Oleh: Hamid Awaluddin
Perang selama 30 tahun (1618-1648) antara kaum
Protestan dan kaum Katolik Roma berakhir di meja perundingan.
Sekilas, perang ini adalah perang keyakinan.
Namun, sesungguhnya perang di Eropa tersebut adalah perang tentang perebutan
pengaruh dan kekuasaan. Lantaran itulah, perang ini melibatkan banyak negara.
Sebutlah Swedia, Belanda, Jerman, Denmark, dan Italia.
Perang yang menelan banyak korban tersebut
diakhiri dengan perundingan damai di kota Osnabruck dan Munster di Provinsi
Westphalia, Jerman. Perundingan dan diplomasi yang melahirkan perjanjian damai
ini dikenal hingga kini dengan nama Perjanjian Westphalia.
Salah satu isi perjanjian Westphalia, yang jadi
tonggak sejarah dan praktik hubungan dan hukum internasional, ialah adanya
pengakuan kedaulatan negara tanpa campur tangan negara lain. Ini yang kita
sebut sovereignty of state. Konsep kedaulatan negara inilah yang mengubah
konstelasi politik global dan meneguhkan prinsip kesederajatan bangsa-bangsa
yang ada di dunia ini.
Kedaulatan negara memiliki dua unsur utama: (1)
pemegang kedaulatan (negara) secara mutlak memiliki otoritas dan (2) kedaulatan
negara ditandai dengan adanya teritori, di mana otoritas mutlak itu dijalankan
secara penuh. Kedua unsur ini acapkali dipostulatkan secara hukum dengan
istilah supreme authority within a territory. Bagi filosof RP Wolff, otoritas
adalah ”The right to command and correlatively the right to be obeyed.”
Masalah kedaulatan negara ini telah menyita
perhatian Thomas Hobbes dan Jean Bodin. Mereka malah dengan tegas mengatakan,
kedaulatan negara adalah absolut. Mereka berprinsip bahwa kedaulatan negara
”Extending all matters within the territory, unconditionally.”
Jabaran dari perjanjian damai Westphalia
mengenai kedaulatan negara ini diabadikan dalam Piagam PBB, khususnya dalam
Pasal 2 (4), yang jelas menegaskan, semua anggota PBB (negara) dalam hubungan
internasional mereka menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan
kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain atau
dengan cara apa pun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB.
Kedaulatan suatu negara terkandung di dalamnya
adalah otoritas penuh menjalankan hukum yang dibuat oleh negara tersebut.
Membuat dan menjalankan hukum dalam wilayah dan teritori negara adalah
kebebasan mutlak negara tersebut dan tidak boleh dicampuri negara lain.
Kehormatan bangsa
Soal kedaulatan negara ini kembali mengemuka di
republik kita sekarang ini karena dua negara anggota PBB, Brasil dan Australia,
meradang karena warga negara mereka dihukum mati di Indonesia. Protes mereka sudah
melampaui tata krama hubungan internasional yang selalu mengutamakan cara-cara
damai dan bersahabat.
Tindakan Pemerintah Brasil pada 20 Januari lalu
yang menolak Duta Besar RI untuk menyerahkan surat kepercayaan Pemerintah
Indonesia yang sudah hadir bersama sejumlah duta besar lainnya adalah
penamparan atas kedaulatan negara. Penyerahan surat kepercayaan seorang duta
besar kepada pemerintah tempat ia ditugasi adalah bagian terpenting atas
pengakuan negara yang diwakilinya, bukan hanya di negara ia bertugas, melainkan
juga dalam pergaulan internasional.
Seorang duta besar tidak bisa secara leluasa
menjalankan tugas-tugas diplomatnya sebelum ia menyerahkan surat kepercayaan
kepada pemerintah yang ditempatinya. Semua ini sudah diatur dalam Konvensi
Vienna tentang Hubungan Diplomatik, di mana Brasil adalah penanda tangan
konvensi tersebut.
Seorang duta besar yang dikirim oleh negaranya
ke satu negara, secara de jure dan de facto, mewakili totalitas negaranya.
Karena itu, sebutan duta besar selalu berbunyi, ”Duta Besar Luar Biasa dan
Berkuasa Penuh”. Itu pula sebabnya semua surat kepercayaan yang dibawa oleh
duta besar ke tempat ia bertugas pasti selalu berbunyi, ”Dengan ini kami
mengirim putra-putri terbaik dan terhormat kami”.
Maka, penolakan Pemerintah Brasil atas Dubes RI
untuk menyerahkan surat kepercayaan adalah penolakan Brasil terhadap kehormatan
Indonesia. Jelas, penolakan tersebut berkaitan langsung dengan penegakan hukum
Indonesia atas warganya, yang sekaligus berarti bahwa Brasil tidak menghargai prinsip-prinsip
kedaulatan negara lain.
Sikap Australia
Hal yang sama juga terjadi buat Australia, yang
memang dari masa ke masa selalu menunjukkan gelagat kurang bersahabat dengan
Indonesia. Lebih ironis lagi, protes Australia atas Indonesia yang berdaulat
untuk menjalankan hukumnya itu diekspresikan dengan cara mengungkit bantuan
Australia terhadap korban tsunami di Aceh 10 tahun silam.
Seiring sejalan dengan ini, kita perlu memahami
bahwa bantuan dunia terhadap korban tsunami tersebut adalah bantuan kesemestaan.
Negara-negara lain, tanpa diminta, datang berduyun-duyun mengulurkan tangan
dengan motif tunggal: demi kemanusiaan! Ketika itu, saya selaku Menteri Hukum
dan HAM yang bertanggung jawab mengenai keimigrasian membuka selebar mungkin
pintu Indonesia bagi siapa pun yang datang dengan misi kemanusiaan. Tak perlu
mereka menggunakan visa. Banyak negara telah menunjukkan komitmen
kemanusiannya, tanpa dasar perhitungan untung-rugi.
Nah, sekarang Australia telah menunjukkan bahwa
apa pun yang dilakukannya ternyata selalu dimotivasi oleh kalkulasi
untung-rugi. Artinya, motif kemanusiaan yang semestinya melebur sekat-sekat
motif politik, sosial, dan ekonomi, tidak berlaku bagi Australia.
Untung Wakil Presiden RI M Jusuf Kalla
menunjukkan kedaulatan negeri ini dengan cara ingin mengembalikan seluruh
bantuan Australia tersebut. Pada masa silam, Bung Karno pernah berteriak, ”Go
to hell with your aid.” Mungkin sekarang ini, demi tegaknya harga diri bangsa
ini, ada pemimpin kita yang berkata ke Australia: ”Get lost and get your aid
back.”
Australia perlu memahami betul bagaimana
Indonesia membantunya tanpa batas waktu. Jika bukan Indonesia, Australia sudah
lama disesaki oleh imigran gelap, khususnya yang berasal dari Asia Selatan dan
sejumlah negara di kawasan Asia. Indonesia berperan vital mencegah
imigran-imigran gelap tersebut melalui operasi penangkapan dan penangkalan. Ke
Australia, ada baiknya bangsa ini berkata, ”Get this?”
Beberapa tahun silam, tatkala keluar dari
penjara yang mengurung badannya selama 28 tahun, Nelson Mandela mengatakan
bahwa manusia yang bermartabat adalah manusia yang memiliki kedaulatan dan
kedaulatan itu adalah kebebasan dan ”Freedom is to master my way and to be
captain of myself.” Indonesia adalah negara yang berdaulat karena itu Indonesia
adalah master untuk jalannya dan kapten bagi dirinya sendiri. Bukan negara
lain. [FM]
Sumber : KOMPAS, 26 Februari 2015
Hamid Awaluddin, Mantan Duta Besar RI di Rusia
dan Belarus
Komentar
Posting Komentar