Oleh: Syaiful Arif*
Sudah tiga tahun sejak 30 Desember 2009, KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan kita. Banyak jasa, peninggalan tetapi
juga kontroversi yang ia wariskan. Salah satu peninggalan itu adalah pemikiran
Islamnya yang ternyata berpijak dari suatu humanisme Islam. Sayang, banyak yang
tak memahami hal ini sehingga pemikirannya sering disalahtafsirkan.
Humanisme Islam adalah dasar normatif dan
muara etis dari segenap pemikiran Gus Dur. Sejak pribumisasi Islam, Islam
sebagai etika sosial, negara kesejahteraan Islam hingga pluralisme agama.
Dengan demikian, humanisme Gus Dur bukan antroposentrisme yang meniadakan agama
dan Tuhan. Sebaliknya, ia berangkat dari pemuliaan Islam atas manusia, di mana
manusia menjadi subjek sekaligus objek humanisasi kehidupan, karena Allah telah
menitahkannya.
Hal ini didasarkan Gus Dur pada pemuliaan
Allah atas manusia (Walaqod karromna bani Adam, Q.S. 17:70) sehingga Dia
menciptakan manusia dengan kualitas terbaik: Laqod kholaqna al-insaana fi
ahsani taqwiim (Q.S. 95:4). Titik puncak pemuliaan ini terjadi ketika Adam
didaulat sebagai wakil-Nya di muka bumi (Inni jaa’ilun fi al-ardli khalifah,
Q.S. 2:30) untuk mewujudkan risalah Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin
(kesejahteraan bagi semesta). Dengan demikian, pemuliaan Allah atas manusia dan
pendaulatannya sebagai khalifatullah fi al-ard, merujuk pada peran manusia
sebagai perealisir kerahmatan Islam sebagaimana diperankan oleh tauladan umat
Islam, Rasulullah Muhammad SAW.
Berdasarkan pemuliaan manusia ini, Islam
kemudian menggariskan perlindungan atas hak dasar manusia (kulliyatul khams)
yang ditetapkan sebagai tujuan utama syariah (maqashid al-syari’ah). Hak dasar
itu meliputi; hak hidup (hifdz al-nafs), hak beragama (hifdz al-din), hak
kepemilikan (hifdz al-maal), hak profesi (hifdz al-‘irdl) dan hak berkeluarga
(hifdz al-nasl). Perlindungan atas hak dasar manusia ini Gus Dur sebut sebagai
universalisme Islam, yang bisa diwujudkan melalui kosmopolitanisme Islam.
Artinya, perjuangan pemenuhan hak dasar manusia hanya bisa diwujudkan melalui
perluasan cakrawalan Islam ke ranah peradaban kosmopolitan-modern. Mengapa?
Karena persoalan manusia kontemporer hanya bisa diselesaikan melalui pranata
modern. Oleh karenanya, kosmopolitanisme dalam bentuk modernisasi Islam
dilakukan Gus Dur bukan dalam rangka Westernisasi, melainkan demi penegakan
universalisme Islam.
Upaya mempertemukan Islam dengan modernitas
ini Gus Dur lakukan melalui pendaulatan nilai-nilai modern seperti demokrasi,
keadilan sosial dan persamaan hukum, bahkan sebagai Weltanschauung
(pandangan-dunia) Islam. Artinya, Gus Dur telah mengakarkan tiga nilai tersebut
pada ajaran Islam, yakni syura, ‘adalah dan musawah. Dengan demikian,
demokrasi, keadilan, dan persamaan merupakan nilai-nilai substantif Islam yang
dibutuhkan demi perwujudan universalisme Islam. Hal ini wajar sebab tanpa
ketiga kondisi tersebut, hak-hak warga negara tidak akan terlindungi.
Lalu, jika Weltanschauung Islam adalah
nilai-nilai normatif; apakah prinsip operasionalnya? Jawab Gus Dur kaidah fiqh,
Tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahat. Keabsahan seorang
pemimpin tergantung pada kemampuannya menciptakan kemashlahatan rakyat.
Berdasarkan kaidah ini, Gus Dur telah mempraksiskan humanisme Islam menjadi
etika politik, dan membebankan tugas pensejahteraan, terutama kepada negara.
Etika Sosial Islam
Segenap abstraksi di atas merupakan landasan
normatif yang mendasari pemikiran Gus Dur. Misalnya, ketika terjadi ketegangan
antara agama dan kebudayaan, manakah yang harus dimenangkan? Bagi Gus Dur,
nilai-nilai kemanusiaan yang harus dibela. Bukan formalisme agama, bukan pula
simbolisme budaya. Pembelaan inilah yang melahirkan gagasan pribumisasi Islam,
di mana ajaran Islam dikontekstualisasikan ke dalam persoalan masyarakat demi
pembelaan nasib manusia. Tentu yang dikritik Gus Dur adalah formalisme agama yang
abai dengan realitas. Sebab di dalam pribumisasi Islam itu, Gus Dur tetap
menggunakan ushul fiqh dan qawaidul fiqhiyah, sehingga kontekstualisasi Islam
tetap dalam kerangka syariah.
Hal serupa di dalam Islam sebagai etika
sosial. Sebuah prinsip etis yang diderivasi dari Sutar al-Baqarah ayat 177,
yang menekankan perlindungan dan bantuan kepada kaum miskin sebagai
penyempurnaan iman. Etika sosial Islam merujuk pada pengembangan struktur
masyarakat berkeadilan sebagai kondisi struktural yang dibutuhkan demi
pemenuhan hak dasar manusia. Pada titik ini Gus Dur menggagas perlunya “rukun
sosial” yang menjembatani Rukun Iman dan Rukun Islam, untuk membentuk
“kesadaran sosial” yang sebenarnya terdapat di dalam Rukun Islam. Artinya,
Rukun Islam, berupa syahadat, sholat, puasa, haji dan terutama zakat merupakan
“rukun sosial” sebab ia menandaskan keperdulian terhadap sesama. Hanya saja
sosialitas dari rukun tersebut diabaikan oleh “kesadaran inividualis” kaum
muslim, sehingga amal ibadah yang semestinya “bersifat sosial” hanya menjadi
ritus-individual. Maka, dibutuhkan perumusan “ibadah sosial” pada ranah
teologis, sehingga segenap amal ibadah berdampak pada perbaikan kondisi
masyarakat.
Berdasarkan kebutuhan akan struktur
berkeadilan inilah, Gus Dur memilih bangunan negara kesejahteraan Islam
(Islamic welfare-state). Yakni bangunan kenegaraan yang menciptakan struktur
masyarakat berkeadilan. Hal ini didasarkan pada kaidah al-ghayah wa al-wasail
(tujuan dan cara pencapaian), di mana negara menjadi alat bagi pembentukan
struktur masyarakat berkeadilan yang merupakan tujuan dari etika sosial Islam.
Dalam kerangka inilah negara-bangsa (nation-state) menjadi pilihan realistik
untuk mewujudkan tujuan tersebut. Dengan demikian, Gus Dur bukanlah sekularis,
ketika ia tidak sepakat dengan Negara Islam Indonesia. Mengapa? Karena ketika
Islam tidak menjadi negara, Presiden ke-4 RI ini tetap menjadikan Islam sebagai
tujuan sosial (social purpose) yang memandu kinerja negara. Bukan privatisasi
agama yang menghalangi Islam masuk ke ranah publik. Gagasan negara
kesejahteraan Islam merupakan bentuk substantif politik Islam yang menempatkan
negara sebagai mesin pewujud etika sosial Islam.
Bukan Pluralisme
Dari uraian di atas terpahami bahwa humanisme
Gus Dur memuat dua prinsip mendasar. Pertama, perlindungan atas hak dasar
manusia oleh syariat Islam. Kedua, pengembangan struktur masyarakat
berkeadilan. Menariknya, kedua prinsip ini diperjuangkan Gus Dur melalui
pemikiran Islam yang membentuk kesatuan struktural. Hal ini terlihat pada
posisi pribumisasi Islam sebagai “basis struktur” yang menopang etika sosial
Islam yang berperan sebagai “struktur” dan dinaungi oleh “supra-struktur”
negara kesejahteraan Islam. Poros dari kesatuan struktural ini adalah struktur
sosial berkeadilan, yang ditopang oleh budaya Islam dan dinaungi oleh politik
Islam.
Dengan demikian, perjuangan Gus Dur adalah
perjuangan kemanusiaan yang dipraksiskan ke dalam penegakan keadilan dalam
bentuk demokratisasi, keadilan sosial dan persamaan hukum. Oleh karena itu, sebutan
Gus Dur sebagai “bapak pluralisme” yang disematkan oleh Presiden SBY pasca
wafat beliau, perlu ditinjau ulang. Mengapa? Karena sebutan itu telah
menyempitkan perjuangan Gus Dur hanya di dalam pluralisme agama. Padahal
pluralisme agama hanya salah satu “program” di dalam “bidang” persamaan hukum.
Selainnya, Gus Dur masih memiliki “dua bidang” lain, yakni demokrasi dan
keadilan sosial yang merujuk pada Weltanschauung Islam di atas.
Pemahaman Gus Dur “bapak pluralisme”pun
bersifat sempit. Sebab pluralisme agama Gus Dur sebenarnya berada di tiga
ranah. Pertama, pembelaan atas minoritas sebagai wujud dari pembelaan atas kaum
lemah (humanisme). Kedua, penegakan konstitusi yang menghargai kemajemukan
(persamaan hukum). Ketiga, perawatan pluralitas demi penjagaan “tubuh bangsa”,
sebab kebangsaan Indonesia dirajut oleh kemajemukan agama. Oleh karena itu,
pluralisme Gus Dur tidak terbatas pada interfaith dialogue dalam rangka
kebebasan beragama. Melainkan pembelaan minoritas demi perlindungan hak dasar
manusia (hifdz al-din) dalam kerangka kebangsaan, demokrasi dan keadilan. Gus
Dur atas perjuangan ini tidak sebatas “bapak pluralisme”, melainkan “bapak
kemanusiaan”.(FM)
* Penulis buku Gus Dur dan Ilmu Sosial
Transformatif, Sebuah Biografi Intelektual (Koekoesan, 2009), Koordinator Kelas
Pemikiran Gus Dur, Jaringan Gusdurian
Alhamulillaah
BalasHapusAlhamdulillaah
BalasHapusAssalaamu alaikum warohmatullaahi wabarokaatuh
BalasHapus