Ust. Abdi Kurnia Djohan |
Oleh : Ust. Abdi Kurnia Djohan
Saya mencoba menulis ini berdasarkan pengalaman saya ikut bersama-sama merumuskan renstra dakwah di LDNU, terutama yang terkait dengan penetrasi NU ke instansi-instansi pemerintahan dan BUMN. Ada kesan, seolah muballigh-muballigh NU tidak berminat untuk masuk ke lembaga-lembaga milik pemerintahan termasuk BUMN. Jika dikatakan "tidak berminat", saya bisa katakan itu tidak benar--saya tidak mengatakan bohong. Karena faktanya, hingga tulisan ini dibuat, entah berapa banyak muballigh NU yang berharap dapat menyampaikan kajian di Pertamina, PLN, Garuda Indonesia, PT Pelindo dan lain-lain.
Jujur diakui bahwa menyampaikan kajian agama Islam di instansi-instansi BUMN selain mempunyai nilai strategis juga memberi arti tersendiri bagi seorang muballigh.
Pembicaraan tentang bagaimana dakwah di BUMN telah menjadi perhatian LDNU sejak lama. Tapi hingga kini, upaya itu belum bisa terealisasi karena beberapa sebab:
1. Tidak adanya konsep dakwah yang ditawarkan LDNU PBNU tentang dakwah di BUMN yang mampu menjawab problematika internal di masing-masing BUMN;
2. Tidak seriusnya LDNU PBNU mengelola persoalan dakwah yang memang menguras energi yang sangat banyak. Sebagaimana telah diketahui bahwa kini semua elemen PBNU terkuras kepada perhelatan Pilpres di mana KH Ma'ruf Amin berada di pusaran kontestasi itu. Ketidakseriusan LDNU sebelum perhelatan Pilpres 2019 itu tiba, pada akhirnya makin melarutkan LDNU ke arah yang bukan menjadi khittoh utamanya;
3. LDNU tidak memperhatikan faktor lain yang masih terkait dengan pekerjaan dakwah yang akan dihadapi di BUMN, yaitu keberagaman jamaah dan tingkat pendidikan jamaah. Sebagian muballigh di LDNU mempunyai kecenderungan menyamakan jamaah di BUMN seperti jamaah di pedesaan yang tidak kritis dan manut kepada sendiko dawuh kyai. Mereka lupa bahwa kebanyakan jamaah di BUMN itu dulunya adalah mantan aktivis kerohanian Islam di kampusnya masing-masing. Dengan latar belakang itu, tentu mereka mempunyai sikap kritis yang berbeda dengan jamaah di pedesaan. Bagi sebagian jamaah BUMN, kemampuan membaca kitab kuning itu bisa dikritisi dengan kontekstualisasi masalah yang mereka hadapi di dunia kerja. Sehingga yang menjadi pertanyaan sebagian jamaah BUMN terhadap keberadaan muballigh NU adalah apakah mereka menjelaskan topik tentang air dua kullah di sini? Materi fikih seperti apa yang akan disampaikan? Materi tasawwuf yang bagaimana yang akan dijelaskan? Pertanyaan seperti ini muncul berdasarkan survey di sebuah masjid perkantoran tentang persepsi jamaah terhadap penyajian materi para ustadz asal NU. Survey itu berawal dari tidak diminatinya kajian tasawwuf yang disampaikan oleh seorang ustadz NU padahal kajiannya demikian mendalam. Tapi, meskipun demikian tetap saja kajian itu tetap dianggap tidak menarik, karena tidak prompt to terhadap persoalan yang dihadapi jamaah perkantoran.
4. Selama ini LDNU melupakan kerja kombinasi dakwah. Dakwah di BUMN sebenarnya merupakan bagian dari alur perjalanan dakwah yang berhulu di kampus-kampus PTN. Ibarat orang menangkap ikan, bagaimana mungkin bisa mengetahui ke muara mana ikan berenang, sedangkan hulunya saja tidak diketahui. Masuknya muballigh HTI atau non HTI di BUMN, bukan karena mereka serakah atau kemaruk dakwah--maaf ini bukan semacam pembelaan. Tapi, karena massa HTI banyak yang bertebaran di BUMN. Mereka-mereka ini adalah orang-orang pilihan yang masuk BUMN sejak lulus kuliah di PTN. Dalam kondisi jumlah mereka banyak, wajar jika mereka mengundang para ustadz yang fikrohnya sudah mereka kenal sejak masa kuliah dulu. Jika LDNU ingin seperti itu, maka sudah seharusnya LDNU menggarap dakwah di perguruan tinggi, dengan membentuk halaqoh-halaqoh ilmu yang diselenggarakan secara intensif. Sekarang bagaimana yang berlangsung? Saya tidak perlu bercerita banyak tentang hal ini, karena faktanya aktivis Aswaja di PTN, khususnya UI, dikenal "malas" dalam memperjuangkan eksistensi dirinya. Bukti yang bisa dilihat sampai hari ini adalah tidak adanya mahasiswa Nahdliyyin yang mampu menduduki jabatan BEM atau Badan Otonom Mahasiswa di Kampus. Jika jawabannya adalah karena posisi itu telah dihegemoni oleh kader-kader PKS, lalu kenapa tidak melakukan hal yang sama?
Masih banyak analisis yang bisa disampaikan di sini. Yang ingin saya sampaikan adalah sebelum mengatakan "lawan berlaku curang", penting terlebih dahulu mengukur kemampuan diri sendiri. Tsun Zu di dalam strategi perangnya telah menjelaskan hal ini secara detail. Jangan sampai karena wajah buruk, akhirnya salon yang disalahkan...
Elu Tu Ye! Ya salon kalee ya salon kaleee...hehehehe (FM)
Komentar
Posting Komentar