Masjidil Haram |
Forum Muslim - Ketika para pelajar teologis Islam mulai memperbincangkan kemaksuman para nabiyullâh, ternyata masih ada sedikit yang mengganjal dalam benak mereka. Terkadang, kita sendiri juga masih menyimpan beberapa pertanyaan mengenai hal itu, meskipun kita telah menyakini bersama akan kesahihan konsep maksûm bagi para Nabi. Terkadang, kita juga sulit untuk dapat mentransformasikan, karena kita masih dihantui oleh berbagai tanda tanya. Hingga, sedikit demi sedikit, kenyataan ini mulai mengikis keyakinan atau justru menjerumuskan kita pada sebuah rumusan teologis yang keliru.
Benarkah para Nabi maksum? Lalu mengapa Nabi Adam 'Alaihissalâmmasih berbuat durhaka? Dan mengapa Nabi Ibrahim 'Alaihissalâmberani berdusta? Bukankah para Nabi terjaga dari kesengajaan berbuat dusta? Inilah diantara pertanyaan yang menjebak itu.
Konsep 'Ishmah
Ahlu Sunah wal-Jamaah atau Islam 'alâ mazhabi Abi Hasan al-Asy'ari meyakini bahwa segenap para Nabi tidak mungkin melakukan kedurhakaan kepada Allah Subhânahu wata'âla. Para Nabi akan terus berbuat taat dan tidak akan melanggar perintah Sang Pencipta. Jangankan larangan yang tegas (an-nahyul-jâzim), khilâful-'aulâ-pun (menyalahi yang lebih utama) sedapat mungkin mereka hindari.
Kedurhakaan justru akan merusak kesucian para Nabi yang sengaja diutus untuk segenap umat. Apa jadinya bila mereka durhaka sedangkan dirinya diperintah untuk menyampaikan ketaatan? Dan apa jadinya bila mereka berdusta sedangkan dirinya diperintah untuk menyampaikan kebenaran? Tentu akan nampak imposible.
Tidak hanya menurut pandangan Ahlu Sunah wal-Jamaah, segenap sekte teologi Islam juga sepakat akan 'ishmah (keterpeliharaan) para Nabi. Muktazilah, Qadariyah, Jabariyah, dan sekte teologi Islam yang lain telah setuju bahwa para Nabi benar-benar terpelihara dari dosa. Al-Qâdhi Abu Bakar dan Ibnu Hajib telah meriwayatkan adanya kesepakatan umat Islam mengenai 'ishmatul-anbiyâ' dari melakukan dosa besar, serta dosa kecil yang dapat menurunkan martabat kenabian. Namun, meski telah terdapat kesepakatan bersama, ternyata konsep 'ishmah ini masih menyisakan ranah khilafiyah yang cukup sensitif, walau tidak terbilang prinsip.
Pertama, mengenai sumber yang dijadikan acuan konsep ini. Menurut Al-Qâdhi Abu Bakar, ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, dan sebagian pengikut Abu Hasan al-Asy'ari keterpeliharaan para Nabi itu berdasarkan dalil syar'i (Al-Qur'an dan Sunah), semisal firman Allah Subhânahu wata'âla dalam surat Al-Maidah ayat 67 dan An-Najm ayat 107. Pendapat ini ditengarai bertolak belakang dengan pandangan Muktazilah dan beberapa pengikut mazhab Imam al-Asy'ari yang menyatakan bahwa 'ishmah para Nabi itu berdasarkan legitimasi akal atau dalil rasio. Namun, kelompok pertama membantah pandangan tersebut. Menurut mereka, secara rasio tidak satupun alasan logis yang menunjukkan bahwa para Nabi itu terjaga dari perbuatan dosa.
Kedua, mengenai kapan keterpeliharan ('ishmah) itu dimulai? Sifat 'ishmah -sebagaimana yang telah dipaparkan di atas- merupakan keistimewaan yang dianugerahkan kepada para Nabi dan Utusan Allah Subhânahu wata'âla. Karenanya, masih diperselisihkan apakah sebelum mereka mendapat mandat kenabian juga terpelihara dari perbuatan dosa?
Mengenai permasalahan ini, mayoritas ulama berpandangan bahwa 'ishmah hanya berkaitan dengan derajat kenabian, sehingga sebelum terangkat sebagai Nabi, calon Nabi tidak diberi sifat tersebut. Untuk itu, sah-sah saja apabila para Nabi pernah melakukan kedurhakaan -baik besar atau kecil- sebelum mereka terangkat. Sedangkan menurut Muktazilah, keterpeliharaan para Nabi sebelum terangkatnya hanya tertentu dari perbuatan dosa besar saja. Namun, secara faktual hal tersebut –baik dosa kecil atau besar- tidak pernah terjadi pada diri Nabi sebelum mereka terangkat.
Benarkah Adam 'Alaihissalâm Durhaka?
Setelah memahami konsep 'ishmah bagi para Nabi di atas, maka selanjutnya kita akan di hadapkan pada permasalah lain yang cukup krusial. Konsep -meskipun telah disepakati kesahihannya- ini ditengarai masih berbenturan dengan sebuah realita bahwa salah satu nabiyullâh ada yang berbuat durhaka, yaitu Adam 'Alaihissalâm. Allah Subhânahu wata'âla sendiri telah mengunakan ungkapan durhaka ('ashâ) yang disematkan pada diri Adam Alaihissalâm dalam salah satu firman-Nya (QS. Thaha [20]:121). Selanjutnya Adam Alaihissalâm dihukum atas kedurhakaan itu dengan diturunkan ke bumi (QS. Al-Baqarah [02]:38).
Benarkah kenyataan ini berbenturan dengan konsep maksum dalam akidah Ahlu Sunah wal-Jamaah? Mengenai hal tersebut ulama telah banyak memberikan berbagai komentar dan interpretasi yang membela konsep 'ishmah bagi para Nabi.
Pertama, al-Imâm Syihâbuddîn ar-Ramli menyatakan bahwa peristiwa mengenai keteledoran Adam Alaihissalâm itu terjadi sebelum dirinya terangkat menjadi seorang Nabi. Bagaima beliau dikatakan sebagai Nabi, sedangkan di sana -di surga- masih belum terdapat umat sebagai objek risâlah. Adam Alaihissalâm masih belum terutus untuk menyampaikan wahyu kepada umat. Adam masih selayaknya manusia biasa yang sedang meniti sekenario Tuhan Subhânahu wata'âla .
Nampaknya, melalui pandangannya ini, Imam Syihâbuddîn ar-Ramli cenderung membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa keterpeliharaan para Nabi itu hanya tertentu setelah terangkatnya mereka menjadi utusan. Untuk itu, sah-sah saja apabila Adam Alaihissalâm berbuat keteledoran. Namun, keteledoran di sini tidak sampai menurunkan martabat Adam Alaihissalâm sebagai hamba Allah Alaihissalâm yang sedang dipersiapkan sebagai seorang utusan.
Kedua, pada prinsipnya, Nabi Adam Alaihissalâm tidak melakukan kedurhakaan kepada Allah Subhânahu wata'âla dengan memakan buah khuldi. Larangan memakan buah khuldi bukanlah larangan tegas (an-nahyul-jâzim). Bagi kelompok yang menyakini bahwa surga Adam Alaihissalâm adalah jannatul-khuld (surga keabadian) mereka akan mengarahkan larangan tersebut sebagai an-nahyut-tanzîh, yakni larangan untuk lebih mensucikan pribadi Adam Alaihissalâm.
Interpretasi ini berlandaskan pada sebuah ayat yang menyatakan bahwa di dalam jannatul-khuld tidak terdapat peraturan yang mengikat penghuninya (taklîf), semua hidup damai dan sejahtera di sana. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauzi merupakan salah satu ulama yang membela pandangan ini (Adam Alaihissalâm tidak berdiam di jannatul-khuld). Beliau sengaja menulis sebuah karya yang secara khusus mengkaji misteri Adam Alaihissalâm dan surga yang ditempatinya, yakni kitab Hâdil-Arwah ila Bilâdil-Afrâh. Pembelaan beliau tersebut nampak kentara sekali sejak mengawali tulisannya dalam kitab tersebut.
Maka dari itu, pelanggaran Adam Alaihissalâm merupakan kekeliruan kecil. Namun, kekeliruan tadi nampak besar karena keagungan yang ia sandang. Kekeliruan kecil tersebut tidak lain hanyalah meninggalakan perbuatan yang lebih utama (tarkul-aulâ), yakni lupa akan larangan yang ditujukan untuk lebih mensucikan dirinya.
Ketiga, perlu dipahami bahwa pelanggaran yang dilakukan Adam Alaihissalâm timbul dengan tanpa disengaja (QS. Thaha [20]:115). Allah Subhânahu wata'âla telah menyatakan bahwa Adam Alaihissalâm lupa terhadap janji untuk tidak memakan buah khuldi, meskipun Allah Subhânahu wata'âla menyebut Adam Alaihissalâm durhaka di ayat yang lain. Untuk itu, kesalahan atau ungkapan durhaka yang disematkan pada diri Adam Alaihissalâm tidak lain untuk lebih mengagugkan dirinya atas kebesaran yang ia sandang sebagai manusia pertama. Sedangkan ungkapan zhâlim atau khâsir (QS Al-A'râf [07]:23) merupakan sebuah pengakuan dari Adam Alaihissalâm akan kezaliman terhadap dirinya sendiri dan merugi karena meninggalkan perbuatan yang lebih utama (tarkul-aulâ). Sebuah kalam hikmah menyatakan "Hasanatul-abrâr sayyiatul-muqarrabîn"
Keempat, dapat dimungkinkan juga bahwa pelanggaran Adam Alaihissalâm terjadi kerena ia keliru dalam berijtihad. Adam Alaihissalâm menduga bahwa larangan memakan buah khuldi merupakan an-nahyu at-tanzîh, sehingga Adam Alaihissalâm mengabaikan larangan tersebut. Namun, ternyata ijtihadnya kurang tepat, sehingga Allah Subhânahu wata'âla menghukum Adam Alaihissalâm atas kekeliruan itu. Akan tetapi, sekali lagi, Adam Alaihissalâm dihukum tidak lain mengingat luhurnya derajat Beliau Alaihissalâm.
Kemungkinan alasan keempat ini sebenarnya masih bersinggungan dengan pandangan lain, yakni pandangan kelompok yang menyatakan bahwa Adam Alaihissalâm tinggal di jannatul-khuld. Artinya, apabila Adam Alaihissalâm keliru dalam berijtihad berarti esensi larangan di atas (larangan memakan buah khuld) adalah an-nahyul-jâzim atau larangan secara tegas. Sedangkan larangan seperti ini tidak mungkin terjadi di dalam jannatul-khuld, karena diantara ciri-ciri surga abadi adalah tidak ada taklîf, perintah dan larangan di sana. Untuk itu, kemungkinan alasan keempat ini, meskipun cukup mendasar, namun masih sulit untuk diterima karena masih banyak bersinggungan dengan alasan teologis yang lain.
Ikhtitam
Walhasil, segenap ulama Ahlu Sunah wal-Jamaah dan segenap pengikut sekte teologi Islam yang lain tetap sepakat atas keterpeliharaan para nabiyullâh, meskipun interpretasi masing-masing dari mereka beragam dalam upaya membela konsep ini. Perbedaan tersebut banyak mewarnai kepustakaan teologis Islam dan hanya berkisar dalam ranah tanawwu'ât (keragaman) bukan tadhâdud (pertentangan). Tulisan ini hanya sekadar membantu untuk memahami konsep tersebut ketika dihadapkan pada sebuah realita yang sering diajukan para pengkaji akidah. Wallâhu a'lam.
Penulis Artikel : Abdurrohim Arief/ LPSI
Referensi:
· Muhammad bin Abu Bakar bin Ayub ad-Dimisyqi, I'lâmul-Mûqi'în 'an Rabbil-'Âlamîn,
· Muhammad bin Abu Bakar bin Ayub ad-Dimisyqi, Hâdil-Arwah ila Bilâdil-Afrâh
· Muhammad bin Muhammad al-Ghâzali, Al-Iqtishâd fi al-I'tiqâd
· Muhammad bin al-Husain al-Baihaqi, al-I'tiqod alâ Madzhab as-Salaf Ahlu as-Sunnah wa al-Jama'ah
· Syihâbuddîn ar-Ramli, Fatâwa r-Ramli
__,_._,___
Komentar
Posting Komentar