KH. MA. Sahal Mahfudh |
Oleh: KH. MA. Sahal Mahfudh
Suatu ketika secara kebetulan saya mendengar percakapan beberapa santri di pesantren desa saya. Percakapan antar santri itu mirip halaqah dalam bentuk sederhana. Seperti tidak mau ketinggalan dengan tren yang hinggap pada lembaga-lembaga pendidikan di kota, santri-santri itu beri'tikad—kalau tidak bisa dikatakan mengkhayal—membuat fonum kajian ilmiah sebagai al-maqshuudul a'dhom (tujuan utama). Mereka merasakan, pelajaran yang selama ini didapat dari pesantren kurang begitu populer. Dengan usaha membentuk forum kajian ilmiah, maksud mempopulerkan materi pengajian pesantren akan lebih mudah terpenuhi. Apa lagi ketika "ilmu-ilmu pondakan' itu dihadapkan kepada realitas sosial. Terlihatlah suatu kenyataan ,vang memprihatinkan. Banyak masalah yang belum terjawab oleh kekayaan khazanah ilmu (bukan keilmuan) pesantren itu sendiri.
Percakapan yang tidak resmi itu menyinggung
beberapa hal yang selama ini menjadi isu sentral bagi sebagian organisasi
keagamnan di negeri ini. Begitu kritisnya pembicaraan itu, sehingga
sistem-sistem pengajaran pesantren mereka pertanyakan substansi dan esensinya.
Demikian komprehensipnya, sehingga banyak hal yang tercakup dalam pembicaraan
tersebut. Lebih jauh lagi kemudian mereka berbicara mengenai upaya sosialisasi
fiqih dan mengakomodasikannya dengan kehidupan praktis masyarakat awam.
Sebagian dari mereka mengatakan pesantren dalam
upayanya sebagai lembaga tafaqquh fiddin (memperdalam agama), selama ini lebih
getol mempelajari teks-teks ulama salaf dalam masalah-masalah kemasyarakatan
yang luas, dengan konteks sosial pada saat teks-teks tersebut dibukukan.
Pesantren -bahkan kebanyakan umat Islam- cenderung hanya membaca produk-produk
hukum Islam (fiqih) yang telah diolah matang oleh ulama Salaf.
Kerja intelektual pesantren dan kajian
keagamaannya hanya berkisar pada interpretasi tekstual. Sementara dinamika
perkembangan sosial yang berlangsung begitu cepat dan perubahan demi perubahan,
oleh pesantren hanya disikapi dengan cara menarik kesimpulan demi kesimpulan
secara umum dari hukum-hukum yang sudah matang tersebut, untuk kemudian
digunakan menjawab tantangan-tantangan sosial yang kompleks.
Maka ketika masalah-masalah waqi'ah (aktual) di
tengah masyarakat semakin menggejala, membutuhkan penyelesaian dan jawaban
komprehensif sekaligus praktis dan ilmiah, serta sama sekali tidak melulu
berupa teori normatif, pesantren menjadi "kalang kabut". Masih dalam
percapakan itu mereka mengemukakan, masalah-masalah seperti asuransi sama
sekali tidak pernah ada dalam acuan kitab-kitab kuno pesantren (kitab kuning).
Banyak hal yang secara praktis terjadi di dunia modern, belum terkodifikasikan
ke dalam kitab kuning. Sehingga dengan begitu, Islam yang kaffah (universal)
belum sepenuhnya terejawantahkan secara nyata dalam realitas sosial.
Lebih jauh lagi, salah seorang santri dengan
berani mencoba mengoreksi sudut-sudut lain pola pengajaran fiqih pesantren itu
sendiri. Ditemukan suatu hipotesis awal, bahwa pesantren selama ini bermazhab
lewat kajian-kajian qauli (verbal), bukan pengkajian metodologis. Sehingga ia
menganggap wajar, bila kemudian pesantren terperanjat menghadapi
masalah-masalah baru yang belum teratur dalam teks-teks salaf.
Dari sini muncullah ide mereka untuk men-tajdid
"fiqih pesantren". Mereka untuk sementara akur seakur-akurnya, bahwa
untuk mengatasi segala permasalahan di atas hanyalah tepat bila semuanya
dikembalikan langsung (istilah mereka) pada inti ajaran Islam, yaitu al-Qur'an
dan al-Hadits. Sebab, dalih mereka, Islam sebagai suatu tatanan global, tentu
di dalamnya mengandung beberapa paham, sekte ataupun golongan-golongan. Manakala
seseorang hanya berpegang pada satu dari paham-paham itu, maka ia tak akan
dapat meraih Islam secara kaffah (keseluruhan).
Saya tersenyum ketika mendengar mereka menyebut
sebuah hadits yang kurang lebih berarti, "Setiap seratus tahun sekali
Allah SWT akan mengutus seseorang untak melakukan tajdid dalam Islam".
Berangkat dari hadits itu mereka mengkaji
definisi tajdid. Mereka menemukan, bahwa tajdid yang secara harfiah berarti
memperbarui, tidak selalu dapat diterjemahkan atau disinonimkan dengan modernisasi
yang dalam bahasa Arab lazim disebut 'ashraniyah. Begitu juga, tajdid sama
sekali tidak bisa didefinisikan sebagai reformasi (bahasa Arabnya ishlahiyah),
yaitu "pembaharuan" atau "perbaikan" yang sering terlepas
atau sengaja dilepaskan dari kaitannya dengan semangat dan ajaran Islam.
Kajian definitif ini mereka peroleh dari sebuah
rumusan para ulama ternama, berkharisma dan sekaligus punya reputasi yang
mapan. Suatu hal yang kemudian gampang ditebak adalah munculnya sikap-sikap tawadlu'
mereka secara otomatis, setelah melihat dan mengetahui, bahwa definisi tajdid di
atas telah dirumuskan oleh kiai-kiai mereka. Mereka berhenti bercakap-cakap
karena menolak disebut "kualat" terhadap kiainya. Suatu sikap sendika
dhawuh yang alhamdulillah masih begitu melekat di jiwa para santri yang
berpikiran moderat, maju dan modernis itu.
Kembali lagi forum itu menghangat, ketika salah
seorang santri memberanikan diri berargumentasi secara logis dan ilmiah untuk
mempertanyakan kejanggalan yang selama ini terjadi di tubuh mereka, yaitu
tentang kepatuhan "mutlak" seorang santri kepada gurunya. Sikap patuh
demikian menyebabkan seorang murid sama sekali tidak berhak mendiskusikan apa
yang disampaikan oleh guru. Akibat logisnya tentu saja adalah stagnasi proses belajar
mengajar itu sendiri. Hal mana, jelas berlawanan dengan konsep-konsep
pendidikan modern.
Bahkan lebih dari itu, dalam kerangka yang
lebih luas, kepatuhan tersebut -masih menurutnya- dapat mengakibatkan kejumudan
pemikiran fiqih, sehingga dalam ilmu Tarikh Tasyri' dikenal 'ahdu al-jumud wa
al-taqlid (masa stagnasi dan taklid). Kongkritnya, ia bertanya dengan sangat
fantastis, "Kalau tajdid didefinisikan seperti di atas, bagaimana
keberadann kehidupan modern sekarang ini? Tidakkah dengan demikian, tajdid itu
hanya merupakan konsep belaka yang eksistensinya tidak mungkin lagi
terejawantahkan dalam realitas modern? Bagaimana pula akhimya, fiqih menjawab
tantangan zaman!"
Sungguh suatu pertanyaan mendasar, sehingga
memaksa percakapan tersebut dibuka kembali. Dengan lancar kemudian salah
seorang membeberkan hasil-hasil rumusan para ulama yang lain, yang masih
berkisar tentang tajdid itu sendiri. Disebutkan bahwa tajdid dalam segala
aspeknya memang tidak bisa disetarakan dengan modernisme agama lain. Tajdid
muncul dan berangkat dari kesadaran tentang "kemunduran Islam" dan
juga karena proses berjalannya sejarah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dengan
kata lain, ajaran Islam yang murni semakin tersisihkan oleh perkembangan zaman.
Sehingga tajdid berkehendak memurnikan dan menjernihkan serta memperbaharui
pemahaman dan penerapan ajaran serta hukam-hukam Islam yang bersifat relatif (nisbi)
yang menjadi wilayah kajian ijtihad.
Percakapan agaknya menjadi melebar,
membicarakan keberadaan ijtihad itu sendiri. Bermula dari definisi ijtihad yang
berarti kemampuan berpikir secara maksimal untuk meng-istinbath-kan hukum
syar'i yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia secara langsung dari dalil tafshili
(yang terinci) al-Qur'an dan Hadits, si pembuka stagnasi percakapan itu tadi
dengan serta merta menyela pembahasan. Ia agaknya tertarik benar dengan
pernyataan pengambilan hukum langsung dari al-Qur'an dan Hadits. Sepertinya
sejak awal ia memang paling gethol bicara tentang al-Qur'an dan Hadits. Menurut
anggapannya, selama ini ajaran syari'at Islam telah terkotori oleh modernisasi.
Jalan satu-satunya tentu kennbali dengan utuh terhadap kedua inti ajaran Islam.
Sampai di sini, teman-temannya saling
mengernyitkan dahi. Semuanya yakin bahwa ia -pembuka stagnasi itu- tentu tahu
dan paham benar, bahwa al-Qur'an dan Hadits adalah tata aturan yang sangat
global. Untuk mendalaminya dibutuhkan banyak ilmu dan kecakapan pemikiran yang
tinggi. Semua temannya sadar bila ia jelas mengerti, bahwa syarat-syarat
berijtihad sedemikian banyak dan rumit. Dalam rumusan beberapa ulama
ditegaskan, pada zaman ini tidak dimungkinkan lagi adanya ijtihad fardi (ijtihad
individual) seperti yang dilakukan imam mazhab empat. Akan tetapi ijtihad tetap
bisa dilakukan sebatas ijtihad jama'i (ijtihad kolektif), suatu ijtihad yang
melibatkan beberapa ulama berdisiplin ilmu tertentu yang saling berbeda untuk
kemudian menetapkan ijtihad dalam satu atau beberapa perkara.
Alhasil, santri-santri itu menyadari sepenuhnya
akan keterbatasan yang mereka miliki. Mereka ingat, ulama sekaliber Abu Zakaria
al-Anshori pun dalam kebanyakan kitabnya selalu mempergunakan pendapat Imam
Rofi'i dan Imam Nawawi. Sedangkan kedua imam itu ternyata hanya memiliki
tingkatan terendah dalam strata mujtahid. Maka, mungkinkah ijtihad atau juga tajdid
itu mereka lakukan? Mampukah mereka kembali seutuh-utuhnya kepada al-Qur'an dan
Hadits yang ijmal (global) itu. [FM]
Tulisan ini pernah dimuat Suara Merdeka, Jumat
21 Februari 1992. Juga bisa ditemukan di buku KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih
Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS), dengan judul yang sudah diubah, “Gejolak
Ijtihad Santri”.
Komentar
Posting Komentar