Sabtu, 02 Februari 2019

Hukum Membaca al-Quran Dengan Langgam Batak atau Jawa



 

Pertanyaan:

 

Assalamu'alaikum wr. Wb. Redaksi Bahtsul Masail yang kami hormati, baru-baru ini kita mengikuti polemic mengenai boleh-tidaknya membaca al-Quran dengan langgam selain langgam Arab, misalnya dengan langgam Batak atau Jawa. Yang ingin saya tanyakan bolehkan membaca al-Quran dengan langgam Batak atau Jawa? Atas penjelasannya kami ucapkan terimakasih. Wassalamu'alaikum wr. wb

 

Munawwir/Sragen

 

Jawaban:

 

Assalamu'alaikum wr. Wb. Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Membaca al-Quran merupakan ibadah yang sangat besar pahalanya, bahkan disunnahkan juga mengindahkan bacaannya. Sampai disini sebenarnya tidak ada persoalan. Persoalan kemudian timbul ketika membaca al-Quran dengan langgam non-Arab. Misalnya langgam Jawa atau Batak.

 

Untuk menjawab pertanyaan ini maka kami akan menghadirkan pandangan para ulama tentang pembacaan al-Quran dengan pelbagai langgam. Asy-Syasyi dalam kitab al-Hilah mendokumentasikan tentang perbedaan para ulama dalam menyikapi pembacaan al-Quran dengan pelbagai langgam. Menurutnya ada dua kalangan ulama, ada yang membolehkan dan ada yang tidak.

 

وَقَالَ الشَّاشِيُّ فِي الْحِيلَةِ فَأَمَّا الْقِرَاءَةُ بِالْأَلْحَانِ فَأَبَاحَهَا قَوْمٌ وَحَظَرَهَا آخَرُونَ

 

"Asy-Syasyi dalam kitab al-Hilah, adapun membaca (al-Qur`an) dengan pelbagai langgam maka sebagian kalangan membolehkan sedang kalangan yang lain melarangnya. (Lihat ar-Ramli, Hasyiyah ar-Ramli, juz, 4, h. 344)

 

Sedangkan imam Syafii cenderung untuk memerinci. Menurutnya membaca al-Quran dengan pelbagai langgam adalah boleh sepanjang tidak merubah huruf dari nazhamnya. Namun apabila sampai menambahi hurufnya maka tidak diperbolehkan.  

 

وَاخْتَارَ الشَّافِعِيُّ التَّفْصِيلَ وَإِنَّهَا إنْ كَانَتْ بِأَلْحَانٍ لَا تُغَيِّرُ الْحُرُوفَ عَنْ نَظْمِهَا جَازَ وَإِنْ غَيَّرَتْ الْحُرُوفَ إلَى الزِّيَادَةِ فِيهَا لَمْ تَجُزْ

 

"Asy-Syasyi dalam kitab al-Hilah, adapun membaca (al-Qur`an) dengan pelbagai langgam maka sebagian kalangan membolehkan sedang kalangan yang lain melarangnya. Imam Syafi'i memilih untuk merincinya, jika membacanya dengan pelbagai langgam yang tidak sampai merubah huruf dari nazhamnya maka boleh, tetapi apabila merubah hurufnya sampai memberikan tambahan maka tidak boleh" (Hasyiyah ar-Ramli, juz, 4, h. 344)

 

Pandangan imam Syafii sebenarnya ingin menegaskan bahwa boleh saja al-Quran dibaca dengan pelbagai langgam asalkan tidak merusak tajwid, mengubah orisinalitas huruf maupun maknanya. Pandangan imam Syafii tersebut kemudian diamini juga oleh ad-Darimi dengan mengatakan bahwa membaca al-Quran dengan pelbagai langgam adalah sunnah sepanjang tidak menggeser huruf dari harakatnya atau menghilangkannya. Sebab, menggeser atau menghilangkan huruf dari harakatnya adalah haram.  

 

وَقَالَ الدَّارِمِيُّ الْقِرَاءَةُ بِالْأَلْحَانِ مُسْتَحَبَّةٌ مَا لَمْ يُزِلْ حَرْفًا عَنْ حَرَكَتِهِ أَوْ يُسْقِطُ فَإِنَّ ذَلِكَ مُحَرَّمٌ

 

Ad-Darimi berkata, membaca dengan pelbagai langgam itu disunnahkan sepanjang tidak menggeser huruf dari harakatnya atau menghilangkannya karena hal itu diharamkan". (Hasyiyah ar-Ramli, juz, 4, h. 344)

 

Dengan mengaju pada penjelesan singkat ini, maka jawaban kami atas pertanyaan di atas adalah boleh membaca al-Quran dengan langgam Batak atau Jawa sepanjang tidak menabrak sisi tajwid, makharij huruf, dan terpeliharanya orisinalitas makna al-Quran itu sendiri. 

 

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Sikapilah perbedaan pandangan dengan bijak. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari pada para pembaca.

 

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu'alaikum wr. Wb

 

Mahbub Ma'afi Ramdlan

Tim Bahtsul Masail NU








Shalat antara Kewajiban dan Kebutuhan


Oleh: M. Quraish Shihab

 

Banyak yang menduga bahwa shalat baru disyariatkan Allah pada saat peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi Muhammad saw. Dugaan ini keliru karena bertebaran ayat-ayat al-Qur'an yang turun sebelum peristiwa itu yang berbicara tentang shalat. Memang seperti sabda Nabi saw. kepada seseorang yang ingin memeluk Islam tapi ingin dibebaskan dari shalat: "Tidak ada baiknya suatu agama tanpa shalat." Karena itu pula, shalat dikenal dalam semua agama kendati waktu, cara, dan bilangannya dapat berbeda-beda. Shalat lima kali sehari semalam itulah yang diwajibkan ketika peristiwa Mi'raj. Sebelum peristiwa itu, Nabi bersama sahabat–sahabat beliau pun telah shalat menghadap Ilahi, minimal dua kali dalam sehari semalam. Pagi dan petang.

 

Menghadapkan jiwa raga kepada Tuhan merupakan kewajiban keagamaan karena agama—sebagaimana diakui dan diyakini oleh setiap penganutnya—menetapkan bahwa Tuhan adalah Penguasa dan Pengatur alam raya. Dia yang menguasai hidup dan kehidupan manusia, Dia Mahamutlak, Mahakuasa, dan Mahasempurna dalam segala sifat keutamaan yang wajar disandang-Nya. Keyakinan akan ketuhanan seperti itu menuntut pembuktian konkret dan amaliah, bukan hanya dalam benak. Nah, shalat adalah salah satu pengejewantahan dari keyakinan tersebut.

 

Manusia, lebih-lebih para ilmuwan, membutuhkan kepastian tentang tata kerja alam ini demi pengembangan ilmu dan penerapannya. Kepastian ini tidak dapat diperoleh, kecuali dengan keyakinan adanya Pengendali dan Penguasa Tunggal Yang Maha Esa. Dengan demikian, shalat menggambarkan pemahaman seseorang menyangkut tata kerja alam raya ini, yang memberikan ketenangan dan kemantapan kepada manusia, khususnya para ilmuwan, dan karena itu, "Shalat kepada Yang Maha Esa merupakan pertanda kemajuan pemikiran manusia dalam memahami tata kerja alam raya ini." 

 

Di sisi lain, manusia adalah makhluk yang memiliki naluri cemas dan harap. Ia selalu membutuhkan sandaran, lebih-lebih pada saat-saat cemas. Kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa bersandar kepada makhluk, betapapun kekuatan dan kekuasaannya, sering kali tidak membuahkan hasil. Yang Mahakuasa mewujudkan segala harapan hanyalah Tuhan semata. Di sini sekali lagi terlihat kebutuhan manusia kepada shalat yang kali ini adalah kebutuhan kalbu, jiwa, dan perasaannya.

 

Disebutkan dalam riwayat bahwa tadinya Allah mewajibkan shalat lima puluh kali dalam sehari semalam, tapi Rasul saw. berbolak-balik memohon keringanan sehingga pada akhirnya tinggal lima kali. Ini antara lain bertujuan agar tidak ada lagi dalih bagi siapa pun yang masih menilainya sebagai kewajiban untuk menganggapnya berat. Bukankah jika seseorang ditugasi suatu kewajiban lalu dikurangi dan dikurangi sehingga yang diwajibkan hanya sepersepuluh dari kewajiban semula, ia seharusnya tidak lagi meminta untuk dikurangi, lebih-lebih mengabaikan kewajiban itu?

 

Hanya lima kali sehari Allah mewajibkan kita menghadap kepada-Nya. Malu rasanya kita, yang telah mendapat anugerah-Nya yang tidak terbilang, mengabaikan kewajiban itu, apalagi shalat bukan untuk kepentingan-Nya, tapi kepentingan dan kebutuhan kita. Malu pula rasanya apabila hanya pada saat-saat kepepet/ terdesak,  pada saat cemas dan mengharap baru kita berkunjung ke hadirat-Nya, dan tentu menjengkelkan siapa pun apabila yang datang menghadap, mengabaikan tatakrama dan peraturan protokoler dengan berkata, "Yang penting saya menghormati dengan hati tanpa harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan." Karena itu, jangan mempersalahkan Tuhan apabila Dia tidak menghiraukan yang datang tanpa menampakkan kebutuhan kepada-Nya atau tidak memuja dan memujinya sepenuh hati. Juga tentu Maha-adil Allah ketika Dia tidak ingin mengenal dengan rahmat dan kasih sayang-Nya orang-orang yang tidak pernah mengenal-Nya, yakni mereka yang enggan memenuhi panggilan-Nya walau hanya lima kali sehari dan dalam beberapa menit saja. Demikian, wa Allâh A'lam. [FM]







Negeri Heboh ”Online”

Oleh: Said Aqil Siroj

 

Negeri kita tampaknya terus dilanda wabah heboh. Dari heboh soal politik, hukum, ekonomi, hingga radikalisme dan prostitusi. Semua pertunjukan itu tak lagi heboh dalam ranah 'manual', tetapi makin menghebohkan di wilayah online.

 

Sesuatu yang bersosok online, kini terasa lebih menghebohkan benak masyarakat. Tak heran, bermunculan semisal'radikalisme online'atau 'prostitusi online'. Apalagi pada kasus 'prostitusi online' yang melibatkan artis, gaungnya lebih menggelegar. Apa pun yang dilakukan artis, akan menjadi trending topic yang hangat-hangat sedap.

 

Bermula dari kasus terbunuhnya Tata Chubby, seorang pekerja seks komersial (PSK) di Jakarta, tiba-tiba semua tersentak. Lalu secara masif terjadilah penertiban terhadap rumah kos-kosan dan apartemen. Belum usai hiruk pikuk itu, kita lagi-lagi digegerkan oleh prostitusi short time kaliber artis bertarif Rp 80 juta hingga Rp 200 juta yang dijajakan secara online alias daring (dalam jaringan). Bagi kalangan umum, tarif sebesar itu sangat fantastis, terlebih di tengah situasi ekonomi kita yang sedang malaise.

 

Maka, 'pengawasan moral' pun digiatkan kembali. Seolah siuman dari tidur panjang soal moral, kini kita saksikan gerakan menumpas amoralitas. Bahkan, ada permintaan agar Presiden menaruh perhatian khusus soal maraknya prostitusi. Tuntutan juga dibidikkan untuk mengusut para pemakai jasa prostitusi elite yang, konon, melibatkan kalangan papan atas.

 

Produk Industrialisasi

 

Inikah wajah negeri kita saat ini? Di satu fakta, negeri kita sedang dilanda heboh wabah radikalisme yang mengkhawatirkan. Di sisi lain, wabah heboh prostitusi online semakin menggemaskan. Cukupkah pemblokiran situs porno ataupun situs radikal? Ternyata masih banyak 'jalan tikus' lewat perkakas teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk melampiaskan tujuan.

 

Mengapa pelacuran terus bertumbuh, tak ada matinya? Banyak pendapat bahwa prositusi seusia munculnya manusia. Sejak masa penguasa purba telah berupaya menghardik pelacuran baik dengan hard power melalui sanksi hukum ataupun soft power melalui sanksi sosial. Kendati ada efek yang membuat setidaknya pelacuran tunggang langgang, tetapi pelacuran terus mengendap-endap, mengular, dan membesar.

 

Di Yunani pada awal abad ke-6 SM merupakan periode ketika prostitusi tidak dapat dikontrol keberadaannya, terutama ketika Solon (639-559 SM) mendirikan lokalisasi pertama kalinya di Athena. Namun, tujuan pembangunan lokalisasi berbeda dengan sekarang, karena masa itu bertujuan menolong membebaskan anak remaja (laki-laki) yang telah mencapai usia reproduksi dan menjaga agar mereka tidak melakukan perselingkuhan dengan perempuan terhormat (Nikolaos A Vrissimtzis, 2006;86).

 

Perkembangan zaman makin menumbuhkembangkan pelacuran sehingga berbagai modus pelacuran pun kian beragam. Di saat modernisasi menguat, pelacuran justru membiak. Apa lacur, pelacuran lalu jadi industri yang menggiurkan untuk menangguk uang. Di negeri-negeri Barat, pelacuran bahkan telah mendapatkan legalitas, semisal di Belanda.

 

Di negeri kita, tentu saja tidak bisa disamakan dengan negeri Barat yang permisif, fakta pelacuran menunjukkan dinamikanya. Sebagai penanda, ketika industrialisasi dipancangkan, dengan menyulap kota sebagai pusat ekonomi sehingga menjadi tumpuan perburuan nafkah, tak kecil akibat yang ditimbulkan. Lahan desa yang makin hari makin sempit, menyempitkan mata pencarian, lalu urbanisasi terjadi besar-besaran. Hingga kini, pembangunan yang masih menempatkan kota sebagai pusat segalanya, urbanisasi tak pernah surut.

 

Ada fakta yang mempertontonkan betapa gadis-gadis desa yang tadinya lugu nan polos datang ke kota-kota besar dengan menggenggam mimpi indah menggapai sejahtera ekonomi, sering kali dilaluinya dengan memasuki industri pelacuran. Runyamnya lagi, bermunculan pialang-pialang yang menjanjikan mimpi indah. Tak aneh, sampai hari ini cerita tentang perdagangan manusia masih terus memanas.

 

Gaya hidup dan kesenjangan

 

Kita hidup dalam jagat informasi yang berdampak besar dalam komunikasi antarorang. Masyarakat mudah menampilkan diri secara daring di internet, berkomunikasi, berinteraksi, saling kirim pesan, dan saling berbagi serta membangun jaringan tanpa batas. Internet memiliki peranan yang sangat signifikan demi meningkatkan marketing dan propaganda apa pun, termasuk memanjakan pelacuran. Doktrin "saat ini, jika Anda tidak eksis di internet, Anda tidak eksis", telah menjadi 'gizi' baru yang 'mencerdaskan' bagi siapa pun.

 

Selama ini kita terfokus pada ancaman radikalisme. Tentu beralasan karena radikalisme di negeri kini tengah mengalami peak season. Globalisasi—tulis Gary R Bunt—turut membidani lahirnya terorisme (2005:21). Pun globalisasi turut membidani 'panen raya' pelacuran.

 

Oleh karena itu, mestinya kita juga harus waspada sekaligus bertindak terhadap ancaman prostitusi yang telah menjerat banyak lapisan masyarakat, baik di lapis bawah maupun di lapis mapan, terutama di kalangan anak-anak muda. Ancaman maraknya prostitusi ini akan merusak mentalitas bangsa, terutama mental suka menerabas.

 

Pandangan bahwa pelacuran terjadi melulu akibat impitan ekonomi sudah tidak sepenuhnya tepat. Pelacuran terus bermetamorfosa dan kian canggih. Para pelakunya sudah 'naik pangkat' dengan sokongan peranti teknologi.

 

Artinya, pelacuran telah menjasad dalam syahwat hedonisme dan gaya hidup di masyarakat. Tuntutan gaya hidup yang tinggi seperti di kalangan selebritas akan mudah menjerat hasrat meraup uang dengan jalan mudah. Bandingkan, seorang PSK cukup satu atau dua jam bisa menangguk uang yang hasilnya bisa jauh melebihi sebulan gaji anggota staf kantoran atau malahan buruh pabrik. Inilah yang kian memicu kesenjangan di masyarakat. Wajah sadis kapitalisme ini perlu diredam dengan ketegasan hukum.

 

Dalam masyarakat yang permisif—menyitir Nikolaos A Vrissimtzis—kehadiran prostitusi makin tak terlelakkan. Negeri kita jelas bukan penganut permisivisme. Di negeri ini banyak terpendam khazanah spiritual, moral, dan keagamaan yang bisa menjadi modalitas membangun peradaban keindonesiaan. Ini bukan sekadar jargon, melainkan perlu diwujudkan dalam kebijakan negara.

 

Nah, saatnya memperkuat peran pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya dalam membendung pelacuran. Kita tahu, Pemerintah Indonesia saat ini sedang berjuang keras mewujudkan 'revolusi mental'. Berseiring dengan usaha memberantas korupsi yang sudah digolongkan sebagai kejahatan luar, seperti halnya narkoba dan terorisme,perilaku amoral tentu akan membuat degradasi mentalitas anak bangsa. Ia juga akan membahayakan peradaban adiluhung bangsa, serta mempertajam kesenjangan ekonomi. Oleh karena itu, semestinya tidak perlu lagi menunggu laporan keberatan dari pihak lain untuk ditindak. []

 

Sumber : KOMPAS, 23 Mei 2015

Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU


Hukum Bermakmum pada Imam yang Jamak-Qashar

Ilustrasi Sholat Berjamaah 


Pertanyaan:



Assalamu'alaikum, nderek tanglet yai, bagaimana hukumnya berma'mum kepada orang yang sedang meakukan shalat jamak qashar, entah itu makmum mengetahui ataupun tidak kalau itu si imam sedang shalat jamak qashar, mohon penjelasan yang lebih terperinci, matur nuwun.



Ibadul Ghofur, Kendal



Jawaban :



وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته



Bapak Ibadul Ghofur yang dirahmati Allah SWT, hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Ada banyak ketentuan dalam melaksanakan shalat berjamaah, di antaranya Imam harus fashih bacaan Al-Qurannya, gerak makmum tidak mendahului gerak imam, posisi makmum tidak boleh lebih maju dari pada tempat imam. Kemudian, khusus untuk makmum niat untuk menjadi makmum/berjamaah diwajibkan sementara imam tidak wajib niat menjadi imam. Syekh Taqiyuddin Asy-Syafii menyebutkan dalam kitab Kifayatul Akhyar hal. 129 juz 1 ;



وَصَلَاة الْجَمَاعَة مُؤَكدَة وعَلى الْمَأْمُوم أَن يَنْوِي الْجَمَاعَة دون الإِمَام 



Artinya : Shalat Jamaah hukumnya sunnah muakkadah. Makmum wajib berniat jamaah sementara imam tidak wajib.



Dari penjelasan Syekh Taqiyuddin ini dimungkinkan adanya perbedaan shalat antara imam dan makmum. Orang yang shalat munfarid/sendirian yang sebenarnya melaksanakan shalat sunnah bisa menjadi imam dari orang yang datang kemudian menjadi makmum untuk melaksanakan shalat fardhu.



Jadi, orang yang awalnya tidak berniat berjamaah dengan sendirinya menjadi imam. Hal ini diperbolehkan walaupun shalatnya berbeda. Masalahnya kemudian, bagaimana jika dari awal shalat imam dan makmum berbeda? Dalam hal ini Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab hal. 269 juz 4 mengemukakan ;



وَيَجُوزُ أَنْ يَأْتَمَّ الْمُفْتَرِضُ بِالْمُتَنَفِّلِ وَالْمُفْتَرِضُ بِمُفْتَرِضٍ فِي صَلَاةٍ أُخْرَى لِمَا رَوَى جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ " كَانَ يُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عشاء الْآخِرَةَ ثُمَّ يَأْتِي قَوْمَهُ فِي بَنِي سَلِمَةَ فَيُصَلِّيَ بِهِمْ هِيَ لَهُ تَطَوُّعٌ وَلَهُمْ فَرِيضَةُ الْعِشَاءِ وَلِأَنَّ الِاقْتِدَاءَ يَقَعُ فِي الْأَفْعَالِ الظَّاهِرَةِ وَذَلِكَ يَكُونُ مَعَ اخْتِلَافِ النِّيَّةِ



Artinya : orang yang melaksanakan shalat fardhu boleh bermakmum pada orang yang shalat sunnah, begitu juga orang yang shalat fardhu bermakmum dengan orang yang shalat fardhu yang lain. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir ibn Abdullah r.a. diceritakan bahwa ˝Mu'adz r.a. shalat Isya' bersama Rasulullah SAW kemudian beliau datang pada kaumnya di bani Salimah dan shalat bersama mereka˝ . Shalat kedua yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tersebut adalah sunnah bagi beliau dan fardhu bagi kaumnya. Hal ini diperbolehkan karena bermakmum adalah mengikuti gerakan dhahirnya saja dan itu tentunya berbeda niat.



Kemudian, lebih lanjut imam An-Nawawi menyebutkan dalam kitab yang sama bahwa perbedaan shalat antara orang yang muqim dan musafir tidak menyebabkan shalat jamaah itu rusak ;



إذا صلى مسافر بمسافرين ومقيمين جاز ويقصر الامام والمسافرين ويتم المقيمون ويسن للإمام أن يقول عقب سلامه أتموا فإنا قوم سفر



Artinya : jika seorang musafir shalat berjamaah dengan musafir lain dan orang yang muqim(orang yang bukan musafir) maka hukumnya boleh. Kemudian, Imam meng-qashar shalat bersama musafir yang lain sedangkan orang yang muqim menyempurnakan shalatnya. Setelah selesai shalat disunnahkan bagi imam mengucapkan sempurnakan shalat anda karena kami adalah musafir.



Bapak Ibadul Ghafur yang kami hormati, dari beberapa referensi di atas bisa dipahami bahwa, sengaja atau tidak, orang Muqim bermakmum pada orang yang shalat Jamak Qashar hukumnya boleh. Demikian penjelasan kami, mudah-mudahan jawaban ini bermanfaat bagi kita semua. Aaaamiiin….



والله الموفق إلى أقوم الطريق

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته



Ihya' Ulumuddin

Tim Bahtsul Masail NU

Pesantren dalam Sejarah Kebangkitan Nasional

A Halim Iskandar
Oleh : A Halim Iskandar


Kolonialisasi lama hanya merampas tanah. Sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan (Vandana Shiva).


Peringatan momen Kebangkitan Nasional harus selalu dimaknai dalam kerangka kontekstual, bukan tekstual. Jika hanya merujuk pada aspek tekstualitas, niscaya peringatan kebangkitan nasional tidak akan memberi makna berarti. Penyebabnya, banyak studi sejarah terbaru mulai mengkritisi penetapan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional.


Sebagaimana dikatakan Parakitri TS (2006), beberapa sejarawan menilai tanggal 20 Mei sebagai tonggak awal mula gerakan kebangkitan nasionalisme pribumi berkat kelahiran organisasi Boedi Oetomo (BO) mengandung banyak kelemahan sejarah.


Di antaranya organisasi BO saat itu sesungguhnya tidak mencerminkan aspirasi untuk memperjuangkan kemerdekaan Hindia-Belanda menjadi bangsa yang berdaulat, namun sekadar wadah berorganisasi bagi para priyayi dan bangsawan Jawa dengan memperjuangkan isu yang cenderung "Jawa sentris".


Karena itu, banyak sejarawan menawarkan alternatif tafsir dengan menyebut momen kebangkitan nasional bermula dari kelahiran Sarekat Dagang Islamijah (SDI) di Batavia (1909) dan Sarekat Dagang Islam di Bogor (1912), serta Sarekat Islam (SI) di Surakarta (1911). Perjuangan SDI (kemudian bertransformasi menjadi SI di era Tjokroaminoto) yang semula didirikan untuk menyaingi usaha dagang Tionghoa, berubah menjadi gerakan nasionalisme sejati setelah menemukan musuh bersama yaitu Belanda.


Sejak itu SI merupakan gerakan yang menampung semua kelas sosial dalam perjuangan nasional yaitu kaum mustadzafin (pedagang, buruh, atau petani) dan golongan elite (guru, intelektual, wartawan, bangsawan, atau pejabat lokal). Bahkan tafsir sejarah lebih radikal disampaikan Agus Sunyoto dalam tulisannya, " Diponegoro Pelopor Kebangkitan Nasional Pertama " (2013) di situs pesantrenglobal. com.


Melalui perang Jawa, Pangeran Diponegoro mampu membuat Belanda kelimpungan, nyaris bangkrut dan hampir terbirit-birit meninggalkan Nusantara. Sekalipun namanya sangat lokal (Perang Jawa), sesungguhnya pertempuran itu berdimensi nasional. Pangeran Diponegoro berhasil menyatukan elemen-elemen kekuatan di Nusantara untuk berkumpul di Jawa dan menggempur Belanda.


Karena itu, Agus Sunyoto mengusulkan Hari Kebangkitan Nasional diperingati tiap 19 Juli, merujuk pada permulaan perang Jawa, 19 Juli 1825. Namun, mengingat 20 Mei sudah telanjur jadi konsensus nasional untuk diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, kita harus memaknainya secara substantif yakni refleksi tentang keberanian para anak bangsa waktu itu untuk memerdekakan bangsanya dari cengkeraman penjajah sehingga tetap berdaulat.


Secara substantif juga kita harus mengakui fakta bahwa peran pesantren begitu besar dalam mendukung setiap fase kebangkitan nasional. Seperti peran Pangeran Diponegoro yang sempat "direduksi" dari sejarah, peran pesantren dalam pergerakan nasional juga sering "dikebiri" dari panggung sejarah Indonesia.


Peran Pesantren


Momentum Kebangkitan Nasional selalu memiliki isu dan konteks yang spesifik di setiap zamannya. Dalam setiap babakan sejarah itu pula, pesantren (kiai dan para santrinya) memiliki peran yang signifikan untuk mempertahankan kedaulatan tumpah darah Indonesia. Catatan sejarah membuktikan.


Pada 1512, ketika embrio NKRI masih bernama Kerajaan Demak, Pati Unus yang merupakan santri didikan Wali Songo dengan gagah berani memimpin 10.000 pasukan dalam 100 kapal untuk menyerbu Portugis di Malaka. Tujuannya sederhana, Portugis tidak lebih jauh masuk ke Nusantara dan mengancam kedaulatan.


Kemudian, pada 1852, Pangeran Diponegoro yang merupakan santri dan ahli tarekat dari padepokan Tegalrejo, Yogyakarta mengobarkan Perang Jawa (Java Oorlog ) hingga membuat Belanda mengalami kerugian 20 juta gulden dan nyaris bangkrut.


Kemudian ketika hasil politik etis menjadikan para elite pribumi memimpikan berdirinya negara Indonesia, para ulama dan kiai NU pada Muktamar NU pada 1925 di Banjarmasin telah membulatkan tekad untuk memperjuangkan lahirnya Republik Indonesia sebagai Darussalam (negara kesejahteraan), bukan Darul Islam (negara Islam).


Sebuah gagasan progresif ketika belum banyak orang berpikir tentang konsep dasar negara Indonesia. Kemudian pada era revolusi kemerdekaan, Hadratus Syekh KH Hasyim Asyari mengeluarkan fatwa progresif tentang resolusi jihad pada 22 Oktober 1945. Suatu seruan yang membangkitkan spirit para santri di Jawa Timur untuk mengusir penjajah pada perang 10 November 1945. Tidak berhenti sampai di situ.


Ketika era perang senjata (perang konvensional) sudah berakhir dan berganti rupa menjadi perang dingin (nonkonvensional), Kiai Ahmad Shiddiq Jember melakukan ijtihad intelektual yang brilian sehingga menghasilkan rumusan pemikiran yang menjadikan prinsip-prinsip tauhid dan aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah kompatibel dengan Pancasila.


Sebuah landasan epistemologis yang membuat NU secara sukarela menjadikan Pancasila sebagai asas NU jauh sebelum Soeharto secara represif memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal di Indonesia. Tujuan Kiai Ahmad Shiddiq cukup sederhana yakni bagaimana agar NKRI tetap utuh dan berdaulat.


Tantangan Pesantren


Deskripsi historis di atas menjadi bukti bahwa para wali, kiai, dan santri-santrinya sudah berkomitmen sejak dahulu untuk mempertahankan Tanah Air warisan Majapahit, Demak, Pajang, Mataram Islam, hingga bertransformasi menjadi NKRI ini tetap merdeka, berdikari, dan memiliki kedaulatan.


Lantas, pada era pascamodern seperti sekarang ini, tantangan kaum pesantren adalah menghadapi bentuk kolonialisme yang sama sekali berbeda dengan para pendahulunya. Sebagaimana dikatakan Vandana Shiva di atas, wujud kolonialisasi sudah bertransformasi lebih rumit dan kompleks.


Karena itu, kaum pesantren modern juga harus terus mengembangkan diri untuk meneruskan estafet perjuangan para sesepuh dalam menjaga kedaulatan Indonesia. [FM]



Sumber : Koran SINDO, 23 Mei 2015

A Halim Iskandar, Ketua DPRD Jawa Timur, Ketua DPW PKB Jawa Timur

Komunitas Keadaban

Azyumardi Azra
Oleh: Azyumardi Azra


Kemerosotan keadaban publik (public civility) dalam masyarakat Indonesia masa pasca-Orde Baru merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi bangsa ini. Di mana-mana orang bisa menyaksikan pelanggaran keadaban publik, mulai dari pengendara yang tidak peduli dengan ketentuan lalu lintas, membuang sampah di jalan tol, buang air kecil di pinggir jalan, tidak mau tertib antrean sampai kepada pencurian aset publik yang lebih dikenal sebagai korupsi.

Tindakan-tindakan semacam itu membuat para pelakunya seperti orang uncivilized --tidak beradab atau tidak memiliki keadaban. Padahal, katanya, orang Indonesia dari berbagai suku selalu mengklaim sebagai religius, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, dan seterusnya.

Memandang fenomena kemerosotan keadaban publik, penulis Resonansi ini merasa beruntung ketika memahami bahwa keadaban menjadi salah satu tema pokok yang digagas dan dipraktikkan seorang tokoh pembaharu Islam Indonesia asal Minangkabau, Abdullah Ahmad (1878-1933). Pembahasan tentang subjek ini menjadi wacana penting dalam Seminar Nasional Peringatan 100 Tahun Perguruan Adabiah (1915-2015) --lembaga pendidikan yang didirikan Abdullah Ahmad.

Tokoh ini adalah salah satu dari generasi pembaharu Islam yang dikenal sebagai 'Kaum Muda' --lokomotif modernisme dan reformisme Islam di Asia Tenggara yang berawal dari Sumatra Barat. Mereka mencakup, antara lain, Haji Abdul Karim Amrullah (1979-1945 atau Haji Rasul, ayahanda Buya Hamka), Muhammad Tahir Jalaluddin al-Minangkabawi al-Azhari (1869-1956), dan Muhammad Jamil Jambek (1862-1947).

Meski Abdullah Ahmad merupakan tokoh terkemuka karena atribut yang melekat pada dirinya sendiri (on his own right) --tidak mesti harus selalu dalam konteks Kaum Muda-- tidak atau belum banyak kajian lengkap dan mendalam tentang sosok ini. Selama ini ia hanya mendapat pembahasan selintas dalam kajian tentang reformisme atau modernisme Islam Kaum Muda oleh sejarawan seperti Deliar Noer atau Taufik Abdullah.

Termasuk ke dalam core jaringan ulama pada akhir abad 19 dan awal abad 20 yang berpusat di Makkah dalam figur guru utama, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916), Abdullah Ahmad memilih untuk mengadopsi gagasan dan praksis modernisme atau reformisme Islam. Memang di antara murid-murid Ahmad Khatib ada yang menempuh jalan reformisme Islam, seperti Abdullah Ahmad dan Ahmad Dahlan (1868-1923, pendiri Muhammadiyah 1912). Pada lain pihak ada pula yang menganut tradisionalisme Islam, seperti Hasyim Asy'ari (1871-1947, pendiri NU 1926), dan Sulaiman al-Rasuli (1871-1970, pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah/Perti 1928).

Terkait dengan jaringan ulama yang berpusat di Makkah, Abdullah Ahmad memiliki pengetahuan agama mendalam. Berada di Makkah (1895-1899) dasawarsa terakhir abad 19, gagasan modernisme atau reformisme Islam yang diperkenalkan Jamaluddin al-Afghani (1838-1896), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935), sangat menarik bagi Abdulah Ahmad.

Karena itu, pandangan dunia dan praksis keislaman Abdullah Ahmad jelas tipikal modernisme-reformisme. Ia berorientasi kuat pada Islam puritan, tidak menerima kompromi Islam dengan budaya lokal dan sekaligus menolak bid'ah dan taklid. Paham keagamaan ini termasuk ke dalam aliran Salafi. Tetapi berbeda dengan aliran dan kelompok Salafi tertentu yang agresif dan mudah melakukan kekerasan demi 'puritanisme Islam', Abdullah Ahmad menempuh pendekatan dan cara damai. Dalam berbagai tulisannya, ia menekankan pentingnya perdamaian dan persaudaraan antarbangsa dan umat manusia secara keseluruhan.

Dalam konteks itu, Abdullah Ahmad memandang pembangunan keadaban sebagai cara terbaik dan paling strategis. Untuk itu, ia pada 1906 mendirikan 'Jami'ah Adabiyah'. Dalam pemahaman penulis Resonansi ini, 'Jami'ah Adabiyah' bisa disebut sebagai 'Komunitas Keadaban'.

Istilah 'Adabiah' mengacu tidak hanya kepada 'Community of Civility', tetapi juga peradaban (civilization) dan 'adab' (virtuous moral conduct). Ketiga hal ini --keadaban, peradaban, dan adab-- menghasilkan genre literatur tersendiri dalam khazanah pemikiran Islam.

Berdasarkan pemahaman itu, adopsi istilah Adabiah oleh Abdullah Ahmad melampaui zamannya. Ketiga istilah yang mengandung konsep dan praksis sangat penting tetap relevan di masa kini dan mendatang.

Tidak ragu lagi pendidikan merupakan wahana dan lokus paling strategis untuk membangun keadaban, peradaban, dan adab. Bisa mudah dipahami kalau kemudian pada 1909, Abdullah Ahmad mendirikan [Yayasan] Perguruan Adabiah. Selanjutnya pada 1915 ia mendirikan 'Madrasah Adabiyah' yang meski memakai istilah 'madrasah' yang berbasiskan sistem persekolahan Belanda.

Dalam perkembangannya, lembaga pendidikan ini berkembang menjadi sekolah dengan kurikulum Belanda. Tetapi Abdullah Ahmad memperkenalkan inovasi 'met de Qur'an' --sekolah ala Belanda, tetapi dilengkapi 'pelajaran agama'. Inilah preseden bagi sekolah Islam yang terus menemukan momentum sampai sekarang.

Abdullah Ahmad dengan gagasan dan praksis 'komunitas keadaban', peradaban', dan adab yang tetap relevan hari ini dan ke depan perlu revitalisasi. Tantangan kemerosotan keadaban publik mengharuskan kita menggali pemikiran dan praksis yang lahir dari pemikir --cum-- aktivis Abdullah Ahmad dan pemikir Indonesia lain. [FM]

Sumber : REPUBLIKA, 28 May 2015
Azyumardi Azra Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  

Hukum Laki-laki Memakai Kalung



Ilustrasi

Pertanyaan:



Assalamu'alaikum. Mohon maaf kiai karena keterbatasan kemampuan kami dalam memahami jawaban tasyabuh mengenakan gelang (seperti dibahas sebelumnya di rubrik Bahtsul Masail), kami ingin mengetahui jawaban secara khusus tentang pemakaian aksesoris kalung. Kalung yang kami maksud berbahan monel (seperti perak).



Bolehkan seorang lelaki memakai kalung, memakainya disimpan didalam baju/kaos dan tidak berbahan emas? Mohon pencerahan. Terimakasih. Wassalamualaikm wr wb.



Kholid  FY, Simbangkulon Gg1 Buaran Pekalongan



Jawaban:



Wa'alaikum salam wr. Wb. Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Dari pertanyaan yang diajukan kepada kami nampak jelas bahwa kalung yang dipakai bukan terbuat dari emas-perak. Namun sebelum kami menjawab pertanyaan di atas, maka pertama kali yang harus kita pahami adalah apakah kalung yang tidak terbuat dari emas-perak tersebut memang merupakan perhiasaan yang hanya dikhususkan kepada perempuan saja. Jika memang kalung tersebut faktanya adalah dikhususkan sebagai perhiasan wanita, maka jelas laki-laki yang memakainya tidak didperkenankan karena ada unsur tasyabbuh bin-nisa` (menyerupai perempuan)



Dengan demikian, sesuatu dikatakan tasyabbuh bin-nisa` atau bir-rijal (menyerupai laki-laki) apabila memang sesuatu dikhususkan untuk perempuan atau laki-laki. Sehingga jika laki-laki memakai sesuatu yang memang dikhususkan untuk perempuan maka termasuk tasyabbuh bin-nisa`, begitu juga sebaliknya apabila perempuan memakai sesuatu yang dikhusukan untuk laki-laki maka termasuk tasyabbuh bir-rijal. Kedua tasyabbuh ini jelas dilarang dalam ajaran Islam.  



وَقَدْ ضَبَطَ ابْنُ دَقِيقِ الْعِيدِ مَا يَحْرُمُ التَّشَبُّهُ بِهِنَّ فِيهِ بِأَنَّهُ مَا كَانَ مَخْصُوصًا بِهِنَّ فِي جِنْسِهِ وَهَيْئَتِهِ أَوْ غَالِبًا فِي زِيِّهِنَّ وَكَذَا يُقَالُ فِي عَكْسِهِ



"Ibnu Daqiq al-Id telah memberikan batasan tentang hal yang haram menyerupai wanita, yaitu sesuatu yang dikhususkan untuk wanita baik jenis maupun potongannya, atau umumnya merupakan perhiasaan mereka. begitu juga sebaliknya" (Syamsuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Bairut-Dar al-Fikr, 1404 H/1984 M, juz, 2, h. 374)



Dalam kitab al-Majmu` Syarh al-Muhadzdzab dikatakan, mayoritas ulama dari kalangan madzhab syafii mengatakan bahwa laki-laki boleh memakai cincin yang terbuat dari perak sesuai dengan ijma`. Adapun selain cincin perak yaitu perhiasan yang terbuat dari perak seperti gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, dan kalung maka hukumnya adalah haram dipakai oleh laki-laki sebagaimana ditetapkan oleh mayoritas ulama.



قَالَ أَصْحَابُنَا يَجُوزُ لِلرَّجُلِ خَاتَمُ الْفِضَّةِ بِالْاِجْمَاعِ وَأَمَّا مَا سِوَاهُ مِنْ حُلِيِّ الْفِضَّةِ كَالسِّوَارِ وَالْمُدَمْلَجِ وَالطَّوْقِ وَنَحْوِهَا فَقَطَعَ الْجُمْهُورُ بِتَحْرِيمِهَا



"Para ulama dari kalangan madzhab kami (madzhab syafii) berkata, boleh bagi laki-laki memakai cincin yang terbuta dari perak sesuai dengan ijma` para ulama. Adapun selainnya yaitu perhiasan yang dibuat dari perak seperti gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, kalung, dan sejenisnya maka mayoritas ulama menentapkan keharamannya". (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, tahqiq: Muhammad Bakhith Muthi'i, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, juz, 4, h. 331) 

  

Namun menurut al-Mutawalli dan al-Ghazali boleh bagi laki memakai perhiasaan yang terbuat dari perak. Sebab, yang dilarang adalah menggunakan perkakas dari perak dan tasyabbuh dengan perempuan.



Sedang menurut pandangan kedua perhiasan seperti gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, dan kalung yang terbuat dari perak tidak dipandangan tasyabbuh dengan perempuan. Disamping itu juga bukan termasuk perkakas (al-awani). Artinya, perhiasan tersebut bukan monopoli kaum hawa. Sebab, yang diharamkan adalah memakai perkakas yang terbuat dari perak dan adanya unsur tasyabbuh dengan perempuan.  



وَقَالَ الْمُتَوَلِيُّ وَالْغَزَالِيُّ فِي الْفَتَاوِى يَجُوزُ لِاَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ فِي الْفِضَّةِ اِلَّا تَحْرِيمُ الْاَوَانِي وَتَحْرِيمُ التَّشَبُّهِ بِالنِّسَاءِ



"Al-Mutawalli dan al-Ghazali berkata dalam al-Fatawi-nya, boleh (bagi laki-laki memakai gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, dan kalung yang terbuat dari perak) sebab keharaman yang terdapat dalam benda-benda yang terbuat dari perak itu sebatas perkakas dan adanya unsur penyerupaan dengan perempuan" (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, tahqiq: Muhammad Bakhith Muthi'i, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, juz, 4, h. 331)    



Kedua pandangan ini kemudian diteliti lebih lanjut oleh Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi. Dan hasil kesimpulannya, beliau lebih cenderung menganggap bahwa pendapat pertama yang dipegangi mayoritas ulama adalah pendapat yang sahih. Alasannya yang dikemukakan oleh beliau adalah adanya tasyabbuh dengan perempuan yang jelas diharamkan.



وَالصَّحِيحُ الْاَوَّلُ لِاَنَّ فِي هَذَا تَشَبُّهًا بِالنِّسَاءِ وَهُوَ حَرَامٌ



"Pendapat yang sahih adalah pendapat yang pertama karena dalam hal ini terdapat tasyabbuh dengan perempuan dan itu adalah haram". (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, tahqiq: Muhammad Bakhith Muthi'i, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, juz, 4, h. 331)   



Dengan kata lain alasan yang digunakan pendapat pertama untuk mengharamkanya lebih menekankan adanya unsur tasyabbuh dengan perempuan. Artinya, dalam pandangan mereka perhiasan-perhiasan tersebut (gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, dan kalung) dikhususkan untuk kalangan perempuan sehingga laki-laki tidak diperkenankan memakainya. 

  

Jika penjelasan ini ditarik ke dalam pertanyaan di atas maka jawaban atas pertanyaan penanya adalah sepanjang kalung yang dipakai memang tidak dikhususkan untuk perempuan maka boleh memakainya karena tidak ditemukan adanya tasyabbuh dengan perempuan.



Tetapi jawaban ini pun belum memadai, sebab dalam pertanyaan di atas ternyata pemakaian kalung tersebut tidak untuk diperlihatkan tetapi disembunyikan di dalam baju. Dengan kata lain, dalam pemakaian kalung tersebut tidak ditemukan adanya motivasi untuk berhias. Padahal sejatinya tasyabbuh itu mengandaikan adanya penampakkan atas apa yang dipakai atau memperlihatkannya (berhias).  



Berangkat dari sini, maka dalam pandangan kami pemakaian kalung yang terbuat dari bahan monel dimana si pemakainya menyembunyikannya dalam baju sebagaimana dideskripsikan dalam pertanyaan di atas adalah boleh. 



Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Dan jika memang penjelasan ini dianggap kurang memadai, atau kurang tepat, maka kami selalu terbuka untuk menerima masukan, saran, dan kritik. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu'alaikum wr. wb. []



Mahbub Ma'afi Ramdlan

Tim Bahtsul Masail NU