Moh. Mahfud MD |
Oleh: Moh Mahfud MD
MASIH sangat pagi ketika Senin 9 Februari 2015
saya mendapat pesan pendek (SMS) dari pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng,
Jombang, KH Salahudddin Wahid alis Gus Sholah. Gus Sholah menanyakan apa benar
saya baru melakukan pengobatan atau terapi stem cell di Rumah Sakit dr Soetomo
Surabaya. Rupanya, Gus Solah mendapat cerita dari istrinya, Bu Nyai Farida,
bahwa saya mengambil terapi itu. Sehabis menguji calon doktor di Undip pada
Kamis 4 Pebruari lalu, saya memang bertemu dengan Bu Farida di lounge Garuda
Bandara A. Yani Semarang. Saya bercerita bahwa saya akan ke Surabaya untuk
pengobatan stem cell di RS dr Soetomo.
Melalui jawab-jinawab dengan SMS saya ceritakan
kepada Gus Solah bahwa benar saya baru saja melakukan terapi stem cell. Yakni,
semacam peremajaan organ-organ tubuh bagian dalam melalui sel punca dari tubuh
sendiri. Caranya? Bagian luar perut saya dioperasi kecil untuk diambil
dagingnya sebesar biji jagung, kemudian daging itu dikembangbiakkan selnya di
inkubator selama dua minggu, setelah itu disuntikkan ke tubuh melalui dua
tahap. Mula-mula disuntikkan melalui infus biasa dari punggung telapak tangan
dan dua minggu kermudian dimasukkan melalui kateter di pangkal paha. Selesai.
Hasilnya? Minimal sampai sekarang lumayan
bagus. Misalnya, kadar gula darah tidak lagi fluktuatif dan selalu dalam
rentang normal. Teman-teman pun mengatakan bahwa saya tampak lebih segar dan
energik. ’’Sakit atau tidak saat antum dioperasi untuk diambil daging di
perut?’’ tanya Gus Sholah melalui SMS lanjutan. Saya tertawa mendapat
pertanyaan itu. Rupanya, tanpa sadar, Gus Sholah masih membayangkan bahwa
operasi itu sakit dan menakutkan seperti tiga atau empat dekade yang lalu.
Saya teringat ketika, pada 1964, saya disunat
(dikhitan) di rumah sakit umum Pamekasan. Wow, sakitnya bukan main. Sakitnya
persis yang digambarkan Anrdrea Hirata dalam novel tetraloginya Laskar Pelangi.
Saat ujung daging ’’anu’’ dipotong juru supit, memang sakitnya bisa ditahan
karena dibius secara lokal. Tetapi, sekitar satu jam sesudah itu sakitnya luar
biasa dan saya menangis terus-menerus di mobil angkutan umum yang sesak dan
apek dari kota Pamekasan ke Kecamatan Waru, tempat tinggal keluarga kami.
Rasa sakit itu masih terasa sampai besoknya dan
baru hilang setelah kira-kira satu minggu. Pada 1960-an itu, jangankan
dioperasi, mau disuntik biasa di lengan atau di pinggang saja sudah takut.
Sebab, biasanya di bekas suntikan menjadi bengkak dan ngilu sampai beberapa
hari. Itulah sebabnya, orang-orang pada zaman itu kalau akan disuntik seperti
akan disembelih saja, kadang harus dipegangi oleh beberapa orang. Karena trauma
suntikan, paman saya Abdul Hamid, kalau sakit, lari saat diberi tahu akan
disuntik. Saking takutnya, dia bisa langsung sembuh sendiri kalau dibilang akan
disuntik.
’’Tidak sakit, Gus. Tak terasa apa-apa,’’ tulis
saya kepada Gus Sholah.
Sekarang ini sudah serbacanggih. Kita hanya
disuruh tiduran, kemudian dibius lokal dengan menggunakan obat semprot atau
obat gosok. Setelah itu, operasi dilakukan dan kita hanya merasa
disentuh-sentuh dengan ringan, tahu-tahu sudah selesai. Begitu juga, saat
diinjeksi melalui kateter, tidak terasa sakit sama sekali. Yang lebih asyik
lagi, dokter-dokter itu melakukan operasi seperti mengerjakan hal-hal biasa
saja. Mereka melakukan operasi dan terapi layaknya orang kantoran membaca atau
menulis di meja kerja. Santai dan tidak menegangkan sama sekali.
Dokter Purwati, dokter Sonny, dokter Hartono
yang menangani saya adalah dokter-dokter yang relatif muda, professional, dan
penuh empati. Mereka juga adalah dosen di Fakultas Kedokteran Unair. Saat
mengoperasi dan memasukkan sel ke tubuh dengan menggunakan kateter,
dokter-dokter tesebut berbicara biasa seperti sedang duduk-duduk di ruang tamu,
kadang bergurau satu sama lain. Saya pun diajak berbicara banyak hal, tentang
kesibukan, tentang Madura sebagai kampung halaman, tentang gosip artis, tentang
kuliner, dan lain-lain. Tahu-tahu, ’’Selesai, Prof. Tiduran saja dulu selama
empat jam, setelah itu boleh pulang,’’ kata dokter Purwati.
Ilmu kedokteran dan berbagai teknologinya
sekarang ini maju pesat. Dokter-dokter kita pun sudah mampu menguasai dan
menerapkan itu dengan baik. Saya sudah pernah mengunjungi beberapa rumah sakit
yang, konon, maju seperti klinik dr Block di Linggeris Jerman, RS Mahkota di
Malaka, dan Mount Elizabeth di Singapura. Dari sudut keahlian dan
profesionalitas, dokter-dokter kita tidak kalah sama sekali dari dokter-dokter
mereka. Malah, Indonesia punya kelebihan karena dokter-dokternya penuh empati
dan melayani kita dengan budaya Indonesia yang hangat dan bersahabat.
Di RSPAD Jakarta, misalnya, saya kenal seorang
dokter muda yang ahli di bidang radiologi intervensi. Yakni, dokter Terawan
yang bisa menangani penangkalan dan pengobatanstroke dengan sangat baik. Saat
melakukan operasi, dokter Terawan biasanya sambil bersenandung mengikuti
lagu-lagu klasik yang, tampaknya, sengaja disetel untuk menghilangkan
ketegangan pasien. Dokter itu mengoperasi sambil mengajak pasien ngobrol-ngobrol
ringan dan tahu-tahu, ’’Izin, sudah selesai, nDan,’’ katanya.
Jadi, buat apa bergenit-genit berobat ke luar
negeri yang jauh dan mahal? Ilmu kedokteran dan teknologinya sudah dikuasai
oleh dokter-dokter kita sendiri. Pemerintah tinggal mempermudah pengadaan
perangkat teknologinya. ’’Tak sakit, kok, Gus. Gus Sholah ke sana saja.
Dokter-dokter kita sudah oke.’’ [FM]
Sumber : JAWA POS, 13 Februari 2015
Moh
Mahfud MD ; Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
Komentar
Posting Komentar