Dalil itu suci, pemahaman kita belum tentu. Dalil itu, jika dy otentik, maka kebenarannya 100%, berbeda dengan pemahaman kita yang bisa saja keliru.
Ini urgen, karena ketika orang tidak membedakan antara dua hal ini maka dia akan menganggap apa yang dia katakan itulah yang dimaksud oleh syariat. Dia akan mengira bahwa yang dia bawa dan dia dakwahkan adalah dalil, padahal sejatinya yang dia bawa ke mana2 itu adalah pemahamannya.
Akibatnya, dia akan melawan siapapun yang berbeda dengan dia. Siapapun itu. Bahkan tidak jarang dia akan bilang bahwa menentang apa yang ia bawa itu berarti menentang syariat, benci dakwah sunnah, hingga dia memposisikan diri seperti Rasulullah ketika dakwahnya ditolak oleh musyrikin Mekkah.
Padahal, jika kita mempelajari fikih perbandingan, kita akan melihat bahwa banyak sekali perbedaan pendapat yang dimulai dari satu dalil yang sama. Satu dalil yang sama tapi dipahami dengan cara berbeda.
Mengenai mengusap kepala dalam wudhu misalkan, ayatnya sama, hadisnya juga itu2 juga, tapi satu menyatakan wajib seluruh kepala, satu bilang cukup seperempat, satu lagi bilang secuil juga cukup.
Hadis bid'ah jg gitu, hadisnya itu2 juga, sama2 udah dihafal orang banyak, tapi dipahami dengan cara yang beda, yang satu bilang itu 'am muthlaq tanpa toleransi yang satu lagi bilang itu 'am makhsus.
Membedakan dalil dengan pemahaman dalil itu (sumpah!) akan membuat kita lebih bisa berlapang dada dan ngga ngotot, karena kita tahu bahwa orang lain memahami dalil yang kita bawa dengan cara yang berbeda.
Aga greget kan lihat orang bilang sahih Bukhari dan Muslim itu ada kemungkinan salah tapi dia sendiri ngga nyadar kalo pemahamannya juga ada kemungkinan untuk salah? Bahkan mungkin bisa lebih parah... 😅 (Fahmi Hasan)
Komentar
Posting Komentar