Langsung ke konten utama

Selektif dalam Bermadzhab

Ilustrasi kitab mazhab
Forum Muslim - Mayoritas kaum Muslimin mengikuti pola bermadzhab dalam menjalankan kehidupan beragama sehari-hari. Di Indonesia, kaum Muslimin mengikuti madzhab al-Imam al-Syafi'i dalam bidang fiqih, madzhab Abu al-Hasan al-Asy'ari dalam bidang akidah dan madzhab Hujjatul Islam al-Ghazali dan Abu al-Hasan al-Syadzili dalam bidang tashawuf. Demikian seperti dijelaskan oleh Hadlratusysyaikh KH. Hasyim Asy'ari dalam Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.

Namun demikian pola bermadzhab ini tidak jarang disalahpahami oleh mereka yang anti madzhab. Menurut mereka, ketika seseorang itu mengikuti madzhab suatu imam, maka ia harus mengikutinya 100 % dari A sampai Z. Tentu saja langkah seperti ini tidak tepat dan tidak ada dalam logika beragama.

Dalam sebuah dialog terbuka di Masjid al-Mujahidin, Denpasar, seorang Wahhabi mengatakan kepada kami, "Kalau Anda memang mengikuti madzhab al-Imam al-Syafi'i, seharusnya Anda tidak usah tahlilan dan selamatan selama 7 hari kematian. Karena al-Imam al-Syafi'i sendiri berpendapat bahwa pahala bacaan al-Qur'an tidak akan sampai kepada mayit." Demikian gugatan orang Wahhabi tadi terhadap kami.

Dalam mengikuti pola bermadzhab dengan mengikuti madzhab salah satu imam mujtahid, misalnya mayoritas umat Islam Indonesia mengikuti madzhab al-Syafi'i, tidak berarti kita menyembah al-Imam al-Syafi'i, dengan artian mengikuti seluruh pendapat beliau 100 % mulai dari A sampai Z.

Para ulama kita, yang menuntun kita mengikuti madzhab al-Imam al-Syafi'i mengajarkan agar kita bermadzhab secara selektif dan korektif. Hal ini yang kita istilahkan dengan madzhab secara manhaji, atau bermadzhab dengan cerdas.

Al-Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, murid terbaik dan penyebar madzhab al-Imam Abu Hanifah, menyelisihi gurunya (Abu Hanifah) dalam 2/3 madzhab. Akan tetapi keduanya tetap dianggap sebagai pengikut dan penyebar madzhab Hanafi. Para ulama pengikut madzhab Maliki, dalam banyak masalah menyelisihi pendapat Imam Malik bin Anas, sang pendiri madzhab sendiri. Namun mereka tetap dianggap sebagai pengikut madzhab Maliki.

Dalam madzhab al-Syafi'i sendiri, para ulama sepakat bahwa ketika terjadi perbedaan pendapat antara qaul qadim (pendapat lama), yaitu hasil ijtihad beliau ketika masih tinggal di Iraq, dengan qaul jadid (pendapat baru), yaitu hasil ijtihad beliau setelah tinggal di Mesir di akhir hayatnya, harus mengikuti qaul jadid sesuai dengan pesan al-Imam al-Syafi'i sendiri. Akan tetapi sekitar dalam 12 masalah para ulama kita mengharuskan mengikuti qaul qadim, karena setelah dikaji dan diteliti, qaul qadim itu lebih kuat dalilnya dalam 12 masalah tersebut. Hal ini bukan berarti kita keluar dari madzhab al-Imam al-Syafi'i. Tetapi mengikuti madzhab beliau dalam ijtihad yang kita pandang benar dan kuat dalil-dalilnya.

Kaitannya dengan pengiriman hadiah pahala tahlilan kepada mayit, memang ada riwayat yang sangat populer dari al-Imam al-Syafi'i, bahwa beliau berpendapat, hadiah pahala bacaan al-Qur'an tidak sampai kepada mayit. Namun sebagian besar pengikut madzhabnya, berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur'an sampai kepada mayit. Pendapat ini sesuai dengan pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Oleh karena itu, siapapun tidak bisa menggugat pengikut madzhab al-Syafi'i yang melakukan tradisi pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur'an dan lain-lain kepada mayit, selama mereka mengikuti pendapat lain yang dipandang lebih kuat dalilnya.

Perlu diketahui bahwa al-Imam al-Syafi'i hanya berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur'an saja yang tidak sampai kepada mayit. Sedangkan hadiah pahala selainnya, seperti selamatan (sedekah), shalawat, tahlil, tasbih, tahmid, shalat, haji dan lainnya, al-Imam al-Syafi'i berpendapat sampai. Oleh karena itu, hadiah pahala selamatan selama tujuh hari, menurut al-Syafi'i pahalanya bisa sampai kepada mayit.



Kitab al-Ibanah Karya al-Asy'ari

Gugatan serupa juga saya terima dalam sebuah diskusi di Surabaya. Seorang tokoh Salafi dari Malang berkata: "Anda mengikuti madzhab al-Asy'ari, tetapi mengapa Anda tidak mengikuti pendapat al-Asy'ari yang terdapat dalam kitab al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah?"

Pada waktu itu saya jawab: "Bahwa kitab al-Ibanah yang ada sekarang tidak memiliki sanad yang shahih kepada al-Imam al-Asy'ari. Bahkan dari beberapa edisi kitab al-Ibanah yang ada, misalnya al-Ibanah yang diterbitkan oleh kaum Wahhabi di Saudi Arabia, edisi yang diterbitkan Dr. Fauqiyah Husain dan edisi al-Ibanah yang dikutip oleh al-Hafizh Ibn 'Asakir al-Dimasyqi dalam kitab Tabyin Kidzb al-Muftari, terjadi perbedaan yang cukup serius. Sementara kitab al-Ibanah yang Anda jadikan dasar gugatan kepada kami para pengikut madzhabnya, adalah kitab al-Ibanah edisi terbitan kaum Wahhabi di Saudi Arabia. Jadi kitab al-Ibanah itu hampir mirip Bibel, semua edisi yang beredar, tidak ada yang sama, pasti terjadi perbedaan.

Dan seandainya, kitab al-Ibanah yang ada tersebut memang shahih sanad-nya kepada al-Imam al-Asy'ari, kami para pengikut madzhabnya tidak berkewajiban mengikutinya. Bukankah para ulama Asya'irah telah memilih pendapat lain yang berbeda dengan al-Ibanah tersebut (seandainya memang shahih). Hal ini sesuai dengan logika yang berlaku dalam ilmu hadits. Menurut al-Hafizh al-Dzahabi dalam Siyar A'lam al-Nubala' (juz 16, hal. 405), jika terdapat suatu hadits, sanad-nya shahih, akan tetapi para ulama mujtahid tidak ada yang mengamalkannya, maka kita tidak boleh mengamalkan hadits tersebut. Jadi, hadits shahih saja, posisinya harus tidak diamalkan, ketika tidak seorang pun dari kalangan ulama mujtahid tidak mengamalkannya dalam ijtihad mereka. Apalagi hasil ijtihad seorang ulama seperti al-Imam al-Asy'ari. Ketika semua ulama pengikutnya tidak memakai, kita juga tidak memakai."

Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali berkata dalam kitabnya, Bayan Fadhl 'Ilm al-Salaf 'ala 'Ilm al-Khalaf (hal. 57):

"Adapun para imam dan fuqaha ahli hadits, mereka mengikuti hadits shahih di mana pun berada, apabila hadits tersebut diamalkan oleh para sahabat dan generasi sesudahnya, atau diamalkan oleh sekelompok mereka. Adapun hadits shahih yang disepakati ditinggalkan oleh kaum salaf, maka tidak boleh diamalkan. Karena mereka tidak meninggalkan hadits tersebut, melainkan setelah mengetahui bahwa hadits tersebut memang tidak diamalkan. Umar bin Abdul Aziz berkata: "Ikutilah pendapat yang sesuai dengan pendapat orang-orang sebelum kalian, karena mereka lebih tahu dari pada kalian."



Meninggalkan Hadits Shahih

Setelah saya menyampaikan pernyataan di atas, bahwa hadits yang shahih sekalipun, ketika tidak seorang pun dari kalangan ulama mujtahid mengamalkannya, maka kita tidak boleh mengamalkan. Ada salah seorang Salafi bertanya, "Mengapa kita harus memilih pendapat seluruh ulama yang tidak mengamalkan hadits tersebut, padahal hadits tersebut shahih?".

Syaikh Ibn Taimiyah, menulis sebuah kitab berjudul Raf'u al-Malam 'an al-Aimmah al-A'lam. Dalam kitab tersebut Ibn Taimiyah mengemukakan sepuluh alasan, mengapa seorang mujtahid terkadang menolak mengamalkan suatu hadits dan memilih berijtihad sendiri. Menarik untuk dikemukakan di sini, setelah memaparkan sepuluh alasan tersebut, Syaikh Ibn Taimiyah berkata begini:

"Dalam sekian banyak hadits yang ditinggalkan, boleh jadi seorang ulama meninggalkan suatu hadits karena ia memiliki hujjah (alasan) yang kita tidak mengetahui hujjah itu, karena wawasan keilmuan agama itu luas sekali, dan kita tidak mengetahui semua ilmu yang ada dalam hati para ulama. Seorang ulama terkadang menyampaikan alasannya, dan terkadang pula tidak menyampaikannya. Ketika ia menyampaikan alasannya, terkadang sampai kepada kita, dan terkadang tidak sampai. Dan ketika alasan itu sampai kepada kita, terkadang kita tidak dapat menangkap alasan yang sesungguhnya (maudhi' ihtijajihi), dan terkadang dapat menangkapnya." (Syaikh Ibn Taimiyah, Raf'u al-Malam 'an al-Aimmah al-A'lam, hal. 35).



Hadits Shahih Pasti Madzhabku

Dalam sebuah diskusi di Denpasar, ketika membicarakan pendapat al-Imam al-Syafi'i tentang bid'ah, di mana beliau membagi bid'ah menjadi dua, yaitu bid'ah hasanah dan bid'ah sayyi'ah, Ustadz Husni Abadi, seorang tokoh Wahhabi menggugat kepada kami: "Kita harus mengikuti hadits shahih. Bukan mengikuti ulama. Al-Imam al-Syafi'i sendiri berkata, "Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)".

Maksud pernyataan Ustadz Husni tersebut, hadits shahih menyatakan bahwa bid'ah itu tidak terbagi menjadi dua. Sementara pendapat al-Syafi'i yang membagi bid'ah menjadi dua bertentangan dengan hadits shahih tersebut. Oleh karena itu, sesuai dengan pesan al-Syafi'i sendiri yang mengatakan, "apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku", Husni mengajak kami meninggalkan pembagian bid'ah menjadi dua dan mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa bid'ah itu tidak terbagi-bagi.

Tentu saja asumsi Ustadz Husni tersebut tidak dapat dibenarkan. Tidak ada korelasi antara pernyataan al-Imam al-Syafi'i di atas dengan pendapat beliau yang membagi bid'ah menjadi dua.

Para ulama menjelaskan, bahwa maksud perkataan al-Imam al-Syafi'i, "Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)", adalah bahwa apabila ada suatu hadits bertentangan dengan hasil ijtihad al-Imam al-Syafi'i, sedangkan al-Syafi'i tidak tahu terhadap hadits tersebut, maka dapat diasumsikan, bahwa kita harus mengikuti hadits tersebut, dan meninggalkan hasil ijtihad al-Imam al-Syafi'i. Akan tetapi apabila hadits tersebut telah diketahui oleh al-Imam al-Syafi'i, sementara hasil ijtihad beliau berbeda dengan hadits tersebut, maka sudah barang tentu hadits tersebut memang bukan madzhab beliau. Hal ini seperti ditegaskan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab 1/64.

Oleh karena demikian, para ulama menyalahkan al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jarud, seorang ulama ahli hadits bermadzhab al-Syafi'i, di mana setiap ia menemukan hadits shahih bertentangan dengan hasil ijtihad al-Imam al-Syafi'i, Ibn al-Jarud langsung mengklaim bahwa hadits tersebut sebenarnya madzhab al-Syafi'i, berdasarkan pesan al-Syafi'i di atas, tanpa meneliti bahwa hadits tersebut telah diketahui atau belum oleh al-Imam al-Syafi'i. Al-Imam al-Hafizh Ibn Khuzaimah al-Naisaburi, seorang ulama salaf yang menyandang gelar Imam al-Aimmah (penghulu para imam) dan penyusun kitab Shahih Ibn Khuzaimah, ketika ditanya, apakah ada hadits yang belum diketahui oleh al-Syafi'i dalam ijtihad beliau? Ibn Khuzaimah menjawab, "Tidak ada". Hal tersebut seperti diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitabnya yang sangat populer al-Bidayah wa al-Nihayah (juz 10, hal. 253).



Dialog Syaikh al-Nabhani dengan Rasyid Ridha

Terkadang kelompok yang anti madzhab menggugat kita dengan pendapat sang pendiri madzhab atau para ulama dalam madzhab yang kita ikuti, seakan-akan mereka lebih konsisten dari kita dalam bermadzhab. Kaum Wahhabi ketika menggugat kita agar meninggalkan tahlilan dan selamatan tujuh hari selalu beralasan dengan pendapat al-Imam al-Syafi'i yang mengatakan bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur'an tidak akan sampai kepada mayit, atau pendapat kitab I'anah al-Thalibin yang melarang acara selamatan tahlilan selama tujuh hari. Padahal selain al-Imam al-Syafi'i menyatakan sampai.

Kita kadang menjadi bingung menyikapi mereka. Terkadang mereka menggugat kita karena bermadzhab, yang mereka anggap telah meninggalkan al-Qur'an dan Sunnah. Dan terkadang mereka menggugat kita dengan pendapat imam madzhab dan para ulama madzhab. Padahal mereka sering menyuarakan anti madzhab.

Pada dasarnya kelompok anti madzhab itu bermadzhab. Hanya saja madzhab mereka berbeda dengan madzhab mayoritas kaum Muslimin. Ketika mereka menyuarakan anti tawassul, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Abdil Wahhab al-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang bertawassul, mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para sahabat, seluruh ulama salaf dan ahli hadits.

Ketika mereka menyuarakan shalat tarawih 11 raka'at, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Nashiruddin al-Albani, seorang tukang jam yang beralih profesi menjadi muhaddits tanpa bimbingan seorang guru, dengan belajar secara otodidak di perpustakaan. Sedangkan kaum Muslimin yang tarawih 23 raka'at, mengikuti Sayidina Umar, para sahabat dan seluruh ulama salaf yang saleh yang tidak diragukan keilmuannya.

Ketika mereka menyuarakan anti madzhab, maka sebenarnya mereka mengikuti Rasyid Ridha, Muhammad Abduh dan Ibn Abdil Wahhab. Sedangkan kaum Muslimin yang bermadzhab, mengikuti ulama salaf dan seluruh ahli hadits. Demikian pula ketika mereka menyuarakan anti bid'ah hasanah, maka sebenarnya mereka mengikuti madzhab Rasyid Ridha dan Ibn Abdil Wahhab al-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang berpendapat adanya bid'ah hasanah, mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Khulafaur Rasyidin, para sahabat, ulama salaf dan ahli hadits.

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, termasuk orang pertama yang sangat kencang menyuarakan anti madzhab, dengan menulis karyanya al-Wahdat al-Islamiyyah fi al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Akan tetapi, secara terus terang, ia mengikuti pemikiran Syaikh Muhammad Abduh al-Gharabili. Kedua nama ini, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, serta Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri aliran Wahhabi, sebenarnya yang menjadi imam madzhab beberapa aliran dan kelompok keagamaan yang anti madzhab di Indonesia.

Ada dialog menarik untuk dikutip di sini, berkaitan dengan bermadzhab. Yaitu dialog antara Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani al-Syafi'i, seorang ulama besar yang sangat populer, dengan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang ulama Salafi yang menyuarakan anti madzhab.

Dalam mukaddimah kitab al-'Uqud al-Lu'luiyyah fi al-Madaih al-Nabawiyyah, Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani berkata: "Ketika saya berkumpul dengan Syaikh Rasyid Ridha, saya berdialog dengannya tentang pribadi Syaikh Muhammad Abduh, gurunya. Saya berkata:

"Kalian menjadikan Syaikh Muhammad Abduh sebagai panutan dalam agama kalian, dan kalian mengajak manusia untuk mengikuti kalian. Ini jelas tidak benar. Syaikh Muhammad Abduh itu bukan orang yang konsisten memelihara kewajiban-kewajiban agama. Ia tidak sah menjadi panutan dalam agama. Sebagaimana dimaklumi dan diakui oleh semua orang, Abduh seringkali meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Saya sendiri pernah menemaninya dari pagi hari sampai menjelang maghrib, di rumah seorang laki-laki yang mengundang kami di Jabal Lebanon. Abduh tidak shalat zhuhur dan ashar, tanpa ada uzur. Bahkan ia sehat sekali. Dan ia melihat saya shalat zhuhur dan ashar, tetapi ia tidak melakukannya."

Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha mengakui bahwa Abduh memang sering meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Akan tetapi Rasyid Ridha masih membelanya dengan memberikan jawaban: "Barangkali madzhab beliau membolehkan jama' shalat di rumah (fi al-hadhar)."

Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid ini. Karena jama' shalat itu hanya dibolehkan dalam bepergian, ketika turun hujan dan sedang sakit menurut sebagian imam mujtahid, antara zhuhur dan ashar, serta antara maghrib dan isya', sebagaimana hadits shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tidak seorang pun dari kalangan ulama berpendapat bahwa zhuhur dan ashar boleh dijama' dengan maghrib dan isya'. Oleh karena itu, kami sulit menerima jawaban Rasyid Ridha.

Saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: "Lagi pula Syaikh Muhammad Abduh tidak pernah menunaikan ibadah haji ke baitullah di tanah suci, padahal ia mampu melakukannya. Dengan kemampuan yang ia miliki, berupa kekuatan fisik dan finansial, ia seringkali pergi ke Paris, London dan negara-negara Eropa lainnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menunaikan ibadah haji, padahal negaranya dekat dengan Makkah. Jadi tidak diragukan lagi, bahwa ia telah memikul dosa yang sangat besar dan meninggalkan salah satu rukun Islam".

Lalu saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: "Semua orang sepakat bahwa Syaikh Muhammad Abduh dan gurunya, Syaikh Jamaluddin al-Afghani, masuk dalam organisasi Masoni. Organisasi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama Islam. Bahkan organisasi ini menolak semua agama, anti semua pemerintahan, baik keagamaan maupun yang bukan. Bagaimana mungkin Syaikh Muhammad Abduh menjadi panutan dalam agama Islam, padahal ia seorang Masoni. Demikian pula gurunya."

Mendengar pertanyaan saya, Syaikh Rasyid Ridha menjawab: "Saya kan tidak ikut organisasi Masoni."

Saya berkata: "Seandainya kalian berkata bahwa Syaikh Muhammad Abduh itu seorang filosof Islam, seperti halnya Ibn Sina dan al-Farabi, tentu kami dapat menerima, meskipun kenyataannya tidak demikian. Karena hal itu tidak berdampak negatif pada kami dan agama kami. Adapun ketika ia termasuk orang yang paling fasiq sebab meninggalkan rukun-rukun Islam, lalu kalian berpendapat bahwa ia seorang imam (panutan) dalam agama Islam, tentu hal ini merupakan kemungkaran yang tidak akan diterima oleh orang yang berakal."

Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha berkata: "Kami tidak menganggap Syaikh Muhammad Abduh seperti Ibn Sina. Akan tetapi kami menganggapnya seperti al-Imam al-Ghazali."

Rasyid Ridha ini memang orang yang sesat dan keras kepala. Ia mengakui kalau Muhammad Abduh itu meninggalkan shalat dan haji serta menjadi anggota Masoni. Tetapi, ia masih menyamakannya dengan al-Imam al-Ghazali. Sebenarnya, setiap orang dari kelompok Wahhabi atau anti madzhab ini, meyakini bahwa dirinya lebih hebat dari pada al-Imam al-Ghazali. Karena kelompok mereka, baik yang besar maupun yang kecil, semuanya mengklaim sebagai mujtahid muthlaq. Sedangkan al-Ghazali sendiri tidak mengklaim sebagai mujtahid muthlaq, sebagaimana beliau jelaskan dalam Ihya' 'Ulum al-Din.

Orang-orang Wahhabi atau anti madzhab itu, masing-masing menganggap dirinya selevel imam madzhab yang empat radhiyallahu anhum. Perasaan ini begitu menancap dalam benak mereka. Nasehat tidak akan mempan bagi mereka. Mereka selalu berusaha agar orang lain mengikuti mereka, menjadi mujtahid muthlaq. Demikian komentar Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dengan disederhanakan.

Sumber : Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004.

Artikel Terkait

Komentar

Artikel Populer

Prahara Aleppo

French Foreign Minister Bernard Kouchner takes off a Jewish skull-cap, or Kippa, at the end of a visit to the Yad Vashem Holocaust Memorial in Jerusalem, Tuesday, Sept. 11, 2007. Kouchner is on an official visit to Israel and the Palestinian Territories. (AP Photo/Kevin Frayer) Eskalasi konflik di Aleppo beberapa hari terakhir diwarnai propaganda anti-rezim Suriah yang sangat masif, baik oleh media Barat, maupun oleh media-media “jihad” di Indonesia. Dan inilah mengapa kita (orang Indonesia) harus peduli: karena para propagandis Wahabi/takfiri seperti biasa, mengangkat isu “Syiah membantai Sunni” (lalu menyamakan saudara-saudara Syiah dengan PKI, karena itu harus dihancurkan, lalu diakhiri dengan “silahkan kirim sumbangan dana ke no rekening berikut ini”). Perilaku para propagandis perang itu sangat membahayakan kita (mereka berupaya mengimpor konflik Timteng ke Indonesia), dan untuk itulah penting bagi kita untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Suriah. Tulisan i

3 Ulama Paku Banten paling keramat yang masih hidup - Himayah atau Pemimpin Ulama di Tanah Banten

Forum Muslim - Banten merupakan provinsi Seribu Kyai Sejuta Santri. Tak heran jika nama Banten terkenal diseluruh Nusantara bahkan dunia Internasional. Sebab Ulama yang sangat masyhur bernama Syekh Nawawi AlBantani adalah asli kelahiran di Serang - Banten. Provinsi yang dikenal dengan seni debusnya ini disebut sebut memiliki paku atau penjaga yang sangat liar biasa. Berikut akan kami kupas 3 Ulama Paku Banten paling keramat yang masih hidup. 1. Abuya Syar'i Ciomas Banten Selain sebagai kyai terpandang, masyarakat ciomas juga meyakini Abuya Syar'i sebagai himayah atau penopang bumi banten. Ulama yang satu ini sangat jarang dikenali masyarakat Indonesia, bahkan orang banten sendiri masih banyak yang tak mengenalinya. Dikarnakan Beliau memang jarang sekali terlihat publik, kesehariannya hanya berdia di rumah dan menerima tamu yg datang sowan ke rumahnya untuk meminta doa dan barokah dari Beliau. Banyak santri - santrinya yang menyaksikan secara langsung karomah beliau. Beliau jug

Amalan Pada Malam Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha

Nabi Muhammad ﷺ bersabda: عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن رسول ﷺ قال: “من أحيا ليلة الفطر وليلة الأضحى لم يمت قلبه يوم تموت القلوب” رواه الطبراني في الكبير والأوسط. Dari Ubadah Ibn Shomit r.a. Sungguh Rosulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa menghidupkan malam Idul Fitri dan malam Idul Adlha, hatinya tidak akan mati, di hari matinya hati." ( HR.Thobaroni ) عن أبي أمامه رضي الله عنه عن النبي ﷺ قال : “من قام ليلتي العيدين محتسباً لم يمت قلبه يوم تموت القلوب”. وفي رواية “من أحيا” رواه ابن ماجه Dari Abi Umamah r.a, dari Nabi ﷺ, bersabda: Barangsiapa beribadah di dua malam Hari Raya dengan hanya mengharap ALLAH, maka hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati. ( HR. Ibnu Majah ) Bagaimana cara menghidupkan dua Hari Raya itu? Telah disebutkan oleh Syaikh Abdul Hamid Al Qudsi, dengan mengamalkan beberapa amalan: 1. Syaikh Al Hafni berkata: Ukuran minimal menghidupkan malam bisa dengan Sholat Isya’ berjama’ah dan meniatkan diri untuk jama’ah Sholat Shubuh pada besoknya. Atau mempe

ALASAN ALI MENUNDA QISHASH PEMBUNUH UTSMAN

Oleh :  Ahmad Syahrin Thoriq   1. Sebenarnya sebagian besar shahabat yang terlibat konflik dengan Ali khususnya, Zubeir dan Thalhah telah meraih kesepakatan dengannya dan mengetahui bahwa Ali akan menegakkan hukum qishash atas para pemberontak yang telah membunuh Utsman.  Namun akhirnya para shahabat tersebut berselisih pada sikap yang harus diambil selanjutnya. Sebagian besar dari mereka menginginkan agar segera diambil tindakan secepatnya. Sedangkan Ali memilih menunda hingga waktu yang dianggap tepat dan sesuai prosedur. 2. Sebab Ali menunda keputusan untuk menegakkan Qishash adalah karena beberapa pertimbangan, diantaranya : Pertama, para pelaku pembunuh Ustman adalah sekelompok orang dalam jumlah yang besar. Mereka kemudian berlindung di suku masing-masing atau mencari pengaruh agar selamat dari hukuman. Memanggil mereka untuk diadili sangat tidak mungkin. Jalan satu-satunya adalah dengan kekuatan. Dan Ali menilai memerangi mereka dalam kondisi negara sedang tidak stabil sudah pas

Sholawat-Sholawat Pembuka Hijab

Dalam Islam sangat banyak para ulama-ulama sholihin yang bermimpi Rosululloh Shollallohu Alaihi Wasallam dan mendapatkan petunjuk atau isyarat untuk melakukan atau mengucapkan kalimat-kalimat tertentu (seperti dzikir, sholawat, doa dll ). Bahkan sebagian di antara mereka menerima redaksi sholawat langsung dari Rasulullah dengan ditalqin kata demi kata oleh Beliau saw. Maka jadilah sebuah susunan dzikir atau sholawat yg memiliki fadhilah/asror yg tak terhingga.  Dalam berbagai riwayat hadits dikatakan bahwa siapa pun yang bermimpi Nabi saw maka mimpi itu adalah sebuah kebenaran/kenyataan, dan sosok dalam mimpinya tersebut adalah benar-benar Nabi Muhammad saw. Karena setan tidak diizinkan oleh Alloh untuk menyerupai Nabi Muhammad saw. Beliau juga bersabda, "Barangsiapa yg melihatku dalam mimpi maka ia pasti melihatku dalam keadaan terjaga" ----------------------------- 1. SHOLAWAT JIBRIL ------------------------------ صَلَّى اللّٰهُ عَلٰى مُحَمَّدٍ SHOLLALLOOH 'ALAA MUHAMMA

Daun Pepaya Jepang, Aman Untuk Pakan Kambing di @kapurinjing

KH.MUNFASIR, Padarincang, Serang, Banten

Akhlaq seorang kyai yang takut memakai uang yang belum jelas  Kyai Laduni yang pantang meminta kepada makhluk Pesantren Beliau yang tanpa nama terletak di kaki bukit padarincang. Dulunya beliau seorang dosen IAIN di kota cirebon. Saat mendapatkan hidayah beliau hijrah kembali ke padarincang, beliau menjual seluruh harta bendanya untuk dibelikan sebidang sawah & membangun sepetak gubuk ijuk, dan sisa selebihnya beliau sumbangkan. Beliau pernah bercerita disaat krisis moneter, dimana keadaan sangatlah paceklik. Sampai sampai pada saat itu, -katanya- untuk makan satu biji telor saja harus dibagi 7. Pernah tiba tiba datanglah seseorang meminta doa padanya. Saat itu Beliau merasa tidak pantas mendoakan orang tersebut. Tapi orang tersebut tetap memaksa beliau yang pada akhirnya beliaupun mendoakan Alfatihah kepada orang tersebut. Saat berkehendak untuk pamit pulang, orang tersebut memberikan sebuah amplop yang berisi segepok uang. Sebulan kemudian orang tersebut kembali datang untuk memi

Kisah Siti Ummu Ayman RA Meminum Air Kencing Nabi Muhammad SAW

Di kitab Asy Syifa disebutkan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW punya pembantu rumah tangga perempuan bernama Siti Ummu Ayman RA. Dia biasanya membantu pekerjaan istri Kanjeng Nabi dan nginap di rumah Kanjeng Nabi. Dia bercerita satu pengalaman uniknya saat jadi pembantu Kanjeng Nabi. Kanjeng Nabi Muhammad itu punya kendi yang berfungsi sebagai pispot yang ditaruh di bawah ranjang. Saat di malam hari yang dingin, lalu ingin buang air kecil, Kanjeng Nabi buang air kecil di situ. Satu saat, kendi pispot tersebut hilang entah ke mana. Maka Kanjeng Nabi menanyakan kemana hilangnya kendi pispot itu pada Ummu Ayman. Ummu Ayman pun bercerita, satu malam, Ummu Ayman tiba-tiba terbangun karena kehausan. Dia mencari wadah air ke sana kemari. Lalu dia nemu satu kendi air di bawah ranjang Kanjeng Nabi SAW yang berisi air. Entah air apa itu, diminumlah isi kendi itu. Pokoknya minum dulu. Ternyata yang diambil adalah kendi pispot Kanjeng Nabi. Dan yang diminum adalah air seni Kanjeng Nabi yang ada dal

Mengelola Blog Wordpress dan Blogspot Melalui Ponsel

Di jaman gatget yang serba canggih ini, sekarang dasboard wordpress.com dan blogspot.com semakin mudah dikelola melalui ponsel. Namun pada settingan tertentu memang harus dilakukan melalui komputer seperti untuk mengedit themes atau template. Dan bagi kita yang sudah terbiasa "mobile" atau berada di lapangan maka kita bisa menerbitkan artikel kita ke blog wordpress.com melalui email yang ada di ponsel kita, so kita nggak usah kawatir.

Abuya Syar'i Ciomas Banten

''Abuya Syar'i Ciomas(banten)" Abuya Syar'i Adalah Seorang Ulama Yg Sangat Sepuh. Menurut beliau sekarang beliau telah berrusia lebih dari 140 tahun. Sungguh sangat sepuh untuk ukuran manusia pada umumnya. Abuya Sar'i adalah salah satu murid dari syekh. Nawawi al bantani yg masih hidup. Beliau satu angkatan dengan kyai Hasyim asy'ary pendiri Nahdatul ulama. Dan juga beliau adalah pemilik asli dari golok ciomas yg terkenal itu. Beliau adalah ulama yg sangat sederhana dan bersahaja. Tapi walaupun begitu tapi ada saja tamu yg berkunjung ke kediamannya di ciomas banten. Beliau juga di yakini salah satu paku banten zaman sekarang. Beliau adalah kyai yg mempunyai banyak karomah. Salah satunya adalah menginjak usia 140 tahun tapi beliau masih sehat dan kuat fisiknya. Itulah sepenggal kisah dari salah satu ulama banten yg sangat berpengaruh dan juga kharismatik. Semoga beliau senantiasa diberi umur panjang dan sehat selalu Aaamiiin... (FM/ FB )