Langsung ke konten utama

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 240-242



Al-Baqarah, ayat 240-242

{وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (240) وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (241) كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (242) }

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga satu tahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kalian memahaminya.

Kebanyakan ulama mengatakan bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat sebelumnya, yaitu firman-Nya:

{يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا}

menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234)

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umayyah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zura'i, dari Habib, dari Ibnu Abu Mulaikah yang menceritakan bahwa Ibnuz Zubair pernah mengatakan bahwa ia pernah mengatakan kepada Usman ibnu Affan mengenai firman-Nya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri. (Al-Baqarah: 240) Bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat lainnya, maka mengapa engkau tetap menulisnya atau mengapa tidak engkau tinggalkan? Khalifah Usman ibnu Affan menjawab, "Hai anak saudaraku, aku tidak akan mengubah barang sedikit pun bagian dari Al-Qur'an ini dari tempatnya."

Kemusykilan yang diutarakan oleh Ibnuz Zubair kepada Usman ibnu Aftan ialah bilamana hukum ayat telah di-mansukh dengan ayat yang menyatakan beridah empat bulan sepuluh hari, maka hikmah apakah yang terkandung dalam penetapan rasamnya, padahal hukum-nya telah dihapuskan. Sedangkan keberadaan rasamnya sesudah hukumnya telah di-mansukh memberikan pengertian bahwa hukum ayat yang bersangkutan masih tetap ada? Maka Amirul Muminin menjawabnya, bahwa hal ini merupakan perkara yang bersifat tauqifi. Aku menjumpainya ditetapkan dalam mushaf sesudah itu (penasikhan), maka aku pun menetapkannya pula seperti apa yang aku jumpai.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (Al-Baqarah: 240) Pada mulanya istri yang ditinggal mati suaminya berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal selama satu tahun penuh, kemudian ayat ini di-mansukh oleh ayat mawaris (waris-mewaris) yang di dalamnya dicantumkan bahwa si istri beroleh seperempat atau seperdelapan dari harta peninggalan suaminya.

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy'ari, Ibnuz Zubair, Mujahid, Ibrahim, Ata, Al-Hasan, Ikrimah, Qatadah, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, As-Saddi, Mu-qatil ibnu Hayyan, Ata Al-Khurrasani, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh.

Telah diriwayatkan melalui jalur Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu apabila seorang lelaki meninggal dunia dan meninggalkan istrinya, maka si istri melakukan idahnya selama satu tahun di rumah si suami dan menerima nafkah dari harta suaminya. Sesudah itu Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan firman-Nya: Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234) Demikianlah idah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya; kecuali jika ia dalam keadaan hamil, maka idahnya sampai batas ia melahirkan kandungannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman pula:

وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ

Para istri memperoleh seperempat harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan. (An-Nisa: 12) Maka melalui ayat ini dijelaskan hak waris istri dan ditinggalkanlah wasiat dan nafkah yang telah disebutkan oleh ayat di atas (Al-Baqarah: 240).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan, Ikrimah, Qatadah, Ad-Dahhsk, Ar-Rabi', dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh firman-Nya: selama empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234)

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh ayat yang ada di dalam surat Al-Ahzab, yaitu firman-Nya:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ}

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman. (Al-Ahzab: 49), hingga akhir ayat.

Menurut kami, telah diriwayatkan pula dari Muqatil dan Qatadah bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 240) telah di-mansukh oleh ayat miras (pembagian waris –ed).

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri. (Al-Baqarah: 240) Mujahid mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan wanita yang menunggu masa idahnya di rumah keluarga suaminya, sebagai suatu kewajiban. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan firman-Nya:  Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. (Al-Baqarah: 240) Allah menjadikan kelengkapan satu tahun —yaitu tujuh bulan dua puluh hari— sebagai wasiat (dari pihak suami). Untuk itu jika pihak istri setuju dengan wasiat tersebut, ia boleh tinggal selama satu tahun (di rumah mendiang suaminya); jika ia suka keluar, maka ia boleh keluar. Pengertian inilah yang tersitirkan dari firman-Nya: dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal). (Al-Baqarah: 240) Pada garis besarnya idah tetap diwajibkan seperti apa adanya.

Imam Bukhari menduga bahwa hal ini diriwayatkan dari Mujahid.

Ata mengatakan, Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat di atas me-mansukh pengertian harus beridah di rumah keluarganya. Untuk itu si istri boleh beridah di mana pun menurut apa yang dikehendakinya. Pengertian inilah yang tersitir dari firman-Nya: dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (Al-Baqarah: 240)

Ata mengatakan, jika si istri suka, ia boleh beridah di rumah suaminya dan tinggal sesuai dengan hak wasiat yang diperolehnya; jika ia suka, boleh keluar (untuk melakukan idahnya di rumahnya sendiri), karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman: maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. (Al-Baqarah: 240)

Ata mengatakan lagi bahwa sesudah itu turunlah ayat miras (waris-mewaris), maka di-mansukh-lah ayat memberi tempat tinggal. Untuk itu si istri boleh beridah di mana pun yang disukainya, tetapi tidak berhak mendapat tempat tinggal lagi.

Kemudian Imam Bukhari menyandarkan kepada Ibnu Abbas suatu riwayat yang sama dengan pendapat yang disandarkan kepada Mujahid dan Ata yang mengatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan wajib beridah selama satu tahun. Pendapat ini sama dengan apa yang dikatakan oleh jumhur ulama, dan sama sekali tidak di-mansukh oleh ayat yang menyatakan beridah selama empat bulan sepuluh hari. Melainkan ayat ini menunjukkan bahwa hal tersebut menyangkut masalah anjuran berwasiat buat para istri yang akan ditinggal mati oleh suami-suaminya, yaitu memberikan kesempatan kepada mereka untuk tinggal di rumah suami-suami mereka sesudah suami-suami mereka meninggal dunia selama satu tahun, jika mereka mau menerimanya. Karena itulah maka disebutkan di dalam firman-Nya: hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya. (Al-Baqarah: 240) Yakni Allah mensyariatkan kepada kalian untuk membuat wasiat buat mereka.

Perihalnya sama dengan makna yang ada di dalam firman lainnya, yaitu:

{يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ}

Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. (An-Nisa: 11), hingga akhir ayat.

Dan Firman-Nya:

{وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ}

(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah. (An-Nisa: 12)

Menurut pendapat yang lain, lafaz wasiyyatan di-nasab-kan karena mengandung pengertian, "Maka hendaklah kalian berwasiat buat mereka dengan sebenar-benarnya." Sedangkan yang lainnya membacanya rafa' (wasiyyatun) dengan pengertian, "Telah ditetapkan atas kalian berwasiat," pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.

Tiada yang melarang mereka (para istri) untuk melakukan hal tersebut, karena ada firman-Nya yang mengatakan:

{غَيْرَ إِخْرَاجٍ}

dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (Al-Baqarah: 240)

Jika ia telah menyelesaikan masa idahnya yang empat bulan sepuluh hari, atau telah melahirkan kandungannya, lalu ia memilih keluar dari rumah mendiang suaminya serta pindah darinya, maka ia tidak dilarang untuk melakukannya, karena firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{فَإِنْ خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ}

Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. (Al-Baqarah: 240)

Pendapat ini cukup terarah dan sesuai dengan makna ayat secara lahiriahnya. Pendapat ini ternyata dipilih oleh sejumlah ulama, antara lain Imam Abul Abbas ibnu Taimiyah. Tetapi ulama lainnya membantah pendapat tersebut, di antaranya adalah Abu Umar ibnu Abdul Barr.

Pendapat Ata dan para pengikutnya yang menyatakan bahwa hal tersebut di-mansukh oleh ayat miras, jika mereka bermaksud tidak lebih dari empat bulan sepuluh hari, maka hal ini bukan merupakan suatu masalah. Akan tetapi, jika mereka bermaksud bahwa memberi tempat tinggal selama empat bulan sepuluh hari bukan merupakan suatu kewajiban yang dibebankan kepada peninggalan mayat, maka hal inilah yang menjadi topik perbedaan pendapat di kalangan para imam. Imam Syafii sehubungan dengan masalah ini mempunyai dua pendapat.

Mereka yang berpendapat wajib memberi tempat tinggal di rumah suami berdalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta'-nya dari Sa'd ibnu Ishaq ibnu Ka'b ibnu Ujrah, dari bibinya (yaitu Zainab binti Ka'b ibnu Ujrah). Disebutkan bahwa Fari'ah binti Malik ibnu Sinan (yaitu saudara perempuan Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu) pernah menceritakan kepadanya (Zainab binti Ka'b ibnu Ujrah) bahwa ia pernah datang menghadap Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam untuk meminta izin agar diperkenankan kembali ke rumah keluarganya di kalangan orang-orang Bani Khudrah. Karena sesungguhnya suaminya telah berangkat untuk mencari budak-budaknya yang minggat (melarikan diri). Tetapi ketika ia sampai di Tarful Qadum, ia dapat menyusul mereka, hanya saja mereka membunuhnya. Fari'ah melanjutkan kisahnya, "Aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam untuk kembali ke rumah keluargaku, karena sesungguhnya suamiku tidak meninggalkan diriku di dalam rumahnya sendiri, tiada pula nafkah buatku. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam hanya menjawab, 'Ya.' Lalu aku pergi. Tetapi ketika aku sampai di Hujrah, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam memanggilku, atau memerintahkan seseorang untuk memanggilku. Setelah aku datang, beliau Shalallahu'alaihi Wasallam bertanya, 'Apa yang tadi kamu katakan?' Maka aku mengulangi lagi kepadanya kisah mengenai nasib yang menimpa suamiku, lalu beliau Shalallahu'alaihi Wasallam bersabda:

«امْكُثِي فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ»

'Diamlah di dalam rumahmu hingga masa idahmu habis.' Maka aku melakukan idah di dalam rumah suamiku selama empat bulan sepuluh hari. Ketika Khalifah Usman ibnu Affan mengutus seseorang untuk menanyakan kasus yang sama, maka aku ceritakan hal itu kepadanya, dan ia mengikutinya serta memutuskan perkara dengan keputusan yang sama."

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui hadis Malik dengan lafaz yang sama.

Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula melalui jalur Sa'd ibnu Ishaq dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.

*******************

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ}

Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 241)

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ketika firman-Nya diturunkan, yaitu: Mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236) Maka seorang lelaki berkata, "Jika aku menghendaki untuk berbuat kebajikan, niscaya aku akan melakukannya. Jika aku suka tidak melakukannya, niscaya aku tidak akan melakukannya." Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat ini: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241)

Ayat ini dijadikan dalil oleh orang-orang dari kalangan ulama yang mengatakan bahwa wajib diberikan mut'ah kepada setiap wanita yang diceraikan, baik ia wanita yang memasrahkan jumlah maskawinnya atau telah mendapat ketentuan jumlah maharnya ataupun diceraikan sebelum digauli atau telah digauli. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, dan dipilih oleh Ibnu Jarir.

Sedangkan menurut pendapat orang-orang yang tidak mewajibkan mut'ah secara mutlak, pengertian umum ayat ini di-takhsis oleh firman lainnya, yaitu:

{لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ}

Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka dan sebelum kalian menentukan maharnya. Dan hendaklah kalian berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236)

Golongan yang pertama membantah pendapat ini, bahwa ayat di atas termasuk ke dalam pengertian menuturkan sebagian dari rincian yang umum. Karena itu, tidak ada takhsis menurut pendapat yang terkenal lagi banyak pendukungnya.

*******************

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ}

Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya). (Al-Baqarah: 242)

Yakni mengenai halal dan haram-Nya serta fardu dan batasan-batasan-Nya dalam semua yang diperintahkan-Nya kepada kalian dan semua yang dilarang-Nya kepada kalian. Dia menerangkan dan menjelaskannya serta menafsirkannya. Dia tidak akan membiarkan hal yang bermakna global kepada kalian di saat kalian memerlukannya.

{لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ}

supaya kalian memahaminya. (Al-Baqarah: 242)

Maksudnya, agar kalian memahami dan memikirkannya. (Androidkit/FM)

Artikel Terkait

Komentar

Artikel Populer

Prahara Aleppo

French Foreign Minister Bernard Kouchner takes off a Jewish skull-cap, or Kippa, at the end of a visit to the Yad Vashem Holocaust Memorial in Jerusalem, Tuesday, Sept. 11, 2007. Kouchner is on an official visit to Israel and the Palestinian Territories. (AP Photo/Kevin Frayer) Eskalasi konflik di Aleppo beberapa hari terakhir diwarnai propaganda anti-rezim Suriah yang sangat masif, baik oleh media Barat, maupun oleh media-media “jihad” di Indonesia. Dan inilah mengapa kita (orang Indonesia) harus peduli: karena para propagandis Wahabi/takfiri seperti biasa, mengangkat isu “Syiah membantai Sunni” (lalu menyamakan saudara-saudara Syiah dengan PKI, karena itu harus dihancurkan, lalu diakhiri dengan “silahkan kirim sumbangan dana ke no rekening berikut ini”). Perilaku para propagandis perang itu sangat membahayakan kita (mereka berupaya mengimpor konflik Timteng ke Indonesia), dan untuk itulah penting bagi kita untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Suriah. Tulisan i

Mengelola Blog Wordpress dan Blogspot Melalui Ponsel

Di jaman gatget yang serba canggih ini, sekarang dasboard wordpress.com dan blogspot.com semakin mudah dikelola melalui ponsel. Namun pada settingan tertentu memang harus dilakukan melalui komputer seperti untuk mengedit themes atau template. Dan bagi kita yang sudah terbiasa "mobile" atau berada di lapangan maka kita bisa menerbitkan artikel kita ke blog wordpress.com melalui email yang ada di ponsel kita, so kita nggak usah kawatir.

3 Ulama Paku Banten paling keramat yang masih hidup - Himayah atau Pemimpin Ulama di Tanah Banten

Forum Muslim - Banten merupakan provinsi Seribu Kyai Sejuta Santri. Tak heran jika nama Banten terkenal diseluruh Nusantara bahkan dunia Internasional. Sebab Ulama yang sangat masyhur bernama Syekh Nawawi AlBantani adalah asli kelahiran di Serang - Banten. Provinsi yang dikenal dengan seni debusnya ini disebut sebut memiliki paku atau penjaga yang sangat liar biasa. Berikut akan kami kupas 3 Ulama Paku Banten paling keramat yang masih hidup. 1. Abuya Syar'i Ciomas Banten Selain sebagai kyai terpandang, masyarakat ciomas juga meyakini Abuya Syar'i sebagai himayah atau penopang bumi banten. Ulama yang satu ini sangat jarang dikenali masyarakat Indonesia, bahkan orang banten sendiri masih banyak yang tak mengenalinya. Dikarnakan Beliau memang jarang sekali terlihat publik, kesehariannya hanya berdia di rumah dan menerima tamu yg datang sowan ke rumahnya untuk meminta doa dan barokah dari Beliau. Banyak santri - santrinya yang menyaksikan secara langsung karomah beliau. Beliau jug

Amalan Pada Malam Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha

Nabi Muhammad ﷺ bersabda: عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن رسول ﷺ قال: “من أحيا ليلة الفطر وليلة الأضحى لم يمت قلبه يوم تموت القلوب” رواه الطبراني في الكبير والأوسط. Dari Ubadah Ibn Shomit r.a. Sungguh Rosulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa menghidupkan malam Idul Fitri dan malam Idul Adlha, hatinya tidak akan mati, di hari matinya hati." ( HR.Thobaroni ) عن أبي أمامه رضي الله عنه عن النبي ﷺ قال : “من قام ليلتي العيدين محتسباً لم يمت قلبه يوم تموت القلوب”. وفي رواية “من أحيا” رواه ابن ماجه Dari Abi Umamah r.a, dari Nabi ﷺ, bersabda: Barangsiapa beribadah di dua malam Hari Raya dengan hanya mengharap ALLAH, maka hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati. ( HR. Ibnu Majah ) Bagaimana cara menghidupkan dua Hari Raya itu? Telah disebutkan oleh Syaikh Abdul Hamid Al Qudsi, dengan mengamalkan beberapa amalan: 1. Syaikh Al Hafni berkata: Ukuran minimal menghidupkan malam bisa dengan Sholat Isya’ berjama’ah dan meniatkan diri untuk jama’ah Sholat Shubuh pada besoknya. Atau mempe

KH.MUNFASIR, Padarincang, Serang, Banten

Akhlaq seorang kyai yang takut memakai uang yang belum jelas  Kyai Laduni yang pantang meminta kepada makhluk Pesantren Beliau yang tanpa nama terletak di kaki bukit padarincang. Dulunya beliau seorang dosen IAIN di kota cirebon. Saat mendapatkan hidayah beliau hijrah kembali ke padarincang, beliau menjual seluruh harta bendanya untuk dibelikan sebidang sawah & membangun sepetak gubuk ijuk, dan sisa selebihnya beliau sumbangkan. Beliau pernah bercerita disaat krisis moneter, dimana keadaan sangatlah paceklik. Sampai sampai pada saat itu, -katanya- untuk makan satu biji telor saja harus dibagi 7. Pernah tiba tiba datanglah seseorang meminta doa padanya. Saat itu Beliau merasa tidak pantas mendoakan orang tersebut. Tapi orang tersebut tetap memaksa beliau yang pada akhirnya beliaupun mendoakan Alfatihah kepada orang tersebut. Saat berkehendak untuk pamit pulang, orang tersebut memberikan sebuah amplop yang berisi segepok uang. Sebulan kemudian orang tersebut kembali datang untuk memi

ALASAN ALI MENUNDA QISHASH PEMBUNUH UTSMAN

Oleh :  Ahmad Syahrin Thoriq   1. Sebenarnya sebagian besar shahabat yang terlibat konflik dengan Ali khususnya, Zubeir dan Thalhah telah meraih kesepakatan dengannya dan mengetahui bahwa Ali akan menegakkan hukum qishash atas para pemberontak yang telah membunuh Utsman.  Namun akhirnya para shahabat tersebut berselisih pada sikap yang harus diambil selanjutnya. Sebagian besar dari mereka menginginkan agar segera diambil tindakan secepatnya. Sedangkan Ali memilih menunda hingga waktu yang dianggap tepat dan sesuai prosedur. 2. Sebab Ali menunda keputusan untuk menegakkan Qishash adalah karena beberapa pertimbangan, diantaranya : Pertama, para pelaku pembunuh Ustman adalah sekelompok orang dalam jumlah yang besar. Mereka kemudian berlindung di suku masing-masing atau mencari pengaruh agar selamat dari hukuman. Memanggil mereka untuk diadili sangat tidak mungkin. Jalan satu-satunya adalah dengan kekuatan. Dan Ali menilai memerangi mereka dalam kondisi negara sedang tidak stabil sudah pas

Abuya Syar'i Ciomas Banten

''Abuya Syar'i Ciomas(banten)" Abuya Syar'i Adalah Seorang Ulama Yg Sangat Sepuh. Menurut beliau sekarang beliau telah berrusia lebih dari 140 tahun. Sungguh sangat sepuh untuk ukuran manusia pada umumnya. Abuya Sar'i adalah salah satu murid dari syekh. Nawawi al bantani yg masih hidup. Beliau satu angkatan dengan kyai Hasyim asy'ary pendiri Nahdatul ulama. Dan juga beliau adalah pemilik asli dari golok ciomas yg terkenal itu. Beliau adalah ulama yg sangat sederhana dan bersahaja. Tapi walaupun begitu tapi ada saja tamu yg berkunjung ke kediamannya di ciomas banten. Beliau juga di yakini salah satu paku banten zaman sekarang. Beliau adalah kyai yg mempunyai banyak karomah. Salah satunya adalah menginjak usia 140 tahun tapi beliau masih sehat dan kuat fisiknya. Itulah sepenggal kisah dari salah satu ulama banten yg sangat berpengaruh dan juga kharismatik. Semoga beliau senantiasa diberi umur panjang dan sehat selalu Aaamiiin... (FM/ FB )

Sholawat-Sholawat Pembuka Hijab

Dalam Islam sangat banyak para ulama-ulama sholihin yang bermimpi Rosululloh Shollallohu Alaihi Wasallam dan mendapatkan petunjuk atau isyarat untuk melakukan atau mengucapkan kalimat-kalimat tertentu (seperti dzikir, sholawat, doa dll ). Bahkan sebagian di antara mereka menerima redaksi sholawat langsung dari Rasulullah dengan ditalqin kata demi kata oleh Beliau saw. Maka jadilah sebuah susunan dzikir atau sholawat yg memiliki fadhilah/asror yg tak terhingga.  Dalam berbagai riwayat hadits dikatakan bahwa siapa pun yang bermimpi Nabi saw maka mimpi itu adalah sebuah kebenaran/kenyataan, dan sosok dalam mimpinya tersebut adalah benar-benar Nabi Muhammad saw. Karena setan tidak diizinkan oleh Alloh untuk menyerupai Nabi Muhammad saw. Beliau juga bersabda, "Barangsiapa yg melihatku dalam mimpi maka ia pasti melihatku dalam keadaan terjaga" ----------------------------- 1. SHOLAWAT JIBRIL ------------------------------ صَلَّى اللّٰهُ عَلٰى مُحَمَّدٍ SHOLLALLOOH 'ALAA MUHAMMA

Kisah Siti Ummu Ayman RA Meminum Air Kencing Nabi Muhammad SAW

Di kitab Asy Syifa disebutkan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW punya pembantu rumah tangga perempuan bernama Siti Ummu Ayman RA. Dia biasanya membantu pekerjaan istri Kanjeng Nabi dan nginap di rumah Kanjeng Nabi. Dia bercerita satu pengalaman uniknya saat jadi pembantu Kanjeng Nabi. Kanjeng Nabi Muhammad itu punya kendi yang berfungsi sebagai pispot yang ditaruh di bawah ranjang. Saat di malam hari yang dingin, lalu ingin buang air kecil, Kanjeng Nabi buang air kecil di situ. Satu saat, kendi pispot tersebut hilang entah ke mana. Maka Kanjeng Nabi menanyakan kemana hilangnya kendi pispot itu pada Ummu Ayman. Ummu Ayman pun bercerita, satu malam, Ummu Ayman tiba-tiba terbangun karena kehausan. Dia mencari wadah air ke sana kemari. Lalu dia nemu satu kendi air di bawah ranjang Kanjeng Nabi SAW yang berisi air. Entah air apa itu, diminumlah isi kendi itu. Pokoknya minum dulu. Ternyata yang diambil adalah kendi pispot Kanjeng Nabi. Dan yang diminum adalah air seni Kanjeng Nabi yang ada dal

Daun Pepaya Jepang, Aman Untuk Pakan Kambing di @kapurinjing