Dalam tradisi kelompok pergerakan, khususnya yang rada underground, kita sering menemukan bai'at kepada pemimpin.
Buat kelompok ISIS, Al-Qaidah, Taliban dan sejenisnya, bai;at tentu bukan masalah yang asing.
Namun berbeda dengan bai'at aslinya di masa kenabian, bai'at yang dikembangkan di kelompok-kelompok itu seringkali diprlintir jadi semacam syahadat ulang. Maksudnya, kalau belum berbai'at sama pimpinan, maka dianggap bukan muslim.
Maka kalua dalam aksinya mereka kok bias dengan mudah membunuh sesama muslim, sebenarnya dalam pandangan mereka, semua yang tidak berbai'at kepada imam mereka statusnya bukan muslim, alias kafir.
Bedanya tinggal masalah kafirnya kafir harbi atau kafir zimmi. Kafir harbi dalam pandangan mereka itu tantara, polisi dan juga apparat negara. Sedangkan kafir zimmi itu ya kita-kita ini, yang tidak berbaiat kepada imam mereka.
Pada dasarnya kita tidak jadi target sasaran pembunuhan, tapi kalua terpaksa harus terkena ledakan bom atau peluru nyasar, ya itu resiko. Dianggap sebagai collateral damage. Tetapi tetap -saja kita ini kafir-kafir juga di mata mereka.
Maka kalau ada yang sadar dan tobat kembali ke jalan yang benar, ritualnya mereka kudu bayar kaffarat dulu dan berbai'at ulang kepada pemimpin negara NKRI yang sah. Tanpa bai'at ulang, dalam pandangan mereka kita masih tetap kafir.
Komentar
Posting Komentar