Bendera Merah Putih |
Bahkan jauh sebelum itu, Drs. Moh. Hatta ketika menerima kedatangan Teuku Moh. Hassan beserta para tokoh Islam pada tahun 1948, memberi penegasan bahwa dihapusnya tujuh kata dari Piagam Jakarta 22 Juni 1945 tidak serta merta dimaknakan bahwa umat Islam tidak bisa melaksanakan syariat Islam di Republik Indonesia.
Bung Hatta menjelaskan bahwa pemberlakuan syariat Islam itu hanya bisa dilakukan melalui jalan demokrasi, yaitu melalui saluran parlemen untuk selanjutnya diundangkan atas nama kesepakatan rakyat.
Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa wacana syariat Islam itu seperti tidak pernah tuntas untuk dibicarakan? Bahkan dari hari ke hari dan dari generasi ke generasi, isu syariat Islam itu dihembuskan seperti hantu yang bergentayangan di siang bolong. Syariat Islam selalu diposisikan secara head to head dengan Negara. Padahal tahun 1970, di pertemuan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Menteri Kehakiman RI pada masa itu, Ali Said mengatakan bahwa pilar hukum nasional adalah hukum Barat, hukum Adat dan hukum Islam (syariat Islam).
Jauh sebelum Ali Said mengatakan itu, pemerintah kolonial Belanda pun telah mengakui keberadaan Syariat Islam meskipun secara parsial, yaitu dengan dibentuknya Raad Agama untuk mengadili perkara-perkara keperdataan yang berhubungan dengan agama Islam.
Dengan fakta-fakta historis seperti itu agak terdengar aneh jika ketakutan terhadap syariah Islam terus dikembangkan, dan bahkan dijadikan sebagai komoditas politik murahan. Bahkan seorang teman pernah mengatakan jika umat Islam ikut latah takut terhadap pemberlakuan syariah Islam, kenapa tidak dilarang saja pengajaran materi fikih di semua lembaga pendidikan Islam, mulai dari pesantren hingga perguruan tinggi? Sebab, kajian fikih merupakan pintu gerbang di dalam memahami syariat Islam.
Sementara itu di sisi lain, perlu juga untuk memahami psikologi beberapa kalangan yang "anti" terhadap syariat Islam. Secara umum, mereka yang anti syariat Islam adalah orang-orang yang tidak memahami filosofi dari syariat Islam. Di benak mereka, syariat itu diwujudkan dengan penggambaran keharusan memakai cadar atau niqab bagi perempuan, hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi pezina, dan hukum pancung bagi pembunuh. Deskripsi syariat yang bercorak pidana tersebut sesungguhnya belum menggambarkan wajah syariat secara utuh. Pemidanaan adalah salah satu ekspresi dari hukum yang sifatnya ijtihadi. Sedangkan esensi hukum justru terletak pada kemampuan sistem di dalam menegakkan keadilan.
Di sinilah sesungguhnya tantangan umat Islam di dalam memperjuangkan syariah yaitu dengan memperkenalkan syariah as values terlebih dahulu sebelum masuk di wilayah aksi. Sampai di sini saja umat Islam masih dihadapkan pada ketidakmampuan mentransformasikan syariah dari tataran das sollen kepada das sein. Semangat memperjuangkan syariah selama ini masih berupa jargon. Bahkan pada beberapa kesempatan, syariah seringkali dipaksa untuk berhadap-hadapan dengan sistem hukum yang berlaku.(Oleh Abdi Kurnia Djohan)
Komentar
Posting Komentar