Oleh : Emir Sadikin
Beredar surat SBY, yang mempertanyakan ketidaklaziman kampanye 02 di Stadion Gelora Bubg Karno (GBK), hari ini. Oleh SBY, juga dianggap tidak _inklusif._
Saya tahu arahnya ke mana. Yakni adanya tahajjud bersama, subuh berjamaah dan lantunan sholawat.
Nah, dalam hal ini saya ingin membahas dua hal yakni : (1) Kenapa sampai terjadi ketidaklaziman kampanye. (2) Apa yang dimaksud dengan kampanye tidak lazim dan tidak _inklusif._
Kampanye ini dianggap SBY tidak lazim karena adanya tahajud, subuh berjamaah dan sholawat, dalam _run down_ acara.
Dari pengalaman Gerakan 212, saya ingin mengatakan, ketidaklaziman ini dimulai dari adanya pihak yang tidak ingin acara sukses.
Gerakan 212, diupayakan tidak sukses dengan misalnya, mencegah bus yang mengangkut peserta/ penumpang dari luar kota. _"Ada aksi ada reaksi"._
Alih-alih mencegah. Justru reaksi spontan yang muncul. Santri Ciamis memutuskan jalan kaki _long march_ Ciamis - Jakarta. Artinya kasus penghadangan bus, malah menjadi _stimulus_ bagi tidak terbendungnya lautan massa ke Monas.
Saya _haqqul yakin,_ andai tidak ada stimulus (pencegatan bus) santri Ciamis peserta 212, tidak akan melakukan itu dan sampai sebanyak itu.
Sekarang, kampanye 02 diusahakan tidak sukses juga. Diberikan alokasi waktu kampanye, yang tidak lazim, yakni berakhir pukul 10.00.
Lazimnya, izin diberikan pukul 08.00 sampai pukul 12.00, atau lebih panjang lagi.
Jika waktu harus berakhir pukul 10.00, tentu saja dimulainya mesti pukul 06.00. Semuanya butuh perencanaan dan persiapan. Jika dimulai pukul 06.00, tentu saja harus berangkat pukul 02.00 sampai pukul 04.00, dari rumah.
Dengan demikian sudah ada peserta yang sampai di GBK pada pukul 03.00. Nah, antara pukul 03.00 sampai pukul 06.00, _peserta kampanye mau diapain? Mau disuguhi musik dangdut seperti lazimnya kampanye?_ Tidak mungkinkan?
Satu-satunya yang mungkin, ya tahajud, subuh berjamaah dan sholawat.
Jadi, kalau ini disebut tidak lazim, justru betmula karena ketidaklaziman izin yang diberikan. Coba andaikan izinnya yang lazim-lazim saja. Misal, antara pukul 08.00 sampai dengan pukul 12.00. Saya berani jamin, tidak akan ada tahajud dan subuh berjamaah dalam run down acara. Apalagi, tahajud dan subuh berjamaah, di GBK.
Kedua, adalah tentang definisi _inklusif._ Maksud SBY mengatakan "tidak inklusif", tentu saja adalah karena adanya tahajud, subuh berjamaah dan sholawat.
Disebut tidak inklusif, karena memang non muslim tidak bisa berpartisipasi ikut tahajud, subuh dan sholawat. Seolah-olah "Panitia kurang peka", dengan perasaan non muslim.
Tapi, coba sekarang kita balik. Jika kampanye yang lazim dan inklusif itu, yang ada dangdut atau musiknya, maka kita juga perlu mempertanyakan. _Apakah benar, dangdut/musik itu inklusif?_
Dalam konteks ini, saya ingin mengatakan, bahwa dangdut itu juga tidak inklusif. Tidak semua pihak bisa berpartisipasi atau patut dalam berdangdut. Misalnya, para ulama, ustadz, ibu-ibu sepuh dan muslim/muslimah taat lainnya. Berarti dangdut tidak inklusifkan? Berarti panitia kampanye dangdut juga tidak peka terhadap perasaan orang lain yang tidak bisa ikut dangdut.
Point pokoknya, saya ingin mengatakan kepada SBY dan semua orang, _apa yang dimaksud dengan lazim dan inklusif itu._ Jangan katakan kampanye dangdut adalah lazim dan inklusif sedangkan sholat dan sholawat dianggap tidak lazim dan tidak inklusif.
Ini sangat tidak fair, dan termasuk "logical fallacy"
Komentar
Posting Komentar