Perbedaan itu Indah - File Supeksa |
Oleh : Hendradjit
Saya dapat kesan, yang pada menyuarakan kekhawatiran soal intoleransi yang mengarah pada situasi kayak di Suriah dan Afghanistan, sebenarnya justru sedang memprovokasi ke arah seperti itu. Bukan dengan niat memberi peringatan dini atau early warning system.
Di Indonesia itu, dalam kesejarahannya nggak ada itu yang namanya religious cleansing atau benturan antar-agama. Apalagi kalau yang dijadikan contoh adalah betapa semakin relijiusnya berbagai lapisan umat Islam di pelbagai wilayah nusantara.
Bahkan sebuah stasiun tv begitu paranoidnya mengenai intoleransi sampai sampai memberikan contoh sebuah model pengajian.
Memang ada beberapa model pengajian, bahkan ibu-ibu, yang saya pribadi kurang sreg karena paham keislaman maupun materi materi ceramahnya. Tapi kalau hal ini dijadikan dasar untuk menyimpulkan adanya radikalisasi Islam atau Islam radikal, saya kira terlalu jauh.
Saya lebih memandang itu sebagai konsekwensi logis dari begitu beragamnya mahzab dan pemahaman keislaman yang merujuk dan berakar pada para ulama-ulama besar berabad-abad silam.
Saya lebih melihat ini sebagai fenomena ketaatan orang beragama, bukan fanatisme apalagi intoleransi. Coraknya lebih berorientasi ke dalam, dalam rangka penyempurnaan diri lahir dan batin. Bahwa kemudian muncul aneka ragam pemahaman dan mahzab yang ramai ramai menawarkan tuntunan, ya itu sudah konsekwensi.
Bukankah Kanjeng Rasul sendiri mengatakan bahwa perbedaan di antara umatku adalah rahmat?
Apalagi ketika penggringannya itu adalah, kalau orang taat berarti intoleran. Karena orang itu supaya toleran, maka itua harus tidak taat beragama. Dengan kata lain, kita diajak untuk jadi orang sekuler.
Alhasil, ketika tidak taat beragama menjadi karakter kolektif masyarakat dan bangsa, maka agama tidak akan pernah menjadi ruh bagi ilmu pengetahuan, seni-budaya, karya industri, dan sebagainya.
Sehingga jangan harap lahirnya karya karya monumental yang menyingkap tabir di berbagai bidang.
Dalam tasawuf, kekedalaman batin dari Islam sebagai agama, taat beragama itu ibarat kata, baru masuk sekolah SD. Tapi untuk mencapai tahapan ilmu penyingkap tabir, yang difaslitasii oleh tasawuf sebagai ilmu mendekatkan diri kepada Allah SWT, tetap saja harus masuk bangku SD dulu. Dan itu berarti, dimulai dengan taat beragama. Untuk kemudian mengejari kualitas spiritual setinggi-tingginya.
Di balik kekhawatiran terhadap intoleransi belakangan ini, menurut saya bukan sekadar phobia Islam. Melainkan ada sebuah tujuan yang lebih dalam dari itu, yaitu membangun pola pikir dan cara pandang sekuler.
Intinya, untuk mencapai spiritualitas, tak perlulah menjadi orang yang relijius. Padahal, dalam semua agama dan keyakinan apapun, tidak hanya Islam, selalu menyatunafaskan antara Syariat, Tarekat, Hakekat dan Makrifat.
Komentar
Posting Komentar