وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah : 8)
o0o
A. Wa Minan-nas (ومن الناس)
Setelah menceritakan dua golongan yaitu orang beriman (pada ayat 2, 3 dan 4 dari Surat Al-Baqarah) lalu tentang orang kafir (pada ayat 5 dan 6 surat Al-Baqarah), maka mulai ayat 8 sampai ayat 20 Surat Al-Baqarah) Allah SWT menceritakan tentang kelompok yang ketiga yaitu orang-orang munafik.
Keberadaan orang-orang munafik di masa kenabian sebenarnya tidak ada ketika masih menjalani masa kehidupan di Mekkah pada 13 tahun pertama. Kemunculan orang-orang munafik baru dirasakan setelah Nabi SAW dan para shahabat muhajirin pada datang berhijrah ke Madinah.
Dan para pengamat sejarah mendata bahwa hampir tidak ada dari kalangan muhajirin yang datang dari Mekkah ini yang kemudian jadi orang-orang munafik.
Salah satunya adalah apa yang disebutkan Ibnu Katsir, bahwa mereka semua tidak ada satupun yang merupakan pendapat (muhajirin) dari Mekkah. Semua orang munafik di masa kenabian itu adalah orang-orang Madinah, baik dari suku Aus atau pun Khazraj.
Ternyata fenomena keberadaan kalangan munafikin di Madinah ini menjadi sebuah babak baru kehidupan di Madinah. Nabi SAW kali ini mendapat lawan yang lebih unik ketimbang lawan-lawannya di Mekkah pada masa sebelumnya.
Kalau orang-orang musyrikin di Mekkah saat itu memberikan perlawanan secara frontal dan jantan, sehingga mudah membaca arah dan strategi mereka, maka perlawanan yang dilakukan oleh kalangan munafikin di Madinah ini justru sangat unik dan sedikit memusingkan.
Sebab mereka mengaku memeluk Islam dan seperti teman yang tidak perlu diwaspadai, namun begitu lengah, dia akan melakukan serangan dari balik badannya secara mematikan.
B. Man Yaqulu Amanna (من يقول آمنا)
Amanna yang dimaksud dalam ayat ini adalah iman dalam arti mengakui atau membenarkan keberadaan. Atau disebut juga dengan istilah tashdiq (التصديق).
Istilah tashdiq ini kita juga temukan di dalam banyak ayat Al-Quran di antaranya :
إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak. (QS. Al-Hadid : 18)
Dan syarat iman yang paling awal memang pada tashdiq atau mengakui kebenaran atau menerima keberadaan, setidaknya lewat lisan dan pengakuan atau ikrar.
Pengakuan orang munafik tentang keberadaan Allah dan kenabian Muhammad SAW juga kita temukan di dalam ayat yang lain, misalnya di ayat pertama surat Al-Munafiqun :
إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. (QS. Al-Munafiqun : 1)
C. Billahi wal Yaumil Akhir ( بالله و اليوم الآخر)
Lafadz ini menyebutkan pengakuan orang munafik yang di lidahnya mereka berkata bahwa kami beriman kepada Allah dan hari akhir. Namun pengkauan mreka itu langsung dibantah Allah bahwa mereka itu bukan orang yang beriman.
Mengapa juga disebutkan iman kepada hari akhir? Tidakkah cukup bila menyebut sudah beriman kepada Allah saja? Kenapa harus pula menyebutkan beriman kepada hari akhir?
Ada banyak analisa, namun salah satunya yang cenderung lebih logis adalah bahwa ayat ini terkait dengan karakteristika kekafiran orang di Mekka dibandingkan dengan orang kafir di Madinah.
Orang kafir Mekkah sering disebut dengan musyrikin, mereka itu beriman dan mempercayai keberdaan Allah SWT. Namun mereka tidak bisa memahami konsep adanya hari akhir yaitu kiamat, hari kebangkitan, hisab, hari pembalasan, surga, neraka dan seterusnya.
Maklum saja, karena keberadaan nabi terakhir di negeri mereka memang sudah terlalu lama jaraknya, sehingga kalau urusan keimanan kepada hari akhir itu sudah lenyap tak berbekas di negeri mereka, kita bisa memahami konteksnya. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah dua nabi yang disebut-sebut dalam sejarah sebagai nabi yang pernah datang ke Mekkah.
Para sejarawan di hari ini memperkirakan bahwa Nabi Ibrahim itu hidup sekitar tahun 1997 sebelum Masehi. Berarti jarak waktu yang terbentang hingga kehidupan bangsa Arab di masa kelahiran Nabi Muhammad SAW tahun 571 Masehi cukup jauh. Kira-kira 26 abad lamanya.
Wajar bila mereka masih kenal Allah, Baitullah dan Ibrahim, tetapi mereka sudah kehilangan jejak terhadap keyakinan samawi, baik itu kitab suci, kenabian, malaikat dan juga konsep hari akhir.
Keadaannya jauh berbeda dengan karakteristika kekafiran orang-orang di Madinah sewaktu Nabi SAW hijrah. Mereka kebanyakannya sudah banyak bergaul dengan para pendatang Yahudi sejak lama, sehingga konsep keimanan kepada malaikat, kenabian, kitab suci, syariah, hari akhir dan lainnya, bukan hal yang asing lagi bagi Arab Madinah di masa itu.
Oleh karena itulah ketika menyatakan beriman, orang-orang munafikin yang mana mereka merupakan penduduk Madinah, sudah dengan lengkap menyebutkan point-point utama keimanan, yaitu beriman kepada Allah dan kepada hari akhir.
D. Wa Ma Hum Bimu`minin (وما هم بمؤمنين)
Lafadz ini menegaskan bahwa status orang munafik itu jelas, yaitu mereka bukan orang-orang beriman. Kalau Al-Quran sudah menyebutkan status ketidak-berimanan mereka, tentu tidak boleh lagi kita menyanggahnya, bukan?
Namun kemudian muncul pertanyaan menggelitik, yaitu kalau orang munafik itu disebut tidak beriman, lantas bagaimana dengan kita yang sering terpapar dengan perbuatan orang munafik?
Bukankah ada hadits yang menyebutkan tiga ciri orang munafik, yaitu bila berkata dusta, bila berjanji mengingkari dan bila dipercaya khianat, dan rasa-rasanya tidak ada dari kita terhindar dari tiga perbuatan itu. Lantas apakah kita dan siapa pun orang yang pernah sekali saja melakukan hal-hal itu langsung berubah jadi kafir dan tidak beriman dengan menggunakan ayat 8 surat Al-Baqarah ini?
Jawabannya tentu saja tidak. Sebab para ulama sejak masa lalu sudah membedakan antara nifak kufri dan nifak amali.
Dua Macam Kemunafikan
Para ulama seperti Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H), Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H), bahkan juga termasuk Al-Imam At-Tirmizy (w. 279 H) membedakan munafik menjadi dua macam, yaitu munafik aqidah dan munafik amal.
1. Munafik Aqidah
Munafik aqidah maksudnya adalah orang-orang yang secara aqidah sebenarnya bukan muslim tapi kafir, hanya saja mereka itu berpura-pura masuk Islam demi kemaslahatan mereka.
Mereka inilah yang sering dibahas di dalam ayat-ayat Al-Quran dan dikatakan dengan tegas bahwa mereka itu tidak beriman. Banyak kelicikan mereka yang dipreteli satu per satu di sekian banyak ayat Al-Quran.
Tentang ketidak-berimanan mereka, ada banyak ditegaskan di dalam Al-Quran, misalnya ayat kedelapan dari surat Al-Baqarah ini, Allah SWT secara tegas menyebutkan bahwa mereka tidak beriman :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah : 8)
Namun yang unik karena secara lahiriyah mereka mengaku telah masuk Islam dan membaca dua kalimat syahadat, maka formalitas hukum Islam tetap memposisikan mereka sebagaimana seorang muslim.
Ini menjadi unik dan menarik, karena meskipun secara tegas mereke disebut bukan orang beriman, namun dalam praktek kehidupan sehari-hari mereka tidak diperlakukan sebagai orang kafir.
Jelas berbeda ketika Allah SWT menyebut dengan tegas kekafiran Abu Lahab misalnya. Tegas dan jelas ditunjuk hidungnya langsung dan bahkan nama Abu Lahab itu diabadikan di dalam Al-Quran sebagai orang kafir yang akan disiksa di neraka nantinya.
Sedangkan orang-orang munafikin di Madinah di masa kenabian, kita tidak pernah punya list nama-nama mereka, kecuali satu dua orang saja.
Salah satunya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul : Dia berasal dari suku Khazraj dan awalnya digadang-gadang untuk menjadi pemimpin di Madinah, sebelum kedatangan Nabi SAW. Pura-pura masuk Islam setelah kemenangan Rasulullah SAW dan para shahabat di Perang Badar pada tahun kedua hijriyah.
Namun selain tokoh yang satu ini, kita sama sekali tidak menemukan deratan nama-nama mereka, entah itu di dalam Al-Quran atau pun di dalam hadits-hadits nabawi. Maka kalau kita membaca Al-Quran dan mengkhususkan diri pada ayat-ayat yang terkait dengan kemunafikan, kita memang telah diperlihatan sikap dan perilaku mereka, namun siapa sajakah tokoh-tokoh dalam lakon kemunafikan itu, justru kitab-kitab tafsir banyak yang juga tidak memuat nama-nama mereka.
2. Munafik Amal
Mereka ini pada dasarnya beriman dan memeluk agama Islam. Hanya saja sebagaimana manusia pada umumnya, kadan ada saja beberapa amal dan perbuatan mereka yang kurang terpuji. Misalnya bila berbicara kadang suka tercampur dengan dusta, atau bila berjanji kadang suka tidak tepat alias mangkir. Kadang kala bila diberi amanah atau kepercayaan, kurang bertanggung-jawab dan sedikit rada berkhianat.
Perbuatan semacam ini jelas tidak terpuji dan tidak layak bila dilakukan oleh mereka yang beragama Islam. Nabi SAW tegas sekali melarang perbuatan-perbuatan macam itu, sehingga kita mengenal hadits beliau berikut ini :
آيَةُ المُنافِقِ ثَلاَثٌ: إذا حَدَّثَ كَذَبَ، وإذا وعَدَ أخْلَفَ، وإذا اؤْتُمِنَ خانَ
Ciri-ciri orang munafik itu ada tiga : Apabila berkata dia berdusta, apabila berjanji dia mangkir dan apabila diberi amanah dia berkhianat. (HR. Bukhari)
أرْبَعٌ مَن كُنَّ فِيهِ كانَ مُنافِقًا خالِصًا، ومَن كانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنهُنَّ كانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفاقِ حَتّى يَدَعَها: إذا اؤْتُمِنَ خانَ، وإذا حَدَّثَ كَذَبَ، وإذا عاهَدَ غَدَرَ، وإذا خاصَمَ فَجَرَ
Ada 4 perkara dimana siapa saja yang pada dirinya terdapat perkara itu, jadilah dia munafik yang murni, namun bila hanya terdapat salah satunya, maka dia terpapar ciri-ciri munafik hingga dia meninggalkan (perkara itu) : Apabila dipercaya dia berkhianat, apabila berkata dia berdusta, bila berjanji dia ingkari dan bila berseteru dia culas. (HR. Bukhari)
Al-Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa banyak sekali orang-orang Islam yang beriman dan membenarkan kenabian Muhammad yang sulit terhindar dari perbuatan-perbuatan di atas.
Oleh karena itu kalau pun dikatakan mereka itu terpapar berciri munafik, sebenarnya bukan munafik dalam arti perbuatan mereka itu menggugurkan keislaman. Tapi babnya hanya sekedar diserupakan saja. Kalau melakukan perbuatan seperti itu, hat-hati jangan sampai jadi mirip dengan orang munafik. [1]
Apa yang dikutip oleh dari perkataan An-Nawawi kemudian dibenarkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, sehingga beliau menyebutkan dua jenis nifak, yaitu nifak kafir dan nifak amal.
والنِّفاقُ لُغَةً مُخالَفَةُ الباطِنِ لِلظّاهِرِ فَإنْ كانَ فِي اعْتِقادِ الإيمانِ فَهُوَ نِفاقُ الكُفْرِ وإلّا فَهُوَ نِفاقُ العَمَلِ
Nifak itu secara bahasa adalah berebedanya antara batin dan zhahir. Bila nifak ini terdapat dalam masalah i'tiqad keimanan, maka disebut nifak kafir, sedangkan bila tidak sampai urusan itiqad keimanan, maka disebut dengan nifak amal. [2]
Sehingga demi untuk menghindari perbuatan itu, seringkali dinasehati dan diingatkan agar jangan melakukannya, sebab kalau tidak segera berhenti dari perbuatan tidak terpuji itu, dikhawatirkan perilaku tidak terpuji ini ada kemiripan dan kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh orang munafik yang asli (munafik aqidah).
Status mereka tentu saja tetap sebagai orang beriman. Dan jelas sekali ketika Al-Quran berbicara banyak tentang ulah orang-orang munafik, tentu maksudnya bukan mereka yang munafik secara amali ini.
Mengingat bahwa mereka yang terpapar dengan kemunafikan secara amali ini tetap meyakini bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah, percaya pada 6 rukun iman dan 5 rukun Islam serta menjalankan semua kewajiban agama, secara murni, sadar dan konsekuen.
Tapi siapa sih dari kita yang bisa secara 100% terhindar dari dusta, khianat atau pun khianat? Siapa diantara kita yang steril dari sikap culas ketika berseteru? Tidak ada orang Islam di dunia ini yang secara mulus selamat dari sikap-sikap tidak terpuji itu.
Selama kita manusia yang lemah dan punya batas kesabaran, bahkan juga dibekali dengan hawa nafsu hewani, maka hal-hal kecil sedemikian itu tidak lah menggugurkan keimanan kita.
Status kita tetap muslim asli dan bukan orang yang kafir atau keluar dari agama Islam. Maka ayat-ayat Al-Quran yang bicara tentang berbagai macam ulah orang munafik tidak layak disematkan kepada kita yang muslim. Jangan sampai ayat-ayat Al-Quran diperalat atau dijadikan bubuk mesiu agar sesama umat Islam saling tuduh munafik.
[1] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, jilid 1 hal. 89-90
[2] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, jilid 1 hal. 89
Komentar
Posting Komentar