Bapak Tarban - Kisah Perjalanan Sang Pertapa Tua |
Pada waktu hari pernikahanku yang dilangsungkan di kantor KUA, yang hari dan tanggalnya saya sendiri yang menentukan, Bapak Tarban bertindak sebagai wali, hatiku sedih, peristiwa bersejarah dalam hidupku berlalu tanpa hiasan janur kuning, tanpa baju pengantin, tanpa pelaminan, tanpa taburan kembang melati, tanpa alunan doa dan restu dari kerabat dan bila kedua orang tuaku mengetahui hal ini, inilah anak durhaka, sudah pasti.
Tapi acara pernikahan sendiri berjalan lancar disaksikan dua orang saksi dan cuaca yang cerah, tanpa hujan dan petir, seperti yang biasa Bapak Tarban alami ketika menikahkan anak-anaknya selalu disambut dengan hujan dan petir. Padahal 5 tahun kemudian setelah pernikahanku, ketika Bapak Tarban menikahkan kedua anaknya sekaligus yaitu Casmono dan Murani, saya dapat menyaksikan sendiri betapa perhelatan besar upacara pengantin menjadi kalang kabut karena hujan dan angin, bahkan loudspeaker yang dipasang di ujung tiang bambu pun disambar petir. Padahal saat itu sedang musim kemarau!.
Pada saat Bpk Tarban sedang menjalankan pertapaan di rumahnya, Ibu Dri'ah, istrinya yang selam itu menemani dan mengurusi segala keperluan hidupnya mengalami sakit keras. Berbagai usaha dilakukan oleh Bapak Tarban dan seluruh kelurganya untuk mencarikan obat bagi Ibu Dri'ah. Namun usahanya pun sia-sia, mungkin karena sudah takdir Allah Yang Maha Kuasa, Ibu Dri'ah pun meninggal di pangkuan Bapak Tarban disaksikan anak-anak tercintanya yang menangisi kepergiannya.
Dalam berbagai kesempatan Bapak Tarban sering menceritakan kepada saya tentang betapa besar cinta beliau kepada istrinya, dan beliau amat sedih dan menyesal karena istrinya yang telah menemaninya dalam suka maupun duka, yang telah berjuang bersama membangun rumah tangga dan membesarkan anak-anaknya, telah pergi menghadap Ilahi sebelum Bapak Tarban menyelesaikan lelakon batinnya.
Dalam berbagai kesempatan, saya juga pernah mengajak Bapak Tarban untuk berziarah ke makam Ibu Dri'ah di Pemakaman Umum Kapurinjing yang letaknya tidak jauh dari rumah. Namun Bapak Tarban selalu menjawab : apakah kamu ingin Bapakmu ini pingsan di samping makam Ibumu ?
Atas jawabannya itu, sayapun memahami perasaan beliau yang walaupun memiliki tabiat yang keras, tapi kalau sudah membicarakan masa lalu dengan istrinya, sering beliau menitikkan air mata.
Sesungguhnya, saya menantikan dan ingin menjadi saksi apa yang akan Bapak Tarban dapatkan dari kanugerahan itu di penghujung pertapaannya. Tahun demi tahun hingga menjelang tahun 2000 sebagaimana janji Bapak Tarban untuk mengakhiri pertapaannya. Tapi setelah tahum 2000 tiba, saya tidak menyaksikan Bapak Tarban secara lahiriyah sebagai orang yang mendapatkan kanugerahan, apalagi di usianya yang sudah lanjut meski guratan wajah kerasnya masih jelas kelihatan. Yang saya saksikan dan saya rasakan adalah imbas kesengsaraan dari badai krisis moneter yang menjalar ke berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial, budaya dsb. Inilah yang selalu oleh Bapak Tarban digembar-gemborkan sebagai Perang Brotoyudho Joyobinangun. Bila sesekali saya membatin ( karena tidak enak untuk bertanya ) tentang apa yang Bapak Tarban dapatkan dari pertapaannya, maka tanpa ada yang mengajak bicarapun Bapak Tarban seperti tahu kegundahanku, dan dia mengatakan : JONGKO JANGKAHE AKU WIS TAK JONGKOTI.
Barangkali Bapak Tarban hendak menerangkan kesempurnaan kehidupannya lahir batin dalam bahasa yang njawani, tapi maknanya terlalu dalam untuk saya selami.
Bapak Tarban telah mengakhiri perjalanan spiritualnya pada tahun 2000 setelah 25 hidup menyendiri di kamar rumahnya yang terbuat dari lempeng kayu, karena sejak tahun 1998 telah ikut pindah bersama saya dan istriku ke kapurinjing yang lebih dekat ke Pemakaman Umum Kapurinjing. Setelah mengakhiri pertapaannya, kehidupan Bapak Tarban lebih tenang dan tidak pernah meramal lagi. Hari-harinya disibukkan dengan makan dan tidur, tetapi ada yang berubah secara drastis, mulutnya selalu melafalkan kalimat Istighfar dan dua kalimat Syahadat baik siang maupun malam dengan lafal yang fasih, padahal selama menjalani pertapaan belum pernah sekalipun kalimat-kalimat itu kudengar meluncur dari mulutnya. Memang Bapak Tarban belum pernah sekalipun kulihat mengerjakan sholat, tapi barangkali cahaya iman telah menitik di kalbunya. (bersambung)
---
Jakarta,
16 Februari 2010 00:14
Komentar
Posting Komentar