Oleh: Ali Masykur Musa
Hampir semua sejarawan sepakat, penyebaran Islam di kawasan Nusantara tumbuh dan berkembang melalui proses dan pola secara damai. Penduduk di kepulauan ini pada umumnya menerima dan memeluk agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW secara sukarela, tanpa dilatarbelakangi paksaan yang berarti.
Islam berkembang pesat di Indonesia karena pengaruh para sufi yang menyebarkan ajaran Islam yang inklusif dan akomodatif terhadap kehidupan sosial budaya setempat. Dakwah damai ini dilanjutkan para kiai atau syekh yang tidak punya kepentingan politik dengan mendirikan pesantren yang mengutamakan akhlak dan kearifan lokal. Pola pembumian Islam secara damai ini menjadi ikon penting Islam di bumi Nusantara hingga kini.
Pengertian inilah yang disebut dengan Islam Nusantara, yang masih disalahpahami. Sayangnya, di tengah kesejukan Islam Nusantara, ajaran wahabisme muncul untuk menghancurkannya. Kelompok Wahabi mengklaim dapat mengembalikan umat Islam kepada ajaran Islam dan akidah yang murni.
Dengan pedoman al-ruju' ila al-Qur'an wa al-Sunnah (kembali kepada Alquran dan al-hadis) mereka ingin kembali kepada Alquran dalam makna harfiah. Alquran dianggap hanya deretan huruf yang tak berkaitan dengan konteks di sekitar. Mereka menolak sejumlah tradisi masyarakat. Semua keadaan ingin dikembalikan pada keadaan zaman Nabi Muhammad SAW. Mereka tak setuju rasionalisme dalam filsafat Islam. Demi literalisme Alquran, ushul fiqih mereka acuhkan.
Kearifan beribadah adalah wujud pemahaman menyeluruh terhadap beragama. Secara umum, hampir semua ibadah di Islam terbagi dua varian utama: simbol (madzhar) dan substansi (jauhar).
Simbol mengajarkan tentang gerakan ritual, cara, jumlah, waktu, dan tempat dalam setiap ibadah. Substansi mengajarkan tujuan di balik gerakan ritual itu.
Meskipun Islam mengenalkan simbol, tetapi tujuan beragama adalah substansi, bukan simbol. Puncaknya ketika Islam mengajarkan bahwa beragama bukanlah menghadapkan jasad ke timur dan barat, tetapi melahirkan praktik sosial yang mendalam. Inilah makna Nabi Muhammad diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak umat manusia.
Jika kita melihat sikap keberagamaan umat Islam di zaman modern ini, hampir semuanya memberikan volume sangat besar ke dalam simbol. Umat Islam selalu merasa cukup jika telah melaksanakan ibadah ritual. Mereka tidak pernah melirik kembali tujuan di balik simbol ibadah.
Karena lebih menitikberatkan simbol, agama pun bagaikan aktivitas rutin harian yang sangat kering. Akibatnya, agama hanya mampu melahirkan kesalehan individual, tidak sampai pada kesalehan sosial.
Pemahaman salah dalam beragama bisa mengarahkan penganutnya kepada jebakan fundamentalisme dan radikalisme. Artinya, ketika agama dibajak untuk melegalkan radikalisme atas nama agama, maka agama menjadi instrumen pembenaran.
Untuk mencegah meluasnya radikalisme, dibutuhkan penguatan Islam Nusantara melalui sistem pendidikan yang mampu memberikan pemahaman yang benar akan teks agama. Ini diharapkan bisa memutus ideologi radikal.
Mayoritas pesantren di Indonesia menganut ideologi ahlussunnah waljamaah (aswaja). Ideologi aswaja mengusung ajaran moderat (tawasuth), seimbang (tawazun), toleran (tasamuh), dan adil (i'tidal) sebagai etika sosial. Budaya kafir-mengafirkan tidak dikenal di pesantren. Selagi masih bersyahadat dan mengimani ajaran Islam, tak ada alasan mencap orang/kelompok lain kafir.
Pesantren yang berpegang teguh pada aswaja menghindari tafsir tunggal teks agama. Setiap teks terbuka akan berbagai penafsiran baru. Inilah yang menjadikan pesantren mampu menjaga eksistensinya. Karena pesantren senantiasa inklusif dan terbuka pada penafsiran baru yang tidak bertentangan dengan ajaran substantif Islam, menunjukkan pesantren terbuka terhadap keragaman pemikiran.
Pesantren merupakan lembaga yang inklusif dan menghargai perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat tak lantas ditolak, apalagi dikecam. Perbedaan pendapat merupakan keniscayaan dinamika pemikiran manusia yang mempunyai perspektif dan kapasitas pemikiran berbeda.
Sikap demikian sejatinya juga dipelajari oleh pesantren dari ulama-ulama aswaja yang tak memaksakan kebenaran tunggal. Sebab, dalam setiap kebenaran terdapat kemungkinan kesalahan, pun sebaliknya.
Kearifan ini bisa terbaca, misalnya, dari ungkapan Imam Abu Hanifah, salah satu pendiri mazhab fikih. Terkait hasil ijtihadnya, ia mengatakan, "Inilah pendapatku. Jika ada yang datang kepadaku untuk menyampaikan pendapat yang lebih baik, aku akan menerimanya."
Kearifan yang demikian dipraktikkan tokoh pesantren almaghfurlah Abdurrahman Wahid. Menurut Gus Dur, ribuan sumber tertulis (dalil naqli), baik berupa ayat Alquran maupun hadis akan memiliki peluang yang sama bagi pendapat yang berbeda. Islam sangat menghargai perbedaan pendapat.
Yang dilarang oleh Islam adalah saling bertentangan yang mengakibatkan perpecahan (QS Ali Imran: 103). Hal inilah yang menjadikan pesantren sebagai pelopor Islam yang rahmatan lil alamin sebagai wajah Islam Nusantara yang cinta kedamaian dan menolak kekerasan.
Untuk menanggulangi kaum fundamentalis dan radikal, inklusivitas pemikiran dan penerimaan keberagaman melalui pendidikan di pesantren harus tetap dipelihara dan bahkan diperkuat. Tiada lain, pesantren harus mempertahankan ideologi aswaja yang mengedepankan Islam yang wasath (tengah-tengah) dalam segala hal.
Pesantren harus tetap memperjuangkan dakwah kultural yang sarat nilai dan nirkekerasan. Amar makruf nahi mungkar harus tetap dilaksanakan dengan jalan yang makruf tanpa mengedepankan konflik.
Inilah ideologi pesantren yang harus tetap dipertahankan dan bahkan diperjuangkan. Melalui pesantren, identitas Islam yang toleran, moderat, damai diajarkan dan disebarluaskan. Sekarang, saat tepat bagi Islam Indonesia menjadi pelopor kepada dunia.
Tidak boleh lagi ada nyawa yang hilang sebagai korban perjuangan beragama. Islam yang santun dan moderat itulah substasi Islam Nusantara sebagai wajah Islam dunia ke depan yang penuh kebajikan dan kedamaian. []
REPUBLIKA, 09 Juli 2015
Ali Masykur Musa | Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
Komentar
Posting Komentar