Forummuslim.org - Belakangan ini, media sosial menjadi ajang
kontestasi ideologi keislaman. Berbagai opini wacana Islam begitu
cepat menjadi viral, disebarkan melalui kanal-kanal online, menjadi
pesan berantai di grup-grup jejaring sosial seperti Facebook dan
WhatsApp. Umat Islam tiap hari dibombardir dengan perang dalil.
Berbagai isu, seperti ucapan selamat Natal, pemimpin non-muslim,
perayaan tahun baru, musik, dan 'ritual-ritual bid'ah' menyesaki
ruang-ruang publik, riuh rendah di media sosial. Yang pro dan yang
kontra sama-sama berhujjah dengan Al-Qur'an dan hadits. Muslim awam,
yang tidak punya basic keilmuan, terombang-ambing dalam debat kusir
yang membingungkan. Banyak di antara mereka mengikuti
pandangan-pandangan ustadz, di TV dan koran, dengan kapasitas ilmu
yang pas-pasan. Mengutip sepotong-dua potong ayat, sebaris-dua baris
hadits, para ustadz ini (sebagian dadakan) tampil bak seorang mufti,
mengetok palu halal-haram. Sebagian lagi mengerti Islam, tetapi
bermadzhab tekstualis: kebenaran hanya ada pada teks. Dan teks itu
harus dipahami apa adanya, tak perlu ta'wil, tidak butuh tafsir.
Bagaimana dalil harus dipahami?
Narasi ini akan mengurai metode membaca dan mamahami dalil serta
panduan istinbath dan istidlal (menggali hukum dan mencuplik dalil)
menurut Imam Syafi'i. Panduan ini merupakan rumus untuk menarik dalil,
terutama yang tidak termaktub hukumnya secara sharih (jelas dan tegas)
di dalam nash. Kerangka ini akan mengeliminasi 'anarki hukum' yang
ditimbulkan oleh pencuplikan dalil yang tidak komprehensif. Seseorang
tidak boleh menetapkan hukum halal-haram hanya dari sepenggal dalil
Al-Qur'an dan hadits, tanpa memahami karakteristik dan munasabah-nya
dengan dalil lain.
Metode Istinbath Imam Syafi'i
Menurut Imam Syafi'i Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn
Utsman ibn Syafi' ibn Saib ibn Ubaid ibn Abu Yazid ibn Hasyim ibn
Muthallib ibn Abdi Manaf), "seseorang selamanya tidak boleh menetapkan
hukum halal-haram kecuali berdasarkan ilmu yang bersumber dari
Al-Qur'an, Sunah, Ijma' dan Qiyas". Imam Syâfi'i, melalui kitab
Ar-Risalah, mewariskan sesuatu yang sangat penting bagi khazanah
keilmuan Islam, yaitu ushul fiqih. Ilmu ini memberikan panduan ijtihad
bagi seseorang untuk mengambil hukum dari dalil-dalil Al-Qur'an,
Sunah, Ijma', dan Qiyas.
Metode istinbath Imam Syafi'i akan diuraikan secara ringkas, sebagai
panduan untuk mengambil hukum dari semua perkara yang berada di ranah
ijithadi.
Bayan Ilahy
Langkah awal dalam proses istinbathul ahkam (pengambilan hukum),
menurut Imam Syafi'i, adalah mendatangkan al-bayan (keterangan). Untuk
mengetahui dan menetapkan hukum sesuatu, keterangan pertama yang harus
diperoleh adalah keterangan firman Allah (bayan ilahy). Keterangan
firman dalam ayat Al-Qur'an harus diketahui karakteristiknya, karena
ayat Al-Qur'an tidak satu jenis. Ada ayat muhkam (pasti), ada ayat
mutasyabih (samar). Ada ayat 'am (universal), ada ayat khas
(partikular). Selain itu terdapat juga ayat nasikh (yang menghapus),
ayat mansukh (dihapus). Ada ayat muthlaq (tak
bersyarat/unconditional), ada ayat muqayyad (bersyarat/conditional).
Ada ayat haqiqi (denotatif), ada ayat majazi (metaforis), dst.
Pengetahuan tentang jenis-jenis ayat Al-Qur'an penting agar seseorang
tidak salah baca dalam memahami ayat. Karena itu, tidak benar
seseorang menetapkan hukum hanya dari sepenggal ayat tanpa memahami
jenisnya, dan tanpa melihat munasabah (pertaliannya) dengan ayat-ayat
lain.
Karakteristik Ayat-ayat Al-Qur'an
Saya tidak akan menjelaskan rinci, tetapi bagi yang tertarik memahami
karakteristik ayat-ayat Al-Qur'an, direkomendasikan untuk membaca
kitabal-Itqan fî Ulumil Qur'an, karya Jalaluddin as-Suyuthi. Namun,
biar jelas, akan diberikan beberapa contoh.
Para ulama berselisih pendapat tentang ayat-ayat muhkam dan
mutasyabih. Ayat muhkam biasanya berhubungan dengan ushulul aqidah
(pokok-pokok tauhid dan keimanan) dan usuhulus syariah (prinsip hukum
terkait perintah dan larangan).
Contoh ayat muhkam: "Allahu khaliqu kulli sya'in wa huwa 'ala kulli
sya'in wakil (QS. Al-Zumar/39: 62): "Allah Pencipta segala sesuatu dan
Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu."
Contoh lain, "Yâ ayyuhan nasu' budu rabbakumul ladzi khalaqakum wal
ladzina min qablikum la'allakum tattaqun" (QS. Al-Baqarah/2: 21):
"Hai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa."
Ayat yang menjelaskan keesaan Allah, yaitu QS. Al-Ikhlas (112: 1-4),
muhkam, tanpa kesamaran sedikit pun. Begitu juga ayat-ayat yang
menerangkan kewajiban pokok agama seperti salat, zakat, puasa, dan
haji semuanya muhkam.
kontestasi ideologi keislaman. Berbagai opini wacana Islam begitu
cepat menjadi viral, disebarkan melalui kanal-kanal online, menjadi
pesan berantai di grup-grup jejaring sosial seperti Facebook dan
WhatsApp. Umat Islam tiap hari dibombardir dengan perang dalil.
Berbagai isu, seperti ucapan selamat Natal, pemimpin non-muslim,
perayaan tahun baru, musik, dan 'ritual-ritual bid'ah' menyesaki
ruang-ruang publik, riuh rendah di media sosial. Yang pro dan yang
kontra sama-sama berhujjah dengan Al-Qur'an dan hadits. Muslim awam,
yang tidak punya basic keilmuan, terombang-ambing dalam debat kusir
yang membingungkan. Banyak di antara mereka mengikuti
pandangan-pandangan ustadz, di TV dan koran, dengan kapasitas ilmu
yang pas-pasan. Mengutip sepotong-dua potong ayat, sebaris-dua baris
hadits, para ustadz ini (sebagian dadakan) tampil bak seorang mufti,
mengetok palu halal-haram. Sebagian lagi mengerti Islam, tetapi
bermadzhab tekstualis: kebenaran hanya ada pada teks. Dan teks itu
harus dipahami apa adanya, tak perlu ta'wil, tidak butuh tafsir.
Bagaimana dalil harus dipahami?
Narasi ini akan mengurai metode membaca dan mamahami dalil serta
panduan istinbath dan istidlal (menggali hukum dan mencuplik dalil)
menurut Imam Syafi'i. Panduan ini merupakan rumus untuk menarik dalil,
terutama yang tidak termaktub hukumnya secara sharih (jelas dan tegas)
di dalam nash. Kerangka ini akan mengeliminasi 'anarki hukum' yang
ditimbulkan oleh pencuplikan dalil yang tidak komprehensif. Seseorang
tidak boleh menetapkan hukum halal-haram hanya dari sepenggal dalil
Al-Qur'an dan hadits, tanpa memahami karakteristik dan munasabah-nya
dengan dalil lain.
Metode Istinbath Imam Syafi'i
Menurut Imam Syafi'i Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn
Utsman ibn Syafi' ibn Saib ibn Ubaid ibn Abu Yazid ibn Hasyim ibn
Muthallib ibn Abdi Manaf), "seseorang selamanya tidak boleh menetapkan
hukum halal-haram kecuali berdasarkan ilmu yang bersumber dari
Al-Qur'an, Sunah, Ijma' dan Qiyas". Imam Syâfi'i, melalui kitab
Ar-Risalah, mewariskan sesuatu yang sangat penting bagi khazanah
keilmuan Islam, yaitu ushul fiqih. Ilmu ini memberikan panduan ijtihad
bagi seseorang untuk mengambil hukum dari dalil-dalil Al-Qur'an,
Sunah, Ijma', dan Qiyas.
Metode istinbath Imam Syafi'i akan diuraikan secara ringkas, sebagai
panduan untuk mengambil hukum dari semua perkara yang berada di ranah
ijithadi.
Bayan Ilahy
Langkah awal dalam proses istinbathul ahkam (pengambilan hukum),
menurut Imam Syafi'i, adalah mendatangkan al-bayan (keterangan). Untuk
mengetahui dan menetapkan hukum sesuatu, keterangan pertama yang harus
diperoleh adalah keterangan firman Allah (bayan ilahy). Keterangan
firman dalam ayat Al-Qur'an harus diketahui karakteristiknya, karena
ayat Al-Qur'an tidak satu jenis. Ada ayat muhkam (pasti), ada ayat
mutasyabih (samar). Ada ayat 'am (universal), ada ayat khas
(partikular). Selain itu terdapat juga ayat nasikh (yang menghapus),
ayat mansukh (dihapus). Ada ayat muthlaq (tak
bersyarat/unconditional), ada ayat muqayyad (bersyarat/conditional).
Ada ayat haqiqi (denotatif), ada ayat majazi (metaforis), dst.
Pengetahuan tentang jenis-jenis ayat Al-Qur'an penting agar seseorang
tidak salah baca dalam memahami ayat. Karena itu, tidak benar
seseorang menetapkan hukum hanya dari sepenggal ayat tanpa memahami
jenisnya, dan tanpa melihat munasabah (pertaliannya) dengan ayat-ayat
lain.
Karakteristik Ayat-ayat Al-Qur'an
Saya tidak akan menjelaskan rinci, tetapi bagi yang tertarik memahami
karakteristik ayat-ayat Al-Qur'an, direkomendasikan untuk membaca
kitabal-Itqan fî Ulumil Qur'an, karya Jalaluddin as-Suyuthi. Namun,
biar jelas, akan diberikan beberapa contoh.
Para ulama berselisih pendapat tentang ayat-ayat muhkam dan
mutasyabih. Ayat muhkam biasanya berhubungan dengan ushulul aqidah
(pokok-pokok tauhid dan keimanan) dan usuhulus syariah (prinsip hukum
terkait perintah dan larangan).
Contoh ayat muhkam: "Allahu khaliqu kulli sya'in wa huwa 'ala kulli
sya'in wakil (QS. Al-Zumar/39: 62): "Allah Pencipta segala sesuatu dan
Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu."
Contoh lain, "Yâ ayyuhan nasu' budu rabbakumul ladzi khalaqakum wal
ladzina min qablikum la'allakum tattaqun" (QS. Al-Baqarah/2: 21):
"Hai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa."
Ayat yang menjelaskan keesaan Allah, yaitu QS. Al-Ikhlas (112: 1-4),
muhkam, tanpa kesamaran sedikit pun. Begitu juga ayat-ayat yang
menerangkan kewajiban pokok agama seperti salat, zakat, puasa, dan
haji semuanya muhkam.
Komentar
Posting Komentar