Forummuslim.org - Kalau mau melihat akar pertarungan antar nasab di
Kopassus, harus ditelisik sejak era Bung Karno. Ada dua God Father
kala itu. Sarwo Edhi Wibowo yang memang mantan Danjen Kopassus, dan
Benny Murdani, yang meskipun sudah dipecat KSAD Jenderal Achmad Yani
gara-gara melawan atasan, sudah kadung punya pengikut dan pancangan
kaki yang kuat di Kopassus.
Derivasi atau turunan langsung dari nasab Benny di Kopassus yang masih
eksis sampai sekarang adalah: Agum Gumelar, Sintong Panjaitan, Luhut
Panjaitan, dan sampai pada tingkatan tertentu adalah, Hendro Priyono.
Cuma jenderal yang satu ini, tidak termasuk tim solid Benny seperti
yang saya sebutkan sebelumnya.
Nah, Sarwo Edhi, meskipun banyak pancangan kakinya juga di Kopassus,
hanya saja karena kuatnya pengaruh Benny di Kopassus di era Suharto,
kurang bisa memunculkan perwira perwira baret merahnya di Kopassus.
Salah satu yang berhasil menonjol antara lain Feisal Tanjung. Yang
kelak kita kenal sebagai Panglima ABRI di era Suharto dan Menkopolkam
di era Habibie. Adapun Feisal Tanjung ini, termasuk salah satu
komandan kompi yang menyerbu RRI ketika diduduki pasukannya Letkol
Untung menyusul Gerakan 30 September 1945.
Ketika Feisal Tanjung dan Edi Sudrajat, semakin mendapat posisi
strategis di jajaran Mabes ABRI, SBY dipandang oleh Feisal Tanjung dan
Edy Sudarajat sebagai perwira muda angkatan darat yang dipandang
cemerlang berpotensi besar di masa depan. Makanya melalui Edi dan
Feisal inilah, SBY mulai dibina bakat khususnya sebagai perwira staf
sospol ABRI. Karena bakat khususnya dalam penyusunan rencana strategis
(Renstra) dan penyusunan Scenario Building.
Hanya saja, karena SBY tidak tergabung dalam korps baret merah,
nasabnya Pak Sarwo Edhy ini kemudian bertumpu pada korps baret hijau
Kostrad, tempat di mana Pak Harto dibesarkan dan memulai langkah
strategisnya menuju kursi kepresidenan. Maka tak heran, jika pada
perkembangan selanjutnya, baret merah dan baret hijau terjadi
pesaingan senyap untuk merebut pengaruh Pak Harto, agar memegang
posisi-posisi kunci di kemilitran maupun pos-pos strategis di bidang
politik.
Ketika masa kepemimmpinan Pak Harto mulai rapuh dan rawan adanya
goncangann baik dari dalam maupun luar pemerintahan, nasab Benny dan
Nasab Pak Sarwo ini kemudian bersepakat untuk menjalin persekutuan
taktis. Yaitu bersepakat untuk menjalankan Skenario Pembusukan Rejim
Suharto.
Kubu Benny, yang sudah mulai tersingkir dari pos-pos penting di
pemerintahan Suharto terutama pos-pos strategis kemiliteran dan
intelijen, menyusul tampilnya Prabowo Subianto menduduki posisi
penting sebagai Danjen Kopasussus dan Pangkostrad, mulai melakukan
aksi destabilisasi terhadap Suharto dari luar lingkar kekuasaan.
Adapun Feisal Tanjung, Edi Sudrajat, SBY, dan kelompok-kelompok di
bawahnya, mematangkan situasi dan kondisi dari dalam pemerintahan
sendiri.
Dalam skenario pembusukan Suharto ini, atas kesepakatan kedua nasab di
TNI inilah, dimunculkan Megawati sebagai tokoh tandingan terhadap
Suharto. Seluruh rangkaian kemunculan Mega sejak Munas PDI di Sukolilo
Surabaya, Rapimnas Hotel Kemang, hingga penyerbuan kantor PDI yang
kemudian kita kenal sebagai peristiwa 27 Juli 1996, sejatinya
merupakan rangkaian skenario pembusukan Suharto seraya cipta kondisi
untuk memanggungkan Mega sebagai pemimpin baru Indonesia pasca
Suharto.
Perrsekutuan taktis kedua nasab yang berporoskan Benny dan SBY sebagai
ahli waris Sarwo Edhy, berlanjut terus sejak era reformasi. Seraya
menumbalkan Prabowo sebagai simbol orde baru, sehingga disingkirkan
dari dunia kemiliteran.
Namun nampaknya sejak SBY mundur dari kabinet Megawati, dan SBY
nyapres pada 2004, kedua nasab TNI ini pecah kongsi. Dan mencapai
puncaknya di era Jokowi sekarang ini.
Pertanyaannya, ini pecah kongsi beneran atau sandiwara? Saatnya
sekarang rakyat yang pegang komando. (Sumber : Hendradjit)
Kopassus, harus ditelisik sejak era Bung Karno. Ada dua God Father
kala itu. Sarwo Edhi Wibowo yang memang mantan Danjen Kopassus, dan
Benny Murdani, yang meskipun sudah dipecat KSAD Jenderal Achmad Yani
gara-gara melawan atasan, sudah kadung punya pengikut dan pancangan
kaki yang kuat di Kopassus.
Derivasi atau turunan langsung dari nasab Benny di Kopassus yang masih
eksis sampai sekarang adalah: Agum Gumelar, Sintong Panjaitan, Luhut
Panjaitan, dan sampai pada tingkatan tertentu adalah, Hendro Priyono.
Cuma jenderal yang satu ini, tidak termasuk tim solid Benny seperti
yang saya sebutkan sebelumnya.
Nah, Sarwo Edhi, meskipun banyak pancangan kakinya juga di Kopassus,
hanya saja karena kuatnya pengaruh Benny di Kopassus di era Suharto,
kurang bisa memunculkan perwira perwira baret merahnya di Kopassus.
Salah satu yang berhasil menonjol antara lain Feisal Tanjung. Yang
kelak kita kenal sebagai Panglima ABRI di era Suharto dan Menkopolkam
di era Habibie. Adapun Feisal Tanjung ini, termasuk salah satu
komandan kompi yang menyerbu RRI ketika diduduki pasukannya Letkol
Untung menyusul Gerakan 30 September 1945.
Ketika Feisal Tanjung dan Edi Sudrajat, semakin mendapat posisi
strategis di jajaran Mabes ABRI, SBY dipandang oleh Feisal Tanjung dan
Edy Sudarajat sebagai perwira muda angkatan darat yang dipandang
cemerlang berpotensi besar di masa depan. Makanya melalui Edi dan
Feisal inilah, SBY mulai dibina bakat khususnya sebagai perwira staf
sospol ABRI. Karena bakat khususnya dalam penyusunan rencana strategis
(Renstra) dan penyusunan Scenario Building.
Hanya saja, karena SBY tidak tergabung dalam korps baret merah,
nasabnya Pak Sarwo Edhy ini kemudian bertumpu pada korps baret hijau
Kostrad, tempat di mana Pak Harto dibesarkan dan memulai langkah
strategisnya menuju kursi kepresidenan. Maka tak heran, jika pada
perkembangan selanjutnya, baret merah dan baret hijau terjadi
pesaingan senyap untuk merebut pengaruh Pak Harto, agar memegang
posisi-posisi kunci di kemilitran maupun pos-pos strategis di bidang
politik.
Ketika masa kepemimmpinan Pak Harto mulai rapuh dan rawan adanya
goncangann baik dari dalam maupun luar pemerintahan, nasab Benny dan
Nasab Pak Sarwo ini kemudian bersepakat untuk menjalin persekutuan
taktis. Yaitu bersepakat untuk menjalankan Skenario Pembusukan Rejim
Suharto.
Kubu Benny, yang sudah mulai tersingkir dari pos-pos penting di
pemerintahan Suharto terutama pos-pos strategis kemiliteran dan
intelijen, menyusul tampilnya Prabowo Subianto menduduki posisi
penting sebagai Danjen Kopasussus dan Pangkostrad, mulai melakukan
aksi destabilisasi terhadap Suharto dari luar lingkar kekuasaan.
Adapun Feisal Tanjung, Edi Sudrajat, SBY, dan kelompok-kelompok di
bawahnya, mematangkan situasi dan kondisi dari dalam pemerintahan
sendiri.
Dalam skenario pembusukan Suharto ini, atas kesepakatan kedua nasab di
TNI inilah, dimunculkan Megawati sebagai tokoh tandingan terhadap
Suharto. Seluruh rangkaian kemunculan Mega sejak Munas PDI di Sukolilo
Surabaya, Rapimnas Hotel Kemang, hingga penyerbuan kantor PDI yang
kemudian kita kenal sebagai peristiwa 27 Juli 1996, sejatinya
merupakan rangkaian skenario pembusukan Suharto seraya cipta kondisi
untuk memanggungkan Mega sebagai pemimpin baru Indonesia pasca
Suharto.
Perrsekutuan taktis kedua nasab yang berporoskan Benny dan SBY sebagai
ahli waris Sarwo Edhy, berlanjut terus sejak era reformasi. Seraya
menumbalkan Prabowo sebagai simbol orde baru, sehingga disingkirkan
dari dunia kemiliteran.
Namun nampaknya sejak SBY mundur dari kabinet Megawati, dan SBY
nyapres pada 2004, kedua nasab TNI ini pecah kongsi. Dan mencapai
puncaknya di era Jokowi sekarang ini.
Pertanyaannya, ini pecah kongsi beneran atau sandiwara? Saatnya
sekarang rakyat yang pegang komando. (Sumber : Hendradjit)
Komentar
Posting Komentar