Raja Salman - File blogunik.com |
Forum Muslim - Ada yang bilang, 'pembersihan' lawan politik gila-gilaan ala Ibn Salman merupakan upaya Saudi untuk 'berdikari' dan memutus jeratan petrodollar.
Gantinya, konon Saudi ingin beralih ke petroyuan. Dan eskalasi permusuhan dengan Iran mengindikasikan perubahan 'ombak', dimana Saud kini berkiblat ke Timur, dan Iran, perlahan menjadi 'antek' Barat.
Indikasinya apa? Katanya, kunjungan Salman ke Moskow adalah bukti peralihan kiblat Riyadh. Kalau soal Iran? Well, keputusan Imam Khomeini untuk menyewa pesawat Air France saat pulang dari Perancis ke Iran menunjukkan sedari awal bahwa revolusi Iran, tidak murni dan 'didukung' Barat.
Ujungnya, kekacauan akhir-akhir ini yang bermula dari pengunduran diri Hariri akan memulai serangkaian peristiwa besar, yang sudah dimulai dari serangan misil AS (menggunakan 'tangan' Houthi) ke Riyadh dari Yaman dan akan berakhir dengan invasi Iran ke Saudi.
Nggak percaya? Ada 'tafsir' hadits yang siap sedia untuk menjadi stempel sahnya 'analisis' ini.
Udah capek mringisnya? Good. Mari kita bedah sedikit saja.
Memutus petrodollar seolah menjadi hal yang 'mudah' dilakukan ibn Salman. Betapa tidak, sudah berapa negara yang kacau dibikin elang gundul, hanya gegara pemimpinnya, berniat menjual minyak dengan selain dolar.
Saddam dan Khadaffi adalah nama-nama yang mudah diingat. Iraq dan Libya hancur-lebur, demi mengamankan petrodollar. Preteks yang digunakan AS sangat mirip. Penyebutan diktator, propaganda pergolakan internal, hingga 'keharusan' elang gundul untuk 'turun-tangan' menyelamatkan rakyat.
Padahal, waktu itu, situasi peralihan dari petrodollar di Iraq dan Libya, masih berupa rencana. Saddam ingin jual minyak dengan Euro. Sementara Khadaffi ingin jual dengan emas.
Pertanyaannya, mengapa AS sama sekali tidak 'marah' jika memang benar Saudi berniat melengserkan petrodollar, dan bahkan berubah kiblat politik?
Bukankah preteks untuk mendiktatorkan Salman dan putranya sangat mudah didapat, dengan agresi militer kejinya yang sudah lama berlangsung di Yaman? Bahrain?
Bukankah sarana untuk menerapkan no-fly-zone akan semudah menjentikkan jari, mengingat banyaknya pangkalan militer AS di Nejd? Bukankah pusat komando CENTCOM masih tegak berdiri di Qatar, negara yang beberapa waktu lalu dimusuhi Saudi?
Apakah AS di bawah Trump sudah sedemikian goblok, hingga mau menjual paket perangkat kemiliteran begitu besar kepada negara yang punya 'potensi' untuk balik gagang?
Jika kunjungan Salman ke Moskow dan Beijing dianggap sebagai perubahan kiblat, sesederhana itu, bagaimana kita akan mampu memahami manuver seperti, contohnya, Erdogan?
Bagaimana dengan Jokowi yang sudah bertemu Trump, Xi Jinping dan Putin dalam tempo setahun? Petro-dollar-yuan-rubel? Ganas!
Di Lebanon, Hariri mendapat imbas langsung dari apa yang terjadi di Syria. Pergeseran peta konflik mengharuskan Hariri (kontraktor spesialis pembangunan pasca-perang) untuk menjalin hubungan dengan Iran, sebagai salah satu protektor Syria saat ini.
Hariri mencium peluang untuk kembali memperkaya diri, seperti yang dilakukan ayahnya, setelah Lebanon luluh-lantak akibat invasi israel yang akhirnya dipukul mundur Hezbollah.
Problemnya, Hariri adalah 'wakil' Saudi di Lebanon, seperti halnya Abd Rabbuh Mansur Hadi yang ngeyel ingin bertahta di Yaman. Pertemuan dengan Ali Akbar Velayati, pejabat penting Iran di Beirut, membuat Saudi merasa harus mempertanyakan kesetiaannya.
Tuduhannya bahwa Hezbollah berniat membunuhnya menjadi menggelikan, mengingat bagaimana ibn Salman memburu sepupu-sepupunya, hingga bahkan mengakibatkan beberapa diantaranya tewas dalam baku tembak.
Lalu, bagaimana kita melihat indikasi akan adanya invasi Iran ke Saudi, melalui Hezbollah dengan preteks entah apa yang tentu akan memberi alasan sempurna bagi Pentagon dan Tel Aviv untuk berbaris menuju Tehran?
Entahlah.
Namun setidaknya saya yakin, jika pada 1 Februari 1979 lalu, Imam Khomeini melihat pesawat Garuda Indonesia yang lagi disewakan di bandara Paris, beliau pasti akan menaikinya.
Dan ceritanya akan berubah. Revolusi Iran adalah 'kerjaan' Indonesia.
Gitu. (Helmi Aditya)
Komentar
Posting Komentar