Sebuah Catatan Ide Gila Santri Ciamis Jalan Kaki Menuju Jakarta Untuk Melakukan Aksi Super Damai 212 (14)
Jam 13.00 posisi masih di Rumah Makan Suka Hati, seseorang di pojok
ruangan menunggu dari tadi, "Assalamualaikum Ustad". " Walalaikum
salam". "Ini saya dari GNPF MUI pusat diutus langsung oleh ketua untuk
mengkondisikan waktu sampai di Jakarta. pengurus Jakarta ingin
penyambutan khusus bagi Kafilah Ciamis karena dengan gerakan inilah
semua jadi tergerak untuk hadir ke Jakarta dan secara khusus Ustad
Bahtiar Nasir dan Habib Rizik Shihab menyampaikan salam tadhim untuk
rombongan Ciamis" begitu kata beliau. Saya jawab, "terima kasih atas
perhatian lebih pengurus jakarta pada kami, cuma kami belum bisa
putuskan jam berapa kami sampai Jakarta. Ini saja nomor WA saya nanti
bisa kontek kontekan". "oh, baik kalau begitu, saya mohon pamit untuk
melaporkan langsung ke Jakarta". kata beliau dari GNPF MUI sambil
melangkah keluar menuju mobil di parkiran.
Saya duduk kembali di meja makan yang penuh dengan hidangan. belum
sempat ngambil nasi tiba-tiba datang lagi serombongan bapak-bapak
menemui langsung salaman tanpa basa basi sambil merangkul badan,
kedengaran suaranya berkata terbata-bata, air matanya meleleh
menangis, sambil nepuk punggung "Alhamdulillah orang Ciamis menjadi
pelecut semangat kaum muslimin untuk bangkit". "Baik Pak, mohon doanya
saja semoga jadi ladang amal", jawab saya sambil melepaskan tangannya.
Saya kembali duduk di kursi, terlihat di depan meja ada orang lagi
lahap menikmati hidangan. "Hei antum enak ya ikut sama kita", "Iya Pak
Kiyai, lapar nee jawabnya". Dia adalah intel dari Polres Ciamis yang
setia mengikuti perjalanan peserta jalan kaki karena tugas dari
atasannya. Belum sempet ngambil nasi datang lagi seseorang
menghampiri. "Sehat Ang?", "Alhamdulillah sehat". Dia adalah alumni
pondok kami yang mukim di Bandung sengaja menemui untuk silaturohmi.
Tak henti-hentinya orang datang menemui, terpaksa dilayani sambil
makan karena perut sudah tidak bisa diajak damai lagi. Begitu banyak
orang yang terketuk hatinya sehingga kami banyak menerima amanah uang
dari para dermawan. Saku celana tak muat lagi nyimpan amplop
pemberian. Saya panggil Kiyai Endang yang duduk tidak jauh dari tempat
kami. Saya katakan padanya, "Kang karena banyak amanah, ini simpan
baik-baik, pokonya Kyai Endang diangkat jadi bendahara kafilah. Kang
Endang bilang, "Oh siap Insya Alloh kalau dipercaya".
Sepuluh menit berlalu, rumah makan tempat kami beristirahat dan dapat
jamuan makan mulai sepi. Peserta terkonsentrasi di aula Al Maksum yang
ada di serbang jalan. Kami pamit ke pribumi sekaligus mengahaturkan
terima kasih atas jamuannya. Hujan turun deras, saya menuju aula
menaiki jembatan penyebrangan. Peserta long march sudah siaga menunggu
komandoo. Saya ambil komando dan pengarahan dimulai, pertanyaan selalu
dilontarkan,
"apakah kalian masih kua?",
"Kuaaaatt,,,", serempak menjawab.
"Apakah kalian masih semangat?",
"Semangaaatt....".
"Lanjut apa naik bus?",
"Lanjuuttt",
"Apakah kalian takut dengan hujan?",
"Tidakkkk"
"Takbiirr!!"
"Allohu Akbar Allohu Akbar"
"Istaidduuuu!"
"Labbaik"
"Istaidduuuuu!!!"
"Labbaikk"
Semua peserta harus memakai jas hujan plastik agar terlindung dari
hujan. Mobil komando siap di depan, perjalanan dimulai di tengah
guyuran hujan. Pekik takbir terus dikumandangkan agar semangat tidak
luntur. Gema nasyid Bela Islam nyaring terdengar dari speaker
menghangatkan tubuh yang kehujanan. Ketika kami mau berangkat menyusul
ade saya manggil, "Ang ini makanan dan minuman banyak sekali gimana
bawanya? Mobil yang Lima sudah penuh dengan barang pemberian para
dermawan?". "Oh gitu ya?, mari kita ngumpul dulu atuh". Kami rapat
kecil dan diputuskan kita nyewa mobil empat mobil truk untuk
mengangkut makanan dibawa mengikuti rombongan di belakang.
Di bawah guyuran hujan kami ikuti rombongan di belakang, menyusuri
jalan protokol Rancaekek menuju Cileunyi. Masyarakat setia menungu dan
menunggu kami di pinggir jalan walau hujan terus turun. Sambutan
takbir membahana memecah suasana, deraian air mata bercampur air hujan
sangat jelas terlihat di mata mereka, sebuah pemandangan yang indah
yang tak mungkin ditemukan lagi dalam sejarah hidup. Air mata yang
muncul bukan karena iba, tapi air mata muncul karena desiran darah
yang dipompa energi iman, Air mata kami pun tak bisa ditahan terbawa
suasana kebatinan saudara kami yang berjejer di sepanjang jalan, walau
baju basah kuyup walau badan kedinginan walau kaki lecet dan pegel
terbayar sudah pengorbanan ini dengan bangkitnya rasa ukhuwah sesama
muslim. Naiknya tensi ghiroh pada islam dan tumbuh suburnya arti
pengorbanan (facebook.com/nonop.hanafi)
ruangan menunggu dari tadi, "Assalamualaikum Ustad". " Walalaikum
salam". "Ini saya dari GNPF MUI pusat diutus langsung oleh ketua untuk
mengkondisikan waktu sampai di Jakarta. pengurus Jakarta ingin
penyambutan khusus bagi Kafilah Ciamis karena dengan gerakan inilah
semua jadi tergerak untuk hadir ke Jakarta dan secara khusus Ustad
Bahtiar Nasir dan Habib Rizik Shihab menyampaikan salam tadhim untuk
rombongan Ciamis" begitu kata beliau. Saya jawab, "terima kasih atas
perhatian lebih pengurus jakarta pada kami, cuma kami belum bisa
putuskan jam berapa kami sampai Jakarta. Ini saja nomor WA saya nanti
bisa kontek kontekan". "oh, baik kalau begitu, saya mohon pamit untuk
melaporkan langsung ke Jakarta". kata beliau dari GNPF MUI sambil
melangkah keluar menuju mobil di parkiran.
Saya duduk kembali di meja makan yang penuh dengan hidangan. belum
sempat ngambil nasi tiba-tiba datang lagi serombongan bapak-bapak
menemui langsung salaman tanpa basa basi sambil merangkul badan,
kedengaran suaranya berkata terbata-bata, air matanya meleleh
menangis, sambil nepuk punggung "Alhamdulillah orang Ciamis menjadi
pelecut semangat kaum muslimin untuk bangkit". "Baik Pak, mohon doanya
saja semoga jadi ladang amal", jawab saya sambil melepaskan tangannya.
Saya kembali duduk di kursi, terlihat di depan meja ada orang lagi
lahap menikmati hidangan. "Hei antum enak ya ikut sama kita", "Iya Pak
Kiyai, lapar nee jawabnya". Dia adalah intel dari Polres Ciamis yang
setia mengikuti perjalanan peserta jalan kaki karena tugas dari
atasannya. Belum sempet ngambil nasi datang lagi seseorang
menghampiri. "Sehat Ang?", "Alhamdulillah sehat". Dia adalah alumni
pondok kami yang mukim di Bandung sengaja menemui untuk silaturohmi.
Tak henti-hentinya orang datang menemui, terpaksa dilayani sambil
makan karena perut sudah tidak bisa diajak damai lagi. Begitu banyak
orang yang terketuk hatinya sehingga kami banyak menerima amanah uang
dari para dermawan. Saku celana tak muat lagi nyimpan amplop
pemberian. Saya panggil Kiyai Endang yang duduk tidak jauh dari tempat
kami. Saya katakan padanya, "Kang karena banyak amanah, ini simpan
baik-baik, pokonya Kyai Endang diangkat jadi bendahara kafilah. Kang
Endang bilang, "Oh siap Insya Alloh kalau dipercaya".
Sepuluh menit berlalu, rumah makan tempat kami beristirahat dan dapat
jamuan makan mulai sepi. Peserta terkonsentrasi di aula Al Maksum yang
ada di serbang jalan. Kami pamit ke pribumi sekaligus mengahaturkan
terima kasih atas jamuannya. Hujan turun deras, saya menuju aula
menaiki jembatan penyebrangan. Peserta long march sudah siaga menunggu
komandoo. Saya ambil komando dan pengarahan dimulai, pertanyaan selalu
dilontarkan,
"apakah kalian masih kua?",
"Kuaaaatt,,,", serempak menjawab.
"Apakah kalian masih semangat?",
"Semangaaatt....".
"Lanjut apa naik bus?",
"Lanjuuttt",
"Apakah kalian takut dengan hujan?",
"Tidakkkk"
"Takbiirr!!"
"Allohu Akbar Allohu Akbar"
"Istaidduuuu!"
"Labbaik"
"Istaidduuuuu!!!"
"Labbaikk"
Semua peserta harus memakai jas hujan plastik agar terlindung dari
hujan. Mobil komando siap di depan, perjalanan dimulai di tengah
guyuran hujan. Pekik takbir terus dikumandangkan agar semangat tidak
luntur. Gema nasyid Bela Islam nyaring terdengar dari speaker
menghangatkan tubuh yang kehujanan. Ketika kami mau berangkat menyusul
ade saya manggil, "Ang ini makanan dan minuman banyak sekali gimana
bawanya? Mobil yang Lima sudah penuh dengan barang pemberian para
dermawan?". "Oh gitu ya?, mari kita ngumpul dulu atuh". Kami rapat
kecil dan diputuskan kita nyewa mobil empat mobil truk untuk
mengangkut makanan dibawa mengikuti rombongan di belakang.
Di bawah guyuran hujan kami ikuti rombongan di belakang, menyusuri
jalan protokol Rancaekek menuju Cileunyi. Masyarakat setia menungu dan
menunggu kami di pinggir jalan walau hujan terus turun. Sambutan
takbir membahana memecah suasana, deraian air mata bercampur air hujan
sangat jelas terlihat di mata mereka, sebuah pemandangan yang indah
yang tak mungkin ditemukan lagi dalam sejarah hidup. Air mata yang
muncul bukan karena iba, tapi air mata muncul karena desiran darah
yang dipompa energi iman, Air mata kami pun tak bisa ditahan terbawa
suasana kebatinan saudara kami yang berjejer di sepanjang jalan, walau
baju basah kuyup walau badan kedinginan walau kaki lecet dan pegel
terbayar sudah pengorbanan ini dengan bangkitnya rasa ukhuwah sesama
muslim. Naiknya tensi ghiroh pada islam dan tumbuh suburnya arti
pengorbanan (facebook.com/nonop.hanafi)
Komentar
Posting Komentar