri sangat menyangi terhadap binatang. Terbukti, beliau memilih memotong lengan jubbahnya yang ditiduri kucing, dari pada membangunkan dan mengusirnya.

 

Tidak Mendzalimi

 

Zalim adalah perbuatan yang dilarang agama. Kepada siapa saja kita tidak diperbolehkan berbuat zalim, termasuk terhadap hewan. Misalnya, membebaninya dengan pekerjaan-pekerjaan yang di luar kemampuannya. Allah mengaruniaikan binatang untuk kita pelihara dan kita gunakan dengan baik. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Takutlah kepada Allah dalam (memelihara) binatang-binatang yang tak dapat bicara ini. Tunggangilah mereka dengan baik, dan berilah makan dengan baik pula.”

 

Termasuk tidak menzalimi hewan adalah tidak memberi cap dengan besi yang dipanaskan pada wajah binatang, karena hal ini Allah akan melaknat terhadap orang yang melakukannya.(HR Muslim)

 

Menyembelih dengan Menyenangkan

 

Jika kita ingin menyembelih atau membunuhnya, hendaknya kita melakukannya dengan baik, karena Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik kepada segala hal. Oleh karena itu, jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan baik. Jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan baik. Hendaklah salah seorang dan kalian menenangkan hewan yang akan disembelihnya, dan menajamkan pisaunya, (Diriwayatkan Muslim, At Tirmidzi, An-Nasai, Abu Daud, dan Ahmad).

 

Menunaikan Hak Allah

 

Orang yang sibuk mengurus hewan peliharaannya hendaknya tidak melalaikan kewajiban-kewajibannya terhadap Allah SWT. Seperti mengeluarkan zakat hewan yang wajib dizakati, tidak meninggalkan salat dan sebagainya.

 

Mungkin hanya ini yang penulis bisa jelaskan. Masih banyak penjelasan lain yang berkaitan dengan etika terhadap binatang. Misalnya tidak mengadu binatang, tidak membunuhnya dengan cara membakar, dan lainnya.

 

Termasuk menyayangi binatang adalah tidak memisahkan seekor anak binatang yang masih belum cukup umur dari induknya. Dari Abdurrahman bin Abdillah dari ayahnya menceritakan; Kami menyertai Rasulullah SAW dalam suatu perlawatannya. Kemudian beliau pergi untuk memenuhi suatu kebutuhannya. Lalu kami melihat seekor burung berwarna merah dengan dua ekor anaknya. Kami lalu mengambil kedua anaknya itu. Tatkala induknya datang dia mengepak-ngepakkan sayapnya dan terbang menurun ke dataran menyiratkan kegelisahan dan kekecewaan. Ketika Nabi SAW datang, beliau bersabda: Siapa yang mengejutkan burung ini dengan mengambil anaknya? kembalikanlah anaknya kepadanya” (Hadist Imam Bukhari) (FM)

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur

Profil KH. Zaini Mun'im, Paiton, Probolinggo - Jawa Timur

KH. Zaini Mun'im
KH. Zaini Mun'im

olehSyamsul Akbar

Adalah KH. Zaini Mun’im, pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Kabupaten Probolinggo. Ia berasal dari Desa Galis, Pamekasan Madura. Lahir pada tahun 1906 silam, putra pertama dari dua bersaudara pasangan KH. Abdul Mun’im dan Ny. Hj. Hamidahini memiliki nama kecil Abdul Mughni.


Ayahnya, KH. Abdul Mun’im adalah putra Kiai Mudarik bin Kiai Ismail yang merupakan generasi kedua penerus Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan Madura. Sedangkan ibunya, Ny. Hj. Hamidah merupakan keturunan Raja Pamekasan melalui jalur KH. Bujuk Azhar atau dikenal dengan Ratoh Sidabulangan, penguasa Kraton Pamekasan Madura.


Tahun 1937, Lora Abdul Mughni, yang juga dikenal dengan nama KH. Zaini Mun’im ini menikah dengan keponakan Kiai Abdul Majid Banyuanyar, Nafi’ah. Dari pernikahannya, ia dikaruniai enam putra dan satu putri. Yaitu, KH. Moh. Hasyim, BA, Alm. Drs. KH. A. Wahid Zaini, SH, Nyai Hj. Aisyah, KH. Fadlurrahman, BA, KH. Moh. Zuhri Zaini, BA, Alm. KH. Abdul Haq Zaini, Lc dan Drs. KH. Nur Chotim Zaini.


Sejak kecil, KH. Zaini Mun’im mendapatkan pendidikan agama dari kedua orang tuanya. Menginjak usia 11 tahun, pada masa penjajahan Belanda, ia sekolah Wolk School (Sekolah Rakyat) selama empat tahun (1917-1921). Selanjutnya, ia memperdalam Al-Qur’an beserta tajwidnya kepada KH. M. Kholil dan KH. Muntaha, menantu Kiai Kholil di Pesantren Kademangan Bangkalan Madura.


Dan tahun 1922, ia melanjutkan ke Pesantren Banyuanyar Pamekasan yang diasuh oleh KH. R. Abdul Hamid dan putranya KH. Abdul Majid. Pada tahun 1925, merantau ke Jawa dan mondok di Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Disini KH. Zaini Mun’im hanya belajar satu tahun, karena ayah tercintanya wafat. Sebagai putra sulung, ia harus pulang ke Madura untuk menggantikan posisi ayahnya.


Di usia 22 tahun, KH. Zaini Mun’im mondok di Pesantren Tebuireng, Jombang yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Di pesantren ini, ia mempertajam ilmu agama dan ilmu bahasa Arab. Pertengahan tahun 1928, ia berangkat ke Mekah untuk berhaji dan menetap di Sifirlain untuk menuntut ilmu, selama lima tahun. Sebelum pulang ke tanah air, ia sempat bermukim di Madinah selama enam bulan untuk ikut berbagai pengajian di Masjid Nabawi dari beberapa ulama terkemuka saat itu.


Ketika awal kedatangannya di Desa Karanganyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo, KH. Zaini Mun’im tidak bermaksud mendirikan lembaga pendidikan pesantren. Ia hanya ingin mengisolasi diri dari keserakahan dan kekejaman penjajah untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke pedalaman Yogyakarta, menemui teman seperjuangannya.


Tapi sebelum cita-cita luhur itu terealisasi, KH. Zaini Mun’im mendapat amanah dua orang santri. Keduanya mengaji di surau kecil yang berfungsi sebagai tempat shalat, juga ruang tamu, mengajar dan tempat tidur santri. Karena itulah, ia mengurungkan niatnya dan menetap di Desa Karanganyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo hingga akhirnya mendirikan Pesantren Nurul Jadid. [NU Online]

Hikmah Angkat Tangan bagi Imam Syafi‘i

 

Takbirotul Ihrom
 Takbirotul Ihrom

Segala sesuatu ada tempatnya? Kurang. Yang pas, segala sesuatu ada tempat dan waktunya. Segala sesuatu itu juga berlaku buat tindakan mengangkat tangan dalam sembahyang. Angkat tangan menjadi sunah tersendiri. Jangan sampai salah waktu. Salah-salah bisa menjadi makruh.


Angkat tangan dalam sembahyang disunahkan di empat waktu. Pertama, saat takbiratul ihram. Kedua, bila hendak turun untuk ruku’. Ketiga, ketika i‘itdal (berdiri tegak usai ruku‘). Keempat, bila berdiri kembali setelah duduk tasyahud awal.


Tindakan angkat tangan yang disunahkan itu bukan tanpa alasan. Ulama menyatakan sejumlah hikmah angkat tangan. Salah satunya dapat membuka hijab Allah. Perihal ini dicantumkan Syekh Nawawi Banten dalam Kasyifatus Saja berikut ini.


وحكمة رفع اليدين فى الصلاة كما قال الشافعى رحم الله تعالى تعظيمه تعالى حيث جمع بين اعتقاد القلب ونطق اللسان المترجم عنه وعمل الأركان. وقيل الإشارة الى طرح ما سواه تعالى والإقبال بكليته على صلاته. وقيل الإشارة الى رفع الحجاب بين العبد وبين ربه. وقيل غير ذلك

 

“Hikmah mengangkat tangan dalam sembahyang seperti dikatakan Imam Syafi‘i RA ialah praktik menakzimkan Allah SWT karena dengan angkat tangan seseorang menyatukan sekaligus keyakinan hati, ucapan yang mengungkapkan isi hati, dan tindakan anggota badannya.”

 

Syekh Nawawi Banten melanjutkan, sedangkan ulama lain mengatakan hikmah angkat tangan menjadi isyarat untuk menghalau segala selain Allah dari hati dan menghayati sembahyang secara total.

 

Sementara ulama lain berpendapat, angkat tangan bertujuan menguak hijab antara Allah dan hamba-Nya. Bahkan, ada hikmah lainnya. Wallahu A‘lam. [NU Online]



Hassan Rouhani

 

Hassan Rouhani
Hassan Rouhani

Mahmoud Ahmadinejad

Mahmoud Ahmadinejad

Benjamin Netanyahu

Benjamin Netanyahu - File Wikipedia



Ibu adalah Sekolahmu yang Pertama



Oleh: Ahmad Dairobi

Selalu ada dilema antara karir dan keluarga, khususnya untuk kaum wanita. Hal itu tidak terlepas dari kodrat alamiah dan kodrat sosial kaum hawa itu sendiri. Secara alamiah, mereka cenderung memiliki naluri ‘seni’ mengasuh anak, melebihi kaum lelaki. Dan, secara otomatis, naluri alamiah ini diikuti oleh kecenderungan sosial yang terjadi pada masyarakat secara umum.

Sebenarnya ini merupakan konfigurasi sosial yang ideal. Itu pula yang menjadi gambaran umum kaum Muslimah dari generasi pertama umat ini. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu sebagai istri, ibu rumah tangga dan inang pengasuh bagi anak-anak mereka.

Yang menjadi persoalan, pola tersebut mulai bergeser seiring dengan arus perkembangan waktu. Naluri keibuan kaum hawa sedikit demi sedikit mulai menjadi tumpul, barangkali sebagai akibat tidak langsung dari misi kesetaraan gender yang terus menerus dihembuskan oleh Barat.

Sebenarnya, dalam Islam sendiri, tidak pernah ada larangan bagi kaum hawa untuk menekuni karir, senyampang hal itu dijalani sesuai dengan batas-batas yang ditentukan oleh syariat. Kalaupun kemudian cukup sering terjadi polemik mengenai hal itu, fokus utamanya bukan tertuju pada boleh tidaknya berkarir, akan tetapi mengenai apakah mereka bisa memenuhi tuntunan agama selama menekuni karir tersebut.

Secara umum, munculnya polemik mengenai wanita karir bersumber dari dua motivasi utama. Motivasi pertama, karena besarnya harapan terhadap kaum hawa sebagai pilar pendidikan generasi. Mengenai hal ini, Ahmad Syauqi, pujangga termasyhur dari Mesir, menyatakan:

الأُمُّ مَدْرَسَةٌ إِذَا أَعْدَدْتَهَا … أَعْدَدْتَ جَيْلاً طَيِّبَ الأَعْرَاقِ

Ibu adalah sekolah. Jika engkau menyiapkannya (dengan baik), maka engkau menyiapkan sebuah generasi yang berkualitas tinggi.

Syekh Musthafa al-Ghulayaini, jubir dan motivator Dinasti Utsmani, menyatakan:

النِّسَاءُ عِمَادُ البِلاَدِ

Kaum hawa adalah pilar (keberhasilan generasi di) berbagai negeri.

Ibu berperan sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya. Jika ibu menghabiskan waktu untuk menekuni karir, maka anak-anak akan kehilangan sentuhan pendidikan dasar yang sangat menentukan perkembangan psikologi mereka. Hilangnya sentuhan tersebut ditengarai menjadi salah satu penyebab utama maraknya kenakalan remaja, khususnya di kalangan masyarakat perkotaan.

Motivasi kedua, kekhawatiran tidak bisa mematuhi ajaran hijab, atau aturan interaksi antara lelaki-perempuan. Pada umumnya wanita karir memang tidak terlalu memperhatikan aturan-aturan syariat yang terkait dengan mereka. Di antara beberapa kebiasaan wanita karir yang tidak sesuai dengan ajaran agama adalah: (1) Tampil menarik atau berhias di hadapan lelaki yang bukan suami atau mahramnya; (2) Biasa terjadi ikhtilâth (campur baur), khulwah (berduaan), dan saling bersentuhan dengan lelaki bukan mahram; (3) bepergian tanpa disertai oleh mahram; (4) keluar rumah tanpa seizin dari suami atau wali; (5) terbengkalainya tugas-tugas kerumahtanggaan; (6) adanya kecenderungan dunia usaha untuk menjadikan pesona jasmaniah perempuan sebagai daya tarik, khususnya dalam konteks pelayanan prima; (7) terjadinya kepemimpinan perempuan atas lelaki yang selalu menjadi polemik hangat dalam wacana hukum fikih; (8) dan lain sebagainya.

Secara umum, ajaran Islam memang meletakkan batas ruang yang ketat antara lelaki dan perempuan. Batas inilah yang cukup sulit untuk dipatuhi oleh wanita yang sedang menekuni karir. Apalagi, penerapan pembatasan ini telah diopinikan sebagai tindakan konservatif, atau bahkan dianggap sebagai pemasungan terhadap hak-hak perempuan.

Dalam kondisi seperti ini, muncullah banyak dilema. Khususnya, dilema antara persoalan ekonomi dan isu kesetaraan gender di satu sisi, melawan kepentingan rumah tangga, pendidikan anak, dan aturan agama di sisi yang lain.

Maka, persoalan wanita karir harus dilihat dengan sudut pandang yang jernih dan utuh. Terutama, mengenai apa tujuannya, dengan senantiasa mempertimbangkan apa maslahat dan apa pula mudaratnya. Sangat banyak kaum wanita yang terjun menekuni karir bukan karena didorong oleh kebutuhan mendesak, akan tetapi hanya karena untuk mencari popularitas, kepuasan, kesenangan, status sosial, kekayaan materi yang melimpah, dan semacamnya. Sementara, untuk mengejar semua itu dia harus mengorbankan pentingnya kerumahtanggaan dan kepengasuhan anak. Dengan begitu, dia meninggalkan sesuatu yang sangat mendesak untuk mengejar sesuatu yang tidak terlalu penting, atau bahkan tidak baik.

Dalam agama Islam sendiri, desakan ekonomi merupakan pintu yang paling terbuka bagi wanita untuk menekuni sebuah pekerjaan. Beberapa data sejarah menyebutkan bahwa Sayidah Fatimah bekerja sebagai penjahit. Juga, tidak sedikit di antara perempuan di masa itu yang bekerja sebagai pemintal atau penenun (industri tekstil). Siti Asma’ binti Abi Bakar dikenal sebagai wanita yang bekerja keras untuk menghidupi putra-putrinya, karena status beliau sebagai single parent.

Beberapa data sejarah juga menyebutkan bahwa tidak sedikit perempuan pada masa Rasulullah r dan para Sahabat yang bekerja sebagai inang pengasuh, ibu susu, dan pelayan. Hal ini tidak terlepas dari kodrat alamiah perempuan sebagai pendidik ulung bagi anak-anak berusia dini. Bidang-bidang profesi yang erat dengan urusan ‘dalam’ kaum perempuan, memang sudah seharusnya diisi oleh kaum perempuan, semisal kebidanan dan pengasuhan anak.

Jadi, izin berkarir bagi kaum wanita harus diposisikan sebagai opsi kedua, yakni karena tuntutan kondisi yang cukup mendesak. Bukannya dijadikan sebagai opsi utama, seperti yang sedang giat dikampanyekan oleh pemerintah kita saat ini. Sepertinya, mereka hendak ‘memaksa’ kaum hawa untuk berkarir di politik dengan kebijakan persentase keterwakilan perempuan di parlemen maupun kepengurusan partai. Dari satu sisi, sepertinya langkah tersebut dianggap sebagai langkah maju untuk membela hak-hak perempuan, padahal secara psikologis berpotensi besar memudarkan jiwa keibuan dan keistrian.

Jika kita sering membaca berbagai analisis mengenai kenakalan remaja, sebenarnya di Barat sendiri tidak jarang terdengar keluhan mengenai pudarnya jiwa keibuan karena tingginya gairah kaum hawa untuk menekuni karir. Hanya saja, keluhan-keluhan semacam ini lebih sering tertutupi oleh arus opini yang tidak seimbang.

Maka, sebagai umat dan bangsa yang menjunjung tinggi budaya ketimuran, kita harus berpikir lebih jernih mengenai hal itu, bukannya terdesak oleh perkembangan yang terjadi di negara-negara maju. Sudah ribuan tahun, kaum hawa kita berperan sebagai ibu dan istri, nyatanya roda sosial masyarakat berjalan dengan baik-baik saja. Sama sekali tidak menjadi beban sosial-ekonomi seperti yang banyak ditakutkan oleh generasi kita saat ini. [FM]

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur

Penghias Langit Bumi



Oleh: Muhamad Kurtubi

Apakah penghias langit dan bumi. Setidaknya dari ajaran para ulama, ada tiga hal yang menjadi penghiasnya. Ketiganya saling bersinergi dan berkesinambungan. Keseimbangan ketiganya menjadi barometer terciptanya harmonisasi dan keseimbangan yang perlu dijaga.

Bila kita perhatikan langit nan biru. Terdapat banyak sekali benda benda-benda angkasa: Matahari, bulan dan bintang. Satu dengan lainnya begitu rapih tertata. Sehingga menjadi indahlah langit itu. Demikian juga ada tiga hiasan memperindah bumi. Keharmonisan akan terjaga jika terus menerus memperhatikan keindahan hiasan itu. Apa saja hiasan langit dan bumi itu? Sepenggal informasi hasil renungan ulama dalam kitab klasik.

Salah satu kitab ulama menulis :

زين الله السماء بثلاثة: الشمس والقمر والنجوم. وزين الله الاض بثلاثة: العالم والمطر وسلطان العادل.

Artinya: “Allah menghiasi langit dengan tiga hal: matahari bulan dan bintang. Demikian pula bumi dihiasi tiga hal: ilmu, hujan dan pemerintah yang adil.“

Hiasan Bumi

Sebagaimana hadits di atas, bumi pun dihiasi oleh tiga hal: ilmu, hujan dan pemerintah yang adil. Bagaimana penjelas ketiga hal ini?

1. Ilmu

Bagaimana ilmu bisa menjadi hiasan bumi sehingga bumi menjadi indah dipandang mata hati dan mata lahir. Hal ini karena seni (hiasan) lahir dari ilmu. Artinya memperindah sesuatu harus berdasarkan ilmuwan. Karena­nya keindahan di bumi tidak terlepas dari bi­dang seni.

Misalnya, seni tata kota akan diatur oleh para arsitek yang membuat bangunan berdasarkan planing dan analisa dampak lingkungan. Kein­dahan hasil produksi diproses oleh pra ilmuwan ang ahli dibidang­nya. Misalnya bagaimana mem­buat desain kendaraan mobil yang nyaman dan aman saat dikendarai. Dibuatlah desain dan tekniknya oleh ahli rancang bangun bidang teknik mesin dan design mobil. Begitu pula hasil produksi lainnya seperti mesin-mesin, perlengkapan rumah dan lain-lain.

2. Hujan

Bagaimana hujan bisa menjadi hiasan bumi?. Fungsi air hujan memberikan kehidupan semua makhluq. Bah­kan asal kehdupan berasal dari air. Firman Allah: “Wajalna minal maa-i kulla syain hay” Kujadikan dari air itu segala sesutu menjadi hidup.“

Seorang ilmuwan yang akan mempercantik bumi mesti cerdas. Kecerdasan membutuhkan gizi dan vitamin. Nutrisi ini tidak bisa didapat kalau tidak ada air. Sebab vitamin, mineral, dan zat makanan lainnya didapat dari tumbuhan yang dihujani.

Dengan adanya hujan maka tumbuhan menghasilkan buah yang bisa dinikmati oleh manusia dan hewan. Hewanpun juga dikonsumsi ilmuwan. Maka jika tidak ada hujan, tidak ada ilmuwan. Sebab mereka memperoleh bahan tumbuh dan bahan kecerdasannya.

3. Sultonul Adil

Sulton yang adil artinya pemerintah yang adil. Menata dan mengatur kehidupan rakyat sesuai porsinya masing-masing. Kemmapuan meng­atur ini hanya dimiliki oleh pemerintah dan segenap komponennya. Lalu bagaimana sultonul adil berkontribusi sebagai hisasan bumi?

Keharmonisan sultonul adil maksud­nya adalah untuk mengatur ilmuwan. Misalnya, seorang ilmuan ahli melebur baja, besi dan plastik. Maka mesti diatur oleh oleh sulton agar baja, besi dan plastik ini menjadi indah.

Demikian pula perintah dengan sega­la kebijakannya, pelaksanaan di lapangan dijalankan oleh ilmuwan. Misalnya pemerintah ingin mem­produksi pesawat dan mobil sendiri. Maka ilmuwan teknolog itu yang menjalankannya. Mereka hanya mendesain sesuai dengan pesanan. Sedangkan bagaimana menjual dan bagaimana mengatur distrubusinya, maka pemerintah yang mengarnya kemudian. Karena itu pemerintah perlu adil dan bijaksana. Di sinilah maka, ilmuwan harus bekerja sebagu smunkgin, dan pemerintah harus konsisten dan mampu mengaturnya.

Pucaknya, pemerintah bisa mengatur benda dan mengatur manusia. Jika peran ini tidak diambil, maka para ilmuwan akan berjalan sendiri-sen­diri dan merasa sok pinter sendiri. Maka teknologi tidak menjadi sesuatu karya yang diakui dan ber­kem­bang luas karena kurang dukungan peme­rintah. Akhirnya, negara yang mam­pu mengatur ilmuwan biasanya berjaya. Sebaliknya, negara yang tak mampu mengatur ilmuwan manjadi terpuruk.

Akirnya, jikalau keindahan itu tidak ada. Teknologi tidak mampu berkembang. Maka boro-boro memikirkan perhiasan memikirkan makanan saja susah sekali. Adanya perhiasan (keindahan) karena adanya fadlam minallahi wanikmah, wamaghfira­taw­arahmah, ya wasial maghfirah. Maksudnya, adanya hiasan karena ada fadlan. Suatu ketika fadlan (karunia) diambil Allah, maka tinggal rakhmat saja. Tinggal satu benteng rakhmat. Manusia sudah putus asa tinggal rakhmat Allah yang ada. [FM]

Wallahu a’lam.

 

Muhamad Kurtubi,

Santri Pondok Pesantren Buntet – Cirebon, lulusan MANU 2008

Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991

 

Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991
Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991

Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991
Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991

Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991
Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991

Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991
Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991

Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991
Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991


Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991
Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991

Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991
Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991

Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991

Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991
Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991

Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991
Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan Tahun 1991

Galeri Alumni MAN 01 Pekalongan pada waktu kegiatan Khataman Al Qur'an yang ke lima yang diselenggarakan di kediamam Ibu Hj. Asmaul Husna,  Pasir Sari - Pejkalongan pada tanggal 31 Oktober 2021