Jalaluddin Rumi - File iphincow |
Oleh: Mohammad Nuh
Jalaluddin Rumi, penyair sufi yang lahir pada
1207 M (604 H) pernah berkisah tentang seorang muazin yang bersuara jelek,
tidak nyaman didengar. Dia ingin sekali mengumandangkan azan. Teman-teman di
sekitarnya menasihati agar dia tidak melantunkan azan. Mereka khawatir terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan karena mereka tinggal di tengah-tengah mayoritas
bukan muslim. Namun, si muazin bersikeras melantunkan azan karena itu adalah
perintah agama. Tidak ada yang bisa menghalangi orang untuk melakukan kewajiban
agamanya. Akhirnya, lantunan suara azan yang memekakkan telinga pun terdengar
ke mana-mana.
Dampak azan itu, seorang nonmuslim tiba-tiba
hadir di tengah-tengah jamaah kecil tersebut sambil membawa jubah, lilin, dan
manisan. Dia bertanya-tanya mencari si tukang azan. Seluruh jamaah terdiam
sambil menyesali perbuatan si muazin. Dalam kecemasan yang memuncak, tiba-tiba
saja satu kalimat terlontar dari lisan nonmuslim yang datang itu: ’’Tunjukkan
kepadaku mana tukang azan yang telah membahagiakan hatiku itu!’’ Sembari
bernapas lega, salah seorang jamaah menyahut, ’’Kebahagiaan apa yang engkau
peroleh dari azan yang memekakkan telinga itu?’’
Si nonmuslim bercerita bahwa dia mempunyai anak
gadis yang telah lama ingin menikah dengan seorang pemuda muslim. Untuk itu,
dia telah mempelajari agama Islam sebagai bekal hidup bersama pemuda tersebut.
Dia sangat ingin menyatakan masuk Islam. Tetapi, ketika mendengar suara azan
itu, dia bertanya, ’’Suara apa itu, ayah? Aku tidak pernah mendengar suara
sejelek itu!’’
Si nonmuslim menjawab bahwa itu adalah suara
orang Islam memanggil orang beribadah. Sejak itu, si anak tidak tertarik lagi
untuk masuk Islam. ’’Maka, aku sangat bahagia atas sikapnya. Selama ini, kami
dibuat susah tidur oleh anak gadis kami itu. Sekarang kami tenang dan sangat
senang. Tiada kebahagiaan yang lebih dari ini. Karena itu, tunjukkan kepadaku
mana si tukang azan itu! Aku akan memberinya hadiah-hadiah ini dan kalau aku memiliki
banyak harta, aku akan memberikannya sebagai hadiah,’’ kata si nonmuslim.
Lewat kisah parodi, Jalaluddin Rumi
berpesan: Kita dapat menegakkan ajaran Islam seperti menyuarakan azan;
bisa indah, bisa buruk. Kita dapat menampilkan Islam yang lembut dan merdu,
bisa pula yang keras dan menakutkan. Dan cara kita mengamalkan ajaran Islam
akan memengaruhi sikap orang lain terhadap Islam.
Dalam ruang publik dan peradaban yang semakin
kompleks serta terbuka, sangat dimungkinkan terjadi benturan antar peradaban apabila
etika interaksi dan penghargaan terhadap nilai kemanusiaan serta nilai-nilai
lain yang melekat pada suatu kelompok diabaikan. Fenomena ISIS (Islamic State
of Iraq and Syria) yang sekarang sudah menjadi game changer geopolitik global
dan gerakan Je Suis Charlie sebagai respons atas teror terhadap majalah Charlie
Hebdo di Paris beberapa waktu lalu tidak lain adalah contoh nyata terjadinya
benturan ekstremitas peradaban karena lemahnya etika interaksi dan penghargaan
terhadap nilai kemanusiaan.
Konsep rahmatan lil ’alamin (RLA) (QS 21: 107)
yang mengedepankan kerahmatan bagi semua bukanlah konsep lokalistik-utopis,
melainkan konsep universal yang sudah terbukti dan teruji melalui Piagam
Madinah sebagai bentuk operasionalnya. Saat Piagam Madinah dideklarasikan pada
abad ke-7, umat Islam hanya 15 persen dari populasi penduduk Madinah yang
mayoritas Yahudi dan Nasrani. Karena dalam Piagam Madinah hak dasar dan nilai
kemanusiaan universal dijunjung tinggi serta lintas ikatan primordialisme,
pihak mayoritas bisa menyetujui dan menerima.
Konsep RLA dilanjutkan Wali Songo saat
menyebarkan Islam di tanah Jawa pada abad ke-14-an atau tujuh abad setelah
zaman Rasulullah. Dialog antara Sunan Ampel, Sunan Kalijogo, dan Sunan Kudus
saat membahas model komunikasi keagamaan serta penghormatan terhadap tradisi,
adat istiadat, dan budaya menggambarkan betapa Wali Songo menghargai serta
menjaganya sepanjang tidak bertentangan secara esensial dengan prinsip tauhid.
Kini saatnya pada abad ke-21 atau tujuh abad
setelah era Wali Songo, kita melakukan reaktualisasi dan mobilisasi pemahaman
kolektif tentang pentingnya konsep RLA yang pangejawantahannya mengedepankan
pendekatan kultural. Dengan demikian, pembudayaan menjadi pilihan prosesnya dan
tentu harus memahami serta mempertimbangkan karakteristik masyarakat digital
saat ini.
NU yang lahir pada 31 Januari 1926 di Surabaya,
dalam dinamika sosialnya, berpegang pada prinsip toleransi (tasamuh), seimbang
(tawazun), tengah-tengah (tawassuth), dan tegak lurus (’itidal). Hal itu menggambarkan
bahwa NU tidaklah berada pada posisi ekstremitas, melainkan dalam posisi
moderat. Posisi tersebut merupakan terjemahan RLA, baik yang dicontohkan pada
zaman Rasulullah maupun para Wali Songo.
Kini, NU yang sepuluh tahun mendatang memasuki
satu abad, sekaligus menyiapkan satu abad kemerdekaan RI (2045), menghadapi
persoalan dan tantangan yang luar biasa besar. Hal itu sekaligus menjadi
peluang untuk membuktikan bahwa NU adalah pengibar sejati bendera RLA dan
penyemai panji-panji pengibar RLA. Tantangan terbesar NU adalah melakukan
transformasi sumber daya, aset, dan organisasi NU yang sungguh sangat besar
agar mampu menjawab secara efektif berbagai persoalan serta tantangan ke depan.
Tentu pesan Jalaluddin Rumi tentang muazin itu masih relevan dalam masyarakat
digital dewasa ini. [FM]
Sumber : Jawa Pos, 30 Januari 2015
Mohammad
Nuh, Dosen Jurusan Teknik Elektro ITS
Komentar
Posting Komentar