Langsung ke konten utama

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 185



Al-Baqarah, ayat 185
{شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185) }

Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang ba-til). Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu; dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur.

Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji bulan Ramadan di antara bulan-bulan lainnya, karena Dia telah memilihnya di antara semua bulan sebagai bulan yang padanya diturunkan Al-Qur'an yang agung. Sebagaimana Allah mengkhususkan bulan Ramadan sebagai bulan diturunkan-Nya Al-Qur'an, sesungguhnya telah disebutkan oleh hadis bahwa pada bulan Ramadan pula kitab Allah lainnya diturunkan kepada para nabi Sebelum Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi Wasallam

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا عمْران أَبُو الْعَوَّامِ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ، عَنْ وَاثِلَةَ -يَعْنِي ابْنَ الْأَسْقَعِ-أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ. وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ"

Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Imran Abul Awwam, dari Qatadah, dari Abul Falih, dari Wasilah (yakni Ibnul Asqa), bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda: Lembaran-lembaran Nabi Ibrahim diturunkan pada permulaan malam Ramadan dan kitab Taurat diturunkan pada tanggal enam Ramadan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadan, sedangkan Al-Qur'an diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadan.

Telah diriwayatkan pula melalui hadis Jabir ibnu Abdullah yang di dalamnya disebutkan:

أَنَّ الزَّبُورَ أُنْزِلَ لثنتَي عَشْرَةَ [لَيْلَةً] َلَتْ مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَمَانِي عَشْرَةَ،

Bahwa kitab Zabur diturunkan pada tanggal dua belas Ramadan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal delapan belasnya.

Sedangkan kalimat selanjutnya sama dengan hadis di atas. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Murdawaih.

Adapun lembaran-lembaran atau suhuf, kitab Taurat, Zabur, dan Injil, masing-masing diturunkan kepada nabi yang bersangkutan secara sekaligus. Lain halnya dengan Al-Qur'an, diturunkan sekaligus hanya dari Baitul 'Izzah ke langit dunia; hal ini terjadi pada bulan Ramadan, yaitu di malam Lailatul Qadar. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam penuh kemuliaan. (Al-Qadar: 1)

إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةٍ مُبارَكَةٍ

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati. (Ad-Dukhan: 3)

Setelah itu Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam secara bertahap sesuai dengan kejadian-kejadiannya.

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan bukan hanya oleh seorang perawi saja, dari Ibnu Abbas. Seperti yang diriwayatkan oleh Israil, dari As-Saddi, dari Muhammad ibnu Abul Mujalid, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas.

Disebutkan bahwa Atiyyah ibnul Aswad pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa di dalam hatinya terdapat keraguan mengenai firman-Nya: Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an. (Al-Baqarah: 185); Firman-Nya: Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur'an) pada suatu malam yang diberkahi. (Ad-Dukhan: 3); Serta firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam penuh kemuliaan. (Al-Qadar. 1) Sedangkan Al-Qur'an ada yang diturunkan pada bulan Syawal, ada yang dalam bulan Zul-Qa'dah, ada yang dalam bulan Zul-Hijjah, ada yang dalam bulan Muharram, ada yang dalam bulan Safar, ada pula yang diturunkan dalam bulan Rabi'. Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya Al-Qur'an diturunkan dalam bulan Ramadan, yaitu dalam malam yang penuh dengan kemuliaan (Lailatul Qadar), dan dalam malam yang penuh dengan keberkahan secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi sesuai dengan kejadian-kejadiannya secara berangsur-angsur dalam bulan dan hari yang berbeda-beda."

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih.

Sedangkan di dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan, "Al-Qur'an diturunkan pada pertengahan bulan Ramadan ke langit dunia dari tempat asalnya, yaitu Baitul 'Izzah. Kemudian diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam selama dua puluh tahun untuk menjawab perkataan manusia."

Di dalam riwayat Ikrimah, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada bulan Ramadan (yaitu di malam Lailatul Qadar) ke langit dunia secara sekaligus. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya, dan tidak sekali-kali orang-orang musyrik mendatangkan suatu perumpamaan untuk mendebat Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala mendatangkan jawabannya. Yang demikian itulah pengertian firman-Nya:

وَقالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً واحِدَةً كَذلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤادَكَ وَرَتَّلْناهُ تَرْتِيلًا وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْناكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً

Berkatalah orang-orang yang kafir, "Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?" Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (Al-Furqan: 32-33)

*********

Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ}

sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (Al-Baqarah: 185)

Hal ini merupakan pujian bagi Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai petunjuk buat hati hamba-hamba-Nya yang beriman kepada Al-Qur'an, membenarkannya, dan mengikutinya.

Bayyinatin, petunjuk-petunjuk dan hujah-hujah yang jelas lagi gamblang dan terang bagi orang yang memahami dan memikirkannya, membuktikan kebenaran apa yang dibawanya berupa hidayah yang menentang kesesatan, petunjuk yang berbeda dengan jalan yang keliru, dan pembeda antara perkara yang hak dan yang batil serta ha-lal dan haram.

Telah diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf bahwa ia tidak suka mengatakan bulan puasa dengan sebutan Ramadan saja, melainkan bulan Ramadan.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakkar ibnur Rayyan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan Sa'id (yakni Al-Maqbari), dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia pernah mengatakan, "Janganlah kalian katakan Ramadan, karena sesungguhnya Ramadan itu merupakan salah satu dari asma Allah Subhanahu wa Ta'ala Tetapi katakanlah bulan Ramadan."

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan juga dari Mujahid dan Muhammad ibnu Ka'b hal yang semisal dengan asar di atas. Akan tetapi, Ibnu Abbas dan Zaid ibnu Sabit membolehkan sebutan tersebut.

Menurut kami, Abu Ma'syar adalah Najih ibnu Abdur Rahman Al-Madani, seorang imam ahli dalam Bab "Magazi dan Sirah", tetapi daif (dalam periwayatan hadis); anak lelakinya yang bernama Muhammad mengambil riwayat hadis darinya. Dialah yang me-rafa'-kan hadis ini sampai kepada Abu Hurairah. Periwayatan hadisnya ditolak oleh Al-Hafiz Ibnu Addi, dan ia memang berhak untuk ditolak karena predikatnya matruk; sesungguhnya dia hanya menduga-duga saja akan predikat marfu' hadis ini. Tetapi Imam Bukhari di dalam kitab-nya mendukung Abu Ma'syar, untuk itu ia mengatakan dalam kitabnya bahwa ini adalah bab mengenai sebutan Ramadan, lalu ia mengetengahkan hadis-hadis yang menyangkut hal tersebut, antara lain ialah hadis yang mengatakan:

"مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ"

Barang siapa yang puasa Ramadan karena iman dan mengharapkan rida Allah, niscaya diampuni baginya semua dosanya yang terdahulu.

Dan hadis-hadis lainnya yang semisal.

*********

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ}

Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)

Hukum wajib ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal masuk bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan Ramadan datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat, maka dia harus mengerjakan puasa.

Ayat ini me-nasakh ayat yang membolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sehat lagi mukim, tetapi hanya membayar fidyah, memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.

Setelah masalah puasa dituntaskan ketetapannya, maka disebutkan kembali keringanan bagi orang yang sakit dan orang yang bepergian. Keduanya boleh berbuka, tetapi dengan syarat kelak harus mengqadainya. Untuk itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

{وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}

dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 185)

Maknanya, barang siapa yang sedang sakit hingga puasa memberatkannya atau membahayakannya, atau ia sedang dalam perjalanan, maka dia boleh berbuka. Apabila berbuka, maka ia harus berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya di hari-hari yang lain (di luar Ramadan). Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:

{يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}

Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. (Al-Baqarah: 185)

Dengan kata lain, sesungguhnya diberikan keringanan ini bagi kalian hanya dalam keadaan kalian sedang sakit atau dalam perjalanan, teta-pi puasa merupakan suatu keharusan bagi orang yang mukim lagi se-hat. Hal ini tiada lain hanyalah untuk mempermudah dan memperi-ngan kalian sebagai rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala buat kalian.

Beberapa masalah yang berkaitan dengan ayat ini

Pertama: Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa orang yang sejak permulaan Ramadan masuk masih dalam keadaan mukim, kemudian di tengah bulan Ramadan ia mengadakan perjalanan (bepergian), maka tidak diperbolehkan baginya berbuka karena alasan bepergian selama ia berada dalam perjalanannya, karena firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185) Sesungguhnya berbuka itu hanya diperbolehkan bagi orang yang melakukan perjalanannya sebelum bulan Ramadan masuk, sedangkan dia telah berada dalam perjalanannya.

Tetapi pendapat ini aneh, dinukil oleh Abu Muhammad ibnu Hazm di dalam kitabnya yang berjudul Al-Mahalli, dari sejumlah sahabat dan tabi'in. Hanya riwayat yang dikemukakannya dari mereka masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, karena sesungguhnya telah ditetapkan di dalam sunnah dari Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bahwa beliau pernah melakukan suatu perjalanan di dalam bulan Ramadan untuk melakukan Perang Fatah (penaklukan kota Mekah). Beliau Shalallahu'alaihi Wasallam berjalan bersama pasukannya sampai di Kadid. Ketika di Kadid, beliau berbuka dan memerintahkan kepada orang-orang untuk berbuka mengikuti jejaknya. Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Kedua: Segolongan sahabat dan tabi'in lainnya berpendapat, wajib berbuka dalam perjalanan karena berdasarkan firman-Nya: maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 185) Akan tetapi, pendapat yang benar ialah yang dikatakan oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yaitu bahwa masalah berbuka dalam perjalanan ini berdasarkan takhyir (boleh memilih) dan bukan suatu keharusan. Karena mereka berangkat bersama Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dalam bulan Ramadan, lalu menurut salah seorang di antara mereka yang terlibat, "Di antara kami ada orang yang tetap berpuasa dan di antara kami ada pula yang berbuka. Maka Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam tidak mencela orang yang tetap berpuasa dan tidak pula terhadap orang yang berbuka. Seandainya berbuka merupakan suatu keharusan, niscaya beliau Shalallahu'alaihi Wasallam mencela orang-orang yang berpuasa di antara kami. Bahkan telah dibuktikan pula dari perbuatan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam sendiri bahwa beliau pernah dalam keadaan demikian (berada dalam suatu perjalanan), tetapi beliau tetap berpuasa." Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abu Darda yang menceritakan:

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ من شدة، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ

Kami berangkat bersama Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dalam bulan Ramadan, cuaca saat itu sangat panas hingga seseorang di antara kami ada yang meletakkan tangannya di atas kepalanya karena teriknya panas matahari, dan tiada seorang pun di antara kami yang tetap berpuasa selain Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam sendiri dan Abdullah ibnu Rawwahah.

Ketiga: Segolongan ulama yang antara lain ialah Imam Syafii mengatakan bahwa puasa dalam perjalanan lebih utama daripada berbuka karena berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam, seperti yang disebutkan di atas tadi.

Segolongan ulama lainnya mengatakan, bahkan berbuka lebih baik daripada berpuasa karena berpegang kepada rukhsah (keringanan), juga karena ada sebuah hadis dari Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam yang menceritakan bahwa beliau Shalallahu'alaihi Wasallam pernah ditanya mengenai puasa dalam perjalanan. Maka beliau menjawab:

«مَنْ أَفْطَرَ فَحَسَنٌ، وَمَنْ صَامَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ»

Barang siapa yang berbuka, maka hal itu baik; dan barang siapa yang tetap berpuasa, maka tiada dosa atasnya.

Di dalam hadis yang lain disebutkan:

«عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ التِي رَخَّصَ لَكُمْ»

Ambillah oleh kalian rukhsah (keringanan) Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.

Segolongan ulama yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya (berbuka dan puasa dalam perjalanan) sama saja, karena berdasarkan hadis Siti Aisyah yang mengatakan bahwa Hamzah ibnu Amr Al-Aslami pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah orang yang sering berpuasa, maka bolehkah aku berpuasa dalam perjalanan?" Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam menjawab:

«إِنْ شِئْتَ فَصُمْ، وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ»

Jika kamu menginginkan puasa, berpuasalah. Dan jika kamu menginginkan berbuka, berbukalah.

Hadis ini terdapat di dalam kitab Sahihain.

Menurut pendapat yang lain, apabila puasa memberatkannya, maka berbuka adalah lebih utama, berdasarkan kepada hadis Jabir yang mengatakan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: "مَا هَذَا؟ " قَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ: " لَيْسَ مِنَ الْبَرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ".

Bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah melihat seorang lelaki yang dinaungi (dikerumuni oleh orang banyak), maka beliau bertanya, "Ada apa?" Mereka menjawab, "Orang yang berpuasa." Maka beliau Shalallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Bukanlah merupakan suatu kebaktian melakukan puasa dalam perjalanan." (Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)

Jika orang yang bersangkutan tidak menyukai sunnah dan ia tidak suka berbuka, maka merupakan suatu ketentuan baginya berbuka, dan haram baginya melakukan puasa bila ia dalam perjalanan. Hal ini berdasarkan sebuah hadis di dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan lain-lainnya, dari Ibnu Umar dan Jabir serta selain keduanya yang mengatakan:

مَنْ لَمْ يَقْبَلْ رُخْصَةَ اللَّهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ جِبَالِ عَرَفَةَ

Barang siapa yang tidak mau menerima keringanan Allah, maka atas dirinya dibebankan dosa yang besarnya semisal dengan Bukit Arafah.

Keempat: Mengenai masalah qada, apakah wajib berturut-turut atau boleh terpisah-pisah? Ada dua pendapat mengenai masalah ini.

Pendapat pertama mengatakan wajib berturut-turut, karena qada merupakan pengulangan dari ada'an.

Menurut pendapat kedua, tidak wajib berturut-turut. Jika orang yang bersangkutan ingin memisah-misahkannya, maka ia boleh memisah-misahkannya. Jika ingin berturut-turut, ia boleh berturut-turut dalam mengerjakannya. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama Salaf dan Khalaf —dan didukung oleh dalil-dalil yang kuat— karena berturut-turut itu hanyalah diwajibkan dalam bulan Ramadan, mengingat puasa harus dilakukan dalam bulan itu secara tuntas. Bila bulan Ramadan telah lewat, maka makna yang dimaksud hanyalah wajib membayar hari-hari yang ditinggalkannya saja, tanpa ikatan harus berturut-turut. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah : 185) Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. (Al-Baqarah: 185)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ الْخُزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ هِلَالٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ الْعَدَوِيِّ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ، عَنِ الْأَعْرَابِيِّ الذِي سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إن خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ، إِنَّ خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Al-Khuza'i, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Humaid ibnu Hilal Al-Adawi, dari Abu Qatadah, dari Al-A'rabi yang mendengarnya langsung dari Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam: Sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama kalian ialah yang paling mudah, sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama kalian ialah yang paling mudah.

قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ هِلَالٍ، حَدَّثَنَا غَاضِرَةُ بْنُ عُرْوة الفُقَيْمي، حَدَّثَنِي أَبِي عُرْوَة، قَالَ: كُنَّا نَنْتَظِرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ رَجلا يَقْطُرُ رَأْسُهُ مِنْ وُضُوءٍ أَوْ غُسْلٍ، فَصَلَّى، فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ جَعَلَ النَّاسُ يَسْأَلُونَهُ: عَلَيْنَا حَرَجٌ فِي كَذَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ دِينَ اللَّهِ فِي يُسْرٍ" ثَلَاثًا يَقُولُهَا

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Asim ibnu Hilal, telah menceritakan kepada kami Amir ibnu Urwah Al-Faqimi, telah menceritakan kepadaku Abu Urwah yang menceritakan: Ketika kami sedang menunggu Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam, maka keluarlah beliau dengan kepala yang masih meneteskan air karena habis wudu atau mandi, lalu beliau salat. Setelah beliau selesai dari salat-nya, maka orang-orang bertanya kepadanya, "Apakah kami berdosa jika melakukan demikian?" Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Sesungguhnya agama Allah itu berada dalam kemudahan." Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali.

Imam Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dalam tafsir ayat ini melalui hadis Muslim ibnu Abu Tamim, dari Asim ibnu Hilal dengan lafaz yang sama.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو التَّيَّاحِ، سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "يَسِّرُوا، وَلَا تُعَسِّرُوا، وسكِّنُوا وَلَا تُنَفِّروا".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Abut Tayyah; ia pernah mendengar sahabat Anas Radhiyallahu Anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda: Mudahkanlah dan janganlah kalian mempersulit, serta bersikap simpatilah kalian dan janganlah kalian bersikap tidak disenangi.

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahih masing-masing. Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula bahwa ketika Rasulullah Shalallahu'alaihi Wasallam mengutus sahabat Mu'az ibnu Jabal dan Abu Musa ke negeri Yaman, beliau bersabda kepada keduanya:

"بَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا، وَيَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا، وَتَطَاوَعَا وَلَا تَخْتَلِفَا"

Sampaikanlah berita gembira (kepada mereka) dan janganlah kamu berdua bersikap yang membuat mereka antipati kepadamu; permudahkanlah oleh kamu dan janganlah kamu berdua mempersulit; dan saling bantulah kamu berdua dan jangan sampai kamu berdua berselisih pendapat.

Di dalam kitab Sunan dan kitab Masanid disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda:

"بُعِثْتُ بالحنيفيَّة السَّمْحَةِ"

Aku diutus membawa agama yang cenderung kepada perkara yang hak dan penuh dengan toleransi.

Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya mengatakan:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ابْنُ أَبِي طَالِبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ، حَدَّثَنَا أَبُو مَسْعُودٍ الجُرَيري، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ مِحْجَن بْنِ الْأَدْرَعِ: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي فَتَرَاءَاهُ بِبَصَرِهِ سَاعَةً، فَقَالَ: "أَتُرَاهُ يُصَلِّي صَادِقًا؟ " قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا أَكْثَرُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ صَلَاةً، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لا تُسْمِعْه فَتُهلِكَه". وَقَالَ: "إِنَّ اللَّهَ إِنَّمَا أَرَادَ بِهَذِهِ الْأُمَّةِ اليُسْر، وَلَمْ يَرِدْ بِهِمُ العُسْر"

telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Talib, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Ata, telah menceritakan kepada kami Abu Mas'ud Al-Hariri, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Mihjan ibnul Adra' yang menceritakan: Bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam melihat seorang lelaki yang sedang salat, lalu beliau menatapnya dengan pandangan mata yang tajam selama sesaat, kemudian bersabda, "Bagaimanakah menurutmu, apakah lelaki ini salat dengan sebenarnya?" Perawi berkata, "Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, orang ini adalah penduduk Madinah yang paling banyak mengerjakan salat'." Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Janganlah kamu memperdengarkan jawabanmu kepadanya, karena akan membinasakannya (membuatnya bangga dan riya)!" Dan Rasul Shalallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah hanya menghendaki kemudahan belaka bagi umat ini, dan Dia tidak menghendaki mereka kesulitan."

**********

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ}

Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya. (Al-Baqarah: 185)

Yakni sesungguhnya Aku memberikan keringanan kepada kalian boleh berbuka bagi orang yang sakit dan yang sedang dalam perjalanan serta uzur lainnya, tiada lain karena Aku menghendaki kemudahan bagi kalian. Dan sesungguhnya Aku memerintahkan kalian untuk mengqadainya agar kalian menyempurnakan bilangan bulan Ramadan kalian.

**************

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ}

dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya. (Al-Baqarah: 185)

Yakni agar kalian ingat kepada Allah di saat ibadah kalian selesai.

Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:

فَإِذا قَضَيْتُمْ مَناسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آباءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْراً

Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. (Al-Baqarah: 200)

فَإِذا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung. (Al-Jumu'ah: 10)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

سَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ. وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبارَ السُّجُودِ

Dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya). Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai salat. (Qaf: 39-40)

Karena itulah maka disebutkan di dalam sunnah bahwa disunatkan membaca tasbih, tahmid, dan takbir setiap sesudah mengerjakan salat lima waktu. Sahabat Ibnu Abbas mengatakan, "Kami tidak mengetahui selesainya salat Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam melainkan melalui takbirnya."

Karena itulah banyak kalangan ulama yang mengatakan bahwa membaca takbir disyariatkan dalam Hari Raya Idul Fitri atas dasar firman-Nya: Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan-Nya kepada kalian. (Al-Baqarah: 185) Hingga Daud ibnu Ali Al-Asbahani Az-Zahiri berpendapat wajib membaca takbir dalam Hari Raya Idul Fitri berdasarkan makna lahiriah perintah yang terkandung di dalam firman-Nya: dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian. (Al-Baqarah: 185)

Lain halnya dengan mazhab Imam Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa membaca takbir dalam Hari Raya Fitri tidak disyariatkan. Sedangkan Imam lainnya mengatakan sunat, tetapi masih ada perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam sebagian cabang-cabangnya.

********

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

{وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ}

Supaya kalian bersyukur. (Al-Baqarah: 185)

Artinya, apabila kalian mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian (yakni taat kepada-Nya dan mengerjakan semua yang difardukan-Nya dan meninggalkan semua apa yang diharamkan-Nya serta memelihara batasan-batasan-Nya), barangkali kalian akan menjadi orang-orang yang bersyukur kepada-Nya karena mengerjakan hal tersebut. (Androidkit/FM)

Artikel Terkait

Komentar

Artikel Populer

Prahara Aleppo

French Foreign Minister Bernard Kouchner takes off a Jewish skull-cap, or Kippa, at the end of a visit to the Yad Vashem Holocaust Memorial in Jerusalem, Tuesday, Sept. 11, 2007. Kouchner is on an official visit to Israel and the Palestinian Territories. (AP Photo/Kevin Frayer) Eskalasi konflik di Aleppo beberapa hari terakhir diwarnai propaganda anti-rezim Suriah yang sangat masif, baik oleh media Barat, maupun oleh media-media “jihad” di Indonesia. Dan inilah mengapa kita (orang Indonesia) harus peduli: karena para propagandis Wahabi/takfiri seperti biasa, mengangkat isu “Syiah membantai Sunni” (lalu menyamakan saudara-saudara Syiah dengan PKI, karena itu harus dihancurkan, lalu diakhiri dengan “silahkan kirim sumbangan dana ke no rekening berikut ini”). Perilaku para propagandis perang itu sangat membahayakan kita (mereka berupaya mengimpor konflik Timteng ke Indonesia), dan untuk itulah penting bagi kita untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Suriah. Tulisan i

Daun Pepaya Jepang, Aman Untuk Pakan Kambing di @kapurinjing

3 Ulama Paku Banten paling keramat yang masih hidup - Himayah atau Pemimpin Ulama di Tanah Banten

Forum Muslim - Banten merupakan provinsi Seribu Kyai Sejuta Santri. Tak heran jika nama Banten terkenal diseluruh Nusantara bahkan dunia Internasional. Sebab Ulama yang sangat masyhur bernama Syekh Nawawi AlBantani adalah asli kelahiran di Serang - Banten. Provinsi yang dikenal dengan seni debusnya ini disebut sebut memiliki paku atau penjaga yang sangat liar biasa. Berikut akan kami kupas 3 Ulama Paku Banten paling keramat yang masih hidup. 1. Abuya Syar'i Ciomas Banten Selain sebagai kyai terpandang, masyarakat ciomas juga meyakini Abuya Syar'i sebagai himayah atau penopang bumi banten. Ulama yang satu ini sangat jarang dikenali masyarakat Indonesia, bahkan orang banten sendiri masih banyak yang tak mengenalinya. Dikarnakan Beliau memang jarang sekali terlihat publik, kesehariannya hanya berdia di rumah dan menerima tamu yg datang sowan ke rumahnya untuk meminta doa dan barokah dari Beliau. Banyak santri - santrinya yang menyaksikan secara langsung karomah beliau. Beliau jug

Sholawat-Sholawat Pembuka Hijab

Dalam Islam sangat banyak para ulama-ulama sholihin yang bermimpi Rosululloh Shollallohu Alaihi Wasallam dan mendapatkan petunjuk atau isyarat untuk melakukan atau mengucapkan kalimat-kalimat tertentu (seperti dzikir, sholawat, doa dll ). Bahkan sebagian di antara mereka menerima redaksi sholawat langsung dari Rasulullah dengan ditalqin kata demi kata oleh Beliau saw. Maka jadilah sebuah susunan dzikir atau sholawat yg memiliki fadhilah/asror yg tak terhingga.  Dalam berbagai riwayat hadits dikatakan bahwa siapa pun yang bermimpi Nabi saw maka mimpi itu adalah sebuah kebenaran/kenyataan, dan sosok dalam mimpinya tersebut adalah benar-benar Nabi Muhammad saw. Karena setan tidak diizinkan oleh Alloh untuk menyerupai Nabi Muhammad saw. Beliau juga bersabda, "Barangsiapa yg melihatku dalam mimpi maka ia pasti melihatku dalam keadaan terjaga" ----------------------------- 1. SHOLAWAT JIBRIL ------------------------------ صَلَّى اللّٰهُ عَلٰى مُحَمَّدٍ SHOLLALLOOH 'ALAA MUHAMMA

Amalan Pada Malam Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha

Nabi Muhammad ﷺ bersabda: عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن رسول ﷺ قال: “من أحيا ليلة الفطر وليلة الأضحى لم يمت قلبه يوم تموت القلوب” رواه الطبراني في الكبير والأوسط. Dari Ubadah Ibn Shomit r.a. Sungguh Rosulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa menghidupkan malam Idul Fitri dan malam Idul Adlha, hatinya tidak akan mati, di hari matinya hati." ( HR.Thobaroni ) عن أبي أمامه رضي الله عنه عن النبي ﷺ قال : “من قام ليلتي العيدين محتسباً لم يمت قلبه يوم تموت القلوب”. وفي رواية “من أحيا” رواه ابن ماجه Dari Abi Umamah r.a, dari Nabi ﷺ, bersabda: Barangsiapa beribadah di dua malam Hari Raya dengan hanya mengharap ALLAH, maka hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati. ( HR. Ibnu Majah ) Bagaimana cara menghidupkan dua Hari Raya itu? Telah disebutkan oleh Syaikh Abdul Hamid Al Qudsi, dengan mengamalkan beberapa amalan: 1. Syaikh Al Hafni berkata: Ukuran minimal menghidupkan malam bisa dengan Sholat Isya’ berjama’ah dan meniatkan diri untuk jama’ah Sholat Shubuh pada besoknya. Atau mempe

ALASAN ALI MENUNDA QISHASH PEMBUNUH UTSMAN

Oleh :  Ahmad Syahrin Thoriq   1. Sebenarnya sebagian besar shahabat yang terlibat konflik dengan Ali khususnya, Zubeir dan Thalhah telah meraih kesepakatan dengannya dan mengetahui bahwa Ali akan menegakkan hukum qishash atas para pemberontak yang telah membunuh Utsman.  Namun akhirnya para shahabat tersebut berselisih pada sikap yang harus diambil selanjutnya. Sebagian besar dari mereka menginginkan agar segera diambil tindakan secepatnya. Sedangkan Ali memilih menunda hingga waktu yang dianggap tepat dan sesuai prosedur. 2. Sebab Ali menunda keputusan untuk menegakkan Qishash adalah karena beberapa pertimbangan, diantaranya : Pertama, para pelaku pembunuh Ustman adalah sekelompok orang dalam jumlah yang besar. Mereka kemudian berlindung di suku masing-masing atau mencari pengaruh agar selamat dari hukuman. Memanggil mereka untuk diadili sangat tidak mungkin. Jalan satu-satunya adalah dengan kekuatan. Dan Ali menilai memerangi mereka dalam kondisi negara sedang tidak stabil sudah pas

KH.MUNFASIR, Padarincang, Serang, Banten

Akhlaq seorang kyai yang takut memakai uang yang belum jelas  Kyai Laduni yang pantang meminta kepada makhluk Pesantren Beliau yang tanpa nama terletak di kaki bukit padarincang. Dulunya beliau seorang dosen IAIN di kota cirebon. Saat mendapatkan hidayah beliau hijrah kembali ke padarincang, beliau menjual seluruh harta bendanya untuk dibelikan sebidang sawah & membangun sepetak gubuk ijuk, dan sisa selebihnya beliau sumbangkan. Beliau pernah bercerita disaat krisis moneter, dimana keadaan sangatlah paceklik. Sampai sampai pada saat itu, -katanya- untuk makan satu biji telor saja harus dibagi 7. Pernah tiba tiba datanglah seseorang meminta doa padanya. Saat itu Beliau merasa tidak pantas mendoakan orang tersebut. Tapi orang tersebut tetap memaksa beliau yang pada akhirnya beliaupun mendoakan Alfatihah kepada orang tersebut. Saat berkehendak untuk pamit pulang, orang tersebut memberikan sebuah amplop yang berisi segepok uang. Sebulan kemudian orang tersebut kembali datang untuk memi

Abuya Syar'i Ciomas Banten

''Abuya Syar'i Ciomas(banten)" Abuya Syar'i Adalah Seorang Ulama Yg Sangat Sepuh. Menurut beliau sekarang beliau telah berrusia lebih dari 140 tahun. Sungguh sangat sepuh untuk ukuran manusia pada umumnya. Abuya Sar'i adalah salah satu murid dari syekh. Nawawi al bantani yg masih hidup. Beliau satu angkatan dengan kyai Hasyim asy'ary pendiri Nahdatul ulama. Dan juga beliau adalah pemilik asli dari golok ciomas yg terkenal itu. Beliau adalah ulama yg sangat sederhana dan bersahaja. Tapi walaupun begitu tapi ada saja tamu yg berkunjung ke kediamannya di ciomas banten. Beliau juga di yakini salah satu paku banten zaman sekarang. Beliau adalah kyai yg mempunyai banyak karomah. Salah satunya adalah menginjak usia 140 tahun tapi beliau masih sehat dan kuat fisiknya. Itulah sepenggal kisah dari salah satu ulama banten yg sangat berpengaruh dan juga kharismatik. Semoga beliau senantiasa diberi umur panjang dan sehat selalu Aaamiiin... (FM/ FB )

Kisah Siti Ummu Ayman RA Meminum Air Kencing Nabi Muhammad SAW

Di kitab Asy Syifa disebutkan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW punya pembantu rumah tangga perempuan bernama Siti Ummu Ayman RA. Dia biasanya membantu pekerjaan istri Kanjeng Nabi dan nginap di rumah Kanjeng Nabi. Dia bercerita satu pengalaman uniknya saat jadi pembantu Kanjeng Nabi. Kanjeng Nabi Muhammad itu punya kendi yang berfungsi sebagai pispot yang ditaruh di bawah ranjang. Saat di malam hari yang dingin, lalu ingin buang air kecil, Kanjeng Nabi buang air kecil di situ. Satu saat, kendi pispot tersebut hilang entah ke mana. Maka Kanjeng Nabi menanyakan kemana hilangnya kendi pispot itu pada Ummu Ayman. Ummu Ayman pun bercerita, satu malam, Ummu Ayman tiba-tiba terbangun karena kehausan. Dia mencari wadah air ke sana kemari. Lalu dia nemu satu kendi air di bawah ranjang Kanjeng Nabi SAW yang berisi air. Entah air apa itu, diminumlah isi kendi itu. Pokoknya minum dulu. Ternyata yang diambil adalah kendi pispot Kanjeng Nabi. Dan yang diminum adalah air seni Kanjeng Nabi yang ada dal

Panduan Puasa Ramadhan menurut Ayat Qur’an dan Hadits

Kewajiban berpuasa dalam Al Qur’an “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan bagi kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan bagi orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa” [Al Baqarah:183] Pada bulan Ramadhan, setiap Muslim wajib berpuasa kecuali orang yang sakit, dalam perjalanan, haidh, atau pun belum balligh: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kep