NKRI Harga Mati - File lakpesdamtulungagung.or.id |
Forum Muslim - Jargon "NKRI HARGA MATI" kini terlihat marak di banyak lini masa
para pengguna FB. Adalah warga NU yang kini dikenal sebagai pelempar
jargon NKRI HARGA MATI. Pada awal kemunculannya jargon ini terbaca dan
terdengar heroik. Namun belakangan ini, membaca dan mendengar jargon itu
disuarakan beberapa kalangan, kesan "lebay" dan--maaf norak--justru
yang tampak terlihat.
Penilaian ini memang terbaca begitu menyakitkan. Apalagi jika penilaian
ini ditarik terlalu jauh hingga ke ranah hubungan umat dan ulama. Namun,
sepahit apa pun yang dirasakan, fakta adalah fakta. Yang semestinya
dilakukan di dalam menyikapi fakta itu adalah memahami sababul wurud
(sebab kemunculan) jargon NKRI HARGA MATI itu dan melihat kembali elan
historis yang melatarbelakanginya.
Jargon "NKRI HARGA MATI" mulai terdengar pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid. Ditengarai jargon NKRI HARGA MATI dilontarkan oleh
Presiden Gus Dur sebagai respon atas wacana federalisme yang diusung
oleh beberapa fraksi di DPR/MPR.
Adalah Amien Rais, Ketua MPR pada saat itu (1999-2004) yang diduga
mengembangkan wacana bentuk Negara Federasi bagi Indonesia sebagai
solusi atas ketegangan hubungan pusar dan daerah pasca reformasi 1998.
Amien Rais bukan tidak mempunyai alasan untuk mengolah wacana itu.
Tuntutan merdeka dari beberapa daerah menurut pandangan Amien Rais,
memaksa pemerintah pusat untuk berhati-hati di dalam menyikapinya.
Lepasnya Timor Timur dari Indonesia diakui, memberikan dampak yang luar
biasa bagi daerah-daerah yang selama kekuasaan Orde Baru merasa
di-eksploitasi melalui UU No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah.
Kebanyakan dari daerah-daerah itu adalah para pemilik Sumber Daya Alam
(SDA) yang berlimpah. Pasca lepasnya Timor Timur melalui jajak
pendapat--yang dipertanyakan keabsahannya--yang diselenggarakan PBB,
Riau menuntut kemerdekaan. Prof. Tabrani Rabb didaulat para pemimpin
Riau untuk mempersiapkan kemerdekaan Riau. Dari gerakan yang dilakukan
para pemuka Riau, yang mengejutkan adalah adanya keterlibatan seorang
mantan menteri pada masa Habibie dan pejabat militer pada masa Orde Baru
di dalam tuntutan kemerdekaan Riau tersebut.
Riau tidak berdiri sendiri di dalam tuntutan merdeka tersebut.
Sebelumnya sudah ada Aceh yang sejak pemberontakan Daud Beureuh sudah
menuntut kemerdekaan dari RI dan kemudian Papua.
Pada masa Habibie, pemerintah telah menyadari akan munculnya tuntutan di
atas. Presiden Habibie pun mencoba mengantisipasi Timor L'este effect
ke seluruh daerah di Indonesia dengan menerbitkan UU No.22 Tahun 1999
tentang Otonomi Daerah (otda) yang menggantikan UU No.5 Tahun 1974
tentang Pemerintahan Daerah.
Namun, yang disayangkan konsepsi demokrasi Barat yang terkandung di
dalam UU otda itu justru mendorong daerah-daerah untuk berani
memposisikan diri vis a vis dengan pemerintah pusat. Tidak sedikit
daerah, bahkan di level kabupaten yang berani membangun posisi tawar
dengan pemerintah. Posisi tawar itu bahkan dibangun ketika bersama
dengan Pemerintah Pusat membahas DAU (Dana Alokasi Umum). Yang paling
jelas dari penerapan konsepsi demokrasi Barat itu adalah dihapusnya asas
sentralisasi dan dekonsentrasi yang semula menjadi prinsip
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Daerah-daerah pada waktu itu
memahami otonomi hanya dalam makna yang sederhana, yaitu tidak adanya
intervensi dari pemerintah pusat.
Dalam rentang waktu 2 tahun, tarik menarik konsep itu tidak mencapai
kata sepakat. Sebagian fraksi di DPR agaknya frutasi melihat situasi
seperti itu. Di satu sisi, mereka dituntut untuk mewakili aspirasi dari
konstituen yang diwakilinya. Sedangkan di sisi lain, mereka pun mendapat
"kenikmatan" dengan berada di pusaran elit pusat
Federalisme pun dipandang sebagai solusi. Dan itu selalu diperkenalkan
di berbagai kesempatan. Bagi Gus Dur, sikap sebagian fraksi yang
melempar wacana federalisme tentu akan menjadi bumerang bagi NKRI itu
sendiri. Seperti yang pernah disampaikannya di Wonosobo pada pertemuan
para Kyai awal tahun 1999, Gus Dur memprediksi bahwa NKRI akan hancur
jika ia tidak turun gunung.
Prediksi Gus Dur pun menjadi kenyataan. Beberapa bulan setelah
lengsernya Soeharto, konflik sara di Ambon pun meletus. Tidak berselang
lama terjadi konflik yang sama di Poso. Sedangkan di kawasan Papua, OPM
semakin menunjukkan eskalasi perlawanan kepada pemerintah. Begitu juga
dengan GAM di Aceh.
Penglihatan batin Gus Dur tampaknya telah sampai kepada realitas yang
dibayangkannya. Jika Moh. Natsir melempar seruan tinggalkan federalisme
dan kembali kepada NKRI, Gus Dur pun tampaknya melakukan upaya yang sama
dengan Natsir, yang menolak federalisme dan mempertahankan NKRI. Bagi
Gus Dur, tampaknya tidak ada lagi masa coba-coba untuk mengejawantahkan
konsepsi tentang Negara. Gus Dur seperti ingin mengajak kita untuk
berpikir bahwa kehebatan sebuah Negara diukur dari kemampuannya
mengembangkan dan memodifikasi konsep awalnya sehingga bisa bersesuaian
dengan zaman.(Ust. Abdi Kurnia Djohan)
Komentar
Posting Komentar