Oleh Dr. Ahmad Sastra
Ketua Divisi Riset dan Literasi Forum Doktor Indonesia
Rencana reklamasi Teluk Jakarta menyisakan pertanyaan mendasar : untuk siapa sebenarnya proyek ini ? Apakah untuk kepentingan rakyat banyak ataukah untuk kepentingan kaum kapitalis ?. Apalagi jika melihat luasnya wilayah Indonesia, apakah reklamasi merupakan kebijakan yang logis. Karena itu, jika ada pihak yang terus ngotot untuk melanjutkan proyek reklamasi, patut dicurigai.
Polemik dan kontroversipun terus muncul sejak rencana reklamasi diumumkan. Mengingat besarnya anggaran reklamasi dan pelibatan kaum kapitalis, bukan tidak mungkin akan lebih banyak lagi yang tertangkap karena gratifikasi proyek sebagai mahar. Sebab telah menjadi budaya politik negeri ini adanya praktek transaksional dalam meraih tender proyek maupun jabatan pemerintahan.
Dalam perspektif paradigma, tidaklah sama antara paradigma pemerintah, rakyat dan pengusaha. Semestinya, pemerintah memiliki paradigma bahwa sumber daya alam yang berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak tidak diserahkan kepada swasta. Sementara paradigma pengusaha adalah profit oriented semata, tanpa mengindahkan akibat sosiologis maupun ekologis dalam setiap bisnis yang mereka jalankan. Rakyat sendiri dalam hal ini menjadi semacam korban, padahal merekalah yang seharusnya menikmati setiap kebijakan pemerintah. Bukankah tugas pemerintah adalah mandate rakyat untuk menciptakan kesejahteraan.
Menjadi masalah besar ketika paradigma penguasa sama dengan paradigma pengusaha yang semata-mata menjadikan proyek reklamasi sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan materi semata. Kong kaling kong pengusaha dan penguasa akan menjadikan negeri ini dikendalikan oleh para cukong materialistik yang akan berdampak kepada kesengsaraan rakyat itu sendiri. Praktek transaksional pengusaha-penguasa telah menempatkan rakyat kebanyakan sebagai penonton dan korban kebijakan kapitalistik. Inilah malapetaka kebangsaan, yang kaya tambah kaya dan yang miskin tambah miskin.
Sekecil apapun sebuah proyek pembangunan fisik akan berdampak kepada lingkungan fisik maupun lingkungan manusia. Apalagi jika melibatkan megaproyek. Wajar jika para pegiat lingkungan sangat mengkhawatirkan dakpak lingkungan yang akan terjadi akibat reklamasi ini. Selain akan merusak habitat teluk juga dikhawatirkan justru akan mengakibatkan banjir yang lebih besar karena naiknya ketinggian air pascarekalamsi.
Pegiat sosial juga tidak kalah khawatir dengan adanya proyek sarat dugaan korupsi ini, terutama terkait dengan nasib para nelayan yang selama ini menggantungkan hidupnya kepada ketersediaan ikan. Reklamasi tentu saja akan mengubah lingkungan laut menjadi lingkungan wisata, bukan lingkungan ekonomis. Lingkungan wisata berarti menjadi milik pribadi, tidak lagi menjadi milik rakyat. Mungkin pascareklamasi para nelayan hanya akan menjadi penonton sambil menyimpan kenangan pahit. Rakyat kecil akan kehilangan sumber mata pencahariannya secara permanen, kecuali mereka mencari lapangan kerja baru, tentu ini tidak mudah.
Karena itu secara ekologis, proyek reklamasi pasti akan menimbulkan dampak tidak kecil terhadap lingkungan lingkar proyek. Secara sosiologis, reklamasi akan berdampak psikologis yang juga tidak kecil. Rakyat kecil, terutama para nelayan akan kehilangan mata pencahariannya yang berarti telah dikorbankan demi segelintir kaum kapitalis. Begitulah watak dasar sistem kapitalisme semata-mata berorientasi kepada materi tanpa mengindahkan dampak ekologis maupun sosiologis.
Jika demikian, reklamasi dengan semua kemungkinan dampak yang akan terjadi sebagai bentuk teror ekososiologis. Artinya selain berdampak buruk kepada lingkungan fisik juga berdampak buruk terhadap ekonomi masyarakat nelayan. Semestinya hal ini menjadi kesadaran mendalam dari penguasa daerah maupun pusat yang mendapat mandat dari rakyat.
Lebih mendasar dari sekedar dampak akibat reklamasi yang harus disadari oleh pemerintah dan rakyat Indonesia adalah bahaya paradigma kapitalistik yang sarat dengan pragmatisme. Sebab inilah yang sesungguhnya akar masalah bagi bangsa ini secara lebih besar dalam jangka panjang. Praktek transaksional antara pengusaha dan penguasa mengindikasikan bahwa negeri ini telah terjangkiti virus kapitalisme, materialisme dan pragmatisme.
Pragmatisme berasal dari kata Yunani yakni pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Kata isme yang melekat setelah kata pragma memiliki arti sama dengan isme-isme yang lain yakni aliran, ajaran atau paham. Dengan demikian kata pragmatisme dapat diartikan sebagai paham bahwa pemikiran itu mengikuti tindakan. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah faidah atau manfaat semata. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar jika membawa suatu hasil materi.
Dengan demikian, sebagaimana digagas oleh William James dalam The Meaning of The Truth (1909) bahwa patokan pragmatisme adalah adanya manfaat bagi kehidupan praktis berupa materi. Pragmatisme merupakan sumbangan orisinil dari pemikiran filsafat kapitalisme Amerika yang kini telah menguasai hampir seluruh sendi kehidupan bangsa-bangsa di dunia. Padahal secara praktis pula, paradigma pragmatisme telah memperlihatkan dampak buruknya bagi lingkungan dan watak manusia.
Pragmatisme aspek politik telah melahirkan politikus-politikus yang tidak jujur. Mereka meraih kekuasaan hanya untuk menumpuk pundi-pundi materi dengan cara melakukan praktek suap untuk mendapatkan imbalam materi lebih besar. Pragmatisme politik juga telah melahirkan para pejabat yang korup dan abai terhadap kepentingan rakyat yang memilihnya. Akibatnya lahirlah para penguasa yang justru menghianati mandate rakyatnya sendiri dengan cara hanya mementingkan kekayaan pribadi dengan cara korupsi anggaran dan melakukan transaksional dengan para cukong demi proyek yang seharusnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.
Pragmatisme aspek ekonomi telah melahirkan para pengusaha yang tidak lagi menyandarkan kepada nilai-nilai moral dan agama dalam mengembangkan bisnisnya. Mereka hanya berorientasi kepada keuntungan materi semata. Sikap ini berdampak sosiologis terhadap kerusakan masyarakat banyak. Sebagai contoh adalah bisnis narkoba dan pornografi. Bisnis ini disinyalir menghasilkan keuntungan yang sangat besar, padahal telah berdampak buruk bagi kondisi masyarakat luas. Sebab pragmatisme tidak mengindahkan nilai moral dan agama.
Penting untuk diingat bahwa selama paradigma pragmatisme ini menguasai penguasa dan pengusaha, maka negeri ini dalam jangkan panjang justru akan terjerembab dalam kubangan kesenjangan dan kemiskinan yang semakin besar. Apalagi jika para pengusaha itu justru bukan anak negeri sendiri melainkan orang-orang asing, akan lebih ironis lagi. Dalam jangka panjang, paradigma pragmatisme akan menjadikan negeri ini terjual kepada asing atas nama privatisasi dan investasi. Buktinya, para cukong asing hingga tahun 2015 telah menguasai ribuan hektar lahan di jabodetabek. Mestinya tanah negeri ini tidak boleh dimiliki oleh orang asing.
Akhirnya, proyek reklamasi sebenarnya hanyalah fenomena gunung es. Sebab, yang terjadi sebenarnya adalah bahwa negeri ini atau Jakarta khususnya telah dikuasai oleh cukong kapitalis asing sejak dulu. Ini adalah permasalahan bangsa yang sangat besar. Pemerintah dan rakyat harus menyadari masalah ini, lantas melakukan reorientasi dalam mengemban amanah kepemimpinan negeri ini. Pemerintah dan rakyat harus bersatu untuk mengembalikan seluruh kekayaan rakyat kepada pemiliknya.
Rakyat adalah pewaris negeri ini. Allah menganugerahkan seluruh kekayaan alam negeri ini untuk kemakmuran rakyat yang dikelola oleh pemerintah dengan amanah dan sistem yang lebih baik. Tanpa kesadaran fundamental ini, maka suatu saat cucu kita akan menjadi budak di negeri sendiri atau bahkan diusir dari negerinya sendiri. Karena itu rencana reklamasi Teluk Jakarta harus dihentikan. Selamatkan negeri ini dengan Islam, sistem terbaik dari pemilik bumi dan alam semesta ini. Mau ? [KotaHujan, 16/10/17 : 13.40]
Komentar
Posting Komentar