Forummuslim.org - Jaringan ulama santri berjuang secara gigih dalam
memperjuangkan negeri. Perjuangan para kiai dan santri pesantren
dimulai embrionya sejak berabad silam. Catatan sejarah menunjukkan,
bahwa jaringan pesantren berkontribusi penting dalam perlawanan
kolonial pada masa Perang Jawa (1825-1830). Para kiai pesantren
menjadi tulang punggung laskar pendukung Dipanegara dalam Perang Jawa.
Akan tetapi, fakta sejarah ini terkesan hanya samar-samar dituliskan.
Narasi pengetahuan dan ilmu sosial di Indonesia, belum memberikan
ruang yang lebar bagi aksi para kiai-santri dalam berjuang melawan
penjajah serta mengawal kemerdekaan Indonesia. Dari riset tentang
Perang Jawa mutakhir, yang tampil justru para ksatria yang dianggap
berjuang dengan gagah. Sedangkan, para kiai-santri dikesampingkan
dalam peranan menghadapi tentara Belanda (Carey, 2007; Djamhari,
2004).
Pada titik ini, jaringan ulama-santri perlu dibangkitkan kembali dalam
narasi sejarah dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Penulisan ulang,
dengan sudut pandang yang berimbang, serta memberi ruang bagi
kisah-kisah para kiai pesantren perlu dihadirkan untuk dipahami
pembaca.
Kisah para Kiai dalam jaringan Perang Jawa, memunculkan nama Kiai
Hasan Tuqo serta putranya Syekh Abdurrauf yang menjadi panglima perang
pada masa itu. Perjuangan Kiai Hasan Tuqo dan Syekh Abdurrauf,
diteruskan oleh cucunya, Kiai Dalhar bin Abdurrahman yang berjuang
dalam mengawal santri berjuang pada masa kemerdekaan.
Kiai Dalhar lahir di kawasan pesantren Darussalam, Watucongol,
Muntilan, Magelang. Beliau lahir pada 10 Syawal 1286 H/ 12 Januari
1870. Nama kecilnya adalah Nahrowi, nama pemberian orang tuanya.
Nasab Kiai Dalhar tersambung pada trah Raja Mataram, Amangkurat III.
Ayah Kiai Dalhar bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo.
Pada waktu perjuangan Perang Jawa, Kiai Abdurrauf membantu Dipanegara
berjuang di tanah Jawa. Kiai Abdurrauf dikenal sebagai salah satu
Panglima Perang Dipanegara, membantu laskar pada Perang Jawa. Dari
silsilah Kiai Hasan Tuqo, tersambung kepada Raja Amangkurat III
(memerintah 1703-1705), atau Amangkurat Mas. Kiai Hasan Tuqo memiliki
nama ningrat, yakni Raden Bagus Kemuning.
Pada waktu itu, Kiai Hasan Tuqo tidak senang berada di kawasan
Keraton, serta memilih untuk memperdalam ilmu agama. Kiai Hasan Tuqo
kemudian memilih menyepi di kawasan Godean, Yogyakarta. Nama desa
Tetuko sampai sekarang masih masyhur sebagai petilasan Kiai Hasan
Tuqo.
Pada waktu Perang Jawa (1825-1830) meletus, Pangeran Dipanegara
dibantu oleh barisan kiai yang berjuang untuk melawan Belanda. Di
antaranya, tercatat nama Kiai Modjo, Kiai Hasan Besari, Kiai Nur
Melangi, serta Kiai Abdurrauf. Putra Kiai Hasan Tuqo, Kiai Abdurrauf
inilah yang mendapat tugas sebagai panglima Perang Dipanegara, yang
menjaga kawasan Magelang. Pada kisaran awal abad 19, kawasan Magelang
menjadi jalur penting dalam ekonomi dan politik, karena menjadi titik
pertemuan dari kawasan Yogykarta menuju Temanggung dan Semarang di
daerah pesisiran. Kiai Abdurrauf menjadi panglima untuk menjaga
wilayah Magelang, serta memberi pengaruh penting penganut Dipanegara
di kawasan ini.
Demi menjaga kawasan Magelang dan mendukung pergerakan Dipanegara,
Kiai Abdurrauf bertempat di kawasan Muntilan, yakni di Dukuh Tempur,
Desa Gunung Pring, Muntilan. Di kawasan ini, Kiai Abdurrauf
mendirikan pesantren untuk mengajar ilmu agama kepada pengikutnya dan
warga sekitar. Dukuh Santren di Desa Gunungpring menjadi saksi
perjuangan dakwah dan militer Kiai Abdurrauf.
Rihlah ilmiyyah Kiai Dalhar
Kiai Dalhar mewarisi semangat dakwah dan perjuangan dari ayah dan
kakeknya. Sejak kecil, beliau haus akan ilmu agama, dengan mengaji dan
belajar di pesantren. Pada umur 13 tahun, Nahrowi (Dalhar kecil) mulai
belajar mondok. Ia mengaji kepada Mbah Kiai Mad Ushul di kawasan
Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di pesantren ini, Kiai Dalhar
belajar ilmu tauhid selama 2 tahun.
Setelah itu, Dalhar kecil melanjutkan mengaji di kawasan Kebumen.
Ayahnya menitipkan Kiai Dalhar di pesantren Sumolangu, di bawah asuhan
Syaikh as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani, atau
dikenal sebagai Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani.
Ketika mengaji di pesantren Sumolangu, Kiai Dalhar mengabdi di ndalem
sang Syaikh selama delapan tahun. Hal ini, merupakan permintaah Kiai
Abdurrahman kepada Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani.
Pada tahun 1314 H/1896, putra Syaikh Abdul Kahfi at-Tsani berniat
untuk belajar di Makkah. Sang Syaikh memerintah Kiai Dalhar agar
menemani putranya, yakni Sayyid Muhammad al-Jilani al-Hasani. Di
Makkah, dua pemuda pengabdi ilmu ini, diterima oleh Syaikh Sayyid
Muhammad Babashol al-Hasani, yang merupakan kerabat dari Syaikh
Ibrahim al-Hasani. Syaikh Sayyid Muhammad Babashol, pada waktu itu
merupakan Mufti Syafi'iyyah Makkah. Di rubath kawasan Misfalah, Kiai
Dalhar bersama Syaikh Muhammad al-Jilani al-Hasani bermukim selama
mengaji di Makkah. (bersambung)
memperjuangkan negeri. Perjuangan para kiai dan santri pesantren
dimulai embrionya sejak berabad silam. Catatan sejarah menunjukkan,
bahwa jaringan pesantren berkontribusi penting dalam perlawanan
kolonial pada masa Perang Jawa (1825-1830). Para kiai pesantren
menjadi tulang punggung laskar pendukung Dipanegara dalam Perang Jawa.
Akan tetapi, fakta sejarah ini terkesan hanya samar-samar dituliskan.
Narasi pengetahuan dan ilmu sosial di Indonesia, belum memberikan
ruang yang lebar bagi aksi para kiai-santri dalam berjuang melawan
penjajah serta mengawal kemerdekaan Indonesia. Dari riset tentang
Perang Jawa mutakhir, yang tampil justru para ksatria yang dianggap
berjuang dengan gagah. Sedangkan, para kiai-santri dikesampingkan
dalam peranan menghadapi tentara Belanda (Carey, 2007; Djamhari,
2004).
Pada titik ini, jaringan ulama-santri perlu dibangkitkan kembali dalam
narasi sejarah dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Penulisan ulang,
dengan sudut pandang yang berimbang, serta memberi ruang bagi
kisah-kisah para kiai pesantren perlu dihadirkan untuk dipahami
pembaca.
Kisah para Kiai dalam jaringan Perang Jawa, memunculkan nama Kiai
Hasan Tuqo serta putranya Syekh Abdurrauf yang menjadi panglima perang
pada masa itu. Perjuangan Kiai Hasan Tuqo dan Syekh Abdurrauf,
diteruskan oleh cucunya, Kiai Dalhar bin Abdurrahman yang berjuang
dalam mengawal santri berjuang pada masa kemerdekaan.
Kiai Dalhar lahir di kawasan pesantren Darussalam, Watucongol,
Muntilan, Magelang. Beliau lahir pada 10 Syawal 1286 H/ 12 Januari
1870. Nama kecilnya adalah Nahrowi, nama pemberian orang tuanya.
Nasab Kiai Dalhar tersambung pada trah Raja Mataram, Amangkurat III.
Ayah Kiai Dalhar bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo.
Pada waktu perjuangan Perang Jawa, Kiai Abdurrauf membantu Dipanegara
berjuang di tanah Jawa. Kiai Abdurrauf dikenal sebagai salah satu
Panglima Perang Dipanegara, membantu laskar pada Perang Jawa. Dari
silsilah Kiai Hasan Tuqo, tersambung kepada Raja Amangkurat III
(memerintah 1703-1705), atau Amangkurat Mas. Kiai Hasan Tuqo memiliki
nama ningrat, yakni Raden Bagus Kemuning.
Pada waktu itu, Kiai Hasan Tuqo tidak senang berada di kawasan
Keraton, serta memilih untuk memperdalam ilmu agama. Kiai Hasan Tuqo
kemudian memilih menyepi di kawasan Godean, Yogyakarta. Nama desa
Tetuko sampai sekarang masih masyhur sebagai petilasan Kiai Hasan
Tuqo.
Pada waktu Perang Jawa (1825-1830) meletus, Pangeran Dipanegara
dibantu oleh barisan kiai yang berjuang untuk melawan Belanda. Di
antaranya, tercatat nama Kiai Modjo, Kiai Hasan Besari, Kiai Nur
Melangi, serta Kiai Abdurrauf. Putra Kiai Hasan Tuqo, Kiai Abdurrauf
inilah yang mendapat tugas sebagai panglima Perang Dipanegara, yang
menjaga kawasan Magelang. Pada kisaran awal abad 19, kawasan Magelang
menjadi jalur penting dalam ekonomi dan politik, karena menjadi titik
pertemuan dari kawasan Yogykarta menuju Temanggung dan Semarang di
daerah pesisiran. Kiai Abdurrauf menjadi panglima untuk menjaga
wilayah Magelang, serta memberi pengaruh penting penganut Dipanegara
di kawasan ini.
Demi menjaga kawasan Magelang dan mendukung pergerakan Dipanegara,
Kiai Abdurrauf bertempat di kawasan Muntilan, yakni di Dukuh Tempur,
Desa Gunung Pring, Muntilan. Di kawasan ini, Kiai Abdurrauf
mendirikan pesantren untuk mengajar ilmu agama kepada pengikutnya dan
warga sekitar. Dukuh Santren di Desa Gunungpring menjadi saksi
perjuangan dakwah dan militer Kiai Abdurrauf.
Rihlah ilmiyyah Kiai Dalhar
Kiai Dalhar mewarisi semangat dakwah dan perjuangan dari ayah dan
kakeknya. Sejak kecil, beliau haus akan ilmu agama, dengan mengaji dan
belajar di pesantren. Pada umur 13 tahun, Nahrowi (Dalhar kecil) mulai
belajar mondok. Ia mengaji kepada Mbah Kiai Mad Ushul di kawasan
Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di pesantren ini, Kiai Dalhar
belajar ilmu tauhid selama 2 tahun.
Setelah itu, Dalhar kecil melanjutkan mengaji di kawasan Kebumen.
Ayahnya menitipkan Kiai Dalhar di pesantren Sumolangu, di bawah asuhan
Syaikh as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani, atau
dikenal sebagai Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani.
Ketika mengaji di pesantren Sumolangu, Kiai Dalhar mengabdi di ndalem
sang Syaikh selama delapan tahun. Hal ini, merupakan permintaah Kiai
Abdurrahman kepada Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani.
Pada tahun 1314 H/1896, putra Syaikh Abdul Kahfi at-Tsani berniat
untuk belajar di Makkah. Sang Syaikh memerintah Kiai Dalhar agar
menemani putranya, yakni Sayyid Muhammad al-Jilani al-Hasani. Di
Makkah, dua pemuda pengabdi ilmu ini, diterima oleh Syaikh Sayyid
Muhammad Babashol al-Hasani, yang merupakan kerabat dari Syaikh
Ibrahim al-Hasani. Syaikh Sayyid Muhammad Babashol, pada waktu itu
merupakan Mufti Syafi'iyyah Makkah. Di rubath kawasan Misfalah, Kiai
Dalhar bersama Syaikh Muhammad al-Jilani al-Hasani bermukim selama
mengaji di Makkah. (bersambung)
Komentar
Posting Komentar