Oleh : Syaiful Arif
Forum Muslim - Pemikiran politik Nahdlatul Ulama (NU) ternyata memiliki kesamaan dengan pemikiran politik Barat kontemporer, yakni republikanisme. Sebabnya, keduanya sama-sama mengusung kebaikan publik sebagai nilai utama politik. Ini yang menjelaskan, kenapa NU menerima Republik Indonesia sebagai bangunan negara yang secara etis sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Republikanisme merupakan salah satu varian filsafat politik Barat kontemporer yang menyediakan diskursus tentang hakikat politik. Akar teoritisnya merentang sejak Aristoteles (384-322 SM), Cicero (106-43 SM), Machiavelli (1469-1527), James Harrington (1611-1677), JJ Rousseau (1712-1778), James Madison (1751-1836), hingga Hannah Arendt (1906-1975).
Konsen utamanya terletak di dalam politik sebagai kebaikan publik yang diwujudkan melalui partisipasi rakyat, sejak dalam pemilihan pemimpin hingga perumusan kebijakan. Posisi urgen pemikiran ini terletak dalam raibnya hakikat politik (the political) akibat politisasi (politicking) yang terjadi dalam demokrasi prosedural. Dengan demikian, republikanisme hendak merehabilitasi makna politik yang busuk dan profan, kepada hakikat mulianya: kebaikan publik.
Kesesuaian republikanisme dan politik NU bisa digambarkan dalam beberapa hal. Pertama, kebaikan publik. Dalam republikanisme, tujuan politik bukanlah pendirian negara melainkan perwujudan kebaikan publik. Hal ini berakar dari Aristoteles yang menempatkan politik sebagai kepentingan publik (res publika) yang ia bedakan dengan kepentingan pribadi (res privata).
Kepublikan atau politik (polis) ialah segala upaya manusia yang secara bersama-sama mewujudkan kepentingan publik. Sedangkan lawannya, yakni kepentingan pribadi merupakan upaya manusia memenuhi kepentingan rumah tangga dalam kerangka ekonomi (oikos). Maka republikanisme ialah struktur keutamaan (structure of dignity) yang berisi kesejahteraan rakyat, keadilan, toleransi, kemanusiaan dan segenap nilai-nilai kebaikan publik. Dengan penempatan politik sebagai res publika, Aristoteles menahbiskan politik sebagai etika. Oleh karenanya, politik bukan sekadar cara mencapai tujuan. Ia menjadi kondisi eksistensial manusia di mana setiap orang meningkatkan martabatnya. Ini makna prinsip manusia sebagai hewan politik (zoon politikon) (Robet, 2007:18).
Dengan demikian, republikanisme merupakan "teori politik normatif" yang menempatkan politik secara ideal. Ini dilakukan sejak pendirian Republik-republik Kota di Italia Utara abad ke-11, yang telah membentuk pemerintahan republik awal di mana keterlibatan rakyat secara langsung menjadi prasyarat keutamaan politik. Keutamaan ini yang membuat sebagian besar negara modern menamai dirinya sebagai republik, termasuk Republik Indonesia, bahkan negara-negara Islam seperti Republik Islam Iran dan Republik Pakistan.
Di dalam pemikiran politik NU, kepublikan ini terdapat di dalam nilai kesejahteraan rakyat (al-mashalih al-ra'iyyah) yang menjadi tujuan utama pendirian negara. Ini yang dimaksud oleh kaidah fikih, Tasharruf al-imam 'ala ra'iyyatihi manuthun bi al-mashlahah (Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya terkait dengan kesejahteraan).
Dengan cara ini, landasan politik NU bukanlah ideologi Islam melainkan keabsahan fiqhiyyah. Hal ini tentu menyimpan perbedaan. Jika ideologi Islam, tujuan politik ialah pendirian negara Islam dengan segenap kebijakan yang lahir dari batasan-batasan ideologis. Misalnya, dasar negara (syariah), kepala negara (khalifah), sistem politik (teokratik), hingga kewarganegaraan (segregasi warga berdasar perbedaan agama). Secara substantif hal ini menciderai keutamaan politik terkini, di mana keterlibatan rakyat yang telah rasional menjadi syarat utama kualitas politik.
Dalam praktiknya, pendekatan ideologis ini kemudian memaksakan utopia atas realitas yang bertentangan. Inilah yang melahirkan fundamentalisme Islam yang mengalami alienasi akibat ketidakmampuan mengintegrasikan Islam ke dalam kehidupan berbangsa.
Hal berbeda dengan pemikiran politik berbasis fikih yang beradaptasi dengan keadaan untuk menegarkan nilai-nilai substantif Islam. Ini dimungkinkan oleh keberadaan metode perumusan hukum yang bersifat adaptif dengan keadaan. Kaidah fikih (legal maxim) berupa Ma la yudraku kulluhu la yutraku julluhu (Apa yang tidak bisa dicapai semua jangan ditinggal prinsip dasarnya) misalnya, membuat warga NU menerima NKRI karena meskipun bukan Negara Islam, tetapi nilai-nilai Islam ada di dalamnya.
Dalam kaitan ini, kepublikan Islam merujuk pada perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia yang menjadi tujuan syariat (maqashid al-syari'ah). Demi perlindungan ini, dibutuhkan struktur masyarakat yang adil di mana pengerahan dana untuk membantu kebutuhan fakir miskin menjadi prasyarat utama keadilan, sebagaimana perintah al-Baqarah:177. Inilah prinsip etika sosial Islam yang oleh Dr. Muhammad Abu Zahrah dikerucutkan ke dalam tiga kondisi emansipatif; demokrasi (syura), keadilan ('adalah) dan persamaan (musawah). Dengan cara ini, Islam konsen dengan struktur masyarakat -adil atau tidak- sedangkan negara menjadi bagian dari struktur itu, yang menjadi alat bagi pembenahan kondisi masyarakat. Maka negarapun bukan tujuan. Ia alat bagi tujuan etika sosial Islam di atas.
Ini yang menjadi kesamaan kedua, antara republikanisme dan politik NU. Yakni pergerakan politik di luar negara dalam rangka demokratisasi. Republikanisme, selain menjadi sistem kenegaraan modern juga menjadi basis bagi gerakan masyarakat sipil. Secara filosofis, ia menjadi "basis ontologis" dari demokrasi. Sebab jika demokrasi merupakan sistem berlandas daulat rakyat, republikanisme menyediakan tujuan bagi kedaulatan tersebut. Posisi republikabisme vital sebab tanpanya, demokrasi hanya menjadi prosedur bagi suksesi eksekutif-legislatif melalui pemilu.
Pada saat bersamaan, republikanisme kemudian melahirkan diskursus tentang ruang publik (public sphere) yang menjadi arena bagi praktik politik. Ruang publik tidak hanya merujuk pada wilayah-wilayah publik seperti alun-alun, parlemen, media massa atau ruang seminar. Ia lebih merupakan ruang diskursif tempat kepentingan publik diperjuangkan. Inilah yang menjadi ranah gerakan sipil dalam memerjuangkan demokratisasi. Pada titik ini, makna dan praktik politik diperluas dari formalisme negara kepada perjuangan demokrasi oleh masyarakat sipil.
Bagi NU yang tidak berpolitik praktis, gerakan politiknya ialah gerakan republikan. Yakni demokratisasi politik di dalam ruang publik. Oleh karenanya, penerimaan NU atas NKRI tidak bersifat pasif, melainkan transformatif. Artinya, setelah menerima NKRI secara teologis, organisasi tradisionalis ini kemudian mentransformasikan nilai-nilai (etika sosial) Islam melalui demokrasi. Ini yang menjadi corak pemikiran politik NU yang tidak hanya bersifat suplementer (melegitimasi negara-bangsa), apalagi alternatif (mengganti negara-bangsa), melainkan komplemeter (menyempurnakan kualitas negara-bangsa melalui demokratisasi).
Beberapa Konsekuensi
Berdasarkan corak republikan dari politik NU, beberapa konsekuensi perlu disadari. Pertama, penumbuhan Islam sebagai agama sipil (civil religion). Agama sipil ini merupakan pengamalan nilai-nilai sosial Islam dalam rangka pengadaban politik. Ini yang telah meruntuhkan tesis sekularisasi, sebab dengan nilai keislaman, NU sebagai organisasi keagamaan justru konstruktif bagi pengembangan kebangsaan demokratik.
Untuk menuju ke sana dibutuhkan hal kedua, yakni perumusan "teologi sosial" yang menjembatani Rukun Iman dan Rukun Islam. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merekomendasikan hal ini, sebab menurutnya, keprihatinan dan dimensi sosial agama belum menjadi kesadaran teologis. Hal ini membuat sebagian besar ibadah dalam Islam terhenti pada ritus individual yang tak memiliki makna bagi perubahan sosial. Perumusan "teologi sosial" akan melahirkan "teologi politik", di mana Islam-NU menjadikan agama sebagai spirit bagi pembentukan masyarakat yang adil.
Ketiga, kritik atas kualitas prosedural demokrasi yang menjadikan politik, jauh dari hakikat filosofisnya. Untuk hal ini, gerakan sosial NU perlu meredefinisi diri dari pendekatan liberal menuju republikan. Batasnya sederhana. Pengarusutamaan perjuangan demokratik tidak dalam rangka liberalisasi agama dan politik, melainkan penumbuhan keadaban politik dalam rangka demokrasi partisipatoris. Dua agenda perlu digerakkan; (1) pembentukan kewarganegaraan modern berbasis nilai-nilai Islam; (2) penyambungan keterpisahan negara dan masyarakat melalui aktivasi (pengaktifan) ruang publik.
Konsekuensi keempat bersifat teoritik, yakni perumusan filsafat politik NU. Ini urgen dalam terang republikanisme, karena pemikiran politik NU memiliki kelemahan. Kelemahan ini terletak di titik pijaknya, yakni pemikiran hukum Islam yang awalnya dirumuskan demi beradaptasi dengan perkembangan zaman. Karena sifatnya adaptif berdasarkan kaidah fikih sederhana dan praktis, pemikiran fikih siyasah tidak memiliki kerangka sosial layaknya tradisi filsafat politik.
Hanya saja di tangan Gus Dur, pemikiran fikih ditransformasikan menjadi pemikiran politik Islam demokratik yang menjadikan NU sebagai gerakan civil Islam terbesar di Indonesia. Oleh karena itu, pemikiran politik NU memiliki potensi dalam rangka tradisi republikan. Keberhasilan merumuskannya, akan menghadirkan pemikiran politik Islam khas Indonesia yang bisa menjadi model bagi dunia Barat dan Islam itu sendiri. [FM]
Syaiful Arif, dosen pascasarjana Islam Nusantara STAINU Jakarta
Komentar
Posting Komentar