Prof. Azyumardi Azra, |
Dua Pesantren, Dua Budaya (1)
Oleh: Azyumardi Azra
Dua pesantren, dua budaya, dan dua realitas. Meski keduanya sama-sama pesantren, masing-masing mencerminkan sejarah panjang relatif berbeda. Perjalanan masing-masing pesantren hari ini dan ke depan meski memiliki banyak kesamaan, tetapi tantangan yang dihadapi juga sangat berbeda.
Pesantren bisa dipastikan adalah salah satu warisan (legacy) Islam Indonesia yang sulit ditemukan tolok bandingnya di wilayah Dunia Muslim lain. Pesantren bukan hanya menjadi lembaga pendidikan tertua di Pulau Jawa khususnya, tetapi juga merupakan salah satu simbol eksistensial pendidikan Islam Indonesia.
Meski zaman berganti, penguasa juga datang dan pergi, pesantren tetap bertahan. Kenapa bisa? Tidak lain karena kemampuan adaptif pesantren yang sangat tinggi. Karenanya, zaman boleh berlanjut dan musim pun berganti; tetapi kebanyakan pesantren bukan surut, tapi menemukan momentum baru di tengah perubahan sangat cepat dan berdampak luas di lingkungan yang mengitarinya.
Tetapi kondisi masing-masing berbeda. Yang satunya berkembang pesat dengan fasilitas relatif amat lengkap, sedangkan yang satunya lagi menampilkan perkembangan tidak fenomenal.
Perbedaan kondisi, fasilitas dan kelengkapan yang berbeda banyak terkait dengan posisi masing-masing pesantren di lingkungannya. Watak, realitas dan kecenderungan sosial-budaya keagamaan dalam kaitan dengan lembaga pendidikan Islam semacam pesantren menjadi faktor pembeda sangat penting. Begitu juga perspektif pemahaman dan praksis keagamaan yang berlaku menjadi faktor penting dalam dinamika pesantren di ranah kaum Muslimin Indonesia yang berbeda.
Jadi, meski pengamatan langsung tentang perkembangan dan dinamika pesantren terbatas hanya pada dua pesantren, tetapi keduanya cukup representatif untuk relevan dengan konteks lebih luas di wilayah-wilayah lain. Keduanya dapat menjadi tipologi pesantren yang berbeda kondisinya karena pola hubungan dan posisi yang berbeda dalam lingkungan masyarakat dengan realitas sosial-budaya dan distingsinya masing-masing.
Dengan hujjah seperti itu, penulis Resonansi ini merasa beruntung belum lama ini dapat mengunjungi dua pesantren; melihat dan merasakan langsung denyut pesantren. Pengamatan itu memperkuat argumen yang selama ini dipegangi penulis terkait dinamika pesantren terkini secara keseluruhan.
Yang pertama terkunjungi adalah Pesantren an-Nuqayah, Guluk-guluk Sumenep, kabupaten paling timur pulau Madura, pada akhir Desember 2014 lalu. Sedangkan satunya lagi adalah ‘Pesantren’ Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung, di pinggiran timur Kota Bukittinggi, Sumatera Barat menjelang akhir Februari 2015. Dengan lokasi ini, Pesantren an-Nuqayah merupakan pesantren tipikal di perdesaan (rural pesantren), sementara Pesantren MTI sudah berada di wilayah perkotaan dan, karena itu, dapat disebut sebagai ‘pesantren urban’.
Meski usia masing-masing berjarak hampir setengah abad, keduanya termasuk pesantren tua. Pesantren an-Nuqayah didirikan pada 1887 oleh KH Muhammad Syarqawi, ulama yang berasal dari Kudus, Jawa Tengah.
Masa perempatan terakhir abad 19 ini penting dicatat, seperti pernah dikemukakan sejarawan terkemuka Indonesia, Sartono Kartodirdjo dalam satu bab bukunya The Peasant’s Revolt of Banten 1888 (1966) adalah periode ‘religious revival in Java’. Kebangkitan agama—dalam hal ini Islam—ditandai terus meningkatnya jumlah pesantren yang didirikan kiyai-kiyai dan/atau haji yang baru kembali dari Tanah Suci Haramayn.
Sedangkan ‘pesantren’ MTI Candung didirikan pada Mei 1928 oleh Syekh Sulaiman ar-Rasuli yang belakangan juga dikenal sebagai ‘Inyiak Canduang’. Periode ini dikenal sebagai masa kebangkitan nasional yang antara lain ditandai dengan Sumpah Pemuda. Masa ini juga dikenal sebagai periode gejolak dan kontestasi sosial, budaya dan agama di antara ‘Kaum Muda’ pada satu pihak berhadapan dengan ‘Kaum Tua’ di pihak lain. Ar-Rasuli umumnya dipandang sebagai salah satu representasi Kaum Tua.
MTI adalah contoh tipikal tepatnya transformasi surau, lembaga pendidikan Islam tradisional khas Minangkabau. Semula berasal dari pengajian kitab turats (warisan atau kitab kuning) sejak 1908 di Surau Baru Pakankamis, Candung, ar-Rasuli berada dalam posisi defensif ketika Kaum Muda memperkenalkan tidak hanya gagasan modernisme Islam, tetapi lembaga pendidikan moderen baik dengan model persekolahan Belanda maupun lembaga pendidikan Islam modernis dalam bentuk madrasah klasikal semacam Adabiyah (1909) di Padang atau Sumatera Thawalib (1918) atau Diniyah Putri (1923) di Padangpanjang.
Ekspansi sekolah dan madrasah modernis, sebagian besar dimungkinkan melalui transformasi surau. Inilah gelombang transformasi kedua surau setelah pertama kali terjadi Pasca-Perang Padri (1821-37). Berhadapan dengan tantangan tersebut, Sulaiman ar-Rasuli tidak melihat alternatif lain kecuali mengubah suraunya menjadi madrasah klasikal dengan mempertahankan tradisionalismenya.
Pada pihak lain, an-Nuqayah seperti pesantren umumnya di Madura dan tempat-tempat lain di pulau Jawa muncul tidak sebagai hasil transformasi dari lembaga pendidikan sebelumnya. Pesantren tidak tergoyahkan modernisme Islam yang belakangan sampai ke pulau Jawa dan wilayah lain di Nusantara. [FM]
REPUBLIKA.CO.ID, 26 Februari 2015
Azyumardi Azra ; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Teman Serikat Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan
Dua Pesantren, Dua Budaya (2)
Oleh: Azyumardi Azra
Dua pesantren, dua budaya. Masa dua puluh tahun terakhir, setidaknya sejak 1990-an sampai sekarang, pesantren mengalami transformasi baik secara fisik, kelembagaan maupun substansi pendidikan. Perubahan-perubahan itu agaknya mungkin tidak pernah dibayangkan kalangan pesantren sendiri dan pemerhati lembaga pendidikan ini—yang sejak masa awal pembangunan Orde Baru pada awal 1970-an telah berbicara tentang ‘krisis pesantren’.
Apa yang disebut sebagai ‘krisis’ terutama terkait identitas tradisional pesantren seperti otoritas kiyai yang mutlak, santri yang mandiri, bersahaja, dan bekerja keras untuk menuntut ilmu. Modernisasi yang dilancarkan pemerintah Orde Baru juga masuk ke pesantren menyangkut pembaruan kurikulum dan fasilitas seperti ‘listrik masuk pesantren’ yang membuat tersingkirnya sumur dan ember untuk digantikan mesin pompa air, sehingga para santri tidak perlu lagi menimba air—yang diasumsikan mengurangi kemandirian mereka.
Kedua pesantren, an-Nuqayah dan MTI Candung—seperti juga kebanyakan pesantren lain, khususnya di pulau Jawa dan Madura—mengalami banyak perubahan baik fisik maupun substansi. Perubahan dalam berbagai aspek pesantren itu tidak bisa lain juga menimbulkan perubahan citra pesantren dalam masyarakat Indonesia.
Dari sudut populasi, Pesantren al-Nuqayah yang terdiri dari berbagai lembaga pendidikan memiliki lebih dari 8.000 santri dengan pesantren cabang daerah sekitar 14. Sedangkan Pesantren MTI Candung memiliki sepersepuluhnya, sekitar 800 santri. Cabang pesantren MTI juga memiliki sejumlah cabang yang tersebar di berbagai tempat di Sumatera Barat.
Dalam hal perubahan citra, para santri pada kedua pesantren itu sudah lama tidak lagi merupakan ‘santri budug’ (kudisan) karena asrama dan kamar tidur yang tidak bersih, sehingga tempat tidur mereka dipenuhi budug alias kepinding. Kini mereka hidup di lingkungan lebih higienis, bersih dan sehat. Perubahan ini dimungkinkan karena perubahan lingkungan fisik pesantren secara keseluruhan.
Perubahan fisik itu sangat jelas terlihat. Pesantren an-Nuqayah misalnya kini berdiri di atas lahan seluas 14 hektar. Di atas lahan itu ada dua masjid jami’; satunya warisan lama, dan satunya lagi masih baru dan megah. Lalu masih ada sembilan mushalla, 525 asrama santri 19 fasilitas perkantoran, 100 ruang kelas, satu kantor pos, dua gedung sekolah tinggi, 102 kamar mandi dan kakus, satu perpustakaan pesantren dan 14 perpustakaan daerah dan sekolah. Sebagian besar gedung di lingkungan pesantren ini permanen berlantai tiga
Data fisik an-Nuqayah jelas mengagumkan. Tak banyak lembaga pendidikan baik umum maupun Islam yang memiliki fasilitas selengkap itu. Bahkan bisa dengan mudah ditemukan masih cukup banyak lembaga pendidikan di negeri ini yang memiliki fasilitas pas-pasan.
Pesantren MTI Candung agaknya termasuk ke dalam kelompok yang disebut terakhir. Pesantren ini berada di lokasi tanah tidak begitu luas. Menjawab pertanyaan penulis Resonansi, seorang Tuanku Mudo (‘kiyai muda’) menyatakan lahan MTI Candung sekitar 1,2 hektar yang sudah penuh sesak dengan bangunan—yang beberapa di antaranya bertingkat dua. Ia menuturkan, MTI Candung sedang mengusahakan pembelian lahan seluas 8.000 meter, tidak jauh dari lokasi pesantren sekarang; tetapi harga sudah relatif mahal, hampir tidak terjangkau kemampuan keuangan pesantren. Itulah kendala utama Pesantren MTI, sehingga tidak bisa ekspansi, misalnya saja asrama santri putra yang sudah lama direncanakan hingga kini belum bisa dibangun karena ketiadaan lahan.
Dua pesantren, dua budaya. Di sinilah terletak kontras kedua pesantren dalam konteks budaya masyarakatnya. Masyarakat Madura sering disebut sebagai ‘miskin’ karena tanahnya yang berkapur dan tandus. Berbeda dengan lingkungan Candung yang subur. Tetapi kedua masyarakat ini, baik Madura maupun Minang sama-sama punya tradisi merantau; kelompok pertama karena susah penghidupan di negeri sendiri, sedangkan kelompok kedua lebih karena tradisi sosial budaya yang mengidealisasikan dan meromantisasi merantau.
Meski banyak orang Madura pergi merantau, mereka adalah Muslim sangat bersemangat. Sepanjang jalan sejak dari ujung jembatan Suramadu menuju Sumenep orang bisa menyaksikan deretan masjid demi masjid megah di sepanjang jalan. Hal ini kontras dengan Sumatera Barat. Jika orang berkendara dari Bandara Internasional Minang (BIM) di Kataping Padang Pariaman menuju Bukittingi, jelas tidak terlihat deretan masjid yang sambung menyambung seperti yang bisa ditemukan sepanjang perjalanan menuju Sumenep.
Karena semangat itu pula, kelihatan Pesantren an-Nuqayah tidak menemui kesulitan berarti dalam hal lahan. Bahkan pesantren ini memiliki lahan wakaf yang dikelola menjadi perkebunan tanaman palawija seluas sedikitnya 26 hektare. Pesantren an-Nuqayah juga memiliki lahan wakaf lain seluas 19 hektare lebih.
Sementara itu, ketersediaan lahan merupakan masalah sangat pelik di Sumatera Barat. Terkait kerumitan soal hak ‘ulayat’ atau ‘pusaka tinggi’, amat sulit memperoleh lahan untuk kepentingan bisnis atau kepentingan keagamaan dan pendidikan. Seperti terlihat dalam kasus Pesantren MTI dan lembaga pendidikan lain, sulit sekali menemukan adanya pemberian wakaf lahan dalam jumlah hektaran di Sumatera Barat. [FM]
REPUBLIKA, 05 Maret 2015
Azyumardi Azra ; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Teman Serikat Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan
Dua Pesantren, Dua Budaya (3)
Oleh: Azyumardi Azra
Dua pesantren, dua budaya. Kedua pesantren: an-Nuqayah Guluk-guluk, Sumenep, Madura, dan MTI Candung, Bukittinggi, Sumatra Barat, jelas menampilkan gambaran berbeda. Sistem sosial, adat, dan corak Islam yang tumbuh dan berkembang dalam masing-masing suku sangat memengaruhi dinamika-pasang dan surutnya pesantren dan juga lembaga pendidikan Islam lain semacam madrasah.
Dalam masyarakat Madura, keterkaitan kuat antara pesantren dan masyarakat masih bertahan. Meminjam kategori klasik Deliar Noer, Islam tradisionalis yang menekankan ketundukan pada ulama yang berpusat di pesantren sebagian besar juga masih berlanjut. Karena itu, pesantren tetap bertahan.
Sementara dalam masyarakat Minang terlihat ada kerenggangan-jika tidak keterputusan-di antara masyarakat dan adat yang konon 'tidak lapuk karena hujan dan tidak lekang karena panas' dengan pesantren. Islam modernis yang hegemonik di Sumatra Barat, justru menggugat otoritas ulama yang berpusat pada surau, lembaga pendidikan Islam tradisional Minang. Melekatnya citra yang tidak positif terhadap surau memaksa para pengasuhnya mengadopsi istilah pesantren.
Adopsi istilah pesantren khususnya sejak 1970-an oleh lembaga pendidikan Islam tradisional di luar Pulau Jawa menjadi momentum yang tidak pernah bisa lagi dimundurkan. Perubahan ini sekaligus merupakan konsolidasi lembaga pendidikan Islam tradisional yang sangat krusial bagi perjalanan pesantren dalam masa selanjutnya sampai sekarang.
Penting dicatat, sejak masa awal sejarahnya berbarengan dengan peningkatan penyebaran Islam sejak akhir abad ke-13, pesantren memainkan peran lebih daripada sekadar lembaga pendidikan. Sejak awal, pesantren menjadi salah satu lembaga sentral dalam proses Islamisasi. Adalah dari pesantren bermula transmisi keilmuan dan kecakapan keislaman.
Mengalami ekspansi dan konsolidasi secara fenomenal sejak abad ke-19, pesantren menjadi pusat keilmuan dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Hal terakhir ini terjadi tidak lain karena pesantren sekali menjadi pusat tasawuf dan tarekat yang sejak akhir abad ke-18 mengalami 'eksklusivisasi' dan 'radikalisasi'. Seperti dicatat sejawaran Sartono Kartodirdjo, semua perkembangan terkait pesantren dan tarekat ini memunculkan 'kebangkitan agama' (religious revivalism) dengan semangat antikolonial yang terus meningkat.
Masa Orde Lama menyaksikan pesantren yang tetap bertahan dalam kesendiriannya -tanpa kemajuan berarti. Dalam perspektif perbandingan, lembaga pendidikan Islam tradisionalis berupa madrasah konvensional di wilayah dunia Arab, misalnya sejak 1960-an, mengalami integrasi ke dalam sistem pendidikan umum. Hasilnya, sekarang hampir tidak ada lagi lembaga pendidikan sebanding (comparable) dengan pesantren. Karena itulah, Indonesia merupakan negara Muslim terkaya dengan warisan lembaga pendidikan Islam tradisionalnya.
Pesantren menemukan momentum sejak masa Orde Baru ketika pemerintah menginginkan pesantren tidak hanya sebagai 'objek', tetapi lebih lagi sebagai 'subjek', pelaku pembangunan masyarakat Muslim, khususnya di perdesaan. Di sini pesantren diharapkan meningkatkan perannya dalam pembinaan koperasi; ekonomi mikro, kecil, dan menengah; kesehatan masyarakat; pemeliharaan lingkungan hidup, keluarga berencana, dan seterusnya.
Harapan pada pesantren datang tidak hanya dari pemerintah, tetapi lebih-lebih lagi dari masyarakat Muslim sendiri. Secara konvensional, harapan umat itu mencakup pesantren sebagai lokus transmisi ilmu Islam, pemeliharaan ortodoksi dan tradisi Islam Indonesia, dan kaderisasi calon ulama.
Mobilitas pendidikan, sosial, dan ekonomi umat sejak 1980-an sampai sekarang meningkatkan ekspektasi pada pesantren. Pesantren diharapkan tidak hanya membekali para santri dengan ilmu keislaman, tetapi juga dengan ilmu umum yang memperbesar ruang gerak mereka untuk melanjutkan pendidikan. Atas alasan itu, pesantren juga mengembangkan pendidikan umum yang umumnya terbentuk melalui madrasah umum sejak dari tingkat dasar (ibtida'iyah), menengah pertama (tsanawiyah), dan menengah atas (aliyah). Dalam bidang pendidikan ini saja, banyak pesantren kini menjadi holding instution, lembaga induk yang mengikat berbagai institusi pendidikan sejak dari tingkat TK/RA, dasar, menengah, dan tinggi, baik yang berbasiskan pendidikan ilmu umum maupun agama.
Pesantren juga menjadi holding institution dalam bidang nonkependidikan, tegasnya dalam lapangan pengembangan masyarakat, baik terkait ekonomi, teknologi, kesehatan, dan seterusnya. Dengan demikian, pesantren menjadi lembaga yang sangat esensial dalam lingkungan masyarakatnya.
Dua pesantren, dua budaya. Banyak pesantren tidak memiliki kapasitas menjadi holding institution. Namun, harapan masyarakat tidak berkurang. Menyangkut pesantren besar semacam an-Nuqayah, misalnya, Usep Fathuddin, peneliti senior yang terlibat aktif dalam program LP3ES sejak pertengahan 1970-an untuk pengembangan pesantren, menyarankan perlunya penelitian lebih lanjut tentang berapa besar hasil pesantren terhadap lingkungannya; apakah masyarakat sekitarnya menjadi lebih terdidik, lebih makmur, lebih damai -tidak lagi berlaku seperti zaman jahiliyah dengan balas membalas secara kekerasan? Pertanyaan-pertanyaan dapat menjadi langkah awal meneliti pesantren masa kini. [FM]
REPUBLIKA, 12 March 2015
Azyumardi Azra ; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Teman Serikat Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan
Komentar
Posting Komentar