Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2016

The Faces of Love

Ilustrasi The faces of love, up from bed, descend tired body and soul, withered and wasted. The sun does not reveal the light, faces of love looks like the face of the criminal, evil and ignorance. Justice for whom? Affection is wasted! Dry river, tears smarting, noiseless weeping! Let's conscience told him, Do not raise your voice daggers until stuttering tongue, let this foot escape, removing abasement exhausting! Suicide is not right? But the ice is killing thousands of times, a thousand times life and death, a thousand times more and I do not know who is. The faces of love, standing on the bedside lonely, Dry and resignation, pale and desperate.

Catatan Kecil Sang Narapidana : Wajah-Wajah Cinta

Wajah-wajah cinta, berdiri dari pembaringan, lelah menghinggapi jiwa dan raga, layu dan terbuang. Matahari tak menampakkan sinarnya, wajah-wajah cinta, tampak bagai wajah kriminal, jahat dan jahiliah. Keadilan ini untuk siapa ? Kasih sayang terbuang percuma ! Sungai kering, air mata perih, tangisan tak bersuara ! Biarkan hati nurani ini bercerita, jangan acungkan belati hingga lidah gagap bersuara, biarkan kaki ini melarikan diri, melepas kehinaan yang melelahkan ! Bunuh diri, tidak bukan ? Tapi kebekuan ini membunuhku beribu kali, seribu kali hidup dan mati, seribu kali makin tak ku mengerti siapa diri ini. Wajah-wajah cinta, berdiri dari pembaringan yang sepi, kering dan pasrah, pucat pasi dan putus asa - - - Ditulis pada tanggal 5 Juli 2009. Muhammad Saroji © Copyrights - All rights reserved

Hingga Aku Kembali

Meskipun mawar dalam gelas itu layu, sayangku bukan berarti aku layu seperti bunga itu, tunggulah aku di beranda sunyimu, dari rantau aku pasti kan kembali. Cinta itu abadi, sayangku nanti di halaman rumah kita tanam bunga mawar dan melati, kita pupuk dan kita sirami, agar selalu tumbuh dan mekar bersemi. Kau harus tahu, sayangku betapa beratnya merangkai kata-kata, di dada ini aku ingin seperti seorang penyair, yang berbicara satu kata seribu makna, berpetuah bagai pertapa tua, bersabda bagai mutiara berkilauan. Sayangku, tak dapat ku bayangkan ketika sebutir intan di lumpur adalah tetap intan, tetap cemerlang meski terbenam di kegelapan, penyair berbicara dan bertindak, tapi tanpa ragu dan kebimbangan, tiada takut meski darah dan daging dirajam, tetap tegar bagai karang di terjang gelombang, penyair bercermin dari orang ke orang, mengasah budi menjadi arif dan bijaksana. Jangan takut, sayangku meski akal fikiran mengembara jauh di atas awan, rebahka

Ketika Aku Duduk Di Berandamu

Muhammad Saroji - File Pribadi Ketika Aku Duduk Di Berandamu,  ingin benar aku bertanya kepadamu, tentang apa itu arti hakikat,  karena berulang kali kau katakan padaku, puasa itu tidak perlu,  sholat juga buat apa,  apalagi berwudhu,  karena  kau berpendapat,  sholat sebenarnya adalah amalan hidup kita, wudhu  sebenarnya adalah kesucian bathin kita... Tapi ketika ku lihat sendiri kau merasa kehausan, dan kau reguk  segelas air itu dengan tanganmu sendiri,  sungguh, aku tiada lagi  hendak bertanya kepadamu apa itu hakikat... -- 28 Jun 2009 - Created By  Muhammad Saroji

Di Puncak Kemakrifatan

Ketika kau berada di puncak kemakrifatan, mana mungkin aku katakan kepadamu, bahwa kau adalah jazad tanpa tulang tanpa darah, bahkan mataku pun dapat menyaksikan, rambut hitammu dibelai halus oleh angin yang semilir, yang bila itu kau tak peduli, kau tak lain hanyalah jazad yang berdebu, tidak mengherankan, karena itulah kesempurnaan penciptaanmu, di balik kelemahan jasmanimu, bahkan ketika kau berada di puncak kemakrifatan, tak mungkin bukan aku katakan dirimu Tuhan, yang menguasai seluruh semesta alam ? Tapi akan kau mengerti, betapa maha perkasanya sang pencipta, dan betapa lemahnya sang makhluk. Ketika itu aku teringat Aisyah r.a. berkata : Ya Nabi, seluruh dosa-dosamu baik di masa lalu maupun yang akan datang telah diampuni oleh Allah, mengapa masih Engkau tegakkan sholat malam hingga bengkak-bengkak kakimu ? Nabi pun menjawab : tidakkah aku pantas menjadi hamba yang bersyukur ? -- 28 Jun 2009 - Created By Muhammad Saroji

Catatan Kecil Sang Narapidana : Kematian

Kematian ? Siapa peduli dengan kematian ? Seakan kematian milik orang yang mati ketika kepada dia kita menziarahi, bahkan bila sebenarnya besok kita harus mati kita tak peduli. Kehidupan , begitu njlimetkah kehidupan sehingga segala sesuatunya harus kita perjuangkan ? Ketika ku tanya kepada engkau mungkin kau jawab : dalam kematian itulah kehidupan yang sebenarnya. Apakah kehidupan di sini hanya tipu-tipu ? Tidakkah seperti mengeja dan menghitung ? Apakah hanya makan dan minum?, atau berbuat kejahatan kemudian tak peduli, berdusta berulang-ulang, hingga yang tadinya salah tiba-tiba menjadi kebenaran, sungguh menakutkan... -- 25 Jun 2009 - Created By Muhammad Saroji

Catatan Kecil Sang Narapidana : Nyanyian Di Tepi Laut

Dari jauh ku dengar kau bernyanyi, debur ombak di pantai sesekali menelan suaramu, aku tahu kau bernyanyi tentang kehidupan, kebahagiaan dan kesengsaraan, tapi kehidupan ini terlalu rumit untuk di nyanyikan. Mestinya aku tergugah oleh merdunya suaramu, seperti kicau burung-burung kau merdu merayu, tapi nyanyian itu hanyalah alunan semu, kedamaian ku damba engkau tak tahu. Dari jauh selalu ku dengar kau bernyanyi, tapi selalu debur ombak menelan suaramu, tapi aku tahu kau bersenandung tentang kehidupan, di mana yang sengsara tetap sengsara, yang tertindas makin tak berdaya. Di mana ada kedamaian di bumi yang telah lama merdeka, sungguh pilu hati merasa mengeluh di bumi persada nan hijau raya. Ombak di pantai tetap menderu, menyapu bersih lengkingan suaramu, dari jauh terbias warna biru, langkah kakiku makin jauh meninggalkanmu, meski kau tetap bernyanyi tiada jemu. Aku, tak sekedar butuh nyanyian agar kau membaluti lukaku, tak sekedar air mata agar kau

Sajak Kota Tua

Dalam kesendirian roda pedati itu menggelinding, melintasi jalanan berbatu, seorang kakek tersenyum menaiki, "......negeri ini telah lama merdeka", gumamnya. Roda pedati itu terus menggelinding, menelusuri tepian sawah, ladang, dan perbukitan hingga sampai di sebuah pintu gerbang kota tua, bibir yang keriput tersenyum berseri, "......mata rabunku tak berdusta, negeri ini ternyata begitu indah" pujinya tiada henti. Pedati itu tiba-tiba berhenti, seorang tentara berpangkat mayor datang menghalangi, sang kakek termangu tak mengerti, "......pak tua, silahkan pergi dari kota celaka ini sebelum negeri ini terlanjur di timpa huru-hara.......!!" Pak tua kecewa dan menyesali diri, di tariknya tali kendali pedatipun berlalu pergi ".......kadang manusia itu tak seramah bumi ini", gumamnya. - - - Jakarta 27 November 1996. By Muhammad Saroji © Copyright - All rights reserved

Sajak Angin Tanpa Suara

Muhammad Saroji - File Pribadi  Angin dingin yang membelai rumput di kota tua itu menyentuh pada dinding kalbuku, seakan dia menyapa : .....di mana kebebasan, di mana kemerdekaan ! ! Tak ku tahu dimanakah ujung sebuah perdamaian, seperti damainya seorang ibu membagi kasih sayang pada anak-anaknya, selama ini aku terjajah di tempat dimana aku dilahirkan, dan tak dapat ku jawab di mana ada kemerdekaan, karena ia telah lama dijarah orang, bumiku menangis, hatiku merintih, begitu dahsyatnya keangkuhan dan keserakahan. Di kota tua ini angin berdesah tanpa suara, tapi debu-debu perih menghempas menerjang, embun tak lagi berguguran di pangkuan bumi, meninggalkan daun-daun makin kering, pucat pasi, tak jua ku temukan kemerdekaan di sini karena di sini yang ada hanya kebebasan tanpa batas, kebebasan bersuara yang nyaring melengking, mencampak suara hati kecil yang tulus dan murni. mengapakah orang-orang berperang dan saling tikam, menorehkan

Sajak Bundaku

Muhammad Saroji - File Pribadi  Ku tinggalkan kampung dan kasih sayangmu, Bundaku, dengan kepal doamu ku langkahkan kakiku, bukan untuk pergi jauh, bukan, tapi pergi untuk menuntut ilmu. Terima kasih Bundaku, telah kau ajari aku untuk tidak mengeluh, mengeja hidup meramahi keganasan musim, kapalku jangan sampai kau retak dindingmu, karena perjalananku masih teramat jauh, menelusuri gelombang menyeruak lautan, menyusuri rimba menerjang ilalang, di sini perjuanganku amat panjang, membahagiakanmu yang telah bersusah payah melahirkan. Berhari-hari tubuh bercucuran peluh, dulu kau kisahkan padaku tentang kakekku, yang berjuang berperang demi kemerdekaan bangsaku, mengusir penjajah yang menginjak dan menghina negeriku, bertahun telah berganti harum nama kakekku laksana kembang melati, sukma perjuangannya seakan berteriak, ..hancurkan para koruptor ! Singkirkan para komprador ! Bidikkan pelormu menembus jantung diktator ! Sucikan negerimu

Catatan Kecil Sang Narapidana : Padamu Tuhan

Muhammad Saroji - File Pribadi  Senja ini tidak ada mendung, angin berdebu keras menderu, daun-daun kering berserakan ke bumi, meninggalkan ranting-ranting layu dan mati. Oh bumiku, jiwaku, segenap langkah kaki gersang dan perih, ku berlindung di bawah terik sinar matahari, malam hari dingin dan amat sunyi, mimpi mencekam menghantui hati, bumiku, jiwaku menangis perih, meratapi nasib bilakah haus terobati, bilakah lapar terpenuhi, bilakah kedamaian melingkupi, bilakah bahagia merengkuhi. KepadaMu Tuhan, andai ku lihat Engkau, ku ciumTangan dan KakiMu, ku ikuti kemana Engkau pergi, ku turuti segala yang Engkau Kehendaki, tapi aku hilang diri, tak ingat betapa Engkau Maha Kasih, aku lupa diri, janji apa yang telah aku ingkari, burung-burung elang melanglang langit, membuatku meratap ngeri, apakah aku telah benar-benar mati. Tuhanku, senja ini tidak ada mendung, tapi keresahan bergulung-gulung, bagaikan awan yang kelabu, ak

Yang Hilang Yang Terbuang

Sembilan purnama telah berlalu, Engkau berpaling dari rasa kasihku, masih ada sisa-sisa cinta, yang bila dipupuk menjadi sia-sia, antara Engkau dan Aku tak lagi terjalin rindu, Aku mengerti, Aku bukan milikmu, yang sejati.     Sembilan purnama telah berlalu, tapi masih menyisakan kenangan yang pedih, tapi kita mencoba tak peduli, karena menangis tak berarti, bunga mawar yang menjalin kisah kasih kita, kini tinggal duri yang menancap di hati, luka itu berdarah, sakit itu tak terlupa.,   Antara Engkau dan Aku, ingatlah ketika kita berdua di pelabuhan sunda kelapa dulu, ketika itu senja mulai turun, warna jingga menghiasi cakrawala, kau berjanji kita selalu sehati, dan angin dingin menyibak rambut hitammu, indah terurai bagai sutra yang lembut, ku kira kita selamanya, ternyata perjalanan usia mengukir takdir cinta, jabat tangan di kala itu, adalah pertemuan terakhir, dan sembilan purnama telah berlalu, mengantarkan aku di j

Ketika Engkau Ku Jelang

Ada embun di pelupuk matamu, menoreh di pipi, menyentuh di hati. Di sini sekarang Engkau tiba, merebahkan dukamu di hatiku, berkeluh kesah, menangis sepuas hatimu, agar aku tahu makna pengharapan dalam hidupmu. Senja ini biarlah menjadi warna kelabu, saat ku basuh dukamu karena peristiwa lama. Jelanglah hari esok dengan keceriaan hati cinta kita bersemi kembali. - - - Ditulis di Gunung Putri - Bogor, 2 November 1996. Muhammad Saroji © Copyright - All rights reserved

Catatan Kecil Sang Narapidana : Suara

Ku dengar kau seperti bersuara, dari jauh mengucapkan salam. Seperti angin yang semilir membelai rambut keringku. Aku tercengang, sudah lama kau tiada. Di taman itu pernah ku tanam kembang melati, tapi tak pernah tumbuh dan berbunga, seperti tak pernah ku nikmati indahnya bunga-bunga pengantin itu bersamamu, kemarau ini begitu kering, jauh di lereng gunung hutan itu terbakar, seperti terbakarnya kenangan itu diriku. Kekasihku, inikah hari kemerdekaanku atau ku kibarkan bendera kemenanganku? Tidak, tapi hanya mimpi. Jauh di sana mungkin kau menangis, tapi sebenarnya akulah yang menangis merintih dan perih. Ku dengarkan kau seperti bersuara, sebuah nyanyian tentang cinta dan kerinduan, tentang sepucuk doa, tentang darah dan air mata, yang terlanjur tertumpah, tanpa makna. Suara itu, hanya kau yang punya hanya aku yang mendengar, karena cintamu jiwa ragaku. --- Karawang - 21 Oktober 2016 By Muhammad Saroj

Cinta Yang Berdebu

Muhammad Saroji - File Pribadi Senja itu langit kelam, pekik burung elang menyapa lengang, angin dingin berhembus perlahan, menyentuh daun-daun kering berguguran. Tuhan, ku bawa kemana cinta ini di hari menjemput malam, tubuh kaku menggigil kedinginan, berbaring pasrah di akar pohon akasia, muka berdebu jalang menengadah, ke langit kelabu adakah bulan bintang, hanya pekik burung elang menyapa lengang, angin dingin berhembus makin kencang, menyentuh ranting-ranting kering berjatuhan. Tuhan, adakah di hati ini keberkahan kehidupan, sepanjang jalan tangan menengadah, hamba menghiba, mengharap dalam keputusasaan, adakah setitik saja ketulusan sebuah cinta, di saat hamba tak berdaya, di saat hamba tak berpunya, di saat segalanya bagai rumput kering di padang gersang. Tuhan, Mata ini makin liar memandang ke segala penjuru arah, hanya ada pekik burung elang menyapa lengang, angin dingin berhembus makin kencang, menyent

Fatamorgana

Muhammad Saroji - File Pribadi  Dipandang kau berdiri kibarkan nurani sunyi, mestinya ku sapa kau dengan salam, atau sekedar basa-basi, tapi senja ini engkau sengaja ku diamkan, agar kau mengerti apa sebenarnya yang terjadi. Ku bayangkan kehadiranmu di cakrawala, manis senyummu seindah warna lembayung senja, tapi di sana tiada senyummu, bahkan tiada keramahanmu, diam membisu seperti batu bertafakur. Dalam bimbangku, apakah engkau milikku ? Benar, kau adalah milikku, tapi di hatimu bukan hanya aku seorang, sepetik cinta telah kau genggam, tapi separuh hatimu juga telah dipetik orang. ku bayangkan dirimu di cakrawala, mungkin ada harapan kau adalah milikku seorang, tapi di sana hanya ada bayang-bayang kebimbangan, fatamorgana, tak dapat aku menjangkaunya. Duh kekasihku, di senja ini sengaja kau ku diamkan, agar kau mengerti apa sebenarnya yang terjadi, tapi kau tetap tegar berdiri, mengibarkan nurani sunyi.

Di Balik Awan

Sepercik darah bidadari membangunkanku dari mimpi, aku menangis, inilah merah darahmu yang kemarin aku lukai sakit perih. Di puncak batu gunung ku cari matahari, hanya mendung memenuhi lazuardi, sebilah belatiku menancap di bumi, engkau tahu aku bukan seorang pemberani, apalagi sekedar membunuh diri, di balik awan bersembunyi gerimis, langit yang mendung seakan menangis, hujan pun turun membasahi bumi, tangis bidadari meratap tiada henti. ….peperangan telah tiba ! Bidadari berteriak lantang sekali, aku menangis, mengapa masih juga kau hitungi mimpi-mimpi, ingatlah cinta kasihku bagai samudra tak pernah bertepi, bagai sungai yang selalu mengalir, meski aku bukan seorang pemberani… - - - Ditulis di Jakarta, 27 November 1995 Muhammad Saroji © Copyright - All rights reserved

Dalam Lautan Cinta

Dalam lautan cinta tak ada jarak antara kau dan aku, bersatunya dua jiwa bagaikan air dengan secawan anggur. Dalam lautan cinta kita rasakan kerinduan yang bergelora, rindumu karena aku jauh cintaku karena kau indah. Akulah yang merindukanmu, aku pula yang mencintaimu, karena keindahanmu tiada bertepi. Bersatulah dalam cinta, kaulah yang menyatukan ! Curahkanlah kasih sayang kaulah yang ciptakan kesucian ! Dalam lautan cinta kerinduan dan kasih sayang adalah perjuangan kita. - - - Ditulis di Jakarta, 27 November 1995 Muhammad Saroji © Copyright - All rights reserved

Peraduan

Muhammad Saroji - File Pribadi  Bumiku peraduanku, pembaringan yang sepi, beranda yang dingin Di saat maut menjemput, peraduanku meraup jazad ini, sepanjang usia yang telah tertutup, pun tulang dan daging ini tak kan pernah menjadi besi atau batu, ini cuaca pertanda lapuk, panas dan dingin sepanjang hari, derita hidup tak mungkin selamanya teratasi, tak ku biarkan peraduan ini memanjakan hati, atau biarkan langkah kaki mencari jalan sendiri, mengobati luka perih di bumiku, di peraduanku. Bumiku, peraduan sepi, tempat aku menghayati arti hina dan sedih, dalam kekhusyukan khalwat meratap menangis, di sini aku berjuang dan menghikmati, segala makna cinta yang hakiki, abadi. - - - Ditulis di Gunung Putri - Bogor, 23 Desember 1995. Muhammad Saroji © Copyright - All rights reserved

Sajak Putus Cinta

Muhammad Saroji - File Pribadi  Mengapa, dulu ku cinta kau dengan taruhan nyawa, padahal dirimu cinta tiada rindu tiada, ku bela kau dari tusuk belati orang, aku sendiri bagai gila membabi buta, kau pertontonkan auratmu, dan serentak orang-orang berebut menjamahmu, dan seketika kau hendak berlari, tunggang langgang. Inikah sandiwaramu, kau jebak aku dalam kebencian semua orang, kau hilang kata hilang rasa, tak ada air mata meneteskan sesal, tangisku hanya kau, mengapa kau tak menangis, mengapa tak mengerti bahwa hidup sekarang nestapa. Baiklah kau tersenyum saja, agar dapat ku terbitkan kebencianku, orang sekampung telah terlanjur membenci, …agar dapat kutinggalkan kau dalam rasa tak teriris. Inilah kenyataan, agar dapat kau terbang bagai burung-burung di angkasa, lilin di tanganku kau rautlah, tak hendak aku membakar diri sendiri, kau berkelanalah dalam duniamu, menempuh hujan gerimis tanpa ratapan cinta. Inilah malam

Permaisuri

Muhammad Saroji - File Pribadi  Bilakah engkau ku temui dalam sendiri, lalu ku sampaikan hasrat cintaku yang mendalam, kelak kan ku jadikan permaisuri, dalam kerajaan asmaraku yang luas membentang. Tapi kesendirian itu bagimu tak ada, aku sendiri yang sunyi, rekat dalam kepekatan malam yang dingin. Kau bukan permaisuriku yang kupuja, bukan pula impianku yang kujelang sepanjang siang dan malam. Baiklah ku tinggalkan saja kau di sana, dalam duniamu yang penuh kemegahan, tapi pantaskah aku berputus asa, dalam kisah cinta yang belum tahu menang dan kalah. Permaisuriku, hanya bertahta dalam bayanganku, burung prenjak seakan tahu, berlompatan di dahan mengejekku. Baiklah Aku bercinta dengan duniaku saja, dunia penuh rasa sepi, bahagia sendiri, menderita sendiri. - - - Ditulis di Gunung Putri - Bogor, 25 Oktober 1996 Muhammad Saroji © Copyright - All rights reserved