Ilustrasi obat antibiotik |
Forum Muslim - Sejak kecil, masyarakat terbiasa memberikan berbagai macam obat agar anaknya yang jatuh sakit segera sembuh. Tak jarang pemberian antibiotik ini tidak sesuai aturan. Karena dibiarkan, lama-kelamaan inilah yang memicu resistensi antibiotik.
Menurut Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) sebagaimana dirilis dalam situs Detik, dr Hari Paraton, MD, SpOG(K), tes untuk mengetahui apakah seseorang memiliki bakteri resisten dalam tubuhnya atau tidak bisa dilakukan di laboratorium manapun.
Tes dilakukan dengan mengambil swab atau sekaan cairan dari hidung, mulut, vagina atau anus. Sampel ini kemudian dikultur untuk mengetahui komposisi bakteri yang ada.
"Saya jamin 100 persen sudah ada yang resisten, kecuali anak yang baru lahir," tandas dr Hari dalam Pfizer Press Circle (PPC) tentang Resistensi Antibiotik di Hotel Wyndham Surabaya beberapa waktu lalu.
Namun, lanjut dr Hari, itu bukan berarti harga mati. Senyampan jumlah bakteri resistennya tidak bertambah, di antaranya dengan membatasi konsumsi antibiotik, maka kesehatan seseorang tetap akan terjamin.
Sepakat dengan dr Hari, Prof Dr dr Usman Hadi, MD, PhD, SpPD-KPTI, Kepala Divisi Penyakit Tropis dan Infeksi, Departemen Penyakit Dalam RSUD Dr Soetomo, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga juga mengutarakan, ketika seseorang sudah mengalami resistensi antibiotik, maka resistensi ini akan tetap ada, kecuali kebiasaan minum antibiotiknya dihentikan.
"Dengan begitu, bakteri yang normal kembali dan yang resisten tadi akan tertekan dan lama-lama akan habis. Tapi itu memang memerlukan waktu yang cukup lama. Salah satu metodenya adalah cycling, jadi misalnya seseorang resisten terhadap amoxicillin, maka amoxicillin tidak digunakan selama lima tahun, dengan harapan lima tahun berikutnya sudah tidak resisten lagi, tapi ini juga tidak mudah untuk dilaksanakan," papar Prof Usman.
Apalagi tidak ada cara yang bisa dilakukan untuk memastikan efektivitas metode tersebut. "Kita tidak tahu persis kapan karakter bakterinya kembali baik," imbuhnya.
Kaitannya dengan resistensi antibiotik, Prof Usman juga menyoroti pengaruh kepatuhan minum obat terhadap kemunculan fenomena ini. Bila seorang pasien diberi resep obat dengan aturan minum 3 kali sehari, maka aturan yang benar adalah obat diminum dalam kurun waktu 24 jam dibagi 3, bukan asal pagi, siang, sore ataupun malam.
Tetapi jarang ada pasien yang diarahkan untuk mengonsumsi obat sesuai aturan tersebut sehingga resistensi bisa muncul karena dosis yang tidak tepat. Prof Usman juga mengatakan ini bisa berpengaruh ke tingkat kesembuhan pasien karena aturan minum yang bisa saja tidak sesuai.
"Kalau yang aturannya diminum satu kali tapi diminum dua kali ya tidak ada gunanya. Tapi kalau gini semua dicari enaknya saja, daripada lupa," tuturnya.
Di sisi lain, semenjak munculnya isu resistensi antibiotik, penggunaan antibiotik di rumah sakit juga dianggap Prof Usman memprihatinkan. Penelitian yang dilakukan Prof Usman dan timnya di Surabaya menemukan adanya perbedaan mencolok pada pasien yang belum pernah dirawat di rumah sakit dengan yang sudah pernah diopname.
"Skemanya menunjukkan tinggal di rumah sakit itu bukan sesuatu hal yang baik. Oleh karena di rumah sakit, di samping penyakitnya disembuhkan tetapi juga dapat bonus, yaitu membawa pulang kuman kebal antibiotik walaupun tidak sakit," urainya.
Ironisnya, pasien sudah bisa 'membawa pulang' bakteri kebal antibiotik hanya setelah dirawat sedikitnya selama lima hari. Dari yang semula jumlahnya hanya 5 persen sebelum diopname menjadi sebanyak 15 persen begitu keluar dari rumah sakit.
"10 Persen pulang mendapat bonus kuman. Kalau sampai menyebabkan infeksi ini tentu membahayakan," pungkasnya. (FM)
Komentar
Posting Komentar