Rabu, 16 Juni 2021

KH.MUNFASIR, Padarincang, Serang, Banten



Akhlaq seorang kyai yang takut memakai uang yang belum jelas 
Kyai Laduni yang pantang meminta kepada makhluk
Pesantren Beliau yang tanpa nama terletak di kaki bukit padarincang. Dulunya beliau seorang dosen IAIN di kota cirebon. Saat mendapatkan hidayah beliau hijrah kembali ke padarincang, beliau menjual seluruh harta bendanya untuk dibelikan sebidang sawah & membangun sepetak gubuk ijuk, dan sisa selebihnya beliau sumbangkan.
Beliau pernah bercerita disaat krisis moneter, dimana keadaan sangatlah paceklik. Sampai sampai pada saat itu, -katanya- untuk makan satu biji telor saja harus dibagi 7. Pernah tiba tiba datanglah seseorang meminta doa padanya. Saat itu Beliau merasa tidak pantas mendoakan orang tersebut. Tapi orang tersebut tetap memaksa beliau yang pada akhirnya beliaupun mendoakan Alfatihah kepada orang tersebut.
Saat berkehendak untuk pamit pulang, orang tersebut memberikan sebuah amplop yang berisi segepok uang. Sebulan kemudian orang tersebut kembali datang untuk meminta doa kembali dan menyerahkan amplok tebal seperti saat kemarin. Tapi langsung ditolak bapak (sebutan yang disukai Abuya Munfasir karena beliau merasa bukan ulama). Bapak bilang, nanti dulu uang kemarin saja sampai saat ini bapak belum berani pakai, itu uang apa ? darimana ? shadaqoh kok sebanyak itu ? kalo dari gaji bisa habis dong gajinya ?!. Soalnya uang tersebut berjumlah 2,5jt (saat kejadian ini awal th.90). Ketika bapak menayakan pertanyan demikian, lalu orang tersebut menjawab bahwa dia mengerti hukum shadaqoh yaitu 2 1/2%, jadi uang tersebut adalah 2 1/2% dari gajinya.
Setelah diselidiki ternyata orang tersebut adalah direktur utama sebuah perusahaan multi nasional. Dan sampai saat ini orang tersebut selalu rutin meminta doa dan memberi uang shadaqoh setiap bulan, sampai sampai tidak pernah absen.
Abuya Munfasir hanya menerima santri laki laki yang jumlahnya maksimal 40 orang saja, akan tetapi belum pernah santrinya mencapai angka 40 orang. Abuya menerapkan beberapa syarat untuk dapat mondok dan menuntut ilmu ditempatnya, salah satunya dengan tidak diperbolehkannya membawa apapun. Hanya baju yang melekat dibadan saja yang diperbolehkan untuk di bawa ke pondok beliau. Selain itu, abuya juga memberikan syarat untuk siapa saja yang ingin menuntut ilmu dengan beliau, diharuskan untuk di test agar sanggup berpuasa selama 40 hari sambil berbuka dan sahur hanya dengan 3 teguk air (tidak lebih). Setelah melewati taraf pengetesan ini, abuya mengharuskan santri untuk berpuasa dengan umbi-umbian yang tidak dipebolehkan untuk di masak / terkena api, pada taraf ini santri harus mengiringi puasanya dengan membaca Al-quran 10 juz perharinya.
Ketika semua sudah dilewati, sampailah kita pada syarat yang bisa di bilang syarat tertinggi yang diberikan oleh Abuya, yaitu harus puasa mutih (berpuasa dengan hanya nasi putih dan garam). Dan berpuasa dari segala omongan (berdiam diri). Jadi jangan heran, ketika berkunjung ketempat beliau akan menemukan santri santri beliau yang tidak mengeluarkan sepatah kata sedikitpun.
Syarat syarat yang di berikan beliau memang terlihat sangat berat, tapi beliau punya manhaj sendiri untuk menjadikan santri santrinya memiliki hati yang bersih, salah satunya melalui jalan tasawwuf. (FM/FB)

2 komentar: