Langsung ke konten utama

Kiai Sahal dan Upaya Pembaharuan Nalar Fikih Indonesia

KH. MA. Sahal Mahfudh

Oleh: Muhammad Amrullah

"Karena produk ijtihad maka keputusan fikih bukan barang sakral yang tidalk boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang. Pemahaman yang mengsyakralkanfikih jelas keliru… Rumusan Fikih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini.Situasi sosial, politik dan kebudayaanya sudah berbeda." (KH. Sahal Mahfudh)

Kiai Sahal, ulama dan intektual Islam langka yang karismatik, bersahaja, dantawadu’. Intelektualitasnya bukan hanya diakui di Indonesia saja, namun juga di Timur Tengah. Buku-bukunya bukan hanya dikaji di Indonesia saja, namun juga di Timur Tengah.

Kiai Sahal telah mendahului kita, namun selayaknya ulama besar Islam lainnya, beliau akan selalu hidup, diingat, dikenang bahkan dipikirkan dan disebutkan berulang melalui pemikiran-pemikirannya, karya-karyanya yang akan terus dikaji-kembangkan oleh para penerus beliau. Catatan sederhana ini adalah diantara upaya untuk sedikit mengkaji pemikiran beliau yang luas itu, khususnya dalam bidang nalar hukum Islam (fikih) Indonesia.

Nama lengkap beliau adalah Muhammad Achmad Sahal bin Mahfudz. Lahir di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, pada 17 Desember 1937. Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda ini adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari tahun 2000 hingga beliau meninggal. Dalam Muktamar NU di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (27/3/2010), untuk ketiga kalinya beliau kembali didaulat menjadi Rais Am PBNU masa bakti 2010-2015.

Kiai yang juga santri dari Syekh Yasin Al Fadani ini tergolong produktif. Banyak karya tulis beliau yang sampai saat ini masih terus dikaji, baik dalam Dunia Pesantren maupun Akademis. Menurut beberapa sumber juga dikaji di Timur Tengah, seperti di Universitas Qur’anul Karim, Sudan. Karya-karya beliau diantaranya adalah:

1. Tharîqah al Hushûl ‘ala Ghâyah al Wushûl (Surabaya: Diantama, 2000); 2. Al Bayân al-Mulamma’‘an Alfaz al Luma’ (Semarang: Thoha Putra, 1999); 3. Telaah Fikih Sosial, Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh (Semarang: Suara Merdeka, 1997); 4. Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LkiS, 1994) ; 5. Pesantren Mencari Makna (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999); 6. Ensiklopedi Ijma’ (terjemah bersama KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausû'ah al-Ijmâ’(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987); 7. Faidhu al-Hijâ ‘ala Nail al-Rajâ (1962); 8.Al Tsamarah al Hajainiyah, (Nurussalam, 1966); 9.Intifâkh al-Wadajain ‘inda Munâdhârâh Ulamâ al-Hajain (1959); 10.Luma’ al-Hikmah ila Musalsalat al-Muhimmât (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati); 11. Al-Faraid al-Ajibah, (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati, 1959) ;12. Penulis kolom “Dialog dengan Kiai Sahal” di harian Duta Masyarakat; 13. Dan masih banyak karya-karya beliau yang lain, baik risalah ataupun makalah, yang sekiranya tak perlu penulis sebutkan di sini semuanya.

Nalar Fikih Kiai Sahal

Secara sederhana, jika mengacu tipologisasi bahwa dalam pemikiran hukum Islam (fikih) ada dua kecenderungan besar: “adaptabilitas hukum Islam” dan “normativitas hukum Islam” maka, pemikiran fikih Kiai Sahal termasuk tipe pertama, “adaptabiltas hukum Islam”.Yakni, kecenderungan yang berpandangan bahwa fikih harus dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan perubahan tempat, fikih harus senantiasa berubah manakala situasi dan kondisinya berubah. Sementara kecenderungan kedua adalah sebaliknya.

Mengacu tipologisasi lain yang lebih rinci, diantaranya tipologi yang dibangun Al-Qaradhawi dalam bukunya Dirâsah fî Fikih Maqâshid Syari’ah, bahwa dalam pemikiran fikih kontemporer ini ada tiga madrasah pemikiran: pertama, literalis-tekstualis (al-harfiyyûn) yang memahami teks-teks keagamaan secara literal-tekstual, tanpa mempertimbangkan makna atau tujuan dibalik teks. Madrasah ini disebut oleh Al-Qaradhawi sebagai al-Dhâhiriyyah al-Judud (neo-literalis) yang mewarisi Dhâhiriyah klasik dalam kejumudan dan pemahaman literal-tekstual terhadap teks, bukan dalam keluasan ilmuanya.

Kedua, adalah kebalikan dari madrasah pertama.Ketika madrasah pertama cenderung literalistik-tekstualistik maka, madrasah kedua ini justru terlalu kontekstual, mengesampingkan teks, mendewakan makna di balik teks, berpandangan bahwa agama adalah substansinya, bukan bentuk lahirnya, tak segan meninggalkan teks-teks yang bersifat qsth’iy (definitif). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa madrasah kedua ini adalah madrasah yang cenderung abai terhadap teks dan mendewakan makna dibalik teks.

Ketiga, adalah madrasah wasathiyyah (moderat) yang menengah-nengahi dua madrasah di atas. Madrasah ini tak memahami teks secara literal-tekstual namun juga tidak mendewakan makna di balik teks sehingga mengesampingkan teks.Akan tetapi, berusaha memberikan kepada keduanya porsinya masing-masing secara seimbang. Nah, kedalam madrasah ketiga inilah pemikiran fikih Kiai Sahal dapat dikelompokkan.

Pemikiran fikih Kiai Sahal termasuk katagori kecenderungan pertama: “adaptabilitas hukum Islam”—dalam tipologisasi pertama—atau termasuk madrasah ketiga (wasathiyah/moderat)—tipologisasi kedua—nampak jelas dari beberapa pandangan beliau, dianataranya beliau mengatakan, "Rumusan fikih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaanya sudah berbeda.Dan hukum sendiri harus berputar sesuai ruang dan waktu…" dan"Karena produk ijtihad maka keputusan fikih bukan barang sakral yang tidalk boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang.Pemahaman yang mengsyakralkan fikih jelas keliru."

Selain itu, juga bisa dilihat melalui beberapa karya beliau. Khususnya “Nuansa Fqih Sosial” yang cukup monumental, dimana buku ini dalam tipologi Mahsun Fuad melalui bukunya yang berjudul Hukum Islam Indonesia, termasuk berkecenderungan “kontekstualisasi-mazhabi responsi-kritis emansipatoris.” Kemudian, melihat dari temanya (fikih sosial) nampak bahwa beliau, bersama para ulama dan intelektual Islam dunia lainnya, sedang berjalan di atas kecenderungan besar kajian fikih kontemporer, yakni kajian dengan metode tematik (maudhû’iy).

Kecenderungan pemikiran beliau yang seperti di atas ini sebenarnya wajar jika melihat bahwa beliau adalah ulama NU-tradisionalis (bahkan Rais Am PBNU sampai wafatnya) yang memang—menurut penulis—“benar-benar” berpegang teguh dengan kaidah dasar NU, yakni: al-muhâfadhah alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bil jadîd al-ashlah. Penulis katakan “yang benar-benar berpegang teguh” karena di selain tangan belaiu kaidah tersebut cenderung hanya digembor-gemborkan sebagai slogan belaka, tanpa diamalkan dengan sesungguhnya dalam realitas nyata kekinian.

***

Masuk lebih dalam ke pemikiran fikih Kiai Sahal, mengembangkan tipologi yang telah dibangun Mahsun Fuad dalam bukunya di atas, bahwa dilihat dari sisi metodologi penemuan dan pengembangan hukum yang digunanan maka, pemikiran fikih Kiai Sahal adalah dengan metode“kontekstualisasi-mazhabi”. Yakni, sebuah upaya membangun “fikih baru” dan mengembangkannya melaui: mengkontekstualkan tradisi fikih klasik (mazhab). Baik dicapai dengan mengkontekstualkan pendapat-pendapat verbal ulama klasik (qauliy) yang masih dianggap relevan, mau pun dengan mengaplikasikan metodologi yang dirumuskan ulama aklasik seperti: ushul fikih dan qawa’id fikihiyah (manhajiy).

Melalui metode “kontekstualisasi-mazhabi qauliy-manhajiy” ini Kiai Sahal ingin memperbaharui (tajdîd) fikih dan mengemasnya menjadi paket “fikih baru” yang sesuai denagn tuntutan ruang dan waktu sehingga layak dikonsumsi. Kecenderungan “kontekstualisasi-mazhabi qauliy-manhajiy” ini bisa dilihat semisal melalui peryataan belau; “Di sinilah perlunya "fikih baru" yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj, yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fikih serta qawa'id (kaidah-kaidah fikih).”

Berbeda dengan metode “kontekstualisasi-mazhabi qauliy-manhajiy” dimana pengembangan fikih cenderung masih banyak berkutat dalam ruang-lingkup khazanah tradisi fikih klasik—dengan metode qauliy dan ­manhajiy-nya--, sebagaimana disebutkan oleh Mahsud Fuad, adalah metode “rekonstruksi-interpretatif” yang dikembangkan oleh Masdar F. Mas’udi (dalam Agama Keadilan), Munawir Sjadzali (dalam Reaktualisasi Ajaran Islam) dan Hazairin (dalam FikihMazhab Nasional). Yakni sebuah metode yang mengupayakan pembangunan “fikih baru” dan mengembangkannya, dimana sudah mulai mengaplikasikan metode-metode alternatif modern, seperti antropologi dll. (Mahsun Fuad: 2005 : 241)

Corak pemikiran fikih Kiai Sahal, selain bisa dilihat dari sisi metodologi penemuan dan pengembangan hukum yang digunakan, juga bisa dilihat dari sisi responsifnya--baik responnya terhadap sosial kemasyarakatan maupun sosial-politik—dan dari sisi implementasinya. Dari kedua sisi responsif dan implementasinya ini, menurut penulis, kecenderungan pemikiran fikih Kiai Sahal sebenarnya tak jauh beda dengan kecenderungan umum pemikiran fikih dalam tubuh Nahdhatul Ulama (NU)--hanya progres dalam berfikirnya yang sedikit membedakan dari yang lain. Kecenderungan tersebut adalah, dari sisi responsifnya, fikih lebih dimaksudkan sebagai medium kritik atas fenomena sosial-kemasyarakatan dan politik. Dari sisi implementasinya, fikih lebih sebagai medium kontrol sosial, bukan untuk diformalkan menjadi hukum positif negara.Yang demikian ini tak lepas dari watak dasar NU yang merupakan organisasi sosial-kemasyarakatan-keagamaan, bukan organisasi politik.

Dari kedua sisi inilah—responsi-kritis dan implementasinya—Mahsud Fuan membahasakan kecenderungan pemikiran fikih Kiai Sahal dengan“responsi-kritis emansipatoris.” Sampai disini, dapat dirumuskan secara sederhana bahwa pemikiran fikih Kiai Sahal, dari sisi metodologi penemuan dan pengembangan hukum yang digunakan, dari sisi respon-kritisnya, dan dari sisi implementasi-emansipatorisnya maka, dapat katakana bahwa pemikiran fikih Kiai Sahal adalah berkecenderungan“kontekstualisasi-mazhabi qauliy-manhajiy, responsi-kritis-emansipatoris.

Kecenderungan ini tak berubah—dalam pengamatan pendek penulis—sampai belaiu meninggal.

***

Selanjutnya, berikut penulis kutipkan pandangan-pandangan beliau terkait nalar fikih yang menurut penulis cukup progresif, moderat, bijaksanana dan menunjukkan kedalaman ilmu beliau. Pandangan-pandangan beliau di bawah nanti akan semakin mendukung tesis-tesis penulis di atas, yang secara umum bisa dikatakan bahwa Kiai Sahal sedang berupaya memperbaharui (tajdîd) pemikiran fikih (Indonesia). Berikut penulis ketipkan:

"Bagaimana pun rumusan fikih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaannya sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar sesuai ruang dan waktu. Jika hanya melulu berlandaskan pada rumusan teks (klasik), bagaimana jika ada masalah hukum yang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fikih?Apakah harus mauquf (tak terjawab)?Padahal memauqufkan hukum, hukumnya tidak boleh bagi ulama (fuqaha). Di sinilah perlunya "fikih baru" yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat.Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj, yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fikih serta qawa'id (kaidah-kaidah fikih).Pemikiran tentang perlunya "fikih baru" ini…karena adanya keterbatasan kitab-kitab fikih klasik dalam menjawab persoalan kontemporer disamping muncul ide kontekstualisasi kitab kuning.” (Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fikih NU, 2002 :xiv-xv)

Pada halaman yang lain beliau mengatakan, "Rumusan ‘fikih baru’ ini kemudian dibahas secara intensif pada Muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta yang kemudian dikukuhkan dalam Munas Alim Ulama di Lampung,1992. Di dalam hasil Munas tersebut di antaranya disebutkan perlunya bermazhab secara manhajiy (metodologis) serta merekomendasikan para Kiai NU yang sudah mempunyai kemampuan intelektual cukup untuk beristinbath langsung dari teks dasar.Jika tidak mampu maka diadakan ijtihad jama'i (ijtihad kolektif).Bentuknya bisa istinbath (menggali dari teks asal/dasar) maupun ilhâq (qiyas). Pengertian istinbath al-Ahkâm di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari aslinya, yaitu al-Qur'an dan Sunnah akan tetapi—sesuai dengan sikap dasar bermazhab—mentadbiqkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya." (Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fikih NU, 2002 : xv-xvi).

Melalui pernyataannya diatas, beliu ingin menyadarkan “kita” bahwa banyak persoalan baru yang hukumnya belum dibahas oleh ulama klasik. Ini sangat logis, sebab kehidupan terus berjalan, sehingga persoalanbaru pun terus bermunculan. Semisal saja hukum handpone (HP) yang di dalamnya terdapat mushhaf al-Qur'an. Penulis masih teringat ketika dalam suatu Bahstul Masail yang penulis ikuti--yang menjadikan permasalahan ini sebagai deskripsi masalahnya—tak ada peserta yang mempu menyodorkan dalil verbal ulama klasik (ibârah, dalam bahas pesantren) yang sharîh (jelas) dari kitab-kitab klasik. Akhirnya, pembahasan pun di-mauquf-kan (diberhentikan).Ini wajar, sebab, pada masa klasik, fenomena al-Qur’an dalam HP belum ada. Dan, persoalan semacam ini sebenarnya hanya bisa diselesaikan secara motodologis.

Oleh sebab itu, menurut beliau, disamping kita bermazhab secara qauliy (tekstual) juga harus bermazab secara manhajiy(metodologis).Namun agaknya, seruan Kiai Sahal agar—NU khususnya—bermazhab metodologis ini belum mendapatkan respon serius. Ini dibuktikan dengan masih minimnya perhatian terhadap kajian-kajian metodologis, khususnya ushul fikih di kalangan NU.Minin sekali kita jumpai forum Bahtsul Masail yang orientasinya adalahmanhajiy.

Dalam halaman yang lain beliu menyatakan, “fikih itu merupakan prodok ijtihad. Karena produk ijtihad maka keputusan fikih bukan barang sakral yang tidak boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang.Pemahaman yang mengsyakralkan fikih jelas keliru.Dimana-mana yang namanya fikih adalah "al-Ilmu bi al-ahkâm al-syar'iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatihâ al-tafshiliyyah". Definisi fikih sebagai al-muktasab (yang digali) menunjukan pada sebuah pemahaman bahwa fikih lahir melalui serangkaian proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis ... Semua itu menunjukan bahwa fikih "produk ijtihadiy". Sebagai produk ijtihad, maka sudah sewajarnya fikih terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio-budaya serta pola pikir yang melatar belakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin mengalami perubahan.Para peletak dasar fikih, yakni imam mazhab (mujtahidîn) dalam melakukan formasi hukum Islam meskipun digali langsung dari teks asal (al-Qur'an dan Hadits) namun selalu tidak lepas dari pertimbangan "konteks likungan keduanya baik asbab al-nuzûl maupun asbab al-wurûd.Namun konteks lingkungan ini kurang berkembang dikalangan NU. (Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fikih NU, 2002 : xx).

Dari pernyataan beliau bahwa “keputusan fikih bukan barang sakral yang tidalk boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang.Pemahaman yang mengsyakralkan fikih jelas keliru” nampaknya beliau ingin mendesakralisasi fikih.Sebab, disamping ‘sakralisme’terhadap fikih berpotensi melahirkan taklid buta dan fanatisme bermazhab yangakan berdapmpak terkikisnya kepekaan kita terhadap perkembangan zaman, juga menjadi salah satu penyebab keengganankita untuk lebih memperhatikan ushul fikih yang notabene lebih penting daripada fikih itu sendiri.

Ketika kita telah terbelenggu keyakinanbahwa produk fikih (klasik) adalah kebenaran mutlak yang telah menyentuh segala persoalan klasik dan modern maka, entah disadari atau tidak, akan mengurangi perhatian kita terhadap usul fikih. Lalu, karena kurang perhatian inilah kemudian ushul fikih bisa stagnan. Dan, jika ushul fikh stagnasi maka, bisa dipastikan fikih tak akan pernah berkembang dan tak akan pernah ditemukan "fikih baru" seperti yang Kiai Sahal harapkan. Sebab, ushul fikih adalah pabrik pemroduksi fikih. Jika pabriknya mandek, tak lagi beroprasi, maka dipastikan disana tidak akan pernah ada produksi. Sehingga yang akan terjadi adalah ‘krisis hukum fikih’. Sementara produk lama telah usang.
Selanjutnya kritik Kiai Sahal atas sempitnya kriteria kitab-kitabmu’tabarah. Beliau mengatakan,"Dalam konteks ini pula maka kriteria mu'tabar yang sudah direduksi menjadi hanya melulu kitab-kitab mazhab empat sebetulnya tidak senafas dengan semangat fikih sebagai produk ijtihad.Mengapa demikian? Sebab kriteria mu'tabar dan ghairu mu'tabar berarti di situ ada pandangan yang mengunggulkan pendapat imam tertentu dan merendahkan pendapat imam lain. Ini sudah menyalahi kaidah "al-ijtihâd yâ yunqadhu bi al-ijtihâd" di atas….Alasan saya, disamping untuk menghindari fanatisme bermazhab, juga kitab-kitab yang ditolak itu tidak semuanya bertentangan dengan sunni. Hanya mungkin pada bagian tertentu saja yang kebetulan berbeda. Hanya gara-gara dalam bab tawasul kitab ini mengecamnya, mengkritik para wali, lantas semua kitab tulisan mereka tidak boleh dipakai. Prinsipnya mana yang "reasonable" dan "applicable" bisa digunakan.” (Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fikih NU, 2002 : xx-xxi)
Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beliau melalaui pemikiran-pemikiran progresifnya tentang “fikih baru” sedang mengupayakan pembaharuan nalar fikih Indonesia, khususnya dikalangan internal NU dan pesantren-pesantrennya.

Itulah sekilas ulasan dari luasnya pemikiran Kiai Sahal yang sebenarnya tak memadahi dikaji dalam 3-4 halaman saja. Sehingga, pereduksian yang tak disengaja sangat mungkin bisa terjadi dalam kajian singkat ini.Membutuhkan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus halaman hanya untuk mengkaji lebih dalam, komprehensif serta objektif pemikiran beliau .Oleh sebab itu, tulisan ini pun dimaksudkan sebatas untuk memberikan sedikit gambaran umum pemikiran beliau dalam bidang fikih saja, meski pun, mungkin, belum mampu memberikan sedikit gambaran umum itu. Pada akhirnya, segala kekurangan dan kekeliruan dalam catatan ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Teruntuk guru kita bersama, Kiai Muhammad Achmad Sahal Mahfudh. Lahul fâtihah… []

Sumber bacaan:Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Mahsun Fuad), Kritik Nalar Fikih ; Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masail (Lakpesdam NU) ; Dirâsah fî Fikih Maqâshid al-Syarî’ah (Yusuf Al-Qaradhawi); Nuansa Fiqih Sosial (KH. Sahal Mahfudh), Situs Resmi MUI dan beberapa sumber media online lainnya.

Muhammad Amrullah, koordinator umum Lembaga Bahtsul Masail dan anggota Lakpesdam NU Mesir

Artikel Terkait

Komentar

Artikel Populer

Prahara Aleppo

French Foreign Minister Bernard Kouchner takes off a Jewish skull-cap, or Kippa, at the end of a visit to the Yad Vashem Holocaust Memorial in Jerusalem, Tuesday, Sept. 11, 2007. Kouchner is on an official visit to Israel and the Palestinian Territories. (AP Photo/Kevin Frayer) Eskalasi konflik di Aleppo beberapa hari terakhir diwarnai propaganda anti-rezim Suriah yang sangat masif, baik oleh media Barat, maupun oleh media-media “jihad” di Indonesia. Dan inilah mengapa kita (orang Indonesia) harus peduli: karena para propagandis Wahabi/takfiri seperti biasa, mengangkat isu “Syiah membantai Sunni” (lalu menyamakan saudara-saudara Syiah dengan PKI, karena itu harus dihancurkan, lalu diakhiri dengan “silahkan kirim sumbangan dana ke no rekening berikut ini”). Perilaku para propagandis perang itu sangat membahayakan kita (mereka berupaya mengimpor konflik Timteng ke Indonesia), dan untuk itulah penting bagi kita untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Suriah. Tulisan i

3 Ulama Paku Banten paling keramat yang masih hidup - Himayah atau Pemimpin Ulama di Tanah Banten

Forum Muslim - Banten merupakan provinsi Seribu Kyai Sejuta Santri. Tak heran jika nama Banten terkenal diseluruh Nusantara bahkan dunia Internasional. Sebab Ulama yang sangat masyhur bernama Syekh Nawawi AlBantani adalah asli kelahiran di Serang - Banten. Provinsi yang dikenal dengan seni debusnya ini disebut sebut memiliki paku atau penjaga yang sangat liar biasa. Berikut akan kami kupas 3 Ulama Paku Banten paling keramat yang masih hidup. 1. Abuya Syar'i Ciomas Banten Selain sebagai kyai terpandang, masyarakat ciomas juga meyakini Abuya Syar'i sebagai himayah atau penopang bumi banten. Ulama yang satu ini sangat jarang dikenali masyarakat Indonesia, bahkan orang banten sendiri masih banyak yang tak mengenalinya. Dikarnakan Beliau memang jarang sekali terlihat publik, kesehariannya hanya berdia di rumah dan menerima tamu yg datang sowan ke rumahnya untuk meminta doa dan barokah dari Beliau. Banyak santri - santrinya yang menyaksikan secara langsung karomah beliau. Beliau jug

Amalan Pada Malam Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha

Nabi Muhammad ﷺ bersabda: عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن رسول ﷺ قال: “من أحيا ليلة الفطر وليلة الأضحى لم يمت قلبه يوم تموت القلوب” رواه الطبراني في الكبير والأوسط. Dari Ubadah Ibn Shomit r.a. Sungguh Rosulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa menghidupkan malam Idul Fitri dan malam Idul Adlha, hatinya tidak akan mati, di hari matinya hati." ( HR.Thobaroni ) عن أبي أمامه رضي الله عنه عن النبي ﷺ قال : “من قام ليلتي العيدين محتسباً لم يمت قلبه يوم تموت القلوب”. وفي رواية “من أحيا” رواه ابن ماجه Dari Abi Umamah r.a, dari Nabi ﷺ, bersabda: Barangsiapa beribadah di dua malam Hari Raya dengan hanya mengharap ALLAH, maka hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati. ( HR. Ibnu Majah ) Bagaimana cara menghidupkan dua Hari Raya itu? Telah disebutkan oleh Syaikh Abdul Hamid Al Qudsi, dengan mengamalkan beberapa amalan: 1. Syaikh Al Hafni berkata: Ukuran minimal menghidupkan malam bisa dengan Sholat Isya’ berjama’ah dan meniatkan diri untuk jama’ah Sholat Shubuh pada besoknya. Atau mempe

ALASAN ALI MENUNDA QISHASH PEMBUNUH UTSMAN

Oleh :  Ahmad Syahrin Thoriq   1. Sebenarnya sebagian besar shahabat yang terlibat konflik dengan Ali khususnya, Zubeir dan Thalhah telah meraih kesepakatan dengannya dan mengetahui bahwa Ali akan menegakkan hukum qishash atas para pemberontak yang telah membunuh Utsman.  Namun akhirnya para shahabat tersebut berselisih pada sikap yang harus diambil selanjutnya. Sebagian besar dari mereka menginginkan agar segera diambil tindakan secepatnya. Sedangkan Ali memilih menunda hingga waktu yang dianggap tepat dan sesuai prosedur. 2. Sebab Ali menunda keputusan untuk menegakkan Qishash adalah karena beberapa pertimbangan, diantaranya : Pertama, para pelaku pembunuh Ustman adalah sekelompok orang dalam jumlah yang besar. Mereka kemudian berlindung di suku masing-masing atau mencari pengaruh agar selamat dari hukuman. Memanggil mereka untuk diadili sangat tidak mungkin. Jalan satu-satunya adalah dengan kekuatan. Dan Ali menilai memerangi mereka dalam kondisi negara sedang tidak stabil sudah pas

Sholawat-Sholawat Pembuka Hijab

Dalam Islam sangat banyak para ulama-ulama sholihin yang bermimpi Rosululloh Shollallohu Alaihi Wasallam dan mendapatkan petunjuk atau isyarat untuk melakukan atau mengucapkan kalimat-kalimat tertentu (seperti dzikir, sholawat, doa dll ). Bahkan sebagian di antara mereka menerima redaksi sholawat langsung dari Rasulullah dengan ditalqin kata demi kata oleh Beliau saw. Maka jadilah sebuah susunan dzikir atau sholawat yg memiliki fadhilah/asror yg tak terhingga.  Dalam berbagai riwayat hadits dikatakan bahwa siapa pun yang bermimpi Nabi saw maka mimpi itu adalah sebuah kebenaran/kenyataan, dan sosok dalam mimpinya tersebut adalah benar-benar Nabi Muhammad saw. Karena setan tidak diizinkan oleh Alloh untuk menyerupai Nabi Muhammad saw. Beliau juga bersabda, "Barangsiapa yg melihatku dalam mimpi maka ia pasti melihatku dalam keadaan terjaga" ----------------------------- 1. SHOLAWAT JIBRIL ------------------------------ صَلَّى اللّٰهُ عَلٰى مُحَمَّدٍ SHOLLALLOOH 'ALAA MUHAMMA

Daun Pepaya Jepang, Aman Untuk Pakan Kambing di @kapurinjing

KH.MUNFASIR, Padarincang, Serang, Banten

Akhlaq seorang kyai yang takut memakai uang yang belum jelas  Kyai Laduni yang pantang meminta kepada makhluk Pesantren Beliau yang tanpa nama terletak di kaki bukit padarincang. Dulunya beliau seorang dosen IAIN di kota cirebon. Saat mendapatkan hidayah beliau hijrah kembali ke padarincang, beliau menjual seluruh harta bendanya untuk dibelikan sebidang sawah & membangun sepetak gubuk ijuk, dan sisa selebihnya beliau sumbangkan. Beliau pernah bercerita disaat krisis moneter, dimana keadaan sangatlah paceklik. Sampai sampai pada saat itu, -katanya- untuk makan satu biji telor saja harus dibagi 7. Pernah tiba tiba datanglah seseorang meminta doa padanya. Saat itu Beliau merasa tidak pantas mendoakan orang tersebut. Tapi orang tersebut tetap memaksa beliau yang pada akhirnya beliaupun mendoakan Alfatihah kepada orang tersebut. Saat berkehendak untuk pamit pulang, orang tersebut memberikan sebuah amplop yang berisi segepok uang. Sebulan kemudian orang tersebut kembali datang untuk memi

Kisah Siti Ummu Ayman RA Meminum Air Kencing Nabi Muhammad SAW

Di kitab Asy Syifa disebutkan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW punya pembantu rumah tangga perempuan bernama Siti Ummu Ayman RA. Dia biasanya membantu pekerjaan istri Kanjeng Nabi dan nginap di rumah Kanjeng Nabi. Dia bercerita satu pengalaman uniknya saat jadi pembantu Kanjeng Nabi. Kanjeng Nabi Muhammad itu punya kendi yang berfungsi sebagai pispot yang ditaruh di bawah ranjang. Saat di malam hari yang dingin, lalu ingin buang air kecil, Kanjeng Nabi buang air kecil di situ. Satu saat, kendi pispot tersebut hilang entah ke mana. Maka Kanjeng Nabi menanyakan kemana hilangnya kendi pispot itu pada Ummu Ayman. Ummu Ayman pun bercerita, satu malam, Ummu Ayman tiba-tiba terbangun karena kehausan. Dia mencari wadah air ke sana kemari. Lalu dia nemu satu kendi air di bawah ranjang Kanjeng Nabi SAW yang berisi air. Entah air apa itu, diminumlah isi kendi itu. Pokoknya minum dulu. Ternyata yang diambil adalah kendi pispot Kanjeng Nabi. Dan yang diminum adalah air seni Kanjeng Nabi yang ada dal

Mengelola Blog Wordpress dan Blogspot Melalui Ponsel

Di jaman gatget yang serba canggih ini, sekarang dasboard wordpress.com dan blogspot.com semakin mudah dikelola melalui ponsel. Namun pada settingan tertentu memang harus dilakukan melalui komputer seperti untuk mengedit themes atau template. Dan bagi kita yang sudah terbiasa "mobile" atau berada di lapangan maka kita bisa menerbitkan artikel kita ke blog wordpress.com melalui email yang ada di ponsel kita, so kita nggak usah kawatir.

Abuya Syar'i Ciomas Banten

''Abuya Syar'i Ciomas(banten)" Abuya Syar'i Adalah Seorang Ulama Yg Sangat Sepuh. Menurut beliau sekarang beliau telah berrusia lebih dari 140 tahun. Sungguh sangat sepuh untuk ukuran manusia pada umumnya. Abuya Sar'i adalah salah satu murid dari syekh. Nawawi al bantani yg masih hidup. Beliau satu angkatan dengan kyai Hasyim asy'ary pendiri Nahdatul ulama. Dan juga beliau adalah pemilik asli dari golok ciomas yg terkenal itu. Beliau adalah ulama yg sangat sederhana dan bersahaja. Tapi walaupun begitu tapi ada saja tamu yg berkunjung ke kediamannya di ciomas banten. Beliau juga di yakini salah satu paku banten zaman sekarang. Beliau adalah kyai yg mempunyai banyak karomah. Salah satunya adalah menginjak usia 140 tahun tapi beliau masih sehat dan kuat fisiknya. Itulah sepenggal kisah dari salah satu ulama banten yg sangat berpengaruh dan juga kharismatik. Semoga beliau senantiasa diberi umur panjang dan sehat selalu Aaamiiin... (FM/ FB )