Baru-baru ini berseliweran gambar meme ngawur seperti di atas.
Kupikir, ini pertanyaan cerdas, tapi berhasrat menegasi sejak sebelum
dibuat. Tidak fair sejak dalam pikiran.
Jawabannya jelas: tidak ada.
Dapat ditebak, kita digiring kemudian untuk "wajib" menyimpulkan:
kalau begitu tahlilan itu bid'ah, tidak ada tuntunannya dari
Rasulullah saw. Jadi haram.
Ini yang saya maksud negasi tadi: menggiring penyimpulan peniadaan
melalui gaya silogisme. Seolah bertanya ilmiah untuk kemudian menampik
dengan kesan ilmiah pula.
Begini uraiannya.
Gaya silogisme:
Apakah Rasulullah saw. makan telo? Jawabannya: tidak. Nabi makan
kurma. Kalau begitu telo tak ada tuntunannya dari nabi. Telo haram.
Lagi.
Apakah Rasulullah saw. beristri lebih dari satu? Jawabannya iya. Kalau
begitu poligami adalah tuntunannya yang bila tak diikuti menjadikan
kita tidak patuh tuntunan Rasul. Tak ikut tuntunan Rasul berarti bukan
umatnya.
Lagi.
Apakah Rasulullah saw. memaksa kaum Quraisy Mekkah masuk Islam saat
fathul Makkah? Jawabannya tidak. Kalau begitu, memaksa orang lain
masuk Islam itu tidak ada tuntunannya dari Kanjeng Nabi.
Itu jika kita mau main gaya logika silogisme yang jelas mutlak penuh
premis dan prakondisi.
Kini lihat aspek dalilnya;
Hadits bahwa doa anak shalih merupakan salah satu dari 3 amal yang
bisa diterima pahalanya oleh almarhum tak bisa dibantah. Karena
shahih. Tidak ada penjelasan dari Nabi bagaimana cara mendoakan,
apakah sendiri atau jamaah. Yang kita mafhum adalah makin banyak yang
mendoakan semakin afdhal.
Lalu "al-ahya' minhum wal amwat" menunjukkan bahwa mendoakan orang
yang hidup dan mati juga diserukan. Bagaimana bentuknya ya bebas.
Boleh tahlilan, boleh dzikiran, boleh pengajian, boleh berupa sedekah,
infak, memberi makan, dan sebagainya. Bebas.
Sampai di sini, terlihat benderang betapa gambar itu tidak sedang
memperjuangkan kebaikan atau maslahah mursalah secara ilmiah, tapi
sedang menggiring opini berseolah ilmiah kepada hasrat negasi
tahlilan. Secara ilmiah, narasi beginian tidak otoritatif. Alias tidak
bisa diterima.
Setuju tak setuju bentuk tahlilan silakan saja, tapi mbokya jangan
negasi-menegasikan. Apalagi pakai seolah ilmiah mbarang. Ora ilok sak
tonggo teppareng ngoten niku.
Kupikir, ini pertanyaan cerdas, tapi berhasrat menegasi sejak sebelum
dibuat. Tidak fair sejak dalam pikiran.
Jawabannya jelas: tidak ada.
Dapat ditebak, kita digiring kemudian untuk "wajib" menyimpulkan:
kalau begitu tahlilan itu bid'ah, tidak ada tuntunannya dari
Rasulullah saw. Jadi haram.
Ini yang saya maksud negasi tadi: menggiring penyimpulan peniadaan
melalui gaya silogisme. Seolah bertanya ilmiah untuk kemudian menampik
dengan kesan ilmiah pula.
Begini uraiannya.
Gaya silogisme:
Apakah Rasulullah saw. makan telo? Jawabannya: tidak. Nabi makan
kurma. Kalau begitu telo tak ada tuntunannya dari nabi. Telo haram.
Lagi.
Apakah Rasulullah saw. beristri lebih dari satu? Jawabannya iya. Kalau
begitu poligami adalah tuntunannya yang bila tak diikuti menjadikan
kita tidak patuh tuntunan Rasul. Tak ikut tuntunan Rasul berarti bukan
umatnya.
Lagi.
Apakah Rasulullah saw. memaksa kaum Quraisy Mekkah masuk Islam saat
fathul Makkah? Jawabannya tidak. Kalau begitu, memaksa orang lain
masuk Islam itu tidak ada tuntunannya dari Kanjeng Nabi.
Itu jika kita mau main gaya logika silogisme yang jelas mutlak penuh
premis dan prakondisi.
Kini lihat aspek dalilnya;
Hadits bahwa doa anak shalih merupakan salah satu dari 3 amal yang
bisa diterima pahalanya oleh almarhum tak bisa dibantah. Karena
shahih. Tidak ada penjelasan dari Nabi bagaimana cara mendoakan,
apakah sendiri atau jamaah. Yang kita mafhum adalah makin banyak yang
mendoakan semakin afdhal.
Lalu "al-ahya' minhum wal amwat" menunjukkan bahwa mendoakan orang
yang hidup dan mati juga diserukan. Bagaimana bentuknya ya bebas.
Boleh tahlilan, boleh dzikiran, boleh pengajian, boleh berupa sedekah,
infak, memberi makan, dan sebagainya. Bebas.
Sampai di sini, terlihat benderang betapa gambar itu tidak sedang
memperjuangkan kebaikan atau maslahah mursalah secara ilmiah, tapi
sedang menggiring opini berseolah ilmiah kepada hasrat negasi
tahlilan. Secara ilmiah, narasi beginian tidak otoritatif. Alias tidak
bisa diterima.
Setuju tak setuju bentuk tahlilan silakan saja, tapi mbokya jangan
negasi-menegasikan. Apalagi pakai seolah ilmiah mbarang. Ora ilok sak
tonggo teppareng ngoten niku.
Komentar
Posting Komentar