Kafil Yamin |
Forum Muslim - Pidato kebangsaan Prabowo Subianto di BCC tadi malam, 14 Januari; pidato tanpa teks yang merupakan personifikasi penyampainya; pidato yang membangunkan banyak orang, malah meningkatkan empati saya kepada petahana Joko Widodo.
Ini tak terhindarkan karena petandang pilpres 2019 memang hanya Prabowo dan Jokowi. Mau tak mau terbandingkan. Dan ketika terbandingkan ini, empati saya kepada Jokowi menguat dan membesar karena sosok sang petahana lebih terlihat sebagai pihak yang teraniaya -- bukan sebagai petandang yang siap tegap di medan persaingan. Saya kira saya tidak sedang melebih-lebihkan.
Pidato tanpa teks, dengan menyebut sejumlah tokoh dan peristiwa secara akurat, beserta lokasi dan tanggal, beberapa di antaranya bukan tokoh dan tempat terkenal, sungguh mewakili kekuatan daya ingat dan penguasaan pengetahuan. "He knows what he's saying."
Bahasa yang runut, mengalir, mewakili kekuatan logika dan imajinasi. Coba pelajari psikologi dan neurologi, kerapihan berbahasa itu ungkapan dari keajekkan dan ketertiban cara berpikir. Orang yang berpikirnya tak tertib, loncat-loncat, bahasanya juga kacau. Anu..eh..anu...Kita perlu anu..
Ketika Prabowo berpidato atau wawancara, entah dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia, orang mendengar ide, obsesi, visi, serta kekuatan narasi yang menyadarkan. Ketika Jokowi berpidato atau wawancara, bahkan sekedar menjawab pertanyaan wartawan, saya sering tak kuat lama-lama mendengarkannya. Kasihan melihatnya berjuang menemukan kata-kata yang tepat, menampilkan ekspresi wajah yang pantas, berusaha mengalihkan perhatian orang-orang di sekitarnya ke orang atau hal lain.
Jadi ketika tanpa sengaja membandingkan kemampuan berkomunikasi, berargumentasi, berorasi keduanya, pertandingan sungguh tak seimbang. Ibarat tim sepakbola sebuah kabupaten di Indonesia melawan MU. Atau balapan Valentino Rossi melawan jago nge-track malam di Tanah Abang, atau pegulat Koni melawan Khabib Nurmagomedov, pasti yang timbul bukan persaingan atau pertandingan, melainkan penganiayaan.
Dan sebagai manusia saya selalu berpihak kepada orang yang teraniaya.
Terlihat sekali, ketika Prabowo berpidato atau wawancara, ia sedang mengungkapkan dirinya, pikirannya, visinya. Ketika Jokowi berpidato atau wawancara, ia sedang mengucapkan sejumlah titipan pendapat, bahkan kata-kata dan istilah, dari orang-orang sekitarnya. Dia hampir selalu terlihat dalam tekanan. Makanya banyak anu...
Dan yang kelewatan itu orang yang menitipkan kata-kata yang sama kepadanya di setiap pertemuan internasional: "Ayem hepi tu bi emong yu oll. Ayem hepi tu bi hier. Plis invest in may kantri, thenkyu!"
Kurang ajar itu yang nitip omongan. Dari 'ayem hepi tu bi hier', ujug-ujug: 'Plis invest in may kantri. Thenkyu!'. Kan tak ada hubungannya? Lagi pula, masa di tiap pertemuan internasional password-nya sama?
Dan saya bersimpati kepadanya. Ingin membebaskannya dari tekanan-tekanan para begundal yang memanfaatkannya, dengan mencegahnya lanjut satu periode lagi. Mendzalimi orang itu sebentar aja durhaka, apalagi dua periode. Selamatkan Jokowi!
Sumber : Kafil Yamin
Komentar
Posting Komentar