Langsung ke konten utama

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 187



Al-Baqarah, ayat 187

{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187) }

Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian; mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Hal ini merupakan suatu keringanan dari Allah buat kaum muslim, dan Allah menghapuskan apa yang berlaku di masa permulaan Islam. Karena sesungguhnya pada permulaan Islam, apabila salah seorang di antara mereka berbuka, ia hanya dihalalkan makan dan minum serta bersetubuh sampai salat Isya saja. Tetapi bila ia tidur sebelum itu atau telah salat Isya, maka diharamkan baginya makan, minum, dan bersetubuh sampai malam berikutnya. Maka dengan peraturan ini mereka mengalami masyaqat yang besar.

Ar-Rafas, dalam ayat ini artinya bersetubuh. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Ata, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Tawus, Salim ibnu Abdullah, Amr ibnu Dinar, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Ad-Dahhak, Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, Ata Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu Hayyan.

*******

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ}

Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. (Al-Baqarah: 187)

Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, makna yang dimaksud ialah 'mereka adalah ketenangan bagi kalian, dan kalian pun adalah ketenangan bagi mereka'.

Menurut Ar-Rabi' ibnu Anas, maksud ayat ialah 'mereka adalah selimut bagi kalian dan kalian pun adalah selimut bagi mereka'.

Pada kesimpulannya suami dan istri, masing-masing dari keduanya bercampur dengan yang lain dan saling pegang serta tidur-meniduri, maka amatlah sesuai bila diringankan bagi mereka boleh bersetubuh dalam malam Ramadan, agar tidak memberatkan mereka dan menjadikan mereka berdosa. Seorang penyair mengatakan:

إِذَا مَا الضَّجِيعُ ثَنَى جِيدَهَا ... تَدَاعَتْ فَكَانَتْ عَلَيْهِ لِبَاسَا

Bilamana teman tidur melipatkan lehernya, berarti dia mengajak, maka jadilah dia seperti pakaiannya.

Latar belakang turunnya ayat ini telah disebutkan di dalam hadis Mu'az yang panjang yang telah disebutkan sebelumnya. Abu Ishaq meriwayatkan dari Al-Barra ibnu Azib, tersebutlah sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bila seseorang dari mereka puasa, lalu ia tidur sebelum berbuka, maka ia tidak boleh makan sampai keesokan malamnya di waktu yang sama. Sesungguhnya Qais ibnu Sirman dari kalangan Ansar sedang melaksanakan puasa. Pada siang harinya ia bekerja di lahannya. Ketika waktu berbuka telah tiba, ia datang kepada istrinya dan mengatakan, "Apakah kamu mempunyai makanan?" Si istri menjawab, "Tidak, tetapi aku akan pergi dahulu untuk mencarikannya buatmu." Ternyata Qais sangat lelah hingga ia tertidur. Ketika istrinya datang, si istri melihatnya telah tidur; maka ia berkata, "Alangkah kecewanya engkau, ternyata engkau tertidur." Ketika keesokan harinya, tepat di siang hari Qais pingsan, lalu hal itu diceritakan kepada Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam Kemudian turunlah ayat ini, yaitu: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian, —sampai dengan firman-Nya— dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) Maka mereka amat gembira dengan turunnya ayat ini.

Lafaz hadis Imam Bukhari dalam bab ini diketengahkan melalui Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa ketika ayat puasa bulan Ramadan diturunkan, mereka tidak menggauli istri-istri mereka sepanjang bulan Ramadan, dan kaum laki-laki berkhianat terhadap dirinya sendiri. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. (Al-Baqarah: 187)

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa kaum muslim pada mulanya dalam bulan Ramadan bilamana mereka telah salat Isya, maka diharamkan atas mereka wanita dan makanan sampai dengan waktu yang semisal pada keesokan malamnya. Kemudian ada segolongan kaum muslim yang menggauli istri-istri mereka dan makan sesudah salat Isya dalam bulan Ramadan, di antaranya ialah Umar ibnul Khattab. Maka mereka mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah: 187), hingga akhir ayat.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas.

Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa sesungguhnya orang-orang itu sebelum diturunkan perintah puasa seperti apa yang telah diturunkan kepada mereka sekarang, mereka masih tetap boleh makan dan minum serta dihalalkan bagi mereka menggauli istri-istrinya. Tetapi apabila seseorang di antara mereka tidur, maka ia tidak boleh makan dan minum serta tidak boleh menyetubuhi istrinya hingga tiba saat berbuka pada keesokan malamnya. Kemudian sampailah suatu berita kepada kami bahwa Umar ibnul Khattab sesudah dia tidur dan wajib baginya melakukan puasa, maka ia (bangun) dan menyetubuhi istrinya. Kemudian ia datang menghadap Nabi Shalallahu'alaihi Wasallam dan berkata, "Aku mengadu kepada Allah dan juga kepadamu atas apa yang telah aku perbuat." Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bertanya, "Apakah yang telah kamu lakukan?" Umar menjawab, "Sesungguhnya hawa nafsuku telah menggoda diriku, akhirnya aku menyetubuhi istriku sesudah aku tidur, sedangkan aku berkeinginan untuk puasa." Maka mereka (para sahabat) menduga bahwa Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam pasti menegurnya dan mengatakan kepadanya, "Tidaklah pantas kamu lakukan hal itu." Maka turunlah firman-Nya yang mengatakan: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)

Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qais ibnu Sa'd, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian —sampai dengan firman-Nya— kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187) Bahwa kaum muslim sebelum ayat ini diturunkan, apabila mereka telah salat Isya, diharamkan atas mereka makan, minum, dan wanita hingga mereka berbuka lagi di malam berikutnya. Sesungguhnya Umar ibnul Khattab menyetubuhi istrinya sesudah salat Isya. Sedangkan Sirmah ibnu Qais Al-Ansari tertidur sesudah salat Magrib; dia belum makan apa pun, dan ia masih belum bangun kecuali setelah Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam salat Isya; maka ia bangun, lalu makan dan minum. Kemudian pada pagi harinya ia datang kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan firman-Nya berkenaan dengan peristiwa itu, yakni: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187) Yang dimaksud dengan rafas ialah bersetubuh dengan istri. mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian. (Al-Baqarah: 187) Yakni kalian menyetubuhi istri-istri kalian dan kalian makan serta minum sesudah Isya. karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Maksudnya, campurilah istri-istri kalian dan ikutilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian, yakni memperoleh anak. dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187) Maka hal ini merupakan keringanan dan rahmat dari Allah.

Hisyam meriwayatkan dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila yang menceritakan bahwa sahabat Umar ibnul Khattab Radhiyallahu Anhu pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tadi malam menginginkan istriku sebagaimana layaknya seorang lelaki mengingini istrinya. Tetapi ia menjawab bahwa dirinya telah tidur sebelum itu, hanya aku menduga dia sedang sakit. Akhirnya aku setubuhi dia." Maka berkenaan dengan Umar Radhiyallahu Anhu turunlah ayat berikut, yakni firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Syu'bah, dari Amr ibnu Murrah, dari Ibnu Abu Laila dengan lafaz yang sama.

Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Suwaid, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Abu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Jubair maula Bani Salamah, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik menceritakan sebuah hadis kepadanya dari ayahnya, bahwa orang-orang dalam bulan Ramadan, bila seorang lelaki di antara mereka puasa dan pada petang harinya dia tertidur, maka diharamkan atasnya makan, minum, dan menggauli istri hingga saat berbuka pada besok malamnya. Di suatu malam Umar ibnul Khattab Radhiyallahu Anhu pulang ke rumahnya dari rumah Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam yang saat itu begadang di rumah beliau. Lalu Umar menjumpai istrinya telah tidur, dan ia menginginkannya. Tetapi istrinya menjawab, "Aku telah tidur." Maka Umar menjawab, "Kamu belum tidur," lalu ia langsung menyetubuhinya. Ka'b ibnu Malik melakukan hal yang sama pula. Pada pagi harinya Umar berangkat ke rumah Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Kemudian turunlah firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah: 187), hingga akhir ayat.

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Ata, Ikrimah, Qatadah, dan lain-lainnya dalam asbabun nuzul ayat ini. Yaitu berkenaan dengan perbuatan Umar ibnul Khattab dan orang-orang yang melakukan seperti apa yang diperbuatnya, juga berkenaan dengan Sirmah ibnu Qais. Maka diperbolehkanlah bersetubuh, makan, dan minum dalam semua malam Ramadan sebagai rahmat dan keringanan serta belas kasihan dari Allah.

*********

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ}

dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187)

Menurut Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas, Syuraih Al-Qadi, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Zaid ibnu Aslam, Al-Hakam ibnu Utbah, Muqatil ibnu Hayyan, Al-Hasan Al-Basri, Ad-Dahhak, Qatadah, dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah anak.

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Makna yang dimaksud ialah jimak (persetubuhan).

Amr ibnu Malik Al-Bakri telah mengatakan dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil ayat ini: dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Makna yang dimaksud ialah lailatul qadar (malam yang penuh dengan kemuliaan). Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.

Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, bahwa Qatadah pernah mengatakan, "Ikutilah oleh kalian keringanan yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian ini!" Yakni atas dasar bacaan ma ahallallahu lakum (bukan ma kataballahu lakum), artinya 'apa yang telah dihalalkan oleh Allah buat kalian'.

Abdur Razzaq telah mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ata ibnu Abu Rabah yang pernah bercerita bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Abbas mengenai bacaan ayat ini, yakni firman-Nya: dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Maka Ibnu Abbas menjawab, "Mana saja yang kamu sukai boleh, tetapi pilihlah olehmu bacaan yang pertama, (yakni kataba, bukan ahal-la)." Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat lebih umum daripada hal tersebut.

************

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}

dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)

Allah Subhanahu wa Ta'ala memperbolehkan pula makan dan minum di samping boleh menggauli istri dalam malam mana pun yang disukai oleh orang yang berpuasa, hingga tampak jelas baginya cahaya waktu subuh dari gelapnya malam hari. Hal ini diungkapkan di dalam ayat dengan istilah 'benang putih' yang berbeda dengan 'benang hitam', kemudian pengertian yang masih misteri ini diperjelas dengan firman-Nya:

{مِنَ الْفَجْرِ}

Yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187)

Seperti yang disebutkan di dalam hadis riwayat Imam Abu Abdullah Al-Bukhari:

حَدَّثَنَا ابن أبي مَرْيَمَ، حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّان مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّف، حَدَّثَنِي أَبُو حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: أُنْزِلَتْ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ} وَلَمْ يُنزلْ {مِنَ الْفَجْرِ} وَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ، رَبَطَ أحدُهم فِي رِجْلَيْهِ الْخَيْطَ الْأَبْيَضَ وَالْخَيْطَ الْأَسْوَدَ، فَلَا يَزَالُ يَأْكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتَهُمَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ: {مِنَ الْفَجْرِ} فَعَلِمُوا أَنَّمَا يَعْنِي: اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Abu Gassan (yakni Muhammad ibnu Mutarrif), telah menceritakan kepada kami Abu Hazim, dari Sahl ibnu Sa'd yang mengatakan bahwa ketika ayat berikut ini diturunkan: Dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam. (Al-Baqarah: 187) Sedangkan kelanjutannya masih belum diturunkan, yaitu firman-Nya: Yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) Maka orang-orang apabila hendak berpuasa, seseorang dari mereka mengikatkan benang putih dan benang hitam pada kakinya; dia masih tetap makan dan minum hingga tampak jelas baginya kedua benang itu. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) Maka mengertilah mereka bahwa yang dimaksud dengan istilah benang putih dan benang hitam ialah malam dan siang hari.

 قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم، أَخْبَرَنَا حُصَين، عَنِ الشَّعْبِيِّ، أَخْبَرَنِي عَديّ بْنُ حَاتِمٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ} عَمَدت إِلَى عِقَالَيْنِ، أحدُهما أَسْوَدُ وَالْآخَرُ أَبْيَضُ، قَالَ: فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، قَالَ: فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَيْهِمَا فَلَا تَبَيَّن  لِي الْأَسْوَدُ مِنَ الْأَبْيَضِ، وَلَا الْأَبْيَضُ مِنَ الْأَسْوَدِ، فَلَمَّا أَصْبَحْتُ غَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ. فَقَالَ: "إِنَّ وِسَادَكَ إِذًا لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا ذَلِكَ بَيَاضُ النَّهَارِ وَسَوَادُ  اللَّيْلِ"

Imam Ahmad mengatakan,  telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepadaku Addi ibnu Hatim yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yakni firman-Nya: dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) (Addi ibnu Hatim berkata), "Maka aku sengaja mencari dua buah tali, yang satu berwarna hitam, sedangkan yang lain berwama putih; lalu aku letakkan di bawah bantalku, dan aku tinggal melihat keduanya. Dan ketika tampak jelas di mataku perbedaan antara benang putih dan benang hitam, maka aku mulai imsak (menahan diri). Pada keesokan harinya aku datang menghadap Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam, lalu aku ceritakan kepadanya apa yang telah kulakukan itu, maka beliau bersabda: 'Sesungguhnya bantalmu kalau demikian benar-benar lebar. Sesungguhnya yang dimaksud dengan demikian itu hanyalah terangnya siang hari dan gelapnya malam hari'."

Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari berbagai jalur dari Addi.

Makna 'sesungguhnya bantalmu kalau demikian benar-benar lebar' ialah bantalmu memang lebar jika dapat memuat dua buah tali, yakni tali yang berwama hitam dan yang berwarna putih. Makna yang dimaksud dijelaskan oleh ayat berikutnya, bahwa sesungguhnya keduanya itu adalah terangnya siang hari dan gelapnya malam hari. Hal ini berarti bantal Addi sama lebarnya dengan ufuk timur dan ufuk barat. Demikianlah menurut apa yang tercatatkan di dalam riwayat Imam Bukhari, yakni ditafsirkan seperti ini.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم، أَخْبَرَنَا حُصَين، عَنِ الشَّعْبِيِّ، أَخْبَرَنِي عَديّ بْنُ حَاتِمٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ} عَمَدت إِلَى عِقَالَيْنِ، أحدُهما أَسْوَدُ وَالْآخَرُ أَبْيَضُ، قَالَ: فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، قَالَ: فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَيْهِمَا فَلَا تَبَيَّن لِي الْأَسْوَدُ مِنَ الْأَبْيَضِ، وَلَا الْأَبْيَضُ مِنَ الْأَسْوَدِ، فَلَمَّا أَصْبَحْتُ غَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ. فَقَالَ: "إِنَّ وِسَادَكَ إِذًا لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا ذَلِكَ بَيَاضُ النَّهَارِ وَسَوَادُ اللَّيْلِ"

Telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Husain, dari Sya'bi, dari Addi yang menceritakan bahwa dia mengambil tali yang berwarna putih dan tali yang berwarna hitam. Ketika sebagian dari malam hari telah berlalu, ia memandang ke arah kedua tali itu, tetapi dia masih belum dapat membedakannya. Ketika pagi harinya ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah meletakkan dua buah tali di bawah bantalku." Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam menjawab: Sesungguhnya bantalmu (tengkukmu) benar-benar lebar kalau demikian, yakni jika tali putih dan tali hitam itu berada di bawah bantalmu. Menurut lafaz lainnya disebutkan: Sesungguhnya  kamu  ini  benar-benar  memiliki  tengkuk yang lebar.

Sebagian di antara mereka menafsirkannya dengan pengertian orang yang dungu; tetapi riwayat ini daif, melainkan pengertian yang benar ialah 'apabila bantalnya lebar, maka berarti tengkuknya lebar pula (yakni bukan makna kinayah, melainkan makna menurut lahiriah)'.

Imam Bukhari menafsirkan pula melalui riwayat lainnya, yaitu:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مُطَرّف، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ، أَهُمَا الْخَيْطَانِ؟ قَالَ: "إِنَّكَ لَعَرِيضُ الْقَفَا إِنْ أَبْصَرْتَ الْخَيْطَيْنِ". ثُمَّ قَالَ: "لَا بَلْ هُوَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ"

telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mutarrif, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan benang putih dari benang hitam, apakah keduanya memang benang?" Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam menjawab, "Sesungguhnya tengkukmu benar-benar lebar jika kamu memahami makna kedua benang itu." Kemudian Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda lagi, "Tidak, bahkan yang dimaksud ialah gelapnya malam hari dan terangnya siang hari."

Ketetapan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang membolehkan seseorang makan sampai fajar terbit menunjukkan sunat bersahur, karena sahur termasuk ke dalam bab rukhsah, dan mengamalkannya merupakan hal yang dianjurkan. Karena itulah di dalam sunnah Rasul Shalallahu'alaihi Wasallam terdapat anjuran bersahur.

Di dalam kitab Sahihain, dari Anas Radhiyallahu Anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda:

"تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحور بَرَكَةٌ"

Bersahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur terkandung barakah.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Amr ibnul As Radhiyallahu Anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda:

"إن فَصْل مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَر"

Sesungguhnya perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab ialah makan sahur.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى هُوَ ابْنُ الطَّبَّاعِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "السَّحور أكْلُهُ بَرَكَةٌ؛ فَلَا تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ يَجْرَع جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa (yaitu Ibnut Tabba'), telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid, dari ayahnya, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah Shalallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda: Sahur adalah makanan yang mengandung berkah, maka janganlah kalian melewatkannya, sekalipun seseorang di antara kalian hanya meminum seteguk air, karena sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk orang-orang yang makan sahur.

Di dalam Bab "Anjuran Bersahur" banyak hadis yang menerangkannya, sehingga disebutkan bahwa sekalipun hanya dengan seteguk air, karena disamakan dengan orang-orang yang makan.

Mengakhirkan sahur sunat hukumnya, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، قَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ. قَالَ أَنَسٌ: قُلْتُ لِزَيْدٍ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسُّحُورِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً

dari Anas ibnu Malik, dari Zaid ibnu Sabit yang menceritakan, "Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam, kemudian kami bangkit mengerjakan salat." Anas bertanya kepada Zaid, "Berapa lamakah jarak antara azan (salat Subuh) dan sahur?" Zaid menjawab, "Kurang lebih sama dengan membaca lima puluh ayat."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، عَنْ سَالِمِ بْنِ غَيْلَانَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ أَبِي عُثْمَانَ، عَنْ عَديّ بْنِ حَاتِمٍ الْحِمْصِيِّ، عَنْ أَبِي ذَرّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم: "لا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا عَجَّلوا الْإِفْطَارَ وأخَّروا السُّحُورَ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Salim ibnu Gailan, dari Sulaiman ibnu Abu Usman, dari Addi ibnu Hatim Al-Hamsi, dari Abu Zar yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda: Umatku masih tetap dalam keadaan baik selagi mereka menyegerakan berbuka (puasa) dan mengakhirkan makan sahur(nya).

Banyak hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam menamakan makan sahur ini dengan sebutan jamuan yang diberkati. Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah:

مِنْ رِوَايَةِ حَمَّادِ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ بَهْدَلَةَ، عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ، عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ: تسحَّرْنا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ النَّهَارُ إِلَّا أَنَّ الشَّمْسَ لَمْ تَطْلُعْ

melalui riwayat Hammad ibnu Salamah, dari Asim ibnu Bahdalah, dari Zaid ibnu Hubaisy, dari Huzaifah yang menceritakan: Kami makan sahur bersama Rasulullah Shalallahu'alaihi Wasallam, maka hari pun mulai pagi, hanya matahari belum terbit.

Hadis ini menurut Imam Nasai hanya ada pada Asim ibnu Abun Nujud, dan Imam Nasai menginterpretasikannya dengan pengertian dekat pagi hari. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:

فَإِذا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ

Apabila mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik. (At-Talaq: 2)

Yakni masa idah mereka mendekati akhirnya, maka sebagai jalan keluarnya ialah adakalanya mereka dirujuki dengan baik atau dilepaskan dengan baik pula.

Apa yang dikatakan oleh Imam Nasai ini merupakan takwil makna hadis ini, dan takwil ini merupakan suatu pilihan yang terbaik karena mereka (para sahabat) terbukti melakukan sahur, sedangkan mereka belum yakin akan terbitnya fajar; hingga sebagian dari kalangan mereka ada yang menduga bahwa fajar telah terbit, dan sebagian yang lainnya belum dapat membuktikannya.

Sesungguhnya diriwayatkan dari sebagian besar ulama Salaf bahwa mereka membolehkan makan sahur hingga mendekati waktu fajar. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Huzaifah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Zaid Ibnu Sabit. Sebagaimana telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari sebagian besar golongan tabi'in, antara lain ialah Muhammad ibnu Ali ibnul Husain, Abu Mijlaz, Ibrahim An-Nakha'i, Abud Duha, dan Abu Wa'il serta lain-lainnya dari kalangan murid-murid Ibnu Mas'ud, Ata, Al-Hasan, Al-Hakim, Ibnu Uyaynah, Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, dan Abusya'sa (yaitu Jabir dan ibnu Zaid). Pendapat ini didukung oleh Al-A'masy dan Jabir ibnu Rasyid. Sesungguhnya kami telah mencatat sanad-sanad itu di dalam Kitabus Siyam secara menyendiri.

Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya dari sebagian di antara mereka, bahwa sesungguhnya imsak diwajibkan hanyalah mulai dari terbitnya (dekat terbitnya) matahari, sebagaimana diperbolehkan baginya berbuka setelah matahari tenggelam.

Menurut kami, pendapat ini tidaklah layak dikatakan oleh seseorang yang berilmu mendalam, karena hal ini bertentangan dengan makna firman-Nya: dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)

Telah disebutkan di dalam hadis Al-Qasjim, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Shalallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda:

"لَا يَمْنَعُكُمْ أذانُ بِلَالٍ عَنْ سَحُوركم، فَإِنَّهُ يُنَادِي بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى تَسْمَعُوا أَذَانَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ"

Jangan sampai azan (pertama) Bilal mencegah kalian dari sahur kalian, karena sesungguhnya dia menyerukan azannya di malam hari. Untuk itu makan dan minumlah kalian hingga kalian mendengar azan yang diserukan Ibnu Ummi Maktum, karena sesungguhnya dia tidak menyerukan azannya sebelum fajar (subuh) terbit.

Demikianlah menurut lafaz Imam Bukhari.

وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْق، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم قال: "لَيْسَ الفجرُ الْمُسْتَطِيلُ فِي الْأُفُقِ وَلَكِنَّهُ الْمُعْتَرِضُ الْأَحْمَرُ" .

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu-sa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Jabir, dari Qais ibnu Talq, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda: Fajar itu bukanlah sinar yang memanjang di ufuk, melainkan sinar merah yang melintang.

Sedangkan menurut lafaz Imam Abu Daud dan Imam At Tirmidzi  disebutkan:

"كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا يَهِيدَنَّكُمْ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الْأَحْمَرُ"

Makan dan minumlah kalian, dan jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh sinar yang naik (memanjang), maka makan dan minumlah kalian sebelum tampak cahaya merah yang melintang bagi kalian.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ شَيْخٍ مِنْ بَنِي قُشَيْرٍ: سَمِعْتُ سَمُرة بْنَ جُنْدَب يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَغُرَّنَّكُمْ نِدَاءُ بِلَالٍ وَهَذَا الْبَيَاضُ حَتَّى يَنْفَجِرَ الْفَجْرُ، أَوْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ".

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari seorang syekh dari kalangan Bani Qusyair; ia pernah mendengar Samurah ibnu Jundub menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda: Jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh seruan Bilal dan sinar putih ini, sebelum fajar menyingsing atau sinar merah tampak.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui hadis Syu'bah dan lain-lainnya, dari Sawad ibnu Hanzalah, dari Samurah yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda:

"لَا يَمْنَعُكُمْ مِنْ سَحُوركم أَذَانُ بِلَالٍ وَلَا الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيلُ، وَلَكِنَّ الْفَجْرَ الْمُسْتَطِيرَ فِي الْأُفُقِ"

Jangan sekali-kali kalian berhenti dari sahur kalian karena azan Bilal dan jangan pula karena fajar yang memanjang, tetapi fajar itu ialah sinar yang melebar di ufuk timur.

قَالَ: وَحَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَية، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَوادة القُشَيري، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بلال ولا هذا البياض، تعمدوا الصبح حين يَسْتَطِيرَ"

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim ibnu Ulayyah, dari Abdullah ibnu Saudah Al-Qusyairi, dari ayahnya, dari Samurah ibnu Jundub yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda: Jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh azan Bilal dan jangan pula oleh cahaya putih ini —seraya mengisyaratkan kepada sinar yang tampak memanjang— sebelum ia melebar.

Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari Zuhair ibnu Harb, dari Ismail ibnu Ibrahim (yakni Ibnu Ulayyah) dengan lafaz yang semisal.

وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ حمَيد، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ سُلَيمان التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يمنعَنّ أَحَدَكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ عَنْ سُحُورِهِ -أَوْ قَالَ نِدَاءُ بِلَالٍ -فَإِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ -أَوْ [قَالَ] يُنَادِي -لِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ وليَرْجع قائمكم، وليس الفجر أن يقول هكذا أوهكذا، حَتَّى يَقُولَ هَكَذَا".

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda,  "Janganlah seseorang di antara kalian tercegah dari makan sahurnya karena azan yang dilakukan oleh Bilal —atau beliau Shalallahu'alaihi Wasallam bersabda, oleh seruan Bilal— karena sesungguhnya Bilal menyerukan azannya di malam hari (yakni hari masih malam) —atau beliau bersabda, untuk membangunkan orang-orang yang tidur di antara kalian dan untuk mengingatkan orang-orang yang salat (sunat malam hari) dari kalian—. Fajar itu bukanlah yang tampak seperti ini, melainkan fajar yang sesungguhnya ialah yang tampak seperti demikian."

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dari jalur yang lain melalui At-Taimi dengan lafaz yang sama.

وَحَدَّثَنِي الْحَسَنُ بْنُ الزِّبْرِقَانِ النَّخَعِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي ذئْب، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْفَجْرُ فَجْرَانِ، فَالذِي كَأَنَّهُ ذَنْبُ السِّرْحَانِ لَا يُحَرِّم شَيْئًا، وَأَمَّا الْمُسْتَطِيرُ الذِي يَأْخُذُ الْأُفُقَ، فَإِنَّهُ يُحِلُّ الصَّلَاةَ وَيُحَرِّمُ الطَّعَامَ"

Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnuz Zabarqan An-Nakha'i, telah menceritakan kepadaku Abu Usamah, dari Muhammad ibnu Abu Zi'b, dari Al-Haris ibnu Abdur Rahman, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda: Fajar itu ada dua macam, fajar yang bentuknya seperti ekor serigala tidak mengharamkan sesuatu pun. Sesungguhnya fajar yang benar adalah yang bentuknya melebar dan memenuhi ufuk (timur), maka fajar inilah yang membolehkan salat Subuh dan mengharamkan makanan.

Hadis ini berpredikat mursal lagi jayyid.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Ata; ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan bahwa fajar itu ada dua, yaitu fajar yang bentuknya memanjang menyinari langit. Fajar ini tidak menandakan masuknya waktu subuh, tidak pula mengharamkan sesuatu pun. Tetapi fajar yang sebenarnya ialah yang cahayanya menyinari puncak bukit-bukit, fajar inilah yang mengharamkan minum (pertanda imsak yang sebenarnya).

Ata mengatakan, "Jika sinar fajar itu menerangi langit dalam bentuk memanjang (seperti tiang), fajar ini tidak mengharamkan minum bagi orang yang puasa, tidak memperbolehkan salat (Subuh) dan orang yang sedang haji belum habis waktunya karena fajar ini. Tetapi apabila cahayanya menyinari puncak bukit-bukit, maka haramlah minum bagi orang yang puasa dan habislah waktu haji."

Asar ini sanadnya sahih sampai kepada Ibnu Abbas dan Ata, hal yang sama diriwayatkan pula oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.

Termasuk di antara hukum yang ditetapkan oleh Allah ialah fajar dijadikan-Nya sebagai akhir batas waktu boleh bersetubuh, makan, dan minum bagi orang yang hendak puasa. Dari hal ini tersimpul bahwa barang siapa yang berpagi hari dalam keadaan junub, hendaklah ia mandi dan melanjutkan puasanya tanpa ada dosa atasnya. Demikianlah menurut mazhab empat orang imam dan jumhur ulama Salaf dan Khalaf, karena berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Aisyah dan Ummu Salamah Radhiyallahu Anhu yang keduanya menceritakan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah berpagi hari dalam keadaan junub karena habis jima' (bersetubuh) tanpa mengeluarkan air mani, kemudian beliau mandi dan puasa.

Di dalam hadis Ummu Salamah Radhiyallahu Anhu yang ada pada Imam Bukhari dan Imam Muslim disebutkan:

ثُمَّ لَا يُفْطِرُ وَلَا يَقْضِي

dan beliau Shalallahu'alaihi Wasallam tidak berbuka, tidak pula mengqadainya.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Siti Aisyah Radhiyallahu Anhu yang menceritakan hadis berikut:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، تُدْركني الصَّلَاةُ وَأَنَا جُنُبٌ، فَأَصُومُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَأَنَا تُدْرِكُنِي الصَّلَاةُ وَأَنَا جُنُبٌ، فَأَصُومُ". فَقَالَ: لَسْتَ مِثْلَنَا -يَا رَسُولَ اللَّهِ -قَدْ غفرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ. فَقَالَ: "وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أكونَ أَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَعْلَمُكُمْ بِمَا أَتَّقِي"

Bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, aku berada di waktu salat (Subuh) sedang diriku dalam keadaan junub. Bolehkah aku puasa?" Rasulullah Shalallahu'alaihi Wasallam menjawab, "Aku pun pernah berada dalam waktu salat (Subuh), sedangkan aku dalam keadaan junub, tetapi aku tetap puasa." Lelaki itu berkata, "Tetapi engkau tidaklah seperti kami, wahai Rasulullah. Sesungguhnya Allah telah memberikan ampunan bagimu atas semua dosamu yang terdahulu dan yang kemudian." Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar berharap ingin menjadi orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan orang yang paling alim mengenai cara bertakwa."

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنْ مَعْمَر، عَنْ هَمَّامٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ -صَلَاةِ الصُّبْحِ -وَأَحَدُكُمْ جُنُبٌ فَلَا يَصُمْ يَوْمَئِذٍ"

telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Hammam, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam yang telah bersabda: Apabila diserukan untuk salat, yakni salat Subuh, sedangkan seseorang dari kalian dalam keadaan junub, maka janganlah dia melakukan puasa di hari itu.

Hadis ini ditinjau dari segi sanadnya berpredikat jayyid, tetapi dengan syarat Syaikhain, seperti yang Anda ketahui.

Hadis ini menurut apa yang ada di dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah, dari Al-Fadl ibnu Abbas, dari Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam Di dalam kitab Sunan Nasai, dari Abu Hurairah, dari Usamah ibnu Zaid dan Al-Fadl ibnu Abbas, tetapi Imam Nasai tidak me-rafa'-kannya (tidak menghubungkannya kepada Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam). Karena itu, ada sebagian ulama yang menilai daif' hadis ini karena faktor tersebut (tidak marfu'). dan di antara mereka ada yang berpegang kepada hadis ini.

Pendapat yang mengatakan demikian ada yang meriwayatkannya dari Abu Hurairah, Salim, Ata, Hisyam ibnu Urwah, dan Al-Hasan Al-Basri.

Di antara mereka ada orang yang berpendapat membedakan antara orang yang berpagi hari dalam keadaan junub karena tertidur, maka tidak ada apa pun atas dirinya, berdasarkan kepada hadis Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Tetapi jika dia dalam keadaan mukhtar (bebas memilih), maka tidak ada puasa atas dirinya, berdasarkan hadis Abu Hurairah; hal ini diriwayatkan pula dari Urwah, Tawus, dan Al-Hasan.

Di antara mereka ada orang yang membedakan antara puasa fardu dan puasa sunat. Kalau puasanya adalah puasa fardu, maka dia harus melanjutkan puasanya, tetapi harus mengqadainya. Kalau puasanya sunat, maka jinabah tidak membahayakannya. Pendapat ini diriwayatkan oleh As-Sauri, dari Mansur, dari Ibrahim An-Nakha'i, juga merupakan suatu riwayat dari Al-Hasan Al-Basri.

Di antara mereka ada yang menduga bahwa hadis Abu Hurairah di-nasakh oleh hadis Siti Aisyah dan Ummu Salamah, tetapi pendapat ini tidak mempunyai alasan mana yang lebih dahulu di antara keduanya.

Ibnu Hazm menduga bahwa hadis Abu Hurairah dimansukh oleh ayat ini, tetapi pendapat ini pun jauh dari kebenaran karena pembuktian tarikh (penanggalannya) tidak ada, bahkan pembuktian tarikh memberikan pengertian kebalikannya.

Di antara mereka ada yang menginterpretasikan hadis Abu Hurairah dengan pengertian bertentangan dengan kesempurnaan puasa. Karena itu, tidak ada pahala puasa bagi pelakunya, berdasarkan hadis Siti Aisyah dan Ummu Salamah yang menunjukkan pengertian boleh. Pendapat terakhir inilah yang lebih mendekati kebenaran dan lebih mencakup keseluruhannya.

*************

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}

Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)

Makna ayat ini menunjukkan bahwa berbuka puasa itu di saat matahari tenggelam sebagai ketetapan hukum syar'i, seperti yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Amirul Muminin Umar ibnul Khattab Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda:

"إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ"

Apabila malam tiba dari arah ini dan siang hari pergi dari arah ini, berarti telah tiba waktu berbuka bagi orang yang puasa.

Dari Sahl ibnu Sa'd As-Sa'idi Radhiyallahu Anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda:

"لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ"

Orang-orang masih tetap dalam keadaan baik selagi mereka menyegerakan berbuka. (Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا قُرّة بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَقُولُ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ: إِنَّ أَحَبَّ عِبَادِي إِلِيَّ أعجلُهم فِطْرًا".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah menceritakan kepada kami Qurrah ibnu Abdur Rahman, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shalallahu'alaihi Wasallam yang bersabda: Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya orang yang paling Aku cintai di antara hamba-hamba-Ku ialah orang yang paling segera berbuka."

Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui bukan hanya dari satu jalur, bersumber dari Al-Auza'i dengan lafaz yang sama, dan ia mengatakan bahwa hadis ini hasan garib.

وَقَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ إِيَادٍ، سَمِعْتُ إِيَادَ بْنَ لَقِيطٍ قَالَ: سَمِعْتُ لَيْلَى امْرَأَةَ بَشِير بْنِ الخَصَاصِيَّة، قَالَتْ: أَرَدْتُ أَنْ أصومَ يَوْمَيْنِ مُوَاصَلَةً، فَمَنَعَنِي بَشِيرٌ وَقَالَ: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْهُ. وَقَالَ: "يَفْعَلُ ذَلِكَ النَّصَارَى، ولكنْ صُوموا كَمَا أَمَرَكُمُ اللَّهُ، وَأَتِمُّوا الصيامَ إِلَى اللَّيْلِ، فَإِذَا كَانَ اللَّيْلُ فَأَفْطِرُوا"

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Iyad yang mendengarnya dari Ibnu Laqit, bahwa ia pernah mendengar dari Laila (istri Basyir ibnul Khasasiyah) yang menceritakan bahwa ia pernah hendak melakukan puasa dua hari berturut-turut, tetapi Basyir melarangnya dan mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam melarang hal seperti itu dan bersabda: Yang melakukan demikian hanyalah orang-orang Nasrani, tetapi berpuasalah kalian sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, "Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam" (Al-Baqarah: 187). Apabila malam tiba (magrib), maka berbukalah kalian.

Karena itulah telah disebutkan di dalam hadis-hadis sahih larangan ber-wisal, yakni melanjutkan puasa dengan hari berikutnya tanpa makan sesuatu pun di antara keduanya.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا مَعْمَر، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تُوَاصِلُوا". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُوَاصِلُ. قَالَ: "فَإِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ، إِنِّي أبِيتُ يُطْعمني رَبِّي وَيَسْقِينِي". قَالَ: فَلَمْ يَنْتَهُوا عَنِ الْوِصَالِ، فَوَاصَلَ بِهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَيْنِ وَلَيْلَتَيْنِ، ثُمَّ رَأَوُا الْهِلَالَ، فَقَالَ: "لَوْ تَأَخَّرَ الْهِلَالُ لَزِدْتُكُمْ" كالمُنكِّل بِهِمْ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda: "Janganlah kalian ber-wisal." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau pun melakukan wisal." Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam menjawab, "Sesungguhnya aku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya aku menginap seraya diberi makan dan minum oleh Tuhanku." Abu Hurairah melanjutkan kisahnya, bahwa mereka tidak mau menghentikan wisalnya (karena mengikut Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam). Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam meneruskan wisal-nya bersama mereka selama dua hari dua malam. Kemudian mereka melihat hilal (bulan Syawwal), maka Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Seandainya hilal datang terlambat, niscaya aku tambahkan kepada kalian," seperti orang yang menghukum mereka.

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab Sahihain melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz yang sama. Demikian pula keduanya mengetengahkan hadis tentang larangan wisal ini melalui hadis Anas dan Ibnu Umar.

Dari Siti Aisyah Radhiyallahu Anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam melarang mereka melakukan puasa wisal karena kasihan kepada mereka, ketika mereka berkata, "Sesungguhnya engkau pun ber-wisal? Maka beliau Shalallahu'alaihi Wasallam menjawab:

"إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ، إِنِّي يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي"

Sesungguhnya keadaanku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya aku diberi makan dan minum oleh Tuhanku.

Larangan melakukan wisal ini telah dibuktikan melalui berbagai jalur periwayatan, dan telah ditetapkan pula bahwa wisal merupakan salah satu keistimewaan Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam Beliau Shalallahu'alaihi Wasallam kuat melakukan hal tersebut dan mendapat pertolongan dari Allah untuk melakukannya. Tetapi menurut pendapat yang kuat, makanan dan minuman yang diberikan khusus kepada Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam hanyalah berupa makanan dan minuman maknawi (abstrak), bukan hissi (konkret). Jika tidak demikian, berarti Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bukanlah orang yang ber-wisal bila ditinjau dari segi hissi, melainkan perihalnya sama dengan apa yang diungkapkan oleh seorang penyair, yaitu:

لَهَا أَحَادِيثُ مِنْ ذِكْرَاكَ تَشْغَلُهَا ... عَنِ الشَّرَابِ وَتُلْهِيهَا عَنِ الزَّادِ

Dia mempunyai banyak cerita kenangan bersamamu yang membuatnya sibuk, lupa makan dan lupa kepada perbekalannya.

Bagi orang yang senang melakukan imsak sesudah matahari tenggelam hingga waktu sahur, diperbolehkan baginya melakukan hal itu seperti apa yang disebutkan di dalam hadis Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu Anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda:

"لَا تُوَاصِلُوا، فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ إِلَى السَّحَرِ". قَالُوا: فَإِنَّكَ تواصِل يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ، إِنِّي أَبَيْتُ لِي مُطْعِم يُطْعِمُنِي، وَسَاقٍ يَسْقِينِي".

Janganlah kalian ber-wisal. Barang siapa di antara kalian ingin melakukan wisal, ber-wisal-lah sampai waktu sahur. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, tetapi engkau pun ternyata ber-wisal." Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Sesungguhnya aku tidaklah seperti keadaan kalian. Sesungguhnya aku menginap, sedangkan aku ada yang memberi makan dan yang memberi minum."

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan pula hadis ini di dalam kitab sahih masing-masing.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُريْب، حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا أَبُو إِسْرَائِيلَ العَبْسي عَنْ أَبِي بَكْرِ ابن حَفْصٍ، عَنْ أُمِّ وَلَدِ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتعة: أَنَّهَا مَرَّتْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَسَحَّرُ، فَدَعَاهَا إِلَى الطَّعَامِ. فَقَالَتْ: إِنِّي صَائِمَةٌ. قَالَ: وَكَيْفَ تَصُومِينَ؟ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: "أين أنت من وِصَالِ آلِ مُحَمَّدٍ، مِنَ السَّحَر إِلَى السَّحَر"

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Abu Israil Al-Anasi, dari Abu Bakar ibnu Hafs, dari ibu anaknya Hatib ibnu Abu Balta'ah yang menceritakan:  Bahwa ia bersua dengan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam ketika beliau sedang makan sahur. Beliau memanggil untuk ikut makan, tetapi ia berkata, "Sesungguhnya aku sedang puasa." Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Bagaimanakah cara puasamu?" Lalu ia menceritakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam Maka Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Puasamu itu bukan termasuk wisal yang dilakukan oleh keluarga Muhammad, (wisal) ialah dari sahur ke sahur yang lain'.'

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ عَلِيٍّ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوَاصِلُ مِنَ السَّحَر إِلَى السَّحَر

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abdul A'la, dari Muhammad ibnu Ali, dari Ali Radhiyallahu Anhu:

Bahwa Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam acapkali melakukan wisal dari sahur ke sahur yang lain.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abdullah ibnuz Zubair dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, bahwa mereka sering melakukan wisal dalam hari-hari yang dapat dihitung. Ibnu Jarir menginterpretasikan bahwa mereka melakukan perbuatan ini hanya untuk melatih diri mereka, bukan sebagai ibadah. Tetapi dapat diinterpretasikan pula bahwa mereka memahami larangan tersebut sebagai bimbingan yang mengandung rasa belas kasihan. Seperti yang disebutkan di dalam hadis Siti Aisyah Radhiyallahu Anhu, yaitu karena belas kasihan kepada mereka. Tersebutlah bahwa Ibnuz Zubair dan anak laki-lakinya (yaitu Amir) serta orang-orang yang mengikuti jejaknya melakukan wisal ini dengan kuat, karena mereka memang mempunyai ketahanan tubuh yang mampu melakukan hal tersebut.

Diriwayatkan dari mereka bahwa ketika mereka ber-wisal, makanan yang mula-mula mereka makan sebagai bukanya ialah minyak samin dan jazam agar perut mereka tidak perih karena makanan selanjutnya. Diriwayatkan dari Ibnuz Zubair bahwa ia sering melakukan wisal selama tujuh hari berturut-turut, tetapi pada hari yang ketujuh di pagi harinya ia kelihatan sebagai orang yang paling kuat dan paling tegar di antara mereka (yang berpuasa).

Abul Aliyah mengatakan, sesungguhnya Allah hanya mewajibkan puasa di siang hari saja. Tetapi bila malam hari tiba, maka orang yang ingin makan, boleh makan; dan bagi orang meneruskannya, boleh tidak makan.

***********

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}

(Tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf dalam masjid. (Al-Baqarah: 187)

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa hal ini berkenaan dengan seorang lelaki yang sedang melakukan i'tikaf di dalam masjid, baik dalam bulan Ramadan ataupun di luar Ramadan. Diharamkan baginya menyetubuhi istrinya, baik di siang maupun di malam hari sebelum dia selesai dari i'tikaf.

Ad-Dahhak mengatakan, apabila seorang lelaki melakukan i'tikaf di dalam masjid, lalu ia keluar, maka ia boleh menyetubuhi istrinya jika menghendakinya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan firman-Nya: (tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf dalam masjid. (Al-Baqarah: 187)

Dengan kata lain, janganlah kalian mendekati mereka (istri-istri kalian) selagi kalian masih dalam keadaan i'tikaf di dalam masjid, baik dalam bulan Ramadan ataupun dalam bulan lainnya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Qatadah, dan bukan hanya seorang dari kalangan mereka, bahwa pada mulanya mereka melakukan hal tersebut (yakni menyetubuhi istri mereka selagi mereka masih dalam i'tikaf) hingga ayat ini diturunkan.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Muhammad ibnu Ka'b, Mujahid, Ata, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil, bahwa mereka pernah mengatakan, "Janganlah seseorang mendekati istrinya, sedang dia dalam keadaan i'tikaf."

Riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim dari mereka ini merupakan hal yang telah disekapati di kalangan semua ulama. Yaitu orang yang beri'tikaf diharamkan menyetubuhi istrinya selagi ia masih dalam i'tikaf di masjid. Sekiranya dia pergi ke rumahnya untuk suatu keperluan yang tak dapat dielakkan, tidak halal baginya tinggal di dalam rumah kecuali sekadar waktu seperlunya sesuai dengan kepentingannya, misalnya buang air besar atau makan; dan tidak diperbolehkan mencium istri, tidak boleh pula memeluknya, dan tidak boleh menyibukkan diri dengan urusan lain kecuali i'tikafnya. Ia tidak boleh menjenguk orang yang sakit, tetapi boleh baginya menanyakan perihal si sakit bila ia mengambil jalan yang melewati si sakit.

I'tikaf mempunyai hukum-hukum sendiri di dalam babnya, antara lain hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama, dan ada yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya kami telah menyebutkan sebagian yang diperlukan darinya di akhir pembahasan puasa. Karena itulah para penulis kitab fiqih mengikutkan Bab "I'tikaf' dengan Bab "Puasa" demi mengikuti Al-Qur'an, karena sesungguhnya di dalam Al-Qur'an diperhatikan penyebutan masalah i'tikaf sesudah penyebutan masalah puasa.

Penyebutan i'tikaf yang dilakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sesudah masalah puasa mengandung petunjuk dan perhatian yang menganjurkan i'tikaf dalam berpuasa atau di akhir bulan Ramadan. Seperti yang telah disebutkan di dalam sunnah Rasul Shalallahu'alaihi Wasallam yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam selalu melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, hingga Allah mewafatkannya. Kemudian istri-istrinya melakukan i'tikaf pula sesudah beliau tiada. Demikianlah menurut hadis yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Siti Aisyah Ummul Muminin Radhiyallahu Anhu

Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Safiyyah binti Huyayyin mengunjungi Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam yang sedang i'tikaf di dalam masjid, lalu Safiyyah berbicara sesaat dengan Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam, kemudian ia bangkit untuk pulang ke rumahnya; hal tersebut terjadi di malam hari. Maka Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bangkit untuk mengantarkannya sampai ke rumahnya.

Tersebutlah bahwa rumah Siti Safiyyah binti Huyayyin berada di perkampungan rumah Usamah ibnu Zaid di sebelah Madinah. Ketika berada di tengah jalan, Nabi Shalallahu'alaihi Wasallam bersua dengan dua orang lelaki dari kalangan Ansar. Ketika keduanya melihat Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam, maka keduanya berjalan dengan cepat.

Menurut riwayat yang lain, kedua lelaki itu bersembunyi karena malu kepada Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam, mengingat Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam sedang bersama istrinya (Siti Safiyyah binti Huyayyin). Maka Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Perlahan-lahanlah kamu berdua, sesungguhnya dia adalah Safiyyah binti Huyayyin," yakni istrinya. Maka kedua lelaki itu berkata, "Subhanallah (Mahasuci Allah), wahai Rasulullah." Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda;

"إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا" أَوْ قَالَ: "شَرًّا"

Sesungguhnya setan itu merasuk ke dalam diri anak Adam melalui aliran darahnya, dan sesungguhnya aku merasa khawatir bila timbul suatu kecurigaan di dalam hati kamu berdua —atau beliau Shalallahu'alaihi Wasallam bersabda— suatu keburukan.

Imam Syafii rahimahullah mengatakan bahwa Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bermaksud mengajarkan kepada umatnya membebaskan diri dari tuduhan di tempat kejadian, agar keduanya tidak terjerumus ke dalam hal yang dilarang, padahal kedua orang tersebut adalah orang yang bertakwa-kepada Allah dan jauh dari kemungkinan bila ia mempunyai prasangka yang buruk terhadap diri Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam

Yang dimaksud dengan istilah mubasyarah dalam ayat ini ialah bersetubuh dan semua pendahuluan yang menjurus ke arahnya, seperti ciuman, pelukan, dan lain sebagainya. Saling serah terima sesuatu dan hal lainnya yang semisal, hukumnya tidak mengapa. Sesungguhnya telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Siti Aisyah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah mendekatkan kepalanya ke tubuh Siti Aisyah, lalu Siti Aisyah menyisirkan rambutnya, sedangkan Siti Aisyah dalam keadaan berhaid. Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam tidak memasuki rumah (dalam i'tikafnya) melainkan karena keperluan sebagaimana layaknya seorang manusia. Siti Aisyah Radhiyallahu Anhu mengatakan, "Dan pernah ada orang yang sedang sakit di dalam rumahnya, maka aku tidak menanyakan tentang keadaannya melainkan sambil lewat (menuju masjid)."

***********

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ}

Itulah batasan-batasan Allah. (Al-Baqarah: 187)

Yakni apa yang telah Kami terangkan, yang telah Kami wajibkan dan Kami bataskan menyangkut puasa dan hukum-hukumnya serta hal-hal yang Kami perbolehkan di dalamnya; dan hal-hal yang Kami haramkan serta Kami sebutkan tujuan-tujuan, rukhsah-rukhsah, dan 'azaim-nya. Semua itu adalah batasan-batasan yang telah disyariatkan oleh Allah dan diterangkan-Nya sendiri.

**************

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{فَلا تَقْرَبُوهَا}

maka janganlah kalian mendekatinya. (Al-Baqarah: 187)

Maksudnya, janganlah  kalian  melampaui  dan  menabraknya. 

Sedangkan menurut Ad-Dahhak dan Muqatil, makna firman-Nya: Itulah batasan-batasan Allah. (Al-Baqarah: 187) Yakni melakukan persetubuhan dalam i'tikaf. Sedangkan menurut Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, yang dimaksud ialah batasan-batasan yang empat, lalu ia membacakan firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian —sampai dengan firman-Nya— Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ayahnya dan orang lain dari kalangan guru-gurunya mengatakan hal yang sama dan mengajarkannya kepada dia (dan murid-murid lainnya).

***************

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ}

Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia. (Al-Baqarah: 187)

Yakni sebagaimana Allah menjelaskan masalah puasa berikut hukum-hukum syariat dan rinciannya, Dia pun menjelaskan pula semua hu-kum lainnya melalui lisan hamba dan Rasul-Nya —yaitu Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi Wasallam— kepada umat manusia.

لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

supaya mereka bertakwa. (Al-Baqarah: 187)

Artinya, agar mereka mengetahui bagaimana jalan hidayah itu dan bagaimana cara mereka bertaat. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:

هُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ عَلى عَبْدِهِ آياتٍ بَيِّناتٍ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُماتِ إِلَى النُّورِ وَإِنَّ اللَّهَ بِكُمْ لَرَؤُفٌ رَحِيمٌ

Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al-Qur'an) supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadap kalian. (Al-Hadid: 9) (Androidkit/FM)

Artikel Terkait

Komentar

Artikel Populer

Prahara Aleppo

French Foreign Minister Bernard Kouchner takes off a Jewish skull-cap, or Kippa, at the end of a visit to the Yad Vashem Holocaust Memorial in Jerusalem, Tuesday, Sept. 11, 2007. Kouchner is on an official visit to Israel and the Palestinian Territories. (AP Photo/Kevin Frayer) Eskalasi konflik di Aleppo beberapa hari terakhir diwarnai propaganda anti-rezim Suriah yang sangat masif, baik oleh media Barat, maupun oleh media-media “jihad” di Indonesia. Dan inilah mengapa kita (orang Indonesia) harus peduli: karena para propagandis Wahabi/takfiri seperti biasa, mengangkat isu “Syiah membantai Sunni” (lalu menyamakan saudara-saudara Syiah dengan PKI, karena itu harus dihancurkan, lalu diakhiri dengan “silahkan kirim sumbangan dana ke no rekening berikut ini”). Perilaku para propagandis perang itu sangat membahayakan kita (mereka berupaya mengimpor konflik Timteng ke Indonesia), dan untuk itulah penting bagi kita untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Suriah. Tulisan i

Sholawat-Sholawat Pembuka Hijab

Dalam Islam sangat banyak para ulama-ulama sholihin yang bermimpi Rosululloh Shollallohu Alaihi Wasallam dan mendapatkan petunjuk atau isyarat untuk melakukan atau mengucapkan kalimat-kalimat tertentu (seperti dzikir, sholawat, doa dll ). Bahkan sebagian di antara mereka menerima redaksi sholawat langsung dari Rasulullah dengan ditalqin kata demi kata oleh Beliau saw. Maka jadilah sebuah susunan dzikir atau sholawat yg memiliki fadhilah/asror yg tak terhingga.  Dalam berbagai riwayat hadits dikatakan bahwa siapa pun yang bermimpi Nabi saw maka mimpi itu adalah sebuah kebenaran/kenyataan, dan sosok dalam mimpinya tersebut adalah benar-benar Nabi Muhammad saw. Karena setan tidak diizinkan oleh Alloh untuk menyerupai Nabi Muhammad saw. Beliau juga bersabda, "Barangsiapa yg melihatku dalam mimpi maka ia pasti melihatku dalam keadaan terjaga" ----------------------------- 1. SHOLAWAT JIBRIL ------------------------------ صَلَّى اللّٰهُ عَلٰى مُحَمَّدٍ SHOLLALLOOH 'ALAA MUHAMMA

Amalan Pada Malam Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha

Nabi Muhammad ﷺ bersabda: عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن رسول ﷺ قال: “من أحيا ليلة الفطر وليلة الأضحى لم يمت قلبه يوم تموت القلوب” رواه الطبراني في الكبير والأوسط. Dari Ubadah Ibn Shomit r.a. Sungguh Rosulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa menghidupkan malam Idul Fitri dan malam Idul Adlha, hatinya tidak akan mati, di hari matinya hati." ( HR.Thobaroni ) عن أبي أمامه رضي الله عنه عن النبي ﷺ قال : “من قام ليلتي العيدين محتسباً لم يمت قلبه يوم تموت القلوب”. وفي رواية “من أحيا” رواه ابن ماجه Dari Abi Umamah r.a, dari Nabi ﷺ, bersabda: Barangsiapa beribadah di dua malam Hari Raya dengan hanya mengharap ALLAH, maka hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati. ( HR. Ibnu Majah ) Bagaimana cara menghidupkan dua Hari Raya itu? Telah disebutkan oleh Syaikh Abdul Hamid Al Qudsi, dengan mengamalkan beberapa amalan: 1. Syaikh Al Hafni berkata: Ukuran minimal menghidupkan malam bisa dengan Sholat Isya’ berjama’ah dan meniatkan diri untuk jama’ah Sholat Shubuh pada besoknya. Atau mempe

Daun Pepaya Jepang, Aman Untuk Pakan Kambing di @kapurinjing

3 Ulama Paku Banten paling keramat yang masih hidup - Himayah atau Pemimpin Ulama di Tanah Banten

Forum Muslim - Banten merupakan provinsi Seribu Kyai Sejuta Santri. Tak heran jika nama Banten terkenal diseluruh Nusantara bahkan dunia Internasional. Sebab Ulama yang sangat masyhur bernama Syekh Nawawi AlBantani adalah asli kelahiran di Serang - Banten. Provinsi yang dikenal dengan seni debusnya ini disebut sebut memiliki paku atau penjaga yang sangat liar biasa. Berikut akan kami kupas 3 Ulama Paku Banten paling keramat yang masih hidup. 1. Abuya Syar'i Ciomas Banten Selain sebagai kyai terpandang, masyarakat ciomas juga meyakini Abuya Syar'i sebagai himayah atau penopang bumi banten. Ulama yang satu ini sangat jarang dikenali masyarakat Indonesia, bahkan orang banten sendiri masih banyak yang tak mengenalinya. Dikarnakan Beliau memang jarang sekali terlihat publik, kesehariannya hanya berdia di rumah dan menerima tamu yg datang sowan ke rumahnya untuk meminta doa dan barokah dari Beliau. Banyak santri - santrinya yang menyaksikan secara langsung karomah beliau. Beliau jug

ALASAN ALI MENUNDA QISHASH PEMBUNUH UTSMAN

Oleh :  Ahmad Syahrin Thoriq   1. Sebenarnya sebagian besar shahabat yang terlibat konflik dengan Ali khususnya, Zubeir dan Thalhah telah meraih kesepakatan dengannya dan mengetahui bahwa Ali akan menegakkan hukum qishash atas para pemberontak yang telah membunuh Utsman.  Namun akhirnya para shahabat tersebut berselisih pada sikap yang harus diambil selanjutnya. Sebagian besar dari mereka menginginkan agar segera diambil tindakan secepatnya. Sedangkan Ali memilih menunda hingga waktu yang dianggap tepat dan sesuai prosedur. 2. Sebab Ali menunda keputusan untuk menegakkan Qishash adalah karena beberapa pertimbangan, diantaranya : Pertama, para pelaku pembunuh Ustman adalah sekelompok orang dalam jumlah yang besar. Mereka kemudian berlindung di suku masing-masing atau mencari pengaruh agar selamat dari hukuman. Memanggil mereka untuk diadili sangat tidak mungkin. Jalan satu-satunya adalah dengan kekuatan. Dan Ali menilai memerangi mereka dalam kondisi negara sedang tidak stabil sudah pas

KH.MUNFASIR, Padarincang, Serang, Banten

Akhlaq seorang kyai yang takut memakai uang yang belum jelas  Kyai Laduni yang pantang meminta kepada makhluk Pesantren Beliau yang tanpa nama terletak di kaki bukit padarincang. Dulunya beliau seorang dosen IAIN di kota cirebon. Saat mendapatkan hidayah beliau hijrah kembali ke padarincang, beliau menjual seluruh harta bendanya untuk dibelikan sebidang sawah & membangun sepetak gubuk ijuk, dan sisa selebihnya beliau sumbangkan. Beliau pernah bercerita disaat krisis moneter, dimana keadaan sangatlah paceklik. Sampai sampai pada saat itu, -katanya- untuk makan satu biji telor saja harus dibagi 7. Pernah tiba tiba datanglah seseorang meminta doa padanya. Saat itu Beliau merasa tidak pantas mendoakan orang tersebut. Tapi orang tersebut tetap memaksa beliau yang pada akhirnya beliaupun mendoakan Alfatihah kepada orang tersebut. Saat berkehendak untuk pamit pulang, orang tersebut memberikan sebuah amplop yang berisi segepok uang. Sebulan kemudian orang tersebut kembali datang untuk memi

Kisah Siti Ummu Ayman RA Meminum Air Kencing Nabi Muhammad SAW

Di kitab Asy Syifa disebutkan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW punya pembantu rumah tangga perempuan bernama Siti Ummu Ayman RA. Dia biasanya membantu pekerjaan istri Kanjeng Nabi dan nginap di rumah Kanjeng Nabi. Dia bercerita satu pengalaman uniknya saat jadi pembantu Kanjeng Nabi. Kanjeng Nabi Muhammad itu punya kendi yang berfungsi sebagai pispot yang ditaruh di bawah ranjang. Saat di malam hari yang dingin, lalu ingin buang air kecil, Kanjeng Nabi buang air kecil di situ. Satu saat, kendi pispot tersebut hilang entah ke mana. Maka Kanjeng Nabi menanyakan kemana hilangnya kendi pispot itu pada Ummu Ayman. Ummu Ayman pun bercerita, satu malam, Ummu Ayman tiba-tiba terbangun karena kehausan. Dia mencari wadah air ke sana kemari. Lalu dia nemu satu kendi air di bawah ranjang Kanjeng Nabi SAW yang berisi air. Entah air apa itu, diminumlah isi kendi itu. Pokoknya minum dulu. Ternyata yang diambil adalah kendi pispot Kanjeng Nabi. Dan yang diminum adalah air seni Kanjeng Nabi yang ada dal

Abuya Syar'i Ciomas Banten

''Abuya Syar'i Ciomas(banten)" Abuya Syar'i Adalah Seorang Ulama Yg Sangat Sepuh. Menurut beliau sekarang beliau telah berrusia lebih dari 140 tahun. Sungguh sangat sepuh untuk ukuran manusia pada umumnya. Abuya Sar'i adalah salah satu murid dari syekh. Nawawi al bantani yg masih hidup. Beliau satu angkatan dengan kyai Hasyim asy'ary pendiri Nahdatul ulama. Dan juga beliau adalah pemilik asli dari golok ciomas yg terkenal itu. Beliau adalah ulama yg sangat sederhana dan bersahaja. Tapi walaupun begitu tapi ada saja tamu yg berkunjung ke kediamannya di ciomas banten. Beliau juga di yakini salah satu paku banten zaman sekarang. Beliau adalah kyai yg mempunyai banyak karomah. Salah satunya adalah menginjak usia 140 tahun tapi beliau masih sehat dan kuat fisiknya. Itulah sepenggal kisah dari salah satu ulama banten yg sangat berpengaruh dan juga kharismatik. Semoga beliau senantiasa diberi umur panjang dan sehat selalu Aaamiiin... (FM/ FB )

Mengelola Blog Wordpress dan Blogspot Melalui Ponsel

Di jaman gatget yang serba canggih ini, sekarang dasboard wordpress.com dan blogspot.com semakin mudah dikelola melalui ponsel. Namun pada settingan tertentu memang harus dilakukan melalui komputer seperti untuk mengedit themes atau template. Dan bagi kita yang sudah terbiasa "mobile" atau berada di lapangan maka kita bisa menerbitkan artikel kita ke blog wordpress.com melalui email yang ada di ponsel kita, so kita nggak usah kawatir.