Oleh: Manager Nasution, Komisaris KomNas HAM
Alasan pertama: Kelahiran Perppu itu tidak memenuhi kaidah kepentingan yang memaksa. Presiden Jokowi sebagai kepala negara belum pernah mendeklarasikan negara dalam keadaan darurat, baik itu darurat perang, darurat militer, maupun darurat sipil.
Ke dua: Argumen yang mengatakan terjadi kekosongan hukum atau hukum yang ada tidak memadai adalah mengada-ada. UU No. 17/2003 tentang Ormas sebenarnya masih memadai untuk menjawab persoalan keormasan.
Ketiga: UU Ormas ini menghilangkan peran hakim atau pengadilan. Tidak seperti dalam UU No. 17/2013, pembubaran ormas harus melalui keputusan pengadilan setelah didahului peringatan-peringatan dan penghentian kegiatan.
Ke empat: mekanisme due process of law dihilangkan dalam UU Ormas ini. Pemerintah berhak membubarkan ormas yang menurut versi subjektif pemerintah bertentangan dengan Pancasila.
Ke lima: adanya pemidanaan yang berlebihan. Perppu Ormas No. 2/2017 itu mencantumkan sanksi pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 20 tahun.
Padahal, di dalam UU Ormas yang lama, tidak ada aturan sanksi pidana. Di sana hanya ada sanksi administratif. Itulah salah satu kelemahan UU Ormas yang baru.
Cacat nalar kemanusiaan. Bagaimana mungkin UU yang karakternya UU administrasi negara pengaturan hak, tapi bercita rasa UU pemidanaan. Itu mengundung unsur pidana yang kejam.
Ke enam: UU tersebut berpotensi melahirkan rezim otoritarianisme. Salah satu kelemahan UU itu adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk secara subjektif memutuskan dan mengeksekusi ormas yang mereka sebut anti-Pancasila dalam satu tarikan napas.
Ke tujuh: berpotensi disalahgunakan oleh penguasa atas nama Pancasila untuk membatasi hak kebebasan beragama warga negara. Kontrol pemerintah yang berlebihan yang diberikan UU ini berpotensi menodai kesucian agama dan mencederai pengalaman keberagamaan warga negara. (Rol)
Komentar
Posting Komentar