Bendera Negara Mesir |
Oleh: Zuhairi Misrawi
Sejak maraknya gerakan ekstremis di Timur
Tengah dan kawasan Arab pada umumnya pasca revolusi, khususnya fenomena Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS), Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi
menyampaikan perlunya proposal pembaruan pemikiran keagamaan (tajdid al-khithab
al-dini).
Al-Azhar dan Kementerian Wakaf mendapatkan
mandat untuk melaksanakan proposal itu. Mesir mengambil langkah yang tidak
biasa di saat negara-negara Barat dan koalisinya di Timur Tengah menggencarkan
pendekatan militer untuk menumpas NIIS. Mesir justru mengambil langkah penting
untuk mencegah penetrasi ideologi NIIS yang semakin kuat, khususnya di kawasan
Sinai dan beberapa pelosok yang jauh dari perkotaan.
Perlawanan melawan kelompok ekstremis pasti
akan sangat panjang dan melelahkan, karena itu dibutuhkan strategi yang tepat
agar tidak menimbulkan dampak yang justru menimbulkan simpati warga sehingga
mereka justru berbalik mendukung NIIS. Ironis, di tengah perang global melawan
NIIS, justru kaum muda terdeteksi mempunyai minat untuk bergabung dengan
kelompok terlarang tersebut. Penetrasi NIIS melalui media sosial dan internet
telah memukau kaum muda. Belakangan, kaum muda dari Inggris, Perancis, dan
Australia memilih bergabung dengan NIIS.
Karena itu, langkah yang diambil Mesir untuk
menggemakan pembaruan pemikiran keagamaan merupakan langkah antisipatif yang
sangat tepat. Bahkan, Abdul Mukthi Hijazi dalam tulisannya di Al-Ahram (25/2)
menyebut langkah itu sebagai "revolusi" atas maraknya pemikiran dan
gerakan ekstremis di Timteng pasca revolusi.
Pertarungan antara pembaruan dan ekstremisme
akan meneguhkan eksistensi Mesir. Apakah pembaruan pemikiran keagamaan akan
direspons positif oleh publik atau sebaliknya pemikiran ekstremis ala NIIS yang
akan memenangi pertarungan? Sejarah yang akan mencatat dan membuktikannya.
Fakta yang tak bisa diabaikan oleh dunia Arab
pasca revolusi, bahwa Al Qaeda dan jaringannya semakin kuat daripada era
sebelumnya. Hal itu bukan hal yang spontan terjadi, melainkan agenda dan
strategi yang disusun rapi oleh Al Qaeda.
Menurut Abdel Bari Arwan dalam After bin Laden:
Al Qaeda, The Next Generation, Ayman al-Zawahiri sudah memproyeksikan jauh-jauh
hari bahwa Al Qaeda tak hanya melakukan perlawanan terhadap Barat, tetapi juga
memperkuat basisnya di Timteng akibat badai revolusi yang mampu menjatuhkan
rezim otoriter dan memperkuat posisi tawar kaum Islamis dalam panggung politik.
Instabilitas politik merupakan momentum tepat untuk menguatkan jaringan dan
basis utama. Fenomena NIIS kian mengukuhkan bahwa capaian Abu Bakar al-Baghdadi
dan jaringannya telah mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan politik
menakutkan. Mesir, Jordania, Turki, Lebanon, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dan Uni
Emirat Arab kian ketakutan dengan proliferasi NIIS di Timteng, khususnya Suriah
dan Irak.
Pembaruan versus ekstremisme
Di Mesir, dialektika antara pembaruan dan
ekstremisme mempunyai sejarah yang cukup lama. Di akhir abad ke-19, Muhammad
Abduh telah menabuh genderang pembaruan pemikiran keagamaan dengan menegaskan
pentingnya rasionalitas dan dialog antar-agama. Abduh memandang cara untuk
melawan kolonialisme dengan melakukan pembaruan dan mengembangkan pendidikan.
Mesir, menurut Abduh, perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan
mencerahkan pemikiran keagamaan dalam rangka membangun harmoni, menjaga
pluralitas, dan mendorong dialog konstruktif.
Salah satu pemikiran Abduh yang sangat populer
adalah perlunya memahami Islam sebagai agama dan peradaban (al-din wa
al-madaniyyah). Sebagai agama, Islam adalah agama yang diyakini sebagai agama
yang paling benar oleh para penganutnya. Namun, sebagai peradaban, Islam tak
bisa terpisah dengan peradaban agama-agama yang lain. Islam harus terbuka dan
membangun jembatan dengan peradaban lain.
Islam sebagai peradaban inilah yang kemudian
melahirkan sebuah diktum yang sangat populer, "saya menemukan 'Islam' di
Barat tanpa kaum Muslim, sebaliknya saya menemukan Muslim di Mesir tanpa
'Islam'." Abduh hendak mengacu pada nilai-nilai universal Islam yang jauh
lebih membumi di Barat dibandingkan di dunia Islam, khususnya di Mesir.
Warisan Abduh terus diabadikan di Mesir,
khususnya di Al-Azhar sebagai pusat pemikiran keislaman. Filsafat diajarkan di
Al-Azhar, bahkan Grand Syaikh Al-Azhar yang sekarang, Syaikh Ahmad Thayyib,
adalah jebolan jurusan filsafat dan mendapatkan gelar doktor dalam bidang
filsafat Islam dari Universitas Sorbonne, Paris.
Meskipun demikian, pembaruan tidak berjalan
mulus. Pada tahun 1928 muncul gerakan Ikhwanul Muslimin yang diinisiasi oleh
Hasan al-Banna. Gerakan ini sebagai antitesis atas gerakan kultural Abduh.
Al-Banna menegaskan mengenai perlunya gerakan politik yang meneguhkan kembali
Khilafah Islamiyah dan formalisasi syariat Islam. Meskipun mereka menggunakan
instrumen gerakan kultural, sejak awal Al-Banna telah meneguhkan ideologi
Khilafah Islamiyah.
Puncaknya, Sayyed Quthb pada tahun 1950-an dan
1960-an meneguhkan perlunya menggunakan jalan apa pun untuk mencapai tujuan,
termasuk menggunakan kekerasan. Bukunya, Ma'alim fi al-Thariq, menjadi
peneguhan bahwa di dunia hanya ada dua golongan: Islam dan jahiliyah. Islam
harus memerangi jahiliyah. Meski sebelumnya sudah ditengarai ada beberapa aksi
kekerasan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin, sejak masa Sayyed Quthb jalur
kekerasan semakin menguat. Selain dimotori oleh ideologi yang kokoh, hal
tersebut juga tak terlepas dari konteks sosial-politik yang sangat represif
terhadap Ikhwanul Muslimin, khususnya pada masa Gamal Abdul Nasser yang sangat
menentang Khilafah Islamiyah.
Al-Azhar
Kini, gerakan pembaruan dan kelompok ekstremis
sama-sama eksis di Mesir. Keduanya masih berkontestasi di ruang publik.
Al-Azhar sebagai corong moderasi Islam konsisten pada jalur pendidikan dan
pemberdayaan umat. Hampir semua lembaga pendidikan Islam di bawah kendali
Al-Azhar. Sedangkan Ikhwanul Muslimin semakin mengukuhkan sebagai gerakan
politik, terutama pasca revolusi dan berhasil menjadikan kadernya, Muhammad
Mursi, berkuasa, meskipun belakangan dilengserkan oleh militer atas mandat
rakyat.
Al-Azhar menjadi faktor penting moderasi dan
pembaruan pemikiran keagamaan di Mesir dan dunia Islam pada umumnya. Didirikan
oleh Dinasti Fatimiyyah yang beraliran Syiah, Al-Azhar konsisten membangun
harmoni dan keseimbangan. Bahkan, Al-Azhar bersama lembaga titik-temu
Sunni-Syiah yang berpusat di Iran telah lama mendorong dialog dan persuasi
antara Sunni dan Syiah, yang diprakarsai Syaikh Mahmud Syaltut. Dalam sebuah
fatwanya yang sangat populer, Syaikh Syaltut menegaskan, Syiah adalah salah
satu mazhab dalam Islam, dan fikih mazhab Ja'fariyah dan Zaydiyah digunakan
oleh Syiah sebagai salah satu mazhab yang diakui dalam Islam. Di Al-Azhar
sendiri diajarkan enam mazhab fikih, yaitu Syafii, Maliki, Hanafi, Hambali,
Ja'fari, dan Zaydi.
Tak hanya itu, Al-Azhar mendorong dialog
antar-iman dengan berbagai agama yang eksis di Mesir, seperti Kristen Koptik,
Katolik, Kristen, Yahudi, dan Bahai. Bahkan, Al-Azhar mendirikan "Rumah
Keluarga" (bayt al-'ailah) sebagai tuan rumah bagi agama-agama agar
senantiasa menjaga keharmonisan dan kerukunan. Kini, Al-Azhar sedang melakukan
pemberdayaan dan pencerahan kepada seluruh khatib Jumat di seantero Mesir agar
mereka mendakwahkan Islam yang damai, ramah, dan sejuk. Tantangannya sekarang
terletak pada masjid-masjid yang masih dikuasai Ikhwanul Muslimin dan kaum
Salafi yang cenderung menolak seruan Al-Azhar.
Langkah Pemerintah Mesir mendorong pembaruan
pemikiran keagamaan patut diapresiasi dan mendapat perhatian karena langkah ini
medium deradikalisasi yang sangat efektif untuk memastikan bahwa moderasi Islam
terus membumi dan mewarnai ruang publik. Hanya dengan cara itu, penetrasi NIIS
dapat diantisipasi agar tak meluas. [FM]
Sumber : KOMPAS, 04 Maret 2015
Zuhairi Misrawi, Analis Pemikiran dan Politik
Timur Tengah The Middle East Institute
Komentar
Posting Komentar