 |
Refly Harun |
Oleh: Refly Harun
Bacaan talbiyah yang selalu didendangkan
penziarah Illahi dalam prosesi haji dan umroh tersebut saya cermati pertama
kali dalam film the Message yang dibintangi Anthony Quinn (1976), film yang
menggambarkan sejarah Nabi Muhammad. Kumandang talbiyah tersebut terjadi ketika
pasukan muslimin memasuki kota Mekah. Beruntung akhirnya saya pun dapat
mengalunkannya setelah berihram dari Madinah sebelum memasuki kota suci Mekah
pada awal tahun ini.
Mekah dan Madinah, dua kota suci bagi umat Islam, terpikirkah kita semua untuk
datang ke sana? Banyak yang merindukannya, tetapi tidak sedikit yang tak
membayangkan ingin menziarahi dua kota suci tersebut. Saya, terus terang,
termasuk yang hampir tidak pernah membayangkan sebelumnya. Padahal, sudah lima
benua saya kunjungi (Asia, Australia, Amerika, Afrika, dan Eropa) –
alhamdulillah belum ada yang dengan menggunakan uang negara. Hingga sang istri,
dengan tanpa izin dan omong-omong lagi, mendaftarkan saya untuk berhaji.
Saya menyerah, tetapi hingga kini saya belum beruntung untuk menapak tanah suci
dalam prosesi haji. Mendaftar pada tahun 2012 dengan embel-embel “ONH plus”,
hingga sekarang masih gelap kapan giliran menunaikan rukun Islam kelima
tersebut. Saya tidak protes dan tidak pula menuntut untuk buru-buru memenuhi panggilan
berhaji. Tidak pula berupaya untuk ber-KKN dengan orang-orang penting di negeri
ini agar giliran dipercepat.
Prinsip saya, mau beribadah kok KKN. Saya pernah mengkritik seorang anggota DPR
yang memanfaatkan jabatannya untuk naik haji, gratis pula. “Abang sudah
menzalimi orang yang antre naik haji. Tidak bayar pula,” sindir saya kepada
sang anggota DPR, yang kebetulan satu daerah dengan saya. Ia bersumpah-sumpah
bahwa baru naik haji kali itu saja, tidak berkali-kali seperti yang saya
tuduhkan.
Tapi saya yakin banyak pejabat publik memanfaatkan jabatan untuk menembus
birokrasi perhajian agar bisa berangkat cepat. Saya membayangkan apa doa mereka
diterima bila cara berangkatnya dengan menggusur orang lain yang antre
bertahun-tahun, terutama mereka yang menggunakan ongkos naik haji reguler.
Jawabannya hanya Allah yang tahu, walaupun perasaan tetap ingin protes. Ibadah
yang baik harusnya tidak dimulai dari perilaku ber-KKN, yang dalam banyak hal
masih permisif di negeri ini.
Umroh Dulu
Istri, dengan sponsor ibu di Palembang, tak kalah akal. Ia mendaftarkan saya
dan dirinya untuk ikut umroh awal tahun ini, dengan travel yang sama. Umroh
tidak perlu antre. Kapan pun mendaftar, bulan itu pula dapat berangkat.
Kata orang Minang, yang penting ado pitinyo. Uangnya memang tidak sedikit, bisa
lebih dari Rp 30 juta per orang. Luar biasa. Meski terhitung mahal untuk
rata-rata orang kebanyakan, jemaah umroh tak pernah putus sepanjang tahun. Saya
membayangkan, dari kacamata duniawi, begitu dahsyatnya bisnis umroh dan haji
ini.
Terbang antara 8-9 jam ke Madinah tidak membuat
saya merasa lama dan penat. Saya begitu cepat tertidur di pesawat. Niat awalnya
ingin menulis sesuatu di atas pesawat, tetapi dasar sedikit sial, keyboard ipad
tidak bekerja. Saya tidak biasa menulis hanya dengan sekadar touch screen.
Untungnya saya tertidur dan baru bangun ketika waktu Indonesia barat saya
menunjukkan pukul 08.30 atau pukul 04.30 waktu Madinah. Dua jam lebih sedikit
lagi kami akan mendarat.
Mendarat di Madinah sekitar pukul 07.00 waktu setempat, melakukan prosedur
imigrasi seperti di tempat-tempat lainnya di dunia, rombongan akhirnya tiba di
Hotel Dyar International menjelang pukul 21.00 waktu setempat. Ketakjuban saya
sebagai pemula umroh dimulai.
Keajaiban Raudhah
Di masjid Nabawi ada tempat bernama Raudhah yang berarti taman surga, yaitu
ruang yang dahulunya antara mimbar dan kamar Rasulullah (kini makam
Rasulullah). Jutaan manusia yang berziarah ke Madinah pasti punya tujuan yang
sama: menjejak Raudhah. Shaf depan masjid Nabawi yang berukuran 22 x 15 meter
ini, konon, adalah tempat yang mustajab untuk berdoa. Apa pun doa yang
dipanjatkan, insya Allah, dikabulkan.
Tidak beda dengan jutaan umat manusia yang lain, saya pun ingin menjejak
Raudhah. Subuh pertama di masjid Nabawi saya kurang beruntung. Datang ke masjid
pukul 04.00 untuk waktuh Subuh yang baru pukul 06.00 waktu setempat tidak
berarti apa-apa. Raudhah sudah fully occupied oleh pencari Ilahi. Saya hanya
kebagian shaf sedikit depan.
Pagi harinya, dengan dipimpin Ustad Ali Hasan Albahar, doktor lulusan Jordania
yang menjadi ketua rombongan, kesempatan itu pun datang. Setelah antre dan
berdesak-desakan, Raudhah pun terjejak. Saya terus mepet ke area dinding makam
Rasulullah. Di situ saya salat dua rakaat. Baru saja selesai salat, langsung
dicolek askar Arab supaya segera berlalu untuk memberikan pencari Tuhan
lainnya.
Doa pun mana bisa khusuk. Tapi mudah-mudahan itu pun bisa dikabulkan di tempat
yang mustajab itu. Saya sendiri lupa doa apa yang saya ucapkan karena saking
banyaknya. Satu yang tidak pernah saya lupa setiap berdoa: minta ampun atas
dosa-dosa yang dilakukan. Selalu begitu, tetapi selalu pula dosa diperbuat. “Mungkin
Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita. Yang selalu salah dan bangga dengan
dosa-dosa.” Fenomena itu telah dituliskan dalam lirik lagu Berita kepada Kawan
yang didendangkan Ebiet G Ade.
Pada Subuh kedua di masjid Nabawi, saya
menjejak Raudhah lebih lama, berjam-jam. Pukul 02.00 saya ke masjid. Setelah
merangsek, sekitar pukul 02.15 saya sudah di wilayah Raudhah. Belum bisa
apa-apa, selain berdiri saja. Slot untuk duduk, terlebih salat, belum didapat
awalnya, tetapi beberapa menit kemudian kesempatan datang juga. Puluhan rakaat
saya habiskan untuk salat sunah di Raudhah, dengan kondisi yang berimpit dengan
penziarah lain. Tempat favorit saya tetap: dekat makam Rasulullah.
Selama duduk, salat, dan berdoa di sana, ada pula rasa khawatir bakal diusir
askar Arab atau elite-elite Nabawi yang menunjukkan penampilan aristokrat khas
Arab: jubah putih, syal kotak-kotak kecil berwarna merah putih, peci, serta
cambang dan janggut tercukur rapi. Untunglah hingga selesai prosesi Subuh
sekitar pukul 6.30 saya tetap di taman surga. Ada keajaiban dunia di sana.
Manusia tidak pernah berhenti ingin menjamah dan menjejaknya. Raudhah tidak
pernah tidur. Selalu ada tamu Allah yang datang.
Rumah Allah
Efisode selanjutnya di Masjidil Haram di kota suci Mekah. Saya melihat istri
saya berkaca-kaca ketika melihat Baitullah untuk pertama kalinya secara
langsung. Pengalaman bagi laki-laki sendiri sudah dimulai ketika berpakaian
ihram: dua lembar kain putih tanpa jahitan. Teknik mengenakan ihram pun harus
tepat. Bahaya bila melorot karena tidak diperkenankan memakai apa-apa lagi
selain dua lembar kain putih, yang menutupi bagian bawah dan atas tubuh. Salah
seorang jemaah,
Pak Hasyim, sempat melorot ihramnya ketika salat Ashar di Shafa, yang sempat
membuat senyum jemaah. Untung melorotnya tidak fatal.Ihram sudah dikenakan di
Mekah. Jarak antara Mekah dan Madinah sekitar 490 km yang akan memakan waktu
6-7 jam bila ditempuh dengan bus. Masih dipimpin Ustad Ali, kami mampir dulu di
masjid Bir Ali untuk miqat, yaitu tempat untuk melafalkan niat umroh. Masjid
Bir Ali terletak kurang lebih 9 km dari Madinah.
Perjalanan Madinah-Mekah dengan bus AC terbilang nyaman karena jalan yang
lebar, datar, dan relatif lurus, tanpa kelokan. Hanya sekali saja kami mampir
untuk buang air atau memperbarui wudhu. Sekitar pukul 22.00 waktu setempat kami
tiba di hotel, yang terletak di pelataran Masjidil Haram. Kami langsung ke
restauran untuk makan malam, sementara koper-koper langsung diletakkan di depan
pintu kamar masing-masing.
Selesai makan malam, kami langsung menuju kamar masing-masing untuk menjamak
salat Maghrib dan Isya, lalu berkumpul di lobi hotel untuk memulai perjalanan
umroh di Kabah. Semuanya tetap dengan berpakaian ihram. Masuk ke Baitullah,
saya melihat mata istri saya berkaca-kaca. Entah apa yang ia pikirkan. Prosesi
umroh berjalan lancar, mulai dari thawaf, yaitu mengelilingi Kabah sebanyak
tujuk kali, dan Sa’i, yaitu berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah,
juga sebanyak tujuh kali.
Sebagian kami, termasuk saya, menunaikan ibadah
umroh sebanyak dua kali. Satu kali umroh dilakukan dengan miqat di masjid
Ja’ronah, yang berjarak sekitar 24 km dari Masjidil Haram. Umroh kedua ini saya
niatkan untuk kakak yang telah berpulang pada 29 Januari 2013. Semoga Allah
menerima arwahnya.
Keajaiban Dunia
Cerita tentang haji dan umroh adalah cerita klasik jutaan manusia yang menjadi
tamu Allah. Masing-masing pasti membawa cerita dan kesan tersendiri. Bagi saya,
hal yang paling mengesankan dan membuat takjub adalah fenomena thawaf, yaitu
mengelilingi Kabah sebanyak tujuh kali baik waktu haji maupun umroh.
Seperti halnya Raudhah, Kabah tidak pernah tidur karena tamu Allah datang
selama 24 jam dari seluruh penjuru dunia. Thawaf pantas masuk dalam keajaiban
dunia. Lebih ajaib dari apa pun yang saat ini ditahbiskan sebagai tujuh
keajaiban dunia. Tembok China, misalnya, memang ajaib dilihat dari besarnya
bangunan, terlebih dikaitkan dengan kesulitan membangun dalam masa itu. Namun,
keajaiban tersebut bersifat statis.
Thawaf adalah suatu kegiatan yang melibatkan jutaan manusia dari seluruh
penjuru dunia. Gerakan mengelilingi Kabah tersebut tidak pernah berhenti. Hanya
salat wajib lima waktu yang menghentikan gerakan thawaf, tetapi penziarah-penziarah
rumah Allah akan bergerak kembali begitu salat wajib selesai.
Sependek pengetahuan saya, tidak ada suatu kegiatan yang melibatkan umat dari
seluruh penjuru dunia, dengan ras berbeda, tanpa dikomando, dengan kesadaran
sendiri. Saya merasa ada sesuatu yang salah ketika thawaf tidak masuk dalam
keajaiban dunia. Fenomena thawaf inilah yang menggerakkan saya untuk menulis
pengalaman menjadi tamu Allah untuk pertama kali, yang selama ini tak sempat
saya pikirkan.
Menurut Ustad Ali, lokasi Kabah satu jurusan dengan Baitul Makmur, tempat para
malaikat berthawaf di langit. Menurutnya, thawaf tidak akan berhenti hingga
akhir zaman. Andaipun umat manusia sudah musnah dan tidak ada lagi yang
berthawaf, Allah akan memerintahkan para malaikat-Nya untuk berthawaf. Hal-hal
seperti ini memang soal keyakinan. Hanya keyakinan yang bisa mencerna dan
menerimanya. [FM]
Sumber : DETIK, 27 Februari 2015
Refly Harun, Ahli
Hukum Tata Negara; Mengajar di Program Pascasarjana UGM