Ilustrasi Ushul Fiqih - muslim.or.id |
Ilmu
Ushul Fikih adalah ilmu tentang kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan
sebagai metodologi untuk memahami atau memperoleh hukum-hukum syariah
yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang rinci (tafshîli). Dengan
kata lain Ushul Fikih adalah ilmu yang membahas unsur-unsur umum dalam
prosedur mendeduksikan hukum-hukum Islam. Proses deduksi ini sangat
luas sedemikian rupa sehingga mencakup setiap kejadian dan peristiwa
dalam kehidupan manusia.
Melihat
sejarahnya, ilmu Ushul Fikih mulai dikenal sejak Abad ke-2 H saat Imam
asy-Syafi'i (150-204 H/767-820 M) berhasil menformulasikan metodologi
penggalian hukum fikih melalui ar-Risâlah-nya. Meski demikian, pada
dasarnya ilmu Ushul Fikih telah muncul bersamaan dengan Fikih itu
sendiri, walaupun pembukuan ilmu Ushul Fikih lebih akhir dari Fikih.
Sebab, saat Fikih dikaji maka secara tidak langsung dalam penggalian
hukum akan menggunakan Ushul Fikih. Meskipun metode tersebut belum
terkonsep secara matang. Bukan hanya di era mujtahidin, di masa Sahabat
pun Ushul Fikih telah dikenal dan digunakan dalam Istinbâthul-Hukm.
Memang,
awalnya Ushul Fikih hanya ditemukan dalam terapan konsep penggalian
hukum, tidak berupa disiplin ilmu seperti sekarang. Nabi Muhammad e
sebagai sumber syariah Islam kedua, adalah orang pertama yang
menerapkan kaidah-kaidah dalam ilmu Ushul Fikih. Kemudian diteruskan
oleh para pakar Fikih dari kalangan pembesar Sahabat seperti Abu Bakar
t, Sayidina Ali t, Ibnu Mas'ud t dan Umar bin Khattab t. Mereka, dalam
menfatwakan sebuah hukum bukan berarti tidak berstandar pada qayyid dan
batasan-batasan tertentu. Sayidina Ali misalnya, pernah berpendapat
mengenai hukuman bagi orang yang meminum minuman keras, "Bahwa ketika
seorang meminum khamr, maka dia linglung, dan saat linglung dia qadzf
(menuduh zina), maka dari itu orang yang meminum khamr wajib di had
qadzf (hukuman bagi orang yang menuduh zina)." Penalaran Sayidina Ali
ini adalah termasuk pandangan jauh kedepan yang akhirnya dikenal dengan
konsep Sadzdzud-Darâ'i' (preventif).
Juga
Ibnu Mas'ud ketika ditanyakan perihal iddah perempuan yang ditinggal
mati suaminya dalam keadaan hamil, beliau berkata, "Iddahnya dengan
melahirkan." Ibnu Mas'ud berargumen dengan al-Qur'an di surat
ath-Thalaq ayat 04. Kemudian Ibnu Mas'ud mengatakan, "Aku bersaksi
bahwa surat an-Nisâ'ul-Shughra (ath-Thalaq) diturunkan setelah surat
an-Nisâ'ul-Kubrâ (al-Baqarah). Di sini Ibnu Mas'ud menggunakan konsep
bahwa ayat yang turun kemudian dapat me-naskh atau men-takhsîsh hukum
dari ayat yang turun sebelumnya. Walaupun ketika itu Ibnu Mas'ud tidak
mengutarakan demikian.
Pasca
Sahabat, muncul beberapa fuqaha' dari Tabi'in, seperti halnya Sa'id
bin Musayyib di Madinah, Alqamah dan an-Nakha'i di Iraq. Di mana,
mereka dalam berfatwa semuanya berdasarkan al-Qur'an, Hadis dan
pendapat para Sahabat. Namun, di antara mereka ada yang menggunakan
standar kemaslahatan sebagai metode penggalian hukum ketika tidak
menemukannya dalam al-Qur'an dan Hadis. Ada pula yang menggunakan qiyas
(analogi), seperti Ibrahim an-Nakha'i dan fuqaha' lain di Iraq.
Hingga
pada Abad ke-2 H di mana kekuasan Islam semakin luas, persoalan demi
persoalan muncul di tengah masyarakat. Di sinilah para pemikir Islam
dituntut untuk berijtihad agar menghasilkan hukum yang berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman saat itu. Akhirnya, perbedaan konsep
dan cara pandang dalam memutuskan persoalan dari beberapa mujtahid tidak
bisa dielakkan. Perbedaan dan perdebatan terjadi antara para ulama
mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Bukan
saja antar ulama yang berbeda daerah tempat tinggal, ulama dalam satu
kawasan pun kadang masih terjadi perbedaan.
Yang
paling mengemuka adalah perbedaan cara pandang antara para pakar Fikih
Madinah yang dikenal dengan Ahlul-Hadîts (Kelompok Pemegang Hadis) dan
fuqaha' Iraq yang dikenal dengan Ahlur-Ra'yi (Kelompok Rasionalis).
Pelopor utama dari dua aliran ini adalah Imam Malik bin Anas untuk
fuqaha' Madinah dan Imam Abu Hanifah untuk fuqaha' Iraq. Parahnya, dari
masing-masing kedua aliran ini tidak memiliki metodologi yang
sistematis dan konsisten, sehingga semakin menimbulkan keanekaragaman
hasil pemikiran dan meruncingnya perbedaan pendapat.
Maka
kita temukan misalnya, beberapa teori yang menjadi prinsip dalam
aplikasi penggalian hukum yang dilakukan oleh Imam Hanafi. Di mana
sumber primernya adalah al-Qur'an, kemudian Hadis, dan pendapat Sahabat
yang telah disepakati, serta tidak mengambil hukum dari pendapat
Tabi'in. Menurutnya, posisi Tabi'in sama dengan dirinya. Kemudian kita
temukan juga medologi qiyâs (analogi) dan istihsân (menetapkan sebuah
hukum atas dasar anggapan baik).
Sedangkan
dari Imam Malik, terlihat konsistensinya dalam berpegang teguh kepada
amal perbuatan penduduk Madinah. Juga penolakannya terhadap atsar-atsar
yang dinisbatkan pada Nabi, yang karena atsar itu berbeda dengan nash
yang terdapat dalam al-Qur'an. Maka itu, Imam Malik menolak tegas
terhadap Hadis tentang penjilatan anjing di suatu wadah sehingga harus
dibasuh sebanyak tujuh kali. Karena menurutnya hadits tersebut
bertentangan dengan nash al-Qur'an. Juga penolakannya terhadap Hadis
tentang adanya khiyâr majlis (bolehnya membatalkan transaksi jual beli
selama kedua pihak masih berada di tempat transaksi). Perbedaan prinsip
dalam penggalian hukum seperti inilah yang akhirnya melahirkan
perbedaan dalam berbagai produk hukum yang dihasilkan oleh para ulama.
Pada
akhirnya, dari sekian perbedaan cara pandang itu muncullah semacam
komparasi dua aliran di atas dan memadukannya dalam sebuah konsep.
Adalah Imam Syafi'i melalui karya monumentalnya, ar-Risâlah mampu
memadukan antara dua konsep penggalian hukum dari dua aliran di atas.
Dengan kemampuan dan pengalaman yang dimilikinya, asy-Syafi'i
menertibkan perbedaan pemahaman tersebut dengan memperkenalkan sebuah
metodologi yang sistematis dan konsisten serta menempatkan kedua aliran
itu secara proporsional. Hal ini bisa ia lakukan, karena latar
belakang Imam asy-Syafi'i yang pernah belajar dengan guru yang
beraliran Ahlul-Hadîts (Imam Malik) dan yang beraliran Ahlur-Ra'yi.
Dari sinilah kemudian dikenal dengan adanya ilmu baru dalam Islam,
yakni ilmu Ushul Fikih.
Dengan
upaya ini, tidak heran jika kemudian Imam asy-Syafi'i dikenal sebagai
orang yang telah memadukan kedua aliran ini. Di satu sisi beliau telah
merumuskan logika hukum di balik teks-teks al-Qur'an dan Hadis; dan di
sisi lain ia juga telah menempatkan posisi Hadis sahih secara
proporsional, yakni sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur'an,
walaupun tidak selaras dengan amal yang dipraktekkan penduduk Madinah.
Berbeda dengan Imam Malik yang menyatakan bahwa Hadis sahih bisa
ditolak jika tidak selaras dengan amal yang dipraktekkan oleh penduduk
Madinah.
Lahirnya
ilmu Ushul Fikih sebagai metodologi untuk menggali hukum Fikih justru
setelah lahirnya ilmu Fikih bukanlah sesuatu yang aneh. Sebab, dalam
beberapa disiplin ilmu Islam banyak juga terjadi demikian. Artinya,
sebuah konsep ilmu memang seringkali baru lahir setelah sekian lama
diterapkan oleh manusia. Ilmu Nahwu misalnya, kelahirannya jauh lebih
akhir dari pada penggunaan tata bahasa yang benar dalam bahasa Arab.
Begitu juga ilmu tata syair ('Arûdh). Syair-syair Arab sudah bermunculan
sebelum al-Khalil bin Ahmad merumuskan ilmu 'Arûdh. Begitu juga,
manusia sudah mampu berargumen dengan menggunakan nalar rasional
sebelum Aristotels menemukan Ilmu Mantik, atau logika. Karena, disiplin
ilmu pengetahuan rata-rata memang hanyalah rumusan terhadap
pengalaman-pengalaman yang terjadi sebelumnya.
Penulis: M. Masyhuri Mochtar
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur.
Komentar
Posting Komentar