Forum Muslim -- Dalam setiap kebijakan luar negerinya, para zionis selalu menyertakan tiga motif. Selain ekspansi wilayah mengikuti 'semangat' Israel Raya yang bercita-cita membangun negara Israel dengan wilayah dari Mesir hingga Irak, para zionis selalu mempertimbangkan faktor 'pengorbanan darah'. Ini adalah manifestasi dari kepercayaan kuno penyembah setan 'Kaballa'.
Inilah mengapa dunia, terutama sejak berkuasanya para zionis neo-konservatif dan neo-liberalis di Amerika hingga turunannya regim Salmanis di Saudi, terus-menerus dilanda konflik-konflik berdarah dengan ummat Islam sebagai korban terbesarnya. Jutaan warga sipil tak berdosa di negara-negara Timur Tengah tewas sejak Amerika menyerang Irak tahun 1990 hingga konflik Suriah dan Yaman saat ini.
Dan terakhir adalah motif ekonomi. Analis politik dan wartawan senior Wayne Madsen dan tulisannya di situsStrategic Culture, 11 Desember lalu secara detil mengungkapkan motif motif di balik Amerika atas Jerussalem sebagai ibukota Israel.
Menurut Madsen, keputusan itu berdasar pada 'politik religius' yang dijalankan oleh Penasihat Presiden sekaligus menantu Donald Trump, Jared Kushner. Kushner yang dikenal dekat dengan PM Israel Binyamin Netanyahu dan pengusaha zionis Sheldon Adelson itu telah membentuk tim penyusun kebijakan Timur Tengah yang benar-benar pro-Israel, yaitu Dubes AS untuk Israel David Friedman dan 'Utusan Khusus untuk Perundingan Internsional' Jason Greenblatt.
Friedman adalah mantan pengacara di kantor pengacara pembela Donald Trump, Kasowitz, Benson, Torres & Friedman. Sementara Greenblatt adalah 'chief legal officer' untuk organisasi bisnis Donald Trump.
"Kushner, seorang yahudi orthodok, bersama dengan Friedman dan Greenblatt, mewakili para kabal zionis garis keras yang menolak adanya negara Palestina dan mendukung solusi satu negara sekuler Israel dimana warga Palestina hanya menjadi warga negara kelas dua. Berkaitan dengan Netanyahu dan Adelson, ada motif-motif rahasia lainnya di balik pengakuan Jerusalem sebagai ibukota Israel," tulis Madsen.
Pada 2009 para penyidik federal (FBI) menangkap sekelompok rabi Yahudi-Suriah di New Jersey dan New York yang menggelar aksi-aksi pengalangan dana bagi partai Binyamin Netanyahu, partai ultra-Orthodox Shas. Hubungan antara para rabbi yahudi di Amerika dengan regim korup Netanyahu menjadi dasar dari kebijakan ekspansi pemukiman yahudi di Jerussalem Timur, wilayah milik Palestina yang diduduki Israel. PBB tidak pernah mengakui Jerussalem Timur sebagai wilayah Israel dan Palestina menganggapnya sebagai ibukotanya yang syah.
Penyandang dana utama pembangunan pemukiman illegal yahudi di Jerussalem Timur adalah bandar judi Irving Moskowitz. Pendukung kuat neo-conservatifme Amerika, Moskowitz turut mendanai organisasi-organisasi pro-Israel seperti Hudson Institute, Jewish Institute for National Security Affairs (JINSA), American Enterprise Institute, dan Center for Security Policy (CSP). Frank Gaffney, seorang pengidap Islamophobe dan mantan penasihat kampanye Donald Trump, adalah pemimpin CSP.
Moskowitz telah membeli tanah-tanah milik warga Arabs, kebanyakan di Jerusalem Timur dengan cara ancaman dan intimidasi, dan mengubahnya menjadi kota eksklusif bagi warga Yahudi. Namun yang lebih mengkhawatirkan proses perdamaian Palestina-Israel adalah bahwa Moskowitz juga mendanai gerakan Ateret Cohanim yang bercita-cita merobohkan Masjidil Haram dan menggantinya dengan Kuil Yahudi.
Di antara langkah kontroversial Moskowitz adalah pembelian Hotel Shepherd, yang berada di atas tempat bersejarah Mount Scopus. Secara legal hotel ini adalah milik dinasti Hashemite penguasa Yordania. Namun sejak tahun 1967 dirampas Israel setelah Perang 6 Hari yang memalukan bangsa-bangsa Arab. Hotel ini menjadi pertikaian sengit antara pemerintahan Barack Obama yang menentang rencana Netanyahu untuk mengubahnya menjadi apartemen bagi warga yahudi.
Pada tanggal 27 Juli lalu, editorial Jerusalem Post menyatakan: "Faktanya adalah sementara yahudi Amerika seperti Irving Moskowitz bisa membeli tanah di Jerussalem Timur, warga Palestina sendiri tidak bisa membeli tanah di Jerussalem Barat, karena Israel Lands Administration (BPN Israel), hanya akan menyetujui kontrak jual-beli dengan warga negara Israel saja."
Inilah mengapa dunia, terutama sejak berkuasanya para zionis neo-konservatif dan neo-liberalis di Amerika hingga turunannya regim Salmanis di Saudi, terus-menerus dilanda konflik-konflik berdarah dengan ummat Islam sebagai korban terbesarnya. Jutaan warga sipil tak berdosa di negara-negara Timur Tengah tewas sejak Amerika menyerang Irak tahun 1990 hingga konflik Suriah dan Yaman saat ini.
Dan terakhir adalah motif ekonomi. Analis politik dan wartawan senior Wayne Madsen dan tulisannya di situsStrategic Culture, 11 Desember lalu secara detil mengungkapkan motif motif di balik Amerika atas Jerussalem sebagai ibukota Israel.
Menurut Madsen, keputusan itu berdasar pada 'politik religius' yang dijalankan oleh Penasihat Presiden sekaligus menantu Donald Trump, Jared Kushner. Kushner yang dikenal dekat dengan PM Israel Binyamin Netanyahu dan pengusaha zionis Sheldon Adelson itu telah membentuk tim penyusun kebijakan Timur Tengah yang benar-benar pro-Israel, yaitu Dubes AS untuk Israel David Friedman dan 'Utusan Khusus untuk Perundingan Internsional' Jason Greenblatt.
Friedman adalah mantan pengacara di kantor pengacara pembela Donald Trump, Kasowitz, Benson, Torres & Friedman. Sementara Greenblatt adalah 'chief legal officer' untuk organisasi bisnis Donald Trump.
"Kushner, seorang yahudi orthodok, bersama dengan Friedman dan Greenblatt, mewakili para kabal zionis garis keras yang menolak adanya negara Palestina dan mendukung solusi satu negara sekuler Israel dimana warga Palestina hanya menjadi warga negara kelas dua. Berkaitan dengan Netanyahu dan Adelson, ada motif-motif rahasia lainnya di balik pengakuan Jerusalem sebagai ibukota Israel," tulis Madsen.
Pada 2009 para penyidik federal (FBI) menangkap sekelompok rabi Yahudi-Suriah di New Jersey dan New York yang menggelar aksi-aksi pengalangan dana bagi partai Binyamin Netanyahu, partai ultra-Orthodox Shas. Hubungan antara para rabbi yahudi di Amerika dengan regim korup Netanyahu menjadi dasar dari kebijakan ekspansi pemukiman yahudi di Jerussalem Timur, wilayah milik Palestina yang diduduki Israel. PBB tidak pernah mengakui Jerussalem Timur sebagai wilayah Israel dan Palestina menganggapnya sebagai ibukotanya yang syah.
Penyandang dana utama pembangunan pemukiman illegal yahudi di Jerussalem Timur adalah bandar judi Irving Moskowitz. Pendukung kuat neo-conservatifme Amerika, Moskowitz turut mendanai organisasi-organisasi pro-Israel seperti Hudson Institute, Jewish Institute for National Security Affairs (JINSA), American Enterprise Institute, dan Center for Security Policy (CSP). Frank Gaffney, seorang pengidap Islamophobe dan mantan penasihat kampanye Donald Trump, adalah pemimpin CSP.
Moskowitz telah membeli tanah-tanah milik warga Arabs, kebanyakan di Jerusalem Timur dengan cara ancaman dan intimidasi, dan mengubahnya menjadi kota eksklusif bagi warga Yahudi. Namun yang lebih mengkhawatirkan proses perdamaian Palestina-Israel adalah bahwa Moskowitz juga mendanai gerakan Ateret Cohanim yang bercita-cita merobohkan Masjidil Haram dan menggantinya dengan Kuil Yahudi.
Di antara langkah kontroversial Moskowitz adalah pembelian Hotel Shepherd, yang berada di atas tempat bersejarah Mount Scopus. Secara legal hotel ini adalah milik dinasti Hashemite penguasa Yordania. Namun sejak tahun 1967 dirampas Israel setelah Perang 6 Hari yang memalukan bangsa-bangsa Arab. Hotel ini menjadi pertikaian sengit antara pemerintahan Barack Obama yang menentang rencana Netanyahu untuk mengubahnya menjadi apartemen bagi warga yahudi.
Pada tanggal 27 Juli lalu, editorial Jerusalem Post menyatakan: "Faktanya adalah sementara yahudi Amerika seperti Irving Moskowitz bisa membeli tanah di Jerussalem Timur, warga Palestina sendiri tidak bisa membeli tanah di Jerussalem Barat, karena Israel Lands Administration (BPN Israel), hanya akan menyetujui kontrak jual-beli dengan warga negara Israel saja."
Dengan koalisi pendukung-pendukung Netanyahu seperti rabbi-rabbi yahudi di New Jersey dan New York serta Jared Kushner, pengaruh para pendukung garis keras Israel di pemerintahan Donald Trump sangatlah jelas. FBI berhasil mengidentifikasi sejumlah rabbi yahudi New Jersey dan New York yang memanfaatkan sinagog-sinagog dan yeshivas yahudi sebagai alat pencucian uang penjualan barang-barang ilegal dari souvenir KW hingga organ manusia. Saksi yang digunakan dalam penyidikan bernama Solomon Dwek, adalah seorang pengembang (developer) besar dan pemilik kapal judi. Ia ditangkap tahun 2006 saat berusaha mencairkan chek palsu senilai $25 juta di PNC Bank. Dwek juga tokoh penting di kelompok gang rabbi kriminal dan berpengaruh di New Jersey dan New York, yang sering disebut-sebut sebagai 'SY Empire' dan 'Dwek Clan'. Kelompok ini diketahui juga berkaitan dengan Kushner Companies, perusahaan real estate milik Jared Kushner yang berbasis di New Jersey dan New York. Saat ini Jared Kushner dan Trump Organization tengah dalam penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa Khusus Robert Mueller terkait dengan dugaan kegiatan 'money laundering' yang dilakukan oleh keluarga Trump dan Kushner. Dugaan praktik kotor ini dilaporkan mencakup praktik pencucian uang melalui pembelian sejumlah real estate, termasuk kondominium milik Trump dan Kushner di Manhattan-New York dan New Jersey. Kasus ini kini menjadi kasus utama setelah Mueller menjadi Direktur FBI. Berikut adalah cuplikan dari hasil penyidikan FBI atas praktik pencucian uang yang dilakukan orang-orang Shas di Amerika. Dalam satu tuduhan terhadap Rabbi Eliahu "Eli" Ben Haim dari Ohel Yaacob Congregation di Deal, New Jersey, seorang saksi warga Israel yang menjadi penyandang dana bagi Ben Haim, menyebutkan bahwa praktik pencucian uang tersebut melibatkan sejumlah besar negara. "Dari seluruh dunia. Dari seluruh dunia. Dari Australia hingga New Zealand, Uganda. Maksud saya, seluruh negara yang bisa dibayangkan. Turki, anda tidak akan percaya. Swiss, Perancis, Spanyol… China, Jepang," kata CW, saksi dalam kasus tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa praktik pencucian uang bagi pembangunan pemukiman ilegal yahudi di Palestina melibatkan banyak negara. Pada bulan Juli 2009 koran Israel Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa Rabbi David Yosef, putra dari pemimpin spiritual Shas dan mantan Rabbi Besar Israel Ovadia Yosef, meninggalkan rumah Ben-Haim di Long Branch, New Jersey, hanya beberapa jam sebelum FBI menyerbu rumah itu dan menangkap Ben-Haim. Pada bulan Mei 2009, pemimpin Shas Aryeh Deri melakukan kunjungan penggalangan dana ke komunitas Yahudi-Suriah di New York dan New Jersey. Penggantinya, Eliyahu "Eli" Yishai, kemudian menjadi Menteri Dalam Negeri dan Deputi Perdana Menteri kabinet Netanyahu. Yishai memblokir upaya penyidik untuk menyelidiki propertinya di Jerusalem dan Tepi Barat. Ovadia Yosef juga mengecam Presiden Obama yang terus mendesak Israel untuk menghentikan pembangunan pemukiman ilegal di Palestina. Tidak hanya itu, Yosef menyerukan pembanguna kembali Kuil Besar Yahudi di lokasi Masjidil Aqsa di Jerusalem. Ia bersikukuh bahwa 'tidak ada orang Arab' di tempat ini. Dalam lingkungan zionis seperti inilah, Trump akhirnya membalikkan kebijakan luar negeri Amerika di Timur Tengah, dari penengah yang 'netral' menjadi pendukung garis keras Israel dengan mengakui Jerussalem sebagai ibukota Israel. Sumber : Indonesian Free Press |
Komentar
Posting Komentar