Kamis, 30 September 2021

Kisah Mbah Kholil, Orang Arab, dan Macan Tutul

 ilustraasi Macan Tutul - File wikimedia.org


Alkisah, seseorang berkebangsaan Arab berkunjung ke Pesantren Kedemangan, Bangkalan, Jawa Timur. Masyarakat Madura menyebutnya habib. Kala itu, Syaikhona KH Muhammad Kholil sedang memimpin jamaah sembahyang maghrib bersama para santrinya.

 

Usai menunaikan shalat, Mbah Kholil pun menemui para tamunya, termasuk orang Arab ini. Dalam pembicaraan, tamu barunya ini menyampaikan sebuah teguran, “Tuan, bacaan al-Fatihah Antum (Anda) kurang fasih.” Rupanya, sebagai orang Arab, ia merasa berwenang mengoreksi bacaan shalat Mbah Kholil.

 

Setelah berbasa-basi sejenak, Mbah Kholil mempersilakan tamu Arab itu mengambil wudhu untuk melaksanakan sembahyang maghrib. “Silakan ambil wudhu di sana,” ucapnya sambil menunjuk arah tempat wudhu di sebelah masjid.

 

Baru saja selesai wudhu, si orang Arab tiba-tiba dikejutkan dengan munculnya seekor macan tutul. Dengan bahasa Arab yang fasih, ia berteriak dengan maksud mengusir si macan. Kefasihan bahasa Arabnya tak memberi pengaruh apa-apa. Binatang buas itu justru kian mendekat.

 

Mendengar keributan di area tempat wudhu, Mbah Kholil datang menghampiri. Mbah Kholil paham, macan tutul itu lah sumber kegaduhan. Kiai keramat ini pun melontarkan sepatah dua patah kata kepada macan. Meski tak sefasih tamu Arabnya, anehnya, sang macan langsung bergegas pergi.

 

Orang Arab itu akhirnya mafhum, kiai penghafal al-Qur’an yang menguasai qiraat sab’ah (tujuh cara membaca al-Qur’an) ini sedang memberi pelajaran berharga untuk dirinya. Nilai ungkapan seseorang bukan terletak sebatas pada kefasihan kata-kata, melainkan sejauh mana penghayatan atas maknanya. [NU Online]

Dusta dan Ketentuannya

Ilustrasi Dusta
Ilustrasi Dusta - File hidayatullah.com


Massa memiliki kecenderungan perilaku primitif. Tentu saja benar. Tetapi tentu juga keliru. Bagaimana benarnya? Begini. Massa itu senang main keroyok dan main bakar. Disebut “keroyok” tentu karena mereka itu sudah merupakan massa. Kalau sendirian, lain lagi sebutannya.


Massa senang bakar. Ini benar. Mereka membakar bukan rokok atau sampah karena tindakan ini ada larangannya baik oleh pemerintah, aktivis antirokok, maupun aktivis lingkungan hidup lewat sosialisasi yang getol.


Tidak tanggung-tanggung, massa membakar manusia; anak dari jenis mereka sendiri. Alasannya tentu macam-macam. Manusia yang dibakar bisa jadi melakukan kesalahan fatal seperti meruntuhkan rumah tangga orang, menipu hingga membuat orang rugi besar, atau sekadar mencopet dompet berisi pecahan dua puluh ribu beberapa lembar semata.


Bahkan massa kadang membakar anak manusia lantaran beda kepentingan politik, dendam persaingan usaha, atau karena hanya melihat orang berkerumun tengah membakar segala apa termasuk manusia karena persaingan kelas. Anehnya massa juga pernah membakar manusia hanya karena korban bermata sipit.


Dalam keadaan masyarakat telah menjadi massa, umat Islam diwajibkan menyelamatkan jiwa pencopet, penipu, atau korban yang tidak tahu-menahu. Maksudnya, mereka yang menjadi sasaran massa mesti diselamatkan terlebih dahulu untuk selanjutnya diproses secara hukum bagi yang salah.


Untuk penyelamatan dalam kondisi darurat seperti ini, umat Islam berkewajiban untuk itu kalau perlu berbohong atau bersumpah. Ini dikatakan jelas oleh Imam Ghazali yang dikutip Imam Nawawi dalam kitab Al-Azkar.


“Kata Imam Ghazali, ‘Ucapan merupakan perantara bagi sejumlah maksud hati. Ketika maksud terpuji (secara syari‘at) yang dapat dicapai dengan kejujuran dan kebohongan, tentu kebohongan yang ditempuh hukumnya haram karena tidak ada hajat untuk melakukan kebohongan. Namun ketika tujuan terpuji tidak bisa dicapai dengan kejujuran, maka hukum kebohongan yang ditempuh sesuai dengan tujuannya. Kalau tujuan mulia itu hukumnya mubah, maka kebohongan untuk itu juga mubah. Dan wajib bohong jika tujuan mulia itu wajib (secara syari‘at)’,” kutip Imam Nawawi.


Ketentuan ini berlaku bagi mereka yang ada di luar pengadilan. Sedangkan kejujuran menjadi wajib hukumnya bagi siapa saja ketika berada di tengah pengadilan atau proses hukum demi keadilan. Apapun risikonya.


Ketentuan di atas tidak hanya berlaku untuk mencegah massa saja. umat Islam juga wajib menyelamatkan nyawa dan harta seseorang dari tuntutan seorang warga atau penguasa yang sedang kalap. Keterangan ini merupakan lanjutan uraian Imam Nawawi dalam kitab dan bab yang sama.


Kalau menghadapi orang kalap, jangan ragu membuang kejujuran. Karena, keselamatan nyawa dan harta seseorang bukan barang murah.


Bagaimana kelirunya? Orang-orang berkumpul menjadi massa untuk melakukan sembahyang jamaah, sembahyang Juma‘at, istighotsah, tahlilan, olahraga, sekolah, berangkat ngantor atau segala bentuk yang positif. [NU Online]

Pengabdian dan Penghargaan

Mohamad Sobary
Mohamad Sobary

Oleh: Mohamad Sobary*

 

(Bagaimana kalau orang tanpa pengorbanan menerima dengan bangga penghargaan yang ditawarkan?)

 

Dosen sejarah sosial menjelaskan kepada para mahasiswa bahwa sejarah bukan kisah kepahlawanan orang-orang besar, yaitu para jenderal, atau para panglima, yang menang perang, yang kemudian menyusun sejarahnya sendiri, sehingga makna sejarah ditentukan semata-mata oleh orang-orang yang menang.

 

Sejarah juga bukan berarti panggung kemegahan raja-raja, para pangeran, bala tentara, dan para pemimpin yang menggerakkan peperangan.

 

Ini karena kalau begitu cara memandang sejarah, maka para petani dan orang-orang biasa lainnya, yang sebenarnya juga berhak mendapat sebutan sebagai aktor sejarah—yang gagah berani seperti para jenderal—niscaya tidak akan pernah memiliki tempat di dalam sejarah, seperti tampak jelas dalam orientasi sejarah yang bersifat Eropa sentris, atau kolonial sentris.

 

Sebuah film koboi, The Magnificent Sevent, bisa menjadi ilustrasi menarik. Di dalamnya ditampilkan “sejarah” perlawanan petani—dibantu, atau dilindungi tujuh jagoan—melawan para perampok yang secara permanen menjarah desa dan kehidupan mereka. Pada mulanya para petani yang hidup sederhana, lugu, dan puas menerima apa yang mereka miliki itu tak berdaya dan tak berani membela diri.

Berkat dorongan orang tertua, yang agaknya juga pemimpin rohani di desa itu, para petani mencari perlindungan para jagoan di kota, dan mereka pun berhasil membeli senjata-senjata yang terbukti sangat berguna untuk mengusir para penjarah. Dipimpin tujuh jagoan tadi, para petani bertempur. Bernard, dimainkan oleh Charles Bronson, yang dipanggil Bernardo, disukai dan diidolakan anak-anak. Dalam pertempuran pun anak-anak mengikutinya.

 

Mereka bilang, ayah anak-anak itu bukan pemberani seperti Bernardo. Kontan Bernard marah sekali. “Coba lihat, ayah-ayah kalian bukan pengecut. Mereka juga pemberani seperti kami. Jangan sembarangan bicara,” kata Bernard.

 

Tak diragukan, film ini mengesankan adanya pandangan bahwa aktor sejarah hanya orang-orang terkemuka, seperti tujuh jagoan itu, dan petani—ayah-ayah mereka—dianggap remeh. Tapi, sekali lagi, kesalahan cara pandang itu dibetulkan oleh Bernard.

 

Kemudian dosen itu bertanya, “Kalau begitu dengan apa kebesaran manusia ditentukan di dalam sejarah?”

 

“Dengan silsilahnya,” jawab seorang mahasiswa.

 

“Tidak.”

 

“Dengan jabatannya,” jawab mahasiswa yang lain.

 

“Tidak.”

 

“Dengan pangkatnya,” jawab mahasiswa yang lain lagi.

 

“Tidak.”

 

Suasana ruang kuliah, yang diisi hanya oleh 12 mahasiswa semester empat jurusan sejarah itu, menjadi hiruk-pikuk oleh perdebatan, dan sang dosen membiarkan mereka sedikit ribut untuk beberapa saat, sampai akhirnya mereka tenang kembali. Tak lama sesudahnya salah seorang dari mereka berbicara. “Dengan apa kalau begitu?” tanya mahasiswa tersebut.

 

“Dengan pengabdiannya, atau berdasarkan jasa-jasanya,” jawab mahasiswa yang sejak tadi masih diam saja.

 

Sang dosen memberi tanda bahwa dia setuju pada jawaban itu. “Semua mendengar baik-baik jawaban itu tadi?” tanyanya.

 

Layak Dihargai

 

Tujuh jagoan itu mengabdi kemanusiaan dengan melindungi kelompok lemah, yang dijadikan “sapi perahan” oleh para penjarah-rayah. Pengabdian, bisa juga disebut pengorbanan, yang mereka berikan kepada para petani itu layak diberi penghargaan. Hanya sesudah melakukan pengabdian dan pengorbanan yang nyata bagi kehidupan manusia seseorang layak diberi penghargaan.

 

Orang yang mendapat penghargaan pasti merasa senang. Tiap manusia memiliki watak dan sifat senang dihormati. Ada orang yang selalu hormat kepada orang lain, semata karena dia berharap agar orang lain juga menghormatinya. Sikapnya yang baik itu mengandung pamrih. Tapi tak mengapa.

 

Ada juga orang yang bisa disebut penggemar penghormatan, dan selalu mendambakan penghargaan. Belum tentu dia termasuk kategori orang yang gila hormat. Dia hanya menjadi orang sangat bangga jika hasratnya terpenuhi.

 

Dalam jejak hidupnya sudah banyak tanda bahwa dia memang penggemar penghargaan tadi. Boleh jadi itu hanya sekadar untuk bisa dibanggakan pada orang lain. Tapi bisa juga itu tanda bahwa yang bersangkutan mengidap gejala tak sehat, untuk mengagungkan diri sendiri.

 

Kecenderungan seperti itu, di dalam pergaulan yang tak sehat, yang penuh pamrih, penuh kepentingan, penuh sikap menjilat, bisa semakin berkobar dan menjadi-jadi. Jika orang macam itu makin didorong dan dipanas-panasi agar selalu berusaha memperoleh penghargaan demi penghargaan, yang bersangkutan jelas akan menempuh cara apa pun agar penghargaan yang dianggap membuatnya semakin besar itu bisa diraihnya.

 

Kalau dia memiliki jasa dalam pengabdian bagi sesama manusia, yang menjamin hak-hak mereka, atau melindugi mereka dari ancaman pihak lain, maka penghargaan itu ada alasannya untuk diterima. Tapi bagaimana kalau orang tanpa pengorbanan, tanpa jasa, tapi menerima dengan bangga penghargaan yang ditawarkan padanya?

 

Kita tahu penghargaan hanya diberikan kepada mereka yang punya jasa, yang mengabdi, dan berkorban bagi sesama manusia. Di luar itu kita tak berhak menerimanya.

 

Sumber: Sinar Harapan

Menghadapi Perbedaan dengan Elegan

Menghadapi Perbedaan dengan Elegan
Ilustrasi Perbedaan - File https://tebuireng.online/

Oleh: Moh. Achyat Ahmad

 

Menghadapi perbedaan di antar-umat sesama Muslim, sebagaimana ditunjukkan oleh perjalanan dan pengalaman umat ini sepanjang sejarah, seringkali lebih rumit daripada menghadapi perbedaan pandangan dengan umat yang berbeda agama. Hal ini, setidaknya, karena yang kita hadapi dalam perbedaan di dalam internal umat adalah ancaman akan perpecaah umat. Sedangkan jika kita berhadapan dengan perbedaan dengan umat yang berbeda agama, maka itu justru bisa mempersatukan umat untuk menghadapi lawan yang sama.

 

Itulah sebabnya, perbedaan yang terjadi di tengah-tengah umat (dalam hal ini perbedaan haluan politik dan akidah), bisa menjadi salah satu faktor terkuat yang bisa melemahkan kekuatan umat dan memecah belah kokohnya persatuan mereka. Tentu, ini adalah hal yang amat merugikan. Jika saat ini faktanya kita ada dalam situasi yang ramai akan perbedaan dan rentan akan perselisihan dalam perbedaan itu, maka betapa kita tengah berada dalam situasi disintegrasi umat setiap waktu. Maka, di sini diperlukan pemahaman yang benar akan perbedaan dan langkah yang benar bagaimana menghadapi perbedaan itu.

 

Pada dasarnya, hal terpenting dalam menghadapi perbedaan, dalam hal ini adalah perbedaan kita dengan aliran-aliran sesat di luar Ahlusunah wal Jamaah, adalah tidak bertindak secara gegabah, yang bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar dan kerugian yang lebih luas. Tindakan fisik secara tegas, seperti memenjarakan, menyegel fasilitas, dan semacamnya, hanya bisa dilakukan oleh aparatur pemerintah dan tidak tidak diserahkan kepada individu umat atau masyarakat sipil. Hal demikian agar upaya memberangus paham sesat tidak justru berbuah petaka yang lebih berbahaya.

 

Hal demikianlah yang dilakukan oleh para ulama Islam sepanjang sejarah, bahkan juga yang dilakukan oleh pemerintah Islam. Sayyidina Ali t, misalnya, kendati menjabat sebagai Khalifah dan berhadapan dengan kaum Khawarij yang tidak saja sesat, akan tetapi bertindak brutal dengan merampok dan membunuh, dan itu telah memenuhi syarat-syarat untuk diperangi, akan tetapi Sayyidina Ali t tidak serta merta memerangi mereka. Sayyidina Ali t masih menasihati mereka, dan memberi kesempatan mereka untuk bertobat, sedangkan yang diperangi adalah sisa-sisa dari kelompok itu yang tidak mau berhenti berbuat kerusakan, tidak mau bertobat dan terus berkomitmen melawan pemerintah.

 

Oleh sebab itu, ketika al-Imam Hasan al-Bashri mendapatkan laporan tentang orang yang berpandangan seperti pandangan kelompok Khawarij, beliau juga tidak menginstruksikan untuk menyerang orang itu. Al-Imam Hasan al-Bashri malah menjawab: “Amal perbuatan lebih memberikan pengaruh kepada melebihi pandangan dan pemikiran. Allah akan memberikan balasan kepada manusia disebabkan amal perbuatan mereka.”

 

Barangkali pandangan semacam ini bisa lebih kita mengerti dengan memahami kebijakan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz terkait dengan aliran sesat. Pada tahun 100 H., di Madinah muncul sekelompok aliran sesat yang dipimpin oleh Syaudzab. Maka Umar bin Abdul-Aziz menginstruksikan kepada gubernurnya di Madinah untuk membiarkan mereka meyakini apapun, sepanjang keyakinan mereka tidak mendorong mereka pada tindakan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah.

 

Bahkan dalam hal ini, Umar bin Abdul-Aziz berdakwah kepada Syaudzab melalui jalur debat ilmiah. Umar bin Abdul-Aziz meminta Syaudzab untuk mengirimkan orang terbaiknya guna berdebat dengannya mengenai akidahnya. Akhirnya Syaudzab mengirim dua orang terbaiknya dan berdebat dengan Umar bin Abdul-Aziz, dan akhirnya salah satu dari utusan Syaudzab itu meninggalkan keyakinannya, sedangkan yang lain tetap pada keyakinannya. (Durusut-Târîkh al-Islâmî, 2/66)

 

Jadi dengan demikian, Umar bin Abdul-Aziz sebagai pemimpin pemerintahan Islam, tidak melakukan serangan apapun kepada aliran sesat yang tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain. Ada banyak jalur lain yang masih bisa dilakukan untuk berdakwah kepada orang-orang yang berbeda faham agar kembali ke jalan yang benar. Menghadapi aliran sesat dengan kekerasan kadang membuat kelompok sesat itu semakin militan, sekaligus bisa mengundang simpati dari pihak lain untuk membantu aliran sasat itu, yang tentu bisa merugikan kepada umat Islam sendiri.

 

Dalam konteks ini, barangkali kita bisa merujuk pada alasan mengapa Nabi tidak memerangi orang-orang munafik. Orang-orang munafik jelas merupakan musuh-musuh Islam yang berada di dalam lingkungan umat Islam, berkumpul dan berbaur bersama mereka. Para sahabat jelas tidak tahu siapa saja orang-orang munafik yang berkumpul bersama mereka, namun Nabi SAW mengetahui identitas mereka satu persatu.

 

Lalu kenapa Rasul SAW tidak memerintahkan para sahabat beliau untuk memerangi orang-orang munafik itu, padahal beliau mengetahui identitas masing-masing dari mereka. Ketika ditanya mengenai hal ini, Rasul SAW menjawab: “Aku tidak ingin orang-orang berkata bahwa Muhammad itu mengajak kaum untuk berperang, tapi setelah dia menang, dia malah memerangi orang-orang yang telah membantunya itu.” (Subulul-Hudâ war-Rasyâd, 5/467). Dalam riwayat lain Rasul SAW menjawab: “Aku tidak ingin ada orang mengatakan bahwa Muhammad telah memerangi para sahabatnya sendiri.” (Al-Bidâyah wan Nihâyah, 5/25).

 

Jika Sunah ini kita kontekskan pada situasi kita pada saat ini, maka alasan kita tidak memerangi umat Islam yang memiliki faham berbeda dengan Ahlusunah wal Jamaah, dan karena itu mereka tergolong aliran sesat, adalah karena mereka masih tergolong Muslim sekaligus hidup di dalam lingkungan kita, umat Islam. Sehingga jika kita bertindak gegabah dengan cara memerangi mereka, merusak properti dan menimpakan kerugian fisik dan materi kepada mereka, maka setidaknya yang akan kita tuai adalah salah satu atau akumulasi dari hal-hal berikut:

 

Pertama, umat Islam Ahlusunah wal Jamaah Indonesia dinilai oleh dunia sebagai kelompok separatis, tidak toleran, dan memerangi teman-teman mereka sendiri sesama Muslim. Ini adalah kesan yang sangat merugikan bagi kita.

 

Kedua, akan ada simpati yang luar biasa mengalir deras kepada aliran sesat yang kita serang, dan itu bisa sangat memperkuat mereka secara mental, materi, sekaligus pengikut. Karena bisa jadi saudara-saudara Ahlusunah kita yang masih memiliki ikatan pertemanan atau persaudaraan dengan pengikut aliran sesat yang kita serang itu lantas bersimpati dan ikut masuk kedalamnya.

 

Ketiga, akan menumbuhkan perseteruan yang berkepanjangan dari generasi ke generasi. Boleh jadi saat ini, ketika kita berseteru dengan penganut aliran sesat bisa menyudahi perseteruan beberapa waktu. Akan tetapi kelak, generasi berikutnya mungkin tidak akan mudah menyudahi perseteruan serupa jika sudah terlanjur meletus, karena sejak kecil mereka telah mendapati peristiwa ini menyatu dengan riwayat hidup mereka. Dalam bawah sadar mereka telah terekam dengan kuat bahwa dia adalah musuh saya dan ayah saya pernah diserang oleh ayahnya. Akibat dari permusuhan seperti ini sungguh sangat mengerikan.

 

Maka, yang hendaknya kita lakukan adalah berdakwah secara elegan. Yaitu dengan mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh para ulama salaf saleh dan khalaf saleh. Semisal para imam mazhab yang empat, sekalipun di era mereka banyak aliran sesat, seperti Syiah dan Muktazilah, mereka tidak pernah terlibat peperangan dengan aliran-aliran sesat itu. Yang mereka lakukan ialah mendidik umat dan terus menyeru pada kebenaran. Gambaran dakwah kultural Wali Songo yang sangat “ramah lingkungan” itu barangkali juga penting untuk kita adaptasi untuk menghadapi persoalan kita hari ini. Wallâhu a‘lam bish-shawâb.

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur

Curhatan Wanita Miskin kepada Imam Hambali

Ilustrasi - File http://www.bersamaislam.com/


Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy Syaibani (Imam Hambali) suatu ketika dihampiri perempuan muda yang hendak mencurahkan isi hatinya. Perempuan ini sedang dihantui perasaan bersalah atas sikapnya beberapa waktu yang lalu.

 

Mula-mula ia menceritakan kondisi serba kekurangan bersama ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Keadaan ini terpaksa ia hadapi karena sang suami yang menjadi tulang punggung keluarga telah lama meninggal dunia.

 

Untuk bertahan hidup, perempuan itu mengandalkan profesinya sebagai pemintal benang. Malam ia memintal, siang ia menjualnya. Fasilitas yang amat terbatas membuatnya tetap melarat dengan pekerjaan ini.

 

"Karena tidak memiliki lampu di dalam rumah, untuk memulai memintal benang, saya terpaksa menunggu cahaya bulan purnama,” tutur perempuan malang ini.

 

Namun suatu malam, tempat tinggal keluarganya tidak segelap biasanya. Bukan sebab sinar purnama telah tiba, melainkan serombongan kafilah kebetulan bermalam di dekat rumah perempuan ini. Lampu-lampu yang mereka bawa secara tidak sengaja turut menerangi area dan gubuk di sekelilingnya.

 

Di hadapan Imam Hambali, perempuan ini mengaku telah memanfaatkan kesempatan bersama cahaya lampu para kafilah tersebut untuk memintal. Yang membuatnya gundah adalah kealpaannya meminta izin kepada rombongan kafilah.

 

“Apakah hasil penjualan benang yang saya pintal di bawah cahaya lampu kafilah itu halal untuk saya gunakan?” tanya perempuan itu kepada sang imam.

 

Imam Hambali menatap kosong. Sesaat kemudian air matanya mengalir. Pendiri mazhab fiqih Hambali ini heran, di tengah mayoritas orang dilanda keserakahan terhadap dunia, ada seorang perempuan miskin yang masih memikirkan kesucian harta.

 

Imam Bukhari dalam riwayatnya menceritakan prediksi Rasulullah bahwa “Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram”. [NU Online]

Korupsi dan Kosongnya Spiritualitas

Ilustrasi Koruptor
Ilustrasi koruptor - File http://liputanrakyat.com

Oleh: Wasid Mansyur*

 

Mereka yang memiliki spiritual unggul atau sejati, memastikan Allah swt. sebagai sentrum bagi semua energi kehidupannya. Selain Dia, pada hakekatnya tiada sebab adanya selain Dia selalu dibatasi ruang dan waktu. Maka, pengaguman berlebihan atas mawjud selain Allah berdampak pada sikap mengabaikan hakekat-Nya, jika tidak mengatakan lalai, bahkan tidak jarang sikap itu berpengaruh pada mentalitas nilai yang diperebutkan.

 

Statemen di atas adalah salah satu pernik dari orasi ilmiah bertajuk Studium General dengan Tema “Tasawuf; Spiritualitas dan manusia Universal” yang disampaikan oleh KH. DR. Said Aqil Siraj, MA di Audutorium UIN Sunan Ampel Surabaya (7/11). Statemen ini syarat makna hingga layak direfleksikan kembali kaitannya dengan konteks kehidupan yang nyata sebab hidup ini pasti ada ujungnya (berakhir dengan kematian), tinggal bagaimana kepastian sampai keujung itu dengan selamat atau dalam bahasa agama disebut khusnul khotimah.

 

Oleh karenanya, masih maraknya praktik korupsi dan tindakan kekerasan atas nama apapun yang dilakukan oleh individu atau kelompok setidaknya menggambarkan rapuhnya mentalitas spiritual anak bangsa. Tertangkapnya Akil Mochtar, ketua MK, semakin menunjukkan bahwa gelombang korupsi mampu menyapu semua orang, bahkan penegak hukum sekalipun. Ketika hukum tidak diindahkan akibat ulah segelintir orang, maka tidak sedikit orang beranggapan bahwa jalan pintas adalah hal terbaik sekalipun akhirnya melakukan pembunuhan.

 

Maka menegaskan kembali orientasi nilai seseorang untuk hidup penting untuk terus didiskusikan, alih-alih di zaman dimana rasionalitas dipandang sebagai “jenderal” bagi penentu kebenaran. Budaya rasionalitas sebagai potret manusia modern nampaknya telah mulai digugat –termasuk dikalangan Barat—sebab ternyata ini adalah sumber bencana bagi munculnya individu-individu kanibalistik yang tidak menghormati sendi-sendi kemanusiaan demi sekedar memperebutkan kepentingan sesaat dan jangka pendek, lagi-lagi itungannya hanya sisi rasional-materialistik.

 

Ada persoalan persepsi yang kurang tepat, jika tidak mengatakan salah, dalam memaknai hidup. Jika memang persepsi hidup ini hanya untuk makan, bukan makan untuk hidup, maka adalah niscaya bila kemudian model orang seperti ini akan mengumbar syahwatnya dengan mencari kekayaan sebanyak mungkin agar syahwat perut terpenuhi. Padahal, mengutip al-Ghazali dalam bukunya Ihya’ Ulum al-Din, perut adalah sumber bencana dan syahwat. Jika syahwat perut tidak dikendalikan akan berdampak pada munculnya syahwat-syahwat lainnya bahkan akan mematikan pertumbuhan spiritualitas seseorang.

 

Manusia Luhur

 

Maka dengan itu, manusia tidak cukup hanya mengandalkan rasionalitas dengan kebanggaannya menggunakan standar ilmiah dalam menilai sesuatu, manusia perlu spiritualitas untuk dijadikan “panglima” yang mendasari setiap ranah perjalanan hidupnya. Spiritualitas dengan makna yang lebih membumi dimaksudkan bukan mereka yang hanya taat mengerjakan rutinitas peribadatan secara syar’i, tapi lebih dari itu menjadikan orientasi nilai hidup mengarah pada satu titik- bukan yang lain, yakni pada dzat yang mutlak tanpa dibatasi oleh relativitas ruang dan waktu.

 

Dengan cara itu cita-cita manusia luhur sedikit demi sedikit akan tercapai. Manusia yang luhur tidak terjebak pada formalitas semata, tapi lebih dari itu selalu tergugah untuk memahami secara utuh –dan mengamalkan—makna dibalik formalitas tersebut. misalnya, ajaran tentang sholat bukan saja persoalan ruku’ sujud dan lain-lain, tapi adalah proses ketertundukan manusia secara total di hadapan sang Pencipta. Kalau persoalan sholat hanya sebatas formalitas, anak kecil pun bila melakukannya.

 

Atas dasar pemahaman ini, maka demi dan atas nama kebenaran, seseorang tidak mudah ditundukkan, alih-alih disuap. Tindakan korupsi menggambarkan pelakunya ditundukkan oleh hawa nafsu, setidaknya ia ingin menegaskan eksistensi dirinya agar diakui orang lain. Dengan korupsi semakin banyak, pelakunya dengan mudah membeli fasilitas mewah dan merasa bangga di hadapan mereka yang tidak punya. Mereka tertawa, tapi rakyat selalu dijadikan tumpal sebab sebagaimana lazim dana-dana yang dikorupsi adalah dana untuk kemaslahatan rakyat kecil.

 

Manusia luhur dan kaya tidak diukur oleh penumpukan kekayaan yang melimpah melainkan sejauh mana kekayaan itu diperoleh dan digunakan sebagai sarana kemaslahatan manusia yang lain. Manusia yang luhur diukur dengan mantap sejauh mana pembumian spiritual diproses secara menyeluruh dalam kehidupan, setidaknya sebagai manifestasi dari pemahaman bahwa cinta kepada Tuhan tidak akan wujud sempurna, bila tidak mencintai yang lain.

 

Akhirnya, selain Allah adalah ciptaan-Nya sekaligus manifestasi dari diri-Nya. Karenanya, yang lain adalah bagian dari kita sehingga tidak boleh mudah menyalahkan dan juga tidak boleh merasa paling benar. Sesuatu yang dianggap jelek hakekatnya baik sebab tidak ada kebaikan tanpa ada bandingannya, yakni kejelekan. Maka manusia tanpa spiritual adalah mereka yang lupa diri, suka mengumbar syahwat dan cenderung merugikan orang banyak, sekalipun mereka aktif beribadah. (FM)

 

* Pengurus Pusat Ma’had al-Jami’ah UIN Sunan Ampel Surabaya, Aktif di PW Lembaga Dakwah NU Jatim


Dasar Teori Tentang Majnun

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Oleh: Emha Ainun Nadjib

 

Memang bukan Saridin namanya kalau tidak gila. Dan bukan gilanya Saridin kalau definisinya sama dengan definisi Anda tentang gila. Wong sama saya saja Saridin sering bertengkar soal mana yang gila dan mana yang tidak kok. Padahal saya juga agak gila. Apalagi sama Anda. Anda kan jelas-jelas waras.

 

Misalnya di jaman Demak bagian akhir-akhir itu saya menyatakan bersyukur bahwa dakwah para Wali semakin produktif. Sunan Ampel yang berfungsi sebagai semacam Ketua MPR, Sunan Kudus sebagai Menko Kesra, Sunan Bonang sebagai Pangab, atau Sunan Kalijaga sebagai Mendikbud, benar-benar menjalankan suatu manajemen sejarah dan strategi sosialisasi nilai dengan metoda-metoda yang canggih dan efektif.

 

Bukan hanya komunitas-komunitas Islam semakin menyebar dan meluas, tapi juga mutu kedalaman orang beribadah semakin menggembirakan. Tapi Saridin menertawakan saya. Dan bagi saya sangat menyakitkan karena tertawanya dilambari aji-aji kedigdayaan batin: begitu suara tertawanya lolos dari terowongan tenggorokan Saridin, pepohonan bergetar-getar, burung-burung beterbangan menjauh, awan-awan dan mega melarikan diri sehingga matahari gemetar tertinggal sendirian di langit.

 

“Jangan sok kamu Din!” saya berteriak.

 

Saridin menghentikan tertawanya. Ia menjawab. “Bersyukur ya bersyukur, tapi kalau saya, juga berprihatin.”

 

“Kenapa?” tanya saya.

 

“Diantara orang-orang yang beribadah kepada Tuhan itu banyak yang majnun!”

 

“Gila?”

 

“Ya, Majnun itu artinya ya gila, Majnun!”

 

“Majnun gimana?”

 

“Pengertian kita tentang junun atau kegilaan kayaknya berbeda. Bagi saya gitu itu gila, tapi bagi kamu tidak.”

 

“Gitu itu gimana yang kamu maksud?”

 

“Orang berdiri khusyuk dan bersedekap. Matanya konsentrasi ke kiblat. Mulutnya mengucapkan hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan….”, tiba-tiba tertawanya meledak lagi, sehingga tanah yang saya pijak terguncang, padahal tidak demikian. “Orang itu tidak hanya kepada Tuhan menyembah. Wong jelas tiap hari dia menyembah para priyayi, para priyagung, para Tumenggung atau Adipati. Minta tolongnya juga kebanyakan tidak kepada Tuhan. Ia lebih banyak tergantung pada atasannya dibanding kepada Tuhan. Meskipun dia tidak menyatakan, tapi terbukti jelas dalam perilaku dia bahwa yang nomor satu bagi hidupnya bukan Tuhan, melainkan penguasa-penguasa lokal dalam hidupnya. Entah penguasa politik, atau penguasa ekonomi. Itu namanya majnun. Tuhan kok dibohongi. Dan caranya membohongi Tuhan dengan kekhusyukan lagi! Kalau otaknya sehat, hal begitu tidak terjadi. Hanya otak gila saja yang memungkinkan hal itu terjadi….”

 

Saya melengos. “Ah, kamu ini terlalu idealis. Normal dong kalau manusia punya kelemahan yang demikian. Mana ada manusia yang sempurna. Orang kan boleh berproses. Orang berhak belajar secara bertahap. Pengabdiannya kepada Tuhan diolah dari belum utuh menjadi utuh pada akhirnya. Konsistensi seseorang atas kata-kata yang diucapkannya kan bertahap, tidak bisa langsung seratus persen!”

 

Kesal betul saya.

 

Tiba-tiba tertawanya meletus lagi, sehingga saya terjengkang lima depan kebelakang. “Lho, ini masalah simpel. Kalau bilang jagung ya jagung, kalau kedelai ya kedelai. Kalau ya itu ya ya. Kalau tidak itu ya tidak. Gampang saja kan? Kalau seorang Imam terlanjur mengungkapkan statemen kepada Tuhan ‘hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan’ — maka ia harus bertanggung jawab atas kata kami disitu. Artinya, pertama, ia terlanjur berjanji kepada Tuhan. Kedua, ia harus bertanggung jawab kolektif atas seluruh persoalan jamaahnya. Tidak hanya imam dan takwanya, tapi juga segala masalah kesehariannya, sampai soal nasi dan problem-problem sosialnya….”

 

Sekarang giliran saya yang tertawa. Saya mendatangi Saridin dan berbisik di telinganya: “Din, jangan terlalu serius dong. Dialognya yang santai saja!”

 

“Lho!”, Saridin terhenyak, “Justru karena ini untuk (buku) humor, maka saya pilihkan tema-tema lawakan. Gimana sih Ente ini. Yang saya omongkan ini kan orang-orang yang melawak kepada Tuhan. Orang-orang yang menyatakan sesuatu tapi tidak sungguh-sungguh. Orang-orang yang ndagel di hadapan Tuhan, karena mungkin dipikirnya Tuhan itu butuh dagelan dan disangkanya para Malaikat bisa tertawa!”

Saya jadi agak takut-takut. “Din, Saridin, kamu jangan begitu ah. Jangan omong yang enggak-enggak. Kalau sama Tuhan yang serius dong!”

 

“Justru saya sangat serius kepada Tuhan, sehingga saya ceritakan mengenai orang-orang yang melawak dihadapan-Nya!”

 

“Orang beribadah kok melawak!” saya membantah lagi.

 

“Lho, gimana sih,” ia menjawab, “Orang tiap hari bersembahyang dan mengajukan permintaan kepada Tuhan — ‘Ya Allah anugerahilah aku jalan yang lurus!’ Dan Tuhan sudah selalu menganugerahkan apa yang orang minta. Orang itu tidak pernah memakainya, tapi tiap hari ia memintanya lagi dan lagi kepada Tuhan. Kalau saya jadi Tuhan, pasti kesel dong….”

 

“Husysy!!!” saya membentak.

 

“Husysy bagaimana!”

 

“Emangnya kamu Tuhan?”

 

“Siapa bilang saya Tuhan? Majnun kamu!”

 

“Emangnya Tuhan bisa kesel?”

 

“Maha Suci Allah dari kekesalan. Tapi apakah karena Tuhan mustahil kesal maka menjadi alasan hamba-hamba-Nya untuk berbuat semaunya, untuk mendustai Dia, untuk berbuat gila?”

 

“Wong gitu saja kok gila tho Din!”

 

“Lho! Orang sudah disuguhi kopi, tidak diminum, lha kok minta kopi lagi, saya suguhi kopi lagi, lagi, lagi, lagi sampai meja penuh sesak oleh gelas-gelas kopi, tapi lantas tidak diminum lagi, tapi dia minta lagi dan minta lagi. Gila namanya kan?”

 

“Ah ya bukan gila. Itu paling-paling munafik namanya.”

 

“Ya gila dong. Majnun. Orang yang punya logika, tapi berlaku tidak logis, itu penyakit junun namanya. Orang yang tak menggunakan pengertian mengenai konteks, proporsi dan lokasi-lokasi persoalan, itu virus junun yang menyebabkannya. Orang bilang keadilan sosial, tapi kerjanya tiap hari menata ketimpangan, itu majnun. Orang bilang semua perjuangan ini untuk rakyat, padahal prakteknya tidak — itu namanya virus junun, lebih parah dari HIV….”

 

Akhirnya saya kesal. Saya tinggalkan si Majnun ini! []


Tafsir Al Qur'an Surat Al Mu'min Ayat 23-27


Tafsir Al Qur'an Surat Al Mu'min Ayat 23-27
Tafsir Al Qur'an Surat Al Mu'min Ayat 23-27

Al-Mu’min, ayat 23-27

{وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآيَاتِنَا وَسُلْطَانٍ مُبِينٍ (23) إِلَى فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَقَارُونَ فَقَالُوا سَاحِرٌ كَذَّابٌ (24) فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْحَقِّ مِنْ عِنْدِنَا قَالُوا اقْتُلُوا أَبْنَاءَ الَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ وَاسْتَحْيُوا نِسَاءَهُمْ وَمَا كَيْدُ الْكَافِرِينَ إِلا فِي ضَلالٍ (25) وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَى وَلْيَدْعُ رَبَّهُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَنْ يُظْهِرَ فِي الأرْضِ الْفَسَادَ (26) وَقَالَ مُوسَى إِنِّي عُذْتُ بِرَبِّي وَرَبِّكُمْ مِنْ كُلِّ مُتَكَبِّرٍ لَا يُؤْمِنُ بِيَوْمِ الْحِسَابِ (27) }

Dan sesungguhnya telah Kami utus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata, kepada Fir’aun, Haman, dan Qarun; maka mereka berkata, "(Ia) adalah seorang ahli sihir yang pendusta.” Maka tatkala Musa datang kepada mereka dengan membawa kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata, "Bunuhlah anak-anak orang-orang yang beriman bersama dengan dia dan biarkanlah hidup wanita-wanita mereka.” Dan tipu daya orang-orang kafir itu tak lain hanyalah sia-sia (belaka). Dan berkata Fir'aun (kepada pembesar-pembesarnya), "Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir ia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” Dan Musa berkata, "Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab."

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, menghibur hati Nabi-Nya Muhammad Shalallahu'alaihi Wasallam yang tengah menghadapi sebagian besar dari kaumnya yang mendustakannya, seraya menyampaikan berita gembira kepadanya bahwa kesudahan yang baik dan kemenangan akan diperolehnya di dunia dan di akhirat. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Musa 'alaihissalam Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutusnya dengan membawa ayat-ayat yang terang dan dalil-dalil yang jelas. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

{بِآيَاتِنَا وَسُلْطَانٍ مُبِينٍ}

dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata. (Al-Mu’min: 23)

Yang dimaksud dengan sulthan ialah hujah dan bukti.

{إِلَى فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَقَارُونَ}

kepada Fir’aun, Haman, dan Qarun. (Al-Mu’min: 24)

Fir'aun adalah raja bangsa Egypt di negeri Mesir, Haman adalah patihnya, sedangkan Qarun adalah orang yang terkaya di zamannya.

{فَقَالُوا سَاحِرٌ كَذَّابٌ}

maka mereka berkata, "(Ia) adalah seorang ahli sihir yang pendusta.” (Al-Mu’min: 24)

Yakni mereka mendustakan Musa dan menuduhnya sebagai seorang penyihir, gila, kesurupan, lagi pendusta dalam pengakuannya yang mendakwakan dirinya sebagai utusan Allah. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{كَذَلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ أَتَوَاصَوْا بِهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ}

Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, "Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila.”Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas. (Az-Dzariyat: 52-53)

**********

Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْحَقِّ مِنْ عِنْدِنَا}

Maka tatkala Musa datang kepada mereka membawa kebenaran dari sisi Kami. (Al-Mu’min: 25)

Yaitu dengan membawa bukti yang akurat yang menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutusnya kepada mereka.

{قَالُوا اقْتُلُوا أَبْنَاءَ الَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ وَاسْتَحْيُوا نِسَاءَهُمْ}

mereka berkata, "Bunuhlah anak-anak orang-orang yang beriman bersama dengan dia dan biarkanlah hidup wanita-wanita mereka.” (Al-Mu’min: 25)

Ini merupakan perintah Fir'aun yang kedua yang menginstruksikan untuk membunuh anak-anak lelaki kaum Bani Israil. Perintah yang pertama bertujuan untuk pencegahan agar Musa tidak dilahirkan, atau untuk menghina kaum Bani Israil dan memperkecil bilangan mereka, atau karena kedua tujuan tersebut. Adapun perintah yang kedua karena alasan yang lain, juga untuk menghinakan bangsa Bani Israil agar mereka merasa sial dengan keberadaan Musa. Karena itulah mereka mengatakan, seperti yang disitir oleh firman-Nya:

{أُوذِينَا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَأْتِيَنَا وَمِنْ بَعْدِ مَا جِئْتَنَا قَالَ عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الأرْضِ فَيَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ}

Kami telah ditindas (oleh Fir'aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab, Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi-(Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.” (Al-A'raf: 129)

Qatadah mengatakan bahwa ini merupakan perintah sesudah perintah.

Dalam firman selanjutnya disebutkan:

{وَمَا كَيْدُ الْكَافِرِينَ إِلا فِي ضَلالٍ}

Dan tipu daya orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah sia-sia (belaka). (Al-Mu’min: 25)

Yakni tiada lain tipu daya dan tujuan mereka untuk mengurangi bilangan kaum Bani Israil agar kaum Bani Israil tidak mempunyai kekuatan melawan mereka, melainkan sia-sia dan tidak membawa hasil apa pun.

{وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَى وَلْيَدْعُ رَبَّهُ}

Dan berkata Fir'aun (kepada pembesar-pembesarnya), "Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya." (Al-Mu’min: 26)

Ini tekad Fir'aun la'natullah untuk membunuh Musa 'alaihissalam Yakni Fir'aun berkata kepada kaumnya, "Biarkan aku membunuh Musa demi kalian."

{وَلْيَدْعُ رَبَّهُ}

dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya. (Al-Mu’min: 26)

agar diselamatkan dariku, aku tidak peduli dengan-Nya. Ini merupakan ungkapan yang menunjukkan sangarnya keingkaran Fir'aun dan kekerasan hatinya serta kekurangajarannya terhadap Tuhan. Perkataan Fir'aun la’natullah yang disitir oleh firman-Nya:

{إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَنْ يُظْهِرَ فِي الأرْضِ الْفَسَادَ}

karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi. (Al-Mu’min: 26)

Yang dimaksud oleh Fir'aun adalah Musa. Fir'aun merasa khawatir bila Musa mengubah pendirian manusia dan mengganti tradisi dan adat istiadat mereka yang selama itu telah dibina oleh dia. Dalam sikapnya ini Fir'aun berpura-pura sebagai seorang yang mengharapkan kebaikan bagi manusia. Dia memperingatkan manusia dari Musa 'alaihissalam, padahal kenyataannya dia adalah 'maling teriak maling.'

Pada umumnya ulama membaca ayat ini dengan bacaan berikut:

"أَنْ يُبَدِّلَ دِينَكُمْ وَأَنْ يُظهِر فِي الْأَرْضِ الْفَسَادَ"

dia akan menukar agamamu dan menimbulkan kerusakan di muka bumi. (Al-Mu’min: 26)

dengan memakai huruf wawu. Sedangkan ulama lainnya membacanya seperti berikut:

{أَوْ أَنْ يُظْهِرَ فِي الأرْضِ الْفَسَادَ}

dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi. (Al-Mu’min: 26)

dengan memakai au. Sebagian ulama membacanya dengan men-dammah-kan lafaz al-fas'ad menjadi al-fas'adu, yang artinya menjadi "atau timbul kerusakan di muka bumi."

{إِنِّي عُذْتُ بِرَبِّي وَرَبِّكُمْ مِنْ كُلِّ مُتَكَبِّرٍ لَا يُؤْمِنُ بِيَوْمِ الْحِسَابِ}

Dan Musa berkata, "Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab.” (Al-Mu’min: 27)

Yakni setelah perkataan (ancaman) Fir'aun berikut terdengar oleh Musa 'alaihissalam, yaitu: Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya (Al-Mu’min: 26) Maka Musa 'alaihissalam memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, "Aku berlindung kepada Allah dan meminta pertolongan kepada-Nya dari kejahatan Fir'aun dan orang-orang yang semisal dengannya." Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu. (Al-Mu’min: 27) hai orang-orang yang diajak bicara. dari setiap orang yang menyombongkan diri. (Al-Mu’min: 27) Yakni sombong tidak mau mengikuti perkara hak lagi jahat. yang tidak beriman kepada hari berhisab. (Al-Mu’min: 27)

Karena itulah disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam apabila merasa takut terhadap kejahatan suatu kaum mengucapkan doa berikut:

"اللَّهُمَّ، إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ شُرُورِهِمْ، وَنَدْرَأُ بِكَ فِي نُحُورِهِمْ"

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari kejahatan mereka dan menjadikan Engkau berada pada leher mereka. (Androidkit/FM)