Maman Imanulhaq |
Oleh: Maman Imanulhaq
Kelompok minoritas di suatu Negara/bangsa dimanapun itu selalu tak henti-hentinya menjadi korban diskriminasi dan kekerasan, baik fisik maupun psikis. Bahkan tak jarang justru penderitaan kaum minoritas ini dijadikan komoditas dan bahan eksploitasi bagi kekuatan-kekuatan mainstream. Kelompok-kelompok minoritas (yang dianggap berbeda) tersebut selalu menjadi korban praktik tirani oleh kekuasaan hegemonik-totaliter di suatu bangsa. Sebagai bagian bangsa-bangsa yang beradab di muka bumi, kita wajib memberikan perlindungan kepada siapapun (komunitas apapun) tanpa memandang etnik, suku, ras, aliran, ideologi dan agamanya dari segala bentuk ancaman, intimidasi, diskriminasi dan praktik-praktik peng-eksklusian dari kelompok mayoritas yang sewenang-wenang. Sungguh sangat memprihatinkan kita melihat dengan mata telanjang ratusan pengungsi Rohingya yang terombang-ambing selama berbulan-bulan menjadi `manusia perahu` di lautan lepas. Sebagian dari para pengungsi itu adalah anak-anak dan tentunya juga perempuan. Selama kurang lebih tiga bulan mereka terlantar di tengah lautan, tanpa stok makanan yang cukup. Beberapa dari mereka ada yang sakit dan mati kelaparan. Mereka mencoba untuk mencari suaka di tempat yang aman yakni di negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Namun demikian, perahu-perahu yang mereka tumpangi tersebut ditolak untuk berlabuh di Thailand, Malaysia dan termasuk Indonesia. Agak sedikit beruntung, bahwa sebagian dari pengungsi itu ada yang berhasil berlabuh di Aceh dan ditolong oleh para nelayan setempat.
Para pengungsi Rohingya ini merupakan korban diskriminasi dan pengusiran oleh Pemerintah Myanmar. Apapun alasannya, praktik diskriminasi dan pengusiran tersebut jelas melanggar prinsip-prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Krisis Rohingya jelas tak akan berhenti di sana. Masih ada ratusan, bahkan ribuan, pengungsi Rohingya lain yang mengalami nasib serupa.
Pemandangan semacam ini tentu tak bisa diterima. Krisis pengungsi Rohingya, lepas dari apa agama mereka, tentu mengganggu rasa kemanusiaan kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, harus ada tindakan untuk mengatasi masalah ini secepatnya. Sejauh ini, tampaknya negeri-negeri ASEAN cuci-tangan, tak mau ikut campur dalam masalah ini. Merespon masalah ini, saya sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama, dan digerakkan oleh rasa kemanusiaan yang tak bisa menerima pemandangan menyedihkan yang menimpa para pengungsi Rohingya itu, menyampaikan beberapa pandangan berikut ini:
Negeri-negeri ASEAN, terutama Thailand, Malaysia, dan Indonesia, tak boleh berpangku tangan dan diam menghadapi krisis Rohingya ini. Adalah sikap yang sama sekali jauh dari rasa perikemanusiaan untuk membiarkan ratusan pengungsi Rohingya terlunta-lunta di Laut Andaman yang merupakan "halaman belakang" negeri ASEAN sendiri, tanpa memberi pertolongan kepada mereka. Sikap diam dan cuci-tangan negeri-negeri ASEAN terhadap krisis Rohingya ini, tak bisa diterima. Saya ingin mengatakan bahwa sikap semacam ini adalah BIG SHAME bagi negeri-negeri ASEAN. Justru pada momen-momen kritis seperti inilah mestinya ASEAN menunjukkan peran aktifnya.
Saya mendorong dan sekaligus memberikan apresiasi kepada pemerintah Presiden Jokowi yang telah menyampaikan pernyataan resminya untuk ikut menyelesaikan krisis pengungsi Rohingya ini dengan pendekatan kemanusiaan. Mengingat Indonesia adalah negeri terbesar di kawasan Asia Tenggara. Tentu sangat logis jika Indonesia memainkan peran penting dan strategis untuk mengatasi krisis ini. Meskipun agama bukan faktor yang kami anggap dominan dalam krisis ini, tetapi jelas bahwa pengungsi Rohingya itu adalah umat Islam. Sebagai negara Muslim terbesar bukan saja di kawasan Asia Tenggara tetapi di dunia, maka sudah selayaknya Indonesia menjadi motor utama bersama negeri-negeri Asia Tenggara lainnya menyelesaikan krisis Rohingya ini.
Saya juga mendorong agar Indonesia, bersama dengan negara-negara Asia Tenggara yang lain, untuk melakukan langkah-langkah diplomasi agar masalah Rohingya dapat diatasi dengan segera di negeri asalnya sendiri, yaitu Myanmar. Krisis pengungsi Rohingya bermula dari tindakan diskriminasi yang menyedihkan dari pemerintah Myanmar terhadap komunitas Rohingya. Komunitas ini adalah contoh tragis dari bangsa yang terkatung-katung. Mereka adalah "stateless peoples", manusia tanpa negara. Mereka tak diakui oleh pemerintah Myanmar, bahkan mendapatkan perlakuan diskrimintif. Tetapi mereka juga tak diterima kembali di Bangladesh, negeri dari mana mereka berasal. Krisis Rohingya, dalam pandangan saya, tak bisa diatasi jika tak diurai dari akarnya sendiri, yakni kejelasan nasib mereka di negerinya sendiri, yaitu Myanmar. Saya mendorong agar Indonesia melakukan diplomasi aktif terhadap pemerintah Myanmar agar menghentikan diskriminasi terhadap komunitas Rohingya dan memberikan pengakuan kepada mereka sebagai warga negara yang sah.
Saya sepenuhnya mendukung sikap tegas PBNU yang meminta kepada pemerintah RI, Negara-negara ASEAN dan PBB beserta UNHCR agar menghentikan segala bentuk kejahatan kemanusiaan terhadap etnis Rohingya. PBNU juga meminta pemerintah RI ikut menolong dan menyelesaikan krisis pengungsi Rohingya dengan memprakarsai pertemuan dengan Negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk membahas penyelesaian krisis Rohingya dan mengembalikan hak-hak sipil mereka. PBNU juga mendesak PBB agar menjatuhkan sanksi dan embargo kepada otoritas Myanmar yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan dengan melakukan kekerasan dan pengusiran karena berbeda keyakinan.
Saya mengutuk segala bentuk diskriminasi, kekerasan dan tindakan pengusiran kepada siapapun dan atas nama apapun karena hanya berbeda keyakinan. Perlu saya tegaskan bahwa semua manusia di muka bumi ini adalah sama dan setara di mata Tuhan-nya yang harus dihormati hak-hak asasinya dan derajat kemanusiaan universalnya. Mari kita selamatkan saudara-saudara kita para pengungsi Rohingya. [FM]
Sumber : KOMPASIANA, 28 May 2015
Maman Imanulhaq ; Majelis Nasional ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika), Anggota DPR RI
Komentar
Posting Komentar