Pengantar Ghost Fleet |
GHOST FLEET, BUKAN NOVEL BIASA
(Intelijen Selalu Menggunakan Prediksi Paling Pesimis untuk Menganalisa Tindakan Antisipatif)
=================
(by : Iramawati Oemar)
•••••••
Sabtu, 24 Maret 2018, acara Apa Kabar Indonesia (AKI) Pagi di TV One mengupas masalah novel Ghost Fleet yang sedang ramai dibincangkan di media sosial.
Acara itu menghadirkan 2 orang nara sumber, keduanya pengamat intelijen. Narsum pertama pengamat senior masalah intelijen Pak Prayitno Ramelan, menyebut bahwa Ghost Fleet memang bentuknya novel, namun itu sebuah novel serius yang dijadikan rujukan dan bahan diskusi. Para pengamat intelijen di luar negeri biasa menjadikan novel/bacaan semacam itu sebagai bahan diskusi.
Adapun apa yang dikatakan Pak Prabowo, beliau hanya sekedar menyampaikan bahwa di luar sana orang sudah membuat prediksi bahwa di tahun 2030 Indonesia sudah tidak ada lagi. Sebenarnya hal ini sesuatu yang biasa saja. Hanya saja karena Pak Prabowo menyampaikannya di tahun politik, tahun depan adalah tahun pilpres, maka pernyataan tersebut dibuat menjadi "rame".
Nara sumber kedua seorang pengamat intelijen juga, masih muda, saya lupa mencatat namanya. Dia lebih banyak membahas tentang buku Ghost Fleet itu sendiri, tentang apa dan bagaimana novel itu ditulis.
Menurutnya itu bukanlah novel seperti pada umumnya. Buku setebal lebih dari 300an halaman itu ditulis oleh seorang pakar masalah intelijen. Dalam penyusunannya, novel itu dibuat dengan melalui proses riset, interview, rapat-rapat dengan kalangan militer dan intelijen. Karenanya, novel tersebut kemudian banyak dijadikan bahan diskusi oleh para pemerhati intelijen. Jadi seharusnya tidak ada yang aneh jika prediksi mengenai "perang" antara Amerika dan China itu disampaikan.
Pak Prayitno Ramelan menambahkan, bahwa di dunia intelijen biasanya yang dipakai justru prediksi pesimistis. Prediksi tentang kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Hal ini agar dalam menganalisis dan membuat tindakan antisipasinya bisa lebih tepat.
*** *** ***
Saya mencoba mengambil point dari apa yang disampaikan Pak Prayitno. Benar juga, jika seorang intelijen hanya mengambil prakiraan optimistis, maka ia tak akan mampu melakukan analisa dan tindakan antisipatif jika kondisi terburuk yang terjadi.
Berapa banyak kejadian yang "runyam" hanya karena orang-orang yang terlibat terlalu optimis dan sama sekali tidak mempertimbangkan kemungkinan sebaliknya. Entah itu menyangkut masalah intelijen atau tidak.
Sekedar contoh, kapal Titanic tenggelam secara tragis pada pelayaran perdananya justru karena sang pemilik kapal terlampau optimis kapalnya tak akan mungkin tenggelam. Bahkan Tuhan pun tak akan mampu menenggelamkan kapal raksasa itu, ucapnya dalam pidato sebelum kapal diberangkatkan. Optimisme pulalah yang membuat mereka tak menyiapkan sekoci yang memadai untuk jumlah penumpang yang banyak.
Bahkan, tabrakan dengan gunung es yang akhirnya mengakibatkan lambung kapal sobek, juga karena crew mengabaikan peringatan radio yang masuk. Mereka merasa itu annoying, radio justru dimatikan, sehingga tak ada lagi peringatan yang masuk hingga akhirnya kapal membentur gunung es.
Tak usah jauh-jauh ke masa silam jaman kapal Titanic, saya masih ingat pada November 2016 lalu, banyak pengamat politik menyesalkan gagalnya prediksi intelijen terkait peserta Aksi 411 yang melakukan longmarch dari masjid Istiqlal menuju istana negara. Karena prediksi awal yang terlalu mengecilkan asumsi jumlah peserta aksi, maka Presiden terlanjur menjanjikan dirinya akan menemui para pendemo. Bahkan dihadapan sejumlah awak media yang menyiarkan langsung pernyataan Presiden, beliau menjanjikan "saya besok tidak akan kemana-mana".
Saya masih ingat, dalam sebuah talk show tv, pengamat M. Qodari sangat menyesalkan prediksi intelijen yang dianggapnya tidak mampu memberikan informasi yang benar kepada Presiden. Menurut Qodari, saat itu diprediksi peserta Aksi 411 hanya sekitar 35 ribuan orang saja. Coba kalau prediksinya agak akurat, tentu akan lebih bisa diantisipasi. Membludaknya massa peserta aksi baru diketahui menjelang tiba masa sholat Jumat, sehingga sudah sulit untuk membuat antisipasi.
Dalam diskusi di ILC, 4 hari pasca Aksi 411, Kapolri pun mengakui bahwa pihaknya hanya memprediksi jumlah peserta maksimal sekitar 60 ribuan orang, tidak akan sampai 100 ribu.
Wajar saja jika aparat keamanan kemudian tidak sanggup membuat skenario antisipatif yang memadai, karena tak ada yang memprediksi peserta Aksi akan lebih dari 1 juta bahkan 2 juta orang. Padahal, jika saja mau menyimak ramainya perbincangan di sosial media, seharusnya "aroma" membludaknya jumlah peserta sudah tercium.
Memang, media mainstream hampir tak ada yang memberitakan atau meliput kondisi masjid Istiqlal pada hari-hari menjelang 411. Media sosial-lah yang mengambil alih peran itu. Ocehan nettizen plus unggahan foto menunjukkan ramainya Istiqlal dipenuhi jamaah dari luar kota sejak H-3 sebelum 411.
Sayangnya pada saat itu justru ada himbauan dari Kapolri agar jangan mempercayai sosial media.
Lebih tragis lagi, sosial media yang dioperasikan kubu yang anti Aksi 411, justru makin mencoba mengecilkan gaung Aksi 411 dengan mengunggah kabar dan foto hoax tentang suasana sepinya masjid Istiqlal. Ini makin menyesatkan lagi.
Padahal sejak Kamis petang hingga Jumat subuh, kondisi Istiqlal sudah penuh dan tentunya sudah melebihi 200 ribu orang jika sesuai daya tampung masjid.
Belajar dari kejadian riil di tanah air sendiri, belum berhadapan dengan pihak asing/musuh dari luar, aparat keamanan kita bisa "kecolongan" terkait banyaknya peserta aksi, hanya karena tidak akuratnya prediksi intelijen.
Prediksi yang terlalu optimistik, mengecilkan peran media sosial sebagai pemberi informasi alternatif yang tidak kalah akurat dibanding liputan media mainstream, mengakibatkan semua jadi "kaget" dan tercengang ketika ternyata massa Aksi 411 berpuluh-puluh kali lipat dari dugaan.
Untung saja Aksi 411 berlangsung damai. Untung saja peserta Aksi patuh pada seruan ulama, sehingga meskipun kecewa berat karena Presiden tak ada di tempat mereka tak berbuat kerusakan.
*** *** ***
Nah, sekarang kembali ke realitas kondisi bangsa kita saat ini. Ketika Pak Prabowo menyampaikan bahwa "diluar sana" orang-orang telah membuat prediksi tahun 2030 negara kita sudah dianggap bubar, sesungguhnya beliau tidak hanya melontarkan itu saja, namun juga menyampaikan keresahannya tentang beberapa hal. Ketimpangan sosial yang menyolok, penguasaan sebagian besar tanah negeri ini oleh sekelompok kecil golongan saja, diangkutnya kekayaan alam negeri ini keluar dan tidak lagi berada di Indonesia, dan untuk semua kejadian itu kita masih bersikap biasa saja.
Kalau saya boleh menambahkan, belum lagi maraknya serbuan TKA yang bukan hanya di level tenaga berkeahlian khusus saja, namun sudah merambah ke tenaga kerja kasar pada umumnya sehingga merebut kesempatan kerja anak bangsa sendiri, dan kita masih bersikap biasa saja. Bahkan pintu untuk itu dibuka lebar dengan meniadakan syarat harus bisa berbahasa Indonesia. Bahkan karpet merah bagi pekerja asing siap digelar dengan perintah agar mempermudah perijinan tenaga kerja asing.
Belum lagi serbuan bubuk sabu dalam jumlah berton-ton, dan kita masih bersikap biasa saja. Ketika bulan Oktober lalu ditangkap 1 ton sabu yang masuk dari Tiongkok lewat Anyer, seharusnya itu sudah warning keras. Tidak bisa lagi dihadapi dengan cara business as usual.
Namun ternyata, jumlah 1 ton belumlah apa-apa karena ternyata ada lagi sabu yang masuk dengan jumlah lebih fantastis, hingga ratusan ton.
Dan ini belum jadi "alert" bagi kita??
Jika untuk membuat seorang pemuda kecanduan narkoba saja cukup dengan 100 gram sabu yang di konsumsi setiap hari 1 gram hingga selama 3 bulan terus menerus sudah cukup membuatnya ketagihan, maka 1 kg sabu bisa membuat 10 pemuda menderita ketergantungan pada narkotika jenis sabu.
Maka 1 ton sabu bisa membuat 10 ribu pemuda jadi pecandu. Dan 100 ton sabu akan membuat 1.000.000 pemuda jadi generasi yang "hilang". Cobalah tanya pada BNN dan dokter ahli penanggulangan masalah narkoba, apakah menyembuhkan ketergantungan pada narkoba bisa dengan mudah? Tidak!
Nah, bayangkan jika pasokannya bukan hanya 1 ton, bukan hanya 100 ton, apalagi kalau bukan hanya sekali.
Apakah salah jika ada yang mengatakan "kalau begini caranya, 10 tahun ke depan kita akan kehilangan generasi muda" ?!
Merusak sebuah bangsa tidak perlu harus menyerangnya lewat aksi militer. Jika pengerahan kekuatan militer butuh biaya besar, berdarah-darah dan menimbulkan kecaman pelanggaran HAM, maka ada cara "damai" sekaligus mendatangkan uang banyak. Yaitu melumpuhkan generasi mudanya dengan "mimpi" palsu. Mencekoki mereka dengan narkoba, minuman keras, pornografi dan pornoaksi. Semuanya bisnis menggiurkan yang berdampak tak kalah dahsyat dengan peperangan berdarah. Mematikan satu generasi tanpa perlu membuat jasadnya mati, cukup hanya dengan mematikan pikiran mereka.
Jadi, sekali lagi, prediksi intelijen asing yang dituangkan dalam bentuk novel itu hanyalah sebuah peringatan. Kita bisa saja menyebutnya fiksi belaka. Tapi seyogyanya kita menengok ke dalam, adakah tanda-tanda atau sebab-sebab yang memungkinkan hal itu terjadi? Jika ada, sudahkah kita mengantisipasinya? Sudahkah kita menyalakan red alert atas berbagai hal yang memungkinkan negeri ini hancur atau dihancurkan dari luar?!
Jika prediksi dalam novel Ghost Fleet didasarkan pada riset, interview dan meeting dengan pihak-pihak yang berkompeten, masih dianggap fiksi dan yang mengutip ya dikatakan "ngawur", maka bagaimana pula dengan mereka yang beberapa waktu lalu berteriak "Indonesia akan jadi seperti Suriah!"
Tidakkah itu juga ngawur dan menebarkan pesimisme?!
Come on, jangan double standar begitu, dong!
=IO=
note : foto berikut adalah lembar kata pengantar dari buku Ghost Fleet
Komentar
Posting Komentar