Oleh : Iramawati Oemar
•••••••
Akhir tahun 2018 ditutup dengan fenomena "pesta" rakyat yang menghadirkan massa dalam jumlah besar bahkan super besar. Setidaknya ada 3 kejadian pesta rakyat yang terjadi di penghujung tahun ini : Reuni 212 di Monas, syukuran dan maian bersama warga Cianjur/Jawa Barat atas tertangkapnya Bupati mereka oleh KPK, dan yang terakhir adalah konvoi kemenangan The Jackmania merayakan "pecah"nya puasa gelar juara selama 17 tahun oleh Persija. Semuanya menghadirkan banyak sekali massa, tua-muda, laki-perempuan, menembus batas kelas sosial kaya-miskin.
Kebetulan kemarin pagi saya ke Jakarta, sejak masuk Jakarta di wilayah Slipi menuju Senayan, sudah mulai macet. Pun juga ketika menuju Cikini.
Tapi saya tak menyangka sama sekali bahwa akan sebanyak itu massa yang tumpah ruah merayakan kemenangan The Jackmania. Setelah melihat tayangan berita TV malam harinya, saya terheran-heran sekaligus terharu melihat betapa massa sebanyak itu bisa berkumpul, spontan, dengan cara mereka sendiri hadir ke Balaikota, berkonvoi, larut dalam suka cita bahkan euphoria. Tapi Alhamdulillah tidak ada kejadian buruk dari pesta kemenangan ini. Tak ada tawuran, tak ada bentrok massa, tak ada kerusakan fasilitas publik, dll.
Kemarin yang berkumpul adalah "sebagian" warga DKI Jakarta, tidak ada kedatangan warga dari luar DKI, sebab ini moment khusus merayakan kemenangan klub bola milik Jakarta.
Ya, hanya sebagian saja warga DKI yang jadi suporter setia Persija. Namun jumlahnya cukup bikin kita tercengang.
Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Bahkan ketika masa jaya-jayanya Jokowi dan Ahok sekalipun!
Kalau saja Ahok melihat dari tayangan berita di televisi, saya tak tahu bagaimana perasaannya, melihat Anies Baswedan yang baru genap 14 bulan menjabat sebagai Gubernur, bisa ikut larut bersama puluhan ribu the jackmaniaers, naik ke atas atap bus dan bersuka cita bersama rakyatnya, tanpa batas. Tidak perlu lagi teriakan mengelu-elukan, cukup melihat wajah-wajah sumringah, bangga dan bahagia berbaur bersama gubernurnya.
Saya terharu, inilah pengejawantahan tagline "maju kotanya, bahagia warganya".
Sesuatu yang belum pernah terjadi di era 2 tahun jokowi jadi gubernur DKI dan 2,5 tahun Ahok melanjutkannya.
Ketika caci maki dan bentakan-bentakan kasar tak lagi diperdengarkan dari balaikota, saat itulah sedikit semi sedikit semuanya berubah menjadi lebih baik!
Believe it or not : ALAM pun ijut bekerja, "restu" alam menyertai semua aktivitas di kota itu. Prostitusinya diberantas, janji-janji untuk kebaikan dan kesejahteraan warga mulai ditunaikan, kotanya mulai dibikin indah, dan saat itulah PRESTASI mulai tercipta.
It's what called SUNNATULLAH, hukum alam.
Ketika semua dikerjakan dengan baik dan bersahabat bersama rakyatnya, maka semuanya pun menjadi ikut baik.
Dan rakyatnya pun menunjukkan rasa terima kasih mereka dalam luapan kegembiraan.
Yang kemarin berkumpul di Balaikota dan berkonvoi bersama, itu BUKAN RELAWAN Anies lho! Itu warga DKI, entah mereka memilih Anies - Sandi atau tidak pada 2017 lalu, taoi mereka warga DKI.
Goodbener Pak Anies Baswedan.
*** *** ***
Fenomena "pesta" rakyat ini sesungguhnya dimulai sejak awal bulan, 1 Desember 2018, ketika warga dari berbagai daerah mulai membanjiri Jakarta. Malam minggu pekan pertama bulan Desember ini, suasana Jakarta luar biasa ramai dan macet dimana-mana. Sejak malam, ribuan orang mulai menginap di Monas. Stasiun Gondangdia tak pernah sepi, penumpang turun dari kereta terus membanjir.
Dan puncaknya pada 2 Desember, diperkirakan 11 juta lebih massa berkumpul di Monas dan sekitarnya, berdesak-desakan, tak ada ruang kosong.
Mereka "berpesta", dimana-mana posko didirikan, makanan dan minuman gratis dibagi-bagikan kepada semua yang datang. Para pedagang makanan dan minuman kaki lima pun diserbu pembeli, bahkan dagangannya ludes diborong pembeli untuk selanjutnya dibagikan gratis kepada yang hadir.
Tak ada alasan khusus yang bisa menjelaskan alasan kenapa jutaan orang itu rela datang dari berbagai daerah. Sebuah stasiun TV swasta bahkan mewawancarai pasutri muda yang baru datang dari Jawa Tengah. Pasutri yang kemungkinan bary berumur awal 30an itu membawa serta anak mereka yang masih batita, bahkan bisa jadi usianya baru 1 tahunan. Mereka datang dini hari tiba di Jakarta dan akan langsung pulang sore harinya. Niatnya datang ke Jakarta khusus untuk ikut Reuni 212. Melihat wajah mereka yang sumringah, ceria sambil membopong bayinya, sama sekali tak tampak kekhawatiran. Mereka datang seperti layaknya akan menghadiri pesta saja.
Dan memang demikianlah yang terjadi. Ibarat pesta saja, makanan dan minuman berlimpah. Tak terdengar ada copet berkeliaran, tak ada orang terinjak-injak, tak ada gesekan antar massa yang jamak terjadi pada pentas goyang dangdut ketika saling senggol saja bisa berujung tawuran massal. Reuni 212 berlangsung aman, damai, tentram, tertib.
Apa alasannya jutaan orang berkumpul?
Kalau Aksi 212 tahun 2016 mungkin orang bisa paham, karena ada kasus Ahok yang menistakan surat Al Maidah ayat 51.
Tapi kalau sekarang, 2018, apa pemicunya?!
Tak ada kejadian khusus yang bisa dirujuk. Tapi pasti ada "sesuatu" yang tak terkatakan yang membuat jutaan orang dari berbagai daerah, yang kaya raya maupun yang pas-pasan, datang ke Monas untuk berdoa bersama, atau sekedar mendengarkan tausiyah ulama.
Melihat bahwa yang datang adalah yang kontra penguasanya, maka silakan saja penguasa dan para pendukungnya melakukan denial, bahwa semuanya baik-baik saja, untuk apa orang datang ke Monas merayakan Reuni 212?!
Tapi kenyataannya, ada "KERESAHAN" masyarakat yang mungkin tak terkatakan secara verbal, tapi diekspresikan dalam bentuk "pembangkangan" yang "soft", membangkang dari larangan pemerintah dan aparat keamanan agar tak datang ke Monas.
Artinya : ada sesuatu yang harusnya membuat penguasa mau INTROSPEKSI, sebab tak ada satupun kekuatan figur, ormas, parpol, atau apapun yang bisa memaksa belasan juta orang datang secara swadaya begitu.
Saya punya dugaan, feeling, bahwa fenomena gerakan massa yang massive ini masih akan terjadi lagi entah di daerah mana dan entah apa pemicunya.
Yang jelas, tak ada kekuatan yang bisa merekayasa mendatangkan massa dalam jumlah besar dan ikhlas membiayai dirinya sendiri bahkan menyumbangkan makanan dan minuman.
Sebaliknya, juga tak ada yang mampu mencegah apalagi membendung jika massa rakyat sudah punya keinginan untuk bergerak dan berkumpul bersama, apapun alasannya.
Di Paris saja, aparat pemerintahnya kewalahan kok menghadapi gerakan rompi kuning di Paris dan beberapa kota lainnya.
So..., di Indonesia, kita menutup tahun 2018 dan menyambut tahun politik 2019 dengan fenomena GERAKAN MASSA RAKYAT, sesuatu yang SPONTAN dan UNSTOPPABLE!
Kata teori Demokrasi : "VOX POPULI, VOX DEI!"
Komentar
Posting Komentar