Sabtu, 30 September 2023

DEBAT ILMIAH "BEDAH HIPOTESA" IMADUDDIN UTSMAN DI KESULTANAN BANTEN | IBTV



PEMAPARAN DAN JAWABAN HABIB HANIF ATAS HIPOTESA IMADUDDIN UTSMAN | IBTV



IMADUDDIN BISA KENA DELIK PIDANA | TANYA ADVOKAT IBTV



MOMEN KOLABORASI HABIB HANIF DAN GUS WAFI MEMBUNGKAM KUBU PRO IMAD | IBTV



SILATURAHMI GUS WAFI KEPADA IBHRS SETELAH DEBAT ILMIAH DI BANTEN



GUS WAFI sang pembela NASAB HABAIB



Senin, 04 September 2023

Tafsir Kemenag : Tafsir Al-Qur'an Surat Al-Ma'idah Ayat 39


فَمَنْ تَابَ مِنْۢ بَعْدِ ظُلْمِهٖ وَاَصْلَحَ فَاِنَّ اللّٰهَ يَتُوْبُ عَلَيْهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ( الماۤئدة : ٣٩)

Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ma'idah ayat 39).

Yang dijelaskan itu merupakan ketetapan Allah, tetapi barang siapa bertobat setelah melakukan kejahatan itu, menyesalinya, dan memperbaiki diri, serta berjanji untuk tidak mengulanginya, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya yang dilakukan dengan sepenuh hati. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Pada zaman Rasulullah saw, ada seorang perempuan mencuri. Hal ini dilaporkan kepada Rasulullah saw oleh orang yang kecurian. Mereka berkata, "Inilah perempuan yang telah mencuri harta benda kami, kaumnya akan menebusnya." Nabi bersabda "Potonglah tangannya." Kaumnya menjelaskan: "Kami berani menebusnya lima ratus dinar." Nabi bersabda, "Potonglah tangannya." Maka dipotonglah tangan kanan perempuan itu. Kemudian ia bertanya, "Apakah tobat saya ini masih bisa diterima, ya Rasulullah?"Beliau menjawab, "Ya, engkau hari ini bersih dari dosamu seperti pada hari engkau dilahirkan oleh ibumu." Maka turunlah ayat ini.

Perempuan tersebut dari kabilah Bani Makhzum, yang sangat mendapat perhatian dari pembesar-pembesar Quraisy. Mula-mula mereka berusaha agar perempuan tersebut bebas dari hukuman potong tangan. Lalu mereka mencari siapa kira-kira yang dapat menghubungi Rasulullah untuk membicarakan hal tersebut. Kemudian ditunjuklah Usamah bin Zaid karena ia adalah kesayangan Rasulullah. Ketika Usamah bin Zaid mengunjungi Rasulullah, dan membicarakan hal tersebut, maka Rasulullah menjadi marah dan bersabda, "Apakah engkau akan membela sesuatu yang telah ditetapkan had dan hukumnya oleh Allah 'azza wa jalla?" Usamah menjawab "Maafkanlah saya, wahai Rasulullah." Sesudah itu Rasulullah berpidato, antara lain beliau bersabda

,"Bahwasanya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu ialah karena sesungguhnya mereka apabila yang mencuri di antara mereka adalah orang-orang terkemuka, maka mereka membiarkannya, apabila yang mencuri itu orang-orang lemah, mereka itu dijatuhi hukuman. Saya, demi Allah yang diriku berada di dalam tangan-Nya, andaikata Fatimah anak Muhammad mencuri, pastilah saya potong tangannya." Kemudian diperintahkanlah memotong tangan perempuan itu, maka dipotonglah tangannya. (Riwayat asy-Syaikhan dari 'Aisyah).

Jadi barang siapa bertobat dari perbuatannya, dan berjanji tidak akan mencuri lagi, setelah ia menganiaya dirinya dan menjelekkan nama baiknya, serta menodai kesucian kaumnya, dengan mengembalikan curiannya, maka ia diampuni Allah karena Allah Maha Pengampun bagi orang yang telah bertaubat. Dia Maha Penyayang bagi orang yang rendah hati yang suka mengakui kesalahannya. (FM)

Sabtu, 26 Agustus 2023

Tafsir Kemenag : Tafsir Al-Qur'an Surat Al-Ma'idah Ayat 38


وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ( الماۤئدة : ٣٨)

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Ma'idah ayat 38).

Bila pada ayat yang lalu dijelaskan tentang hukuman bagi orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kekacauan, maka pada ayat ini diterangkan tentang hukuman bagi pencuri. Setiap kejahatan pasti ada hukumannya. Adapun setiap orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan buruk dan bertentangan dengan syariat yang mereka lakukan, dan hal itu juga sebagai siksaan dari Allah sesuai dengan peringatan-Nya. Sungguh dengan ketetapan dan peringatan ini, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.  

Setiap kejahatan ada hukumannya. Pelakunya akan dikenakan hukuman. Begitu pula halnya seorang pencuri akan dikenakan hukuman karena ia melanggar larangan mencuri. Seseorang, baik laki-laki maupun perempuan yang mengambil harta orang lain dari tempatnya yang layak dengan diam-diam, dinamakan "pencuri."
Orang yang telah akil balig mencuri harta orang lain yang nilainya sekurang-kurangnya seperempat dinar, dengan kemauannya sendiri dan tidak dipaksa, dan mengetahui bahwa perbuatannya itu haram, dilarang oleh agama. Orang itu sudah memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan kanan, sebagaimana yang diperintahkan dalam ayat ini.
Suatu pencurian dapat ditetapkan apabila ada bukti-bukti atau ada pengakuan dari pencuri itu sendiri, hukuman potong tangan tersebut dapat gugur apabila pencuri itu dimaafkan oleh orang yang dicuri hartanya dengan syarat sebelum perkaranya ditangani oleh yang berwenang. Pelaksanaan hukum potong tangan dilaksanakan oleh orang yang berwenang yang ditunjuk untuk itu, dengan syarat-syarat tertentu.
Penetapan nilai harta yang dicuri, yang dikenakan hukum potong tangan bagi pelakunya yaitu sekurang-kurangnya seperempat dinar sebagaimana tersebut di atas, adalah pendapat jumhur ulama, baik ulama salaf maupun khalaf206 berdasarkan sabda Rasulullah saw sebagai berikut:
"Rasulullah saw memotong tangan pencuri itu yang mencuri seperempat dinar ke atas." (Riwayat al-Bukhari - Muslim dari Aisyah).

Seorang pencuri yang telah dipotong tangan kanannya, kemudian ia mencuri lagi dengan syarat-syarat seperti semula maka dipotonglah kaki kirinya yaitu dari ujung kaki sampai pergelangan. Kalau ia mencuri lagi untuk ketiga kalinya, dipotong lagi tangan kirinya, kalau ia mencuri lagi untuk keempat kalinya, dipotong lagi kaki kanannya, sebagaimana sabda Rasulullah saw mengenai pencuri sebagai berikut:

Apabila ia mencuri, potonglah tangan (kanan)nya, kalau ia mencuri lagi potonglah kaki (kiri)nya, kalau masih mencuri lagi potonglah tangan (kiri)nya dan kalau ia masih juga mencuri potonglah kaki (kanan)nya." (Riwayat al-Imam al-Syafi'i dari Abu Hurairah).


Kalau ini semua sudah dilaksanakan tetapi ia masih juga mencuri untuk kelima kalinya, maka ia di-tazir, artinya diberi hukuman menurut yang ditetapkan oleh penguasa, misalnya dipenjarakan atau diasingkan ke tempat lain, sehingga ia tidak dapat lagi mencuri. Potong tangan ini diperintahkan Allah sebagai hukuman kepada pencuri, baik laki-laki maupun perempuan, karena Allah Mahaperkasa, maka ia tidak akan membiarkan pencuri-pencuri dan manusia lainnya berbuat maksiat. Allah Mahabijaksana di dalam menetapkan sesuatu seperti menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri, karena yang demikian itu apabila diperhatikan lebih dalam, tentu dalam pelaksanaannya akan menimbulkan maslahat yang banyak, sekurang-kurangnya dapat membatasi merajalelanya pencurian.

Apa saja yang diperintahkan Allah pasti akan mendatangkan maslahat dan apa saja yang dilarang-Nya pasti akan mengakibatkan kerusakan dan kehancuran apabila dilanggar. (FM)

Tafsir Kemenag : Tafsir Al-Qur'an Surat Al-Ma'idah Ayat 37


يُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّخْرُجُوْا مِنَ النَّارِ وَمَا هُمْ بِخَارِجِيْنَ مِنْهَا ۖوَلَهُمْ عَذَابٌ مُّقِيمٌ ( الماۤئدة : ٣٧)Mereka ingin keluar dari neraka, padahal mereka sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya, dan mereka beroleh azab yang kekal. (QS. Al-Ma'idah ayat 37).


Ketika merasakan betapa pedihnya azab di akhirat nanti, mereka ingin sekali untuk keluar dari neraka yang merupakan tempat hukumannya, tetapi ternyata mereka tidak akan dapat keluar dari sana. Akibat dari sikap dan perilakunya, di akhirat kelak mereka akan mendapat azab yang kekal.

Setelah mereka dimasukkan ke dalam neraka dan tidak tertahankan siksa yang dideritanya maka mereka ingin keluar, tetapi tidak ada jalan bagi mereka. Keadaan mereka sama halnya seperti yang disebutkan di dalam firman Allah:

"Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya." (as-Sajdah/32:20).

Mereka akan merasakan sepanjang masa siksa yang kekal abadi yang tidak berkesudahan. (FM)

Jumat, 18 Agustus 2023

Mi’raj: Imajinasi untuk Pengubah Keadaan



Oleh: Eman Suryaman

 

Peristiwa Isra' (perjalanan malam) dan Mi'raj (secara bahasa berarti tangga), merupakan fenomena kehidupan sejarah umat Islam. Di sana terbentang kisah-kisah unik, imajinatif dan penuh kreativitas tentang sosok Nabi Muhammad SAW yang "terbang" berkendaraan "buraq" menuju langit tujuh.

 

Peristiwa ini bukan urusan "believe or not" semata. Sebab, jika kajiannya hanya urusan itu, maka implikasinya akan menjebak pada sekadar urusan beriman (bagi yang percaya) dan kafir (bagi yang tak mempercayainya).

 

Isra' mi'raj harus ditafsirkan melalui apresiasi kreatif, melihat seorang individu (Nabi Muhammad SAW) yang dengan kepribadian unggulnya memiliki (mendapatkan) transendesi tinggi, yang kemudian mampu menerjemahkan ide-ide briliannya ke tengah masyarakat, bahkan apa yang di sampaikan olehnya, -karena ia merupakan sosok terpercaya- kemudian transendensi itu berubah menjadi imajinasi milik warga bagi masyarakat (ummatnya) di jazirah Arab, bahkan menginspirasi umat manusia di luar Arab dalam waktu yang panjang berabad-abad hingga sekarang.

 

Wajar kiranya jika kemudian seorang pemikir sejarah sosial seperti John L. Esposito dalam Ensiklopedia Oxford melukiskan kisah Isra-Mi'raj sebagai salah satu tema besar imajinasi rakyat dan elit Islam serta pelengkap tema besar lainnya, yaitu diturunkannya al-Quran.  Sebab kemudian, dengan pesan-pesan kewahyuan yang terus turun tersebut, masyarakat Arab melalui Nabi Muhammad kemudian mendapatkan bara' (cahaya) untuk penerang kehidupan.

 

Al-Quran yang secara harafiah berarti "bacaan" bisa menjadi guide, alat mapping, bahkan terposan paradigma dari luar (transendetal) untuk melihat sesuatu yang kala itu masyarakat Arab kebanyakan diombang-ambing oleh ketidakpastian imannya, ketidak jelaskan arah tuju hidupnya.

 

Dengan kehadiran al-Quran sebagai paradigma baru inilah masyarakat Arab terbebas ide-ide konvensional yang biasanya tidak memberi solusi atas persoalan hidup masyarakat yang lahir dari senandung ritmik (reka-reka) para penyair atau sikap ngawurnya para kahin (dukun/tukang sihir) di masa jahiliyah.

 

Lepas Sains, ke Tafsir Sosial

 

Isra' Mi'raj akan lebih bermakna bagi hidup kita sekarang jika ia ditafsirkan sebagai cara melihat problem dan kebutuhan manusia pada setiap zaman yang selalu membutuhkan ide-ide baru, gagasan terobosan, upaya untuk menemukan jalan keluar (berbuat ma'ruf), meninggalkan dan melawan realitas buruk (munkar) dengan modal tuma'nina billah (keyakinan transendental atau "ideologi").

 

Itulah mengapa seorang Filsuf, Muhammad Iqbal merasa bahwa pengalaman Mi'raj yang indah, fantastis dan imajinatif itu lebih sebagai tanggungjawab sosial kemanusiaan, urusan bumi, bukan urusan langit. Iqbal berpikir, jika urusan personal semata, maka Nabi barangkali akan lebih memilih tidak balik/turun ke bumi yang banyak problem, melainkan akan lebih memilih berasyik-masyuk  berada di langit bersama Tuhan selamanya.

 

Tetapi memang dalam dimensi keilmuan (utamanya filsafat dan sains), urusan Isra' Mi'raj ini tetap menarik, menjadi tantangan, karena di sana menyediakan altar lain, cakrawala imajinatif untuk ruang kreativitas untuk memecahkan teka-teki dan misteri ini dengan penyediaan metode baru dalam melihat realitas.

 

Hal ini penting karena sejauh ini, persoalan isra' -mi'raj dalam konteks sains masih belum keluar dari paradigma rasio-empirik dengan doktrin _trial and error_, atau belum keluar dari model penalaran observatif eksperimental sehingga mengalami kebuntuan saat merasionalisasi, karena memang peristiwa itu tak bisa diulang (dicoba lagi), tak bisa diobservasi melalui eksperimen ulang.

 

Namun, dalam urusan hidup kita memang kita tidak bisa terus-menerus bergantung sains. _Toh _pada kemajuan sains modern (sekalipun kita hargai sebagai keilmuan, bahkan kita hargai sebagai berkah Illahi) bukan berarti sains modern itu bebas masalah. Bahkan sains itu sendiri yang harus terus dikritik dan terus dikembangkan agar manusia tidak terjebak pada kesalahan-kesalahan hingga menyebabkan malapetaka sains.

 

Bahkan, seandainya peristiwa Mi'raj tersebut juga bisa dirasionalisasi secara saintifik, misalnya pada kasus kemampuan perjalanan Nabi Muhammad SAW, dengan kecepatan cahaya (prakiraan) 300.000 km/s, bisa jadi nanti akan muncul bantahan dalam bentuk rasionalitas sains yang lain.

 

Dengan kata lain, menunggu kepastian sains memecahkan misteri tersebut, tidak akan menjamin munculnya kebenaran tunggal. Selalu ada tafsir atas fakta, dan karena itu pada urusan Mi'raj memang lebih bermanfaat jika ditafsir dengan apa yang kita sebut dalam sains sosial sebagai imajinasi.

 

Kita tahu, dalam ruang lingkup ilmu sosial, imajinasi merupakan tonggak lahirnya sebuah pembaharuan, atau jalan baru kehidupan. Setiap tokoh-tokoh besar memiliki imajinasi. Setiap nabi membawa imajinasi.

 

Setiap Tokoh Membawa Imajinasi

 

Nabi Isa AS membawa imaji welas asih yang begitu kuat. Pesan-pesan cinta-kasihnya begitu mendalam. Sebagai tokoh yang kuat kepribadiannya, tegas dalam bersikap terhadap kemunkaran, dan sekaligus humanis kepada umatnya.

 

Nabi Musa dengan mentalilnya yang kuat mampu sanggup turun dari ruang kerajaan (Fir'aun) dan lebih mengabdi kepada bangsanya yang tertindas, menjadi inspirator gerakan kewargaan di mesir kuno, membawa ratusan ribu umatnya keluar dari belenggu penindasan panjang dengan imajinasi "kebangsaan" yang unggul.

 

Dan nabi Muhammad adalah sosok yang sangat berarti dalam diri kita tentang apa itu yang munkar (buruk) dan harus ditinggalkan, mana yang ma'ruf (baik) harus ditegakkan, dan pentingnya _tuma'nina billah_ (beriman kepada Allah) sebagai sarana manusia untuk tidak berpaling dari jalan hanif; yang selalu merindukan kebenaran dan kebaikan).

 

Imajinasi yang telah terbukti membawa sebuah kebaikan bersama itulah yang perlu direfleksikan secara mendalam, diserap substansinya, kemudian kita jadikan cara/model menggerakkan masyarakat agar terjadi perubahan sosial yang lebih baik.

 

Mi'raj Sosial-Kewargaan

 

Dengan Mi'raj Nabi tersebut sesungguhnya tersedia banyak pelajaran (ibrah) berharga tentang kematian ego (individu). Kesadaran Nabi sebagai manusia tentang hakikat hidup telah tuntas karena perjumpaan dengan yang lain (realitas alam lain) yang memberikan pelajaran untuk pencerahan bagi urusan bumi.

 

Dengan pengalaman "di dunia lain" itu Nabi mendapatkan sisi lain yang baru, menggetarkan, dan mengubah paradigma hidupnya, dan dari situlah pula karakter pribadi terbentuk secara khusus.

 

Dengan kata lain pula terdapat makna, bahwa seseorang bisa berubah karena faktor luar, bukan semata karena hijrah dari satu tempat ke tempat lain, melainkan memang butuh hijrah batiniah (transenden) untuk perubahan diri. Kisah nabi mengendarai buraq (baraqa) yang artinya adalah "bercahaya sebagaimana kilat" bisa dimaknai sebagai pencerahan (ilumunasi).

 

Makna kontemporernya, dalam kita berinteraksi dengan manusia dan alam semesta di era modern sekarang ini, seyogyanya bermodal wawasan, pengetahuan yang tidak sekadar hanya menyerap pakem-pakem pengetahuan secara umum, melainkan harus kreatif mencari pengetahuan transendetal agar laku-hidup kita (tidak sesat dalam kegelapan, termasuk tersesat dari sains secara umum) sehingga mampu memberikan berkah/kebaikan bagi semesta.

 

Dalam pengertian itulah sebenarnya, Mi'raj juga berarti keharusan kita untuk selalu naik dari tangga satu ke tangga lain (yang lebih tinggi) sehingga setiap hari kita memang senantiasa harus mengejar prestasi untuk menghasilkan ke-ma'rufan' dan meninggalkan mengurangi ke-munkar-an sehingga semakin kuat ikatan iman kita pada yang esa.

 

Pada dimensi urusan sosial-kemasyarakatan, mi'raj berarti usaha keras untuk kita berbakti, berkhidmat secara terus-menerus dengan selalu membuka diri secara kreatif untuk menjawab persoalan urusan warga.

 

Kebuntuan demokrasi yang terjadi saat ini akibat sekadar urusan pemilu/pilkada harus diterobos dengan memperkuat dimensi demokrasi lain yang mungkin itu berat karena menyangkut urusan partisipasi, emansipasi dan menegakkan daulat rakyat melalui musyawarah (deliberasi).

 

Bagaimana menjadikan demokrasi itu mampu menyejahterakan rakyat, membawa keadilan sosial, dan memberdayakan warga secara beradab? Itu semua membutuhkan sikap transendetal dari diri kita, terutama para politisi, kaum intelektual, dan pimpinan organisasi sosial kemasyarakatan.

 

Pada urusan kemasyarakatan di organisasi juga perlu sekiranya kita ber-Mi'raj (menuju tangga kualitatif). Kemandulan gerakan organisasi, baik di organisasi kemasyarakatan (ormas), partai, mengelola bisnis, tak bisa kita berlaku tertutup sebagaimana kebiasaan mengumbar sikap cengeng menyalahkan realitas, apalagi menyalahkan sesama pengurus.

 

Tugas kita bukan berkeluh kesah sebab itu tidak menyelesaikan persoalan. Tugas utama kita bermasyarakat adalah menemukan ruang-ruang kreatif, selalu mencari imajinasi untuk terus menuju tangga yang lebih tinggi. Dan itu bukan semata kita sekadar berpikir, melainkan harus bertindak/beramal. Sebab dengan banyaknya tindakan justru sering mendapatkan banyak pengalaman yang akumulasinya nanti bisa menjelma teori/pengetahuan.

 

Tangga Kualitas

 

Hari selalu baru. Karena waktu memang terus berjalan. Tetapi hari baru dengan kualitas kehidupan kita tidak selalu terjadi karena apa yang disebut pembaharuan bukan sekadar mengikuti arus pergeseran kalender harian. Memang, berbuat atau tidak kita (secara natural) akan berubah. Tetapi perubahan alamiah bisa jadi menjelma kita sebagai spesies, atau hewan yang lahir, hidup, berkembang lalu punah.

 

Pelajaran dari Mi'raj, yakni tangga sebagai ilustrasi menandakan kita selalu dituntut untuk "naik" ke arah kualitatif. Karena itu dalam perjalanan hidup ini, upaya naik harus terus dilakukan sepanjang hayat. Naik secara ilmu, naik secara kepribadian, naik kesejahteraan, naik derajat dan keimanan kita, naik solidaritas sosial, naik bersama-sama membangun peradaban. Wallahu a'lam. [FM]

 

KH Dr Eman Suryaman MM, Ketua PWNU Jawa Barat 2011-2016

Tafsir Kemenag : Tafsir Al-Qur'an Surat Al-Ma'idah Ayat 36

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْ اَنَّ لَهُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا وَّمِثْلَهٗ مَعَهٗ لِيَفْتَدُوْا بِهٖ مِنْ عَذَابِ يَوْمِ الْقِيٰمَةِ مَا تُقُبِّلَ مِنْهُمْ ۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ( الماۤئدة : ٣٦)

Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya mereka mempunyai apa yang dibumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu (pula) untuk menebusi diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat, niscaya (tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang pedih. (QS. Al-Ma'idah ayat 36).

Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yaitu mereka yang tidak mau bertakwa kepada Allah dan tidak mau membersihkan diri dari dosa, serta mengingkari keesaan-Nya pasti akan mendapat balasan. Seandainya mereka memiliki segala apa yang ada di bumi dan ditambah dengan sebanyak itu lagi yang kemudian dipergunakan untuk menebus diri mereka agar terlepas dari azab pada hari Kiamat akibat keingkarannya, niscaya semua itu tidak akan diterima Allah sebagai tebusan dari mereka. Oleh karena itu, di akhirat mereka tetap akan mendapat azab yang pedih.  

Orang yang tidak mau bertakwa kepada Allah dan tidak mau membersihkan dirinya dari dosa-dosa yang diperbuatnya, serta tetap di dalam kekafiran mengingkari ketuhanan Allah lalu menyembah selain Allah dan sampai mati mereka tidak bertobat, maka di hari Kiamat mereka nanti akan menyesal. Sekiranya semua yang ada di bumi ini adalah miliknya bahkan ditambah lagi sebanyak itu pula, dan ingin melepaskan diri dari azab yang menimpanya, maka semuanya itu tidak akan diterima-Nya.

Di dalam satu hadis Nabi Muhammad bersabda:

Didatangkan seorang kafir di hari kiamat dan dikatakan kepadanya "Sekiranya engkau memiliki emas sepenuh bumi ini, apakah engkau ingin menjadikannya tebusan (atas siksa yang akan kamu terima). Ia menjawab Ya saya ingin." (Riwayat al-Bukhari dari Anas r.a.).

Tetapi apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur. Bagaimanapun juga keinginan mereka, tidak akan diterima dan tetap akan menjalani hukuman berupa siksaan yang amat pedih, karena di akhirat tidak mungkin dosa itu dapat ditebus dengan harta benda. Tetapi jika bertobat di masa hidupnya dan membersihkan diri dengan amal saleh, maka Allah akan menerima tobatnya. (FM)


Tafsir Kemenag : Tafsir Al-Qur'an Surat Al-Ma'idah Ayat 35

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ( الماۤئدة : ٣٥)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Ma'idah ayat 35).

Sesudah dijelaskan tentang hukuman para pengacau keamanan dan pelanggar larangan Allah dan Rasul-Nya karena dengki dan ketidaktaatan mereka, maka ayat ini memerintahkan orang mukmin untuk bertakwa dan melakukan perbuatan baik. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dengan ibadah dan melaksanakan semua perintah-Nya, dan carilah wasilah, jalan yang paling tepat, untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah, yakni berjuanglah, di jalan-Nya dengan melakukan kebaikan dan membantu mereka yang memerlukan. Semua perintah ini dimaksudkan agar kamu menjadi lebih beruntung, baik ketika di dunia maupun kelak di akhirat.

Allah memerintahkan orang-orang mukmin supaya selalu berhati-hati, mawas diri jangan sampai terlibat di dalam suatu pelanggaran, melakukan larangan-larangan agama yang telah diperintahkan Allah untuk menjauhinya.
Menurut sebagian mufasir, menjauhi larangan Allah lebih berat dibandingkan dengan mematuhi perintah-Nya. Tidak heran kalau di dalam Al-Qur'an, kata ittaqu yang maksudnya supaya kita menjaga diri jangan sampai melakukan larangan agama, disebut berulang sampai 69 kali, sedang kata ati'u yang berarti supaya kita patuh kepada perintah agama hanya disebutkan 19 kali. (FM)


Di samping menjaga diri memperketat terhadap hal-hal yang mungkin menyebabkan kita berbuat pelanggaran atau ketentuan-ketentuan agama, kita harus pula selalu mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah yaitu dengan jalan melaksanakan perintah-Nya dan mengamalkan segala sesuatu yang diridai.
Ibnu 'Abbas, Mujahid, Abu Wali, al-hasan, Zaid, 'Ata, as-sauri dan lain-lain, mengartikan al-wasilah di dalam ayat ini dengan mendekatkan diri. Mengenai pengertian ini, Ibnu Kasir dalam tafsirnya (2/52), berkata:
Pengertian yang telah diberikan oleh para imam ini, tidak terdapat perbedaan antara para mufasir.
Kata wasilah ada kalanya berarti tempat tertinggi di surga, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
"Apabila engkau bersalawat kepadaku, maka mintakanlah untukku "wasilah". Lalu beliau ditanya: "Wahai Rasullullah, apakah wasilah itu?." Rasullulah menjawab, "Wasilah itu ialah derajat yang paling tinggi di Surga tidak ada yang akan mencapainya kecuali seorang saja dan saya berharap, sayalah orang itu." (Riwayat Ahmad dari Abu Hurairah).

Menjauhi dan meninggalkan larangan Allah serta melaksanakan perintah-Nya adalah hal-hal yang tidak mudah, karena nafsu yang ada pada tiap manusia itu selalu mengajak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan yang baik, yaitu melanggar dan meninggalkan perintah Allah sebagaimana firman-Nya:

"Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan." (Yusuf /12:53).

Oleh karena itu kita harus berjuang untuk mengekang hawa nafsu, mengatasi segala kesulitan dan mengelakkan semua rintangan yang akan menyebabkan kita bergeser dari jalan Allah agar kita berada di atas garis yang telah ditetapkan. Dengan demikian kita akan memperoleh kebahagiaan yang telah dijanjikan oleh Allah.


Kamis, 17 Agustus 2023

Dirgahayu Republik Indonesia Yang Ke 78

 


Pesantren dan Lingkungan Hidup

KH. MA. Sahal Mahfudh

Oleh: KH. MA. Sahal Mahfudh

 
Keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup -bahkan seluruh aspek kehidupan manusia- merupakan kunci kesejahteraan. Stabilitas hidup memerlukan keseimbangan dan kelestarian di segala bidang, baik yang bersifat kebendaan mau pun yang berkaitan dengan jiwa, akal, emosi, nafsu dan perasaan manusia. Islam sebagaimana dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits juga menuntut keseimbangan dalam hal-hal tersebut, keseimbangan mana sering disebut al-tawassuth atau al-i’tidal.


Kenyataan di mana-mana menunjukkan lingkungan hidup mulai tergeser dari keseimbangannya. Ini merupakan akibat dari pelbagai kecenderungan untuk cepat mencapai kepuasan lahiriah, tanpa mempertimbangkan disiplin sosial, dan tanpa memperhitungkan antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa mendatang yang akan menyulitkan generasi berikut.


Pembinaan lingkungan hidup dan pelestariannya menjadi amat penting artinya untuk kepentingan kesejahteraan hidup di dunia mau pun akhirat, di mana aspek-aspeknya tidak dapat terlepas dari air, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lain sebagai unsur pendukung. Keseimbangan dan keserasian antara semua unsur tersebut sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sikap rasional manusia yang berwawasan luas dengan penuh pengertian yang berorientasi pada kemaslahatan makhluk.


Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai fungsi ganda, sebagai lembaga pendilikan yang mampu mengembangkan pengetahuan dan penalaran, keterampilan dan kepribadian kelompok usia muda dan merupakan sumber referensi tata-nilai Islami bagi masyarakat sekitar, sekaligus sebagai lembaga sosial di pedesaan yang memiliki peran sosial dan mampu menggerakkan swadaya dan swakarsa masyarakat, mampu melakukan perbaikan lingkungan hidup dari segi rohaniah mau pun jasmaniah.


Pesantren yang menyatu dengan masyarakat tahu benar denyut nadi masyarakat. Sebagaimana masyarakat pun tahu siapa pesantren dengan kiai dan para santrinya. Para santri di pesantren tidak hanya belajar ilmu-ilmu agama, akan tetapi juga di dalam kehidupan nyata mereka belajar tentang hidup. Karena bersatunya santri dan masyarakat itulah, pesantren kemudian tidak kebingungan meneliti lingkungan hidup.


Bilamana mereka harus mengabdi kepada masyarakat, mereka merumuskan sikapnya terhadap masyarakat sejak masih dalam status kesantriannya. Kehidupan di pesantren itu sendiri merupakan deskripsi ideal bagi kehidupan luas di masyarakat.


Atau dapat juga disebut, kehidupan pesantren adalah miniatur kehidupan masyarakat. Sehingga fungsi sosial pesantren seperti di atas mempunyai arti penting di dalam penyebaran gagasan baru atau perambatan modernisasi di masyarakat melalui kegiatan-kegiatan dakwah dan pelayanan masyarakat.


Tujuan umum pendidikan di pesantren, ialah membentuk atau mempersiapkan manusia yang akram (lebih bertakwa kepada Allah SWT) dan shalih (yang mampu mewarisi bumi ini dalam arti luas, mengelola, memanfaatkan, menyeimbangkan dan melestarikan) dengan tujuan akhirnya mencapai sa'adatud darain. Bertolak dari prinsip itu, pesantren memberikan arahan pendidikan lingkungan hidup dengan pelbagai macam aspeknya.


Pada gilirannya para santri tahu dirinya sebagai makhluk sosial yang di dalam hidup nyata tidak bisa lepas dari keterkaitan dengan orang lain dan alam. Sebagaimana orang lain dan alam pun, tidak bisa lepas dari keterkaitan mereka dalam pelbagai konteks sosial, di mana mereka berarti mempunyai tanggung jawab atas apapun yang mereka lakukan, terhadap dirinya sendiri dan orang lain mau pun terhadap Allah SWT.


Dalam hal tersebut pesantren menekankan pentingnya arti tanggung jawab. Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, berarti keharusan meningkatkan kemampuan pribadi untuk memusatkan dirinya pada pewarisan bumi (alam) dalam rangka ibadah yang sempurna. Sedangkan tanggung jawab terhadap orang lain, merupakan sikap dan perilaku yang rasional di dalam berkomunikasi dengan orang lain dan alam di mana kehidupan manusia secara lahiriah selalu tergantung padanya.


Kemudian tanggung jawab terhadap Allah SWT adalah dalam bentuk disiplin norma dan ajaran di dalam pengelolaan alam. Disiplin sosial sesuai dengan norma mu'asyarah dan mu’amalah antar sesama makhuk. Ini dalam rangka meningkatkan “keakroman" yang dapat menumbuhkan lingkungan hidup yang seimbang dan lestari.


***

Upaya pembinaan lingkungan hidup dapat dilakukan dengan dua pokok pendekatan. Pertama, pendekatan proyek dan kedua, pendekatan motivasi. Atau keduanya sekaligus dilakukan secara terpadu.


Pendekatan kedua (motivasi) walaupun akan memerlukan waktu yang relatif panjang, akan berdampak lebih positif karena pihak sasaran secara berangsur akan mau mengubah sikap dan perilaku secara persuasif. Perilaku dan sikap acuh tak acuh terhadap masalah lingkungan hidup akan berubah menjadi suatu sikap dinamis yang terus berkembang yang akan berkulminasi pada stabilitas pembinaan lingkungan hidup.


Pendekatan motivasi seperti itu dapat dilakukan dalam pola pendidikan di pesantren. Kesadaran akan keseimbangan lingkungan hidup yang muncul dari pengertian dasar tentang masalah-masalahnya serta implikasinya terhadap kesejahteraan ukhrawi dan duniawi dapat ditanamkan dan dikembangkan melalui jalur pendidikan di pesantren.


Keterlibatan pesantren memberi pengertian mengenai dampak lingkungan hidup secara duniawi dan ukhrawi, merupakan peranan dan peran serta nyata dalam pembinaan lingkungan hidup. Bila peranan itu mampu dilembagakan, akan banyak berpengaruh positif di kalangan masyarakat sekelilingnya. Mengingat posisi pesantren sebagai lembaga dakwah, berfungsi pula sebagai titik sentral legitimasi keilmuan agama Islam bagi masyarakatnya, melalui kegiatan pendidikan formal pesantren (yaitu madrasah) dan pengajian weton maupun pengajian rutin yang melibatkan masyarakat di sekelilingnya.


Pendidikan itu dilakukan secara integratif ke dalam komponen-komponen akidah, syari'ah dan akhlak. Namun diberikan atau dikenalkan dalam satu paket ikhtiar peningkatan sarana keberhasilan sa'adatud darain.


Faktor integratif yang mengatur pola hubungan antar sesama di tengah-tengah masyarakat di dalam menyumbangkan nilai-nilai kehidupan, juga merupakan peranan lain yang mampu dilakukan oleh pesantren untuk mengembangkan dirinya dan masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya pembinaan lingkungan hidup.


Pesantren dengan fungsi dan peranannya seperti tadi, sarat dengan pelbagai kegiatan edukatif mau pun pelayanan masyarakat. Sehingga untuk diperansertakan dalam pembinaan lingkungan hidup, perlu adanya pola pendekatan yang tidak mengganggu tugas-tugasnya. Lebih-lebih tidak akan mengganggu identitas pesantren. Langkah awal yang perlu ditempuh, adalah pengenalan masalah-masalah lingkungan hidup dan implikasinya terhadap segala aspek kehidupan. Kemudian penumbuhan kesamaan wawasan keagamaan yang berkait dengan lingkungan hidup yang mampu memotivasi pesantren dalam mencari sendiri alternatif-alternatif pemecahannya sesuai dengan potensi yang dimiliki.


Kesiapan pesantren untuk melakukan pembinaan lingkungan hidup sangat mempengaruhi efektivitas kerja secara dinamis. Namun kesiapan itu akan banyak tergantung pada wawasan dan potensinya. Sementara itu masih ada pesantren yang berwawasan eksklusif di dalam mencerna ajaran Islam. Oleh karenanya pengenalan dan penumbuhan dimaksud, memerlukan pola pendekatan yang berorientasi pada kenyataan di masing-masing pesantren yang berbeda-beda, dalam hal wawasan, potensi antisipasi ke depan maupun tenaga ahli dan tenaga dukungnya.


Kemungkinan-kemungkinan proyeksi pesantren pada pembinaan lingkungan hidup itu perlu perumusan matang. Apakah pesantren bertindak sebagai penunjang atau pelengkap, ataukah sebagai motivator, dinamisator dan fasilitator? Semuanya akan menuntut adanya program tertentu yang tentu akan berbeda satu dengan yang lain karena perbedaan status tersebut. [FM]


*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan pada Lokakarya LKK-NU Pusat, 9 Januari 1992 di Jakarta. Tulisan ini pernah dimuat majalah Aula edisi No.3 Tahun X, Maret 1988.