Persekutuan Inggris-Belanda Masih Berlangsung |
berbahayanya dengan persekutuan tradisional AS-Inggris.
Pada 1957, ketika Bung Karno mulai melancarkan nasinalisasi
perusahaan-perusahaan asing, Inggris terlibat dalam campur-tangan
pengambil-alihan perusahaan minyak Belanda Bataafsche Petroleum
Maatschappij (BPM). Inggris menggunakan perusahaan SHELL yang
sejatinya satu dengan BPM untuk merekayasa supaya kantor-kantornya
dengan ladang-ladang minyaknya BPM di Kalimtantan Timur aman dari
nasionalisasi yang dilancarkan pemerintah Bung Karno pada 1957. Nama
BPM dihapus di Kaltim dan diganti dengan nama SHELL.
Tidak heran jika Bung Karno pada 1950 tetap mengatakan REVOLUSI BELUM
SELESAI, meski Indonesia sudah merdeka selama 5 tahun. Sebab
orang-orang Indonesia belum merdeka dari segi penguasaan dan
kepemilikan pilar-pilar ekonomi dan sumberdaya alam.
Selain Shell yang kita sebutkan tadi, beberapa perusahaan
multi-nasional AS seperti Stanvac dan Caltex praktis masih menguasai
industri minyak Indonesia. Bahkan Belanda sebagai negara eks penjajah,
kala itu masih menguasai sektor pelayaran melalui Koninklijke
Paketvaart Maatschappij (KPM). Begitu juga sektor perbankan
didomininasi oleh kepentingan-kepentingan Belanda, Inggris dan Cina.
Bukan itu saja. Bahkan beberapa harian terkemuka Indonesia saat itu
memberitakan mengenai kekuasaan besar Big Five lima perusahaan besar
Belanda seperti: Lindeteves, Borsumij, Geo Wehry, Jacobson van den
Berg dan Internatio.
Bahkan ketika Belanda mulai memperbaiki hubungan baiknya dengan
Indonesia sejak Suharto mengambil-alih kekuasaan dari tangan Bung
Karno, dan memprakarsai beberapa negara untuk memberikan bantuan
kepada Indonesia melalui Skema International Government Group on
Indonesia (IGGI) yang diketuai oleh Belanda, watak Belanda untuk
mengatur-atur Indonesia bahkan tidak berubah.
Pada satu sisi IGGI memang sebuah indikasi dari membaiknya hubungan
Indonesia dan Belanda. Apalagi ketika investasi-investasi Belanda di
Indonesia mendapat sambutan baik dari Pemerintahan Suharto.
Namun ketika Menteri Jan Pronk, yang kala itu merupakan representasi
Belanda dalam IGGI, mulai bersikap aneh-aneh dan mirip kelakuan
inspektur jenderal kolonia Belanda ketika berkunjung ke Indonesia, dan
menguliahi berbagai elemen masyarakat tentang Hak-Hak Asasi Manusia,
demokrasi, tiba tiba kalangan pemerintah maupun masyarakat yang masih
berhaluan nasionalis mulai tersadar, bahwa kelakuan Belanda sebagai
kolonialis masih tetap tidak berobah.
Sehingga opini publik mulai antipati terhadap Menteri Pronk. Apalagi
sosok Pronk yang terkesan intelektual dan angkuh, semakin memicu rasa
antipati berbagai kalangan baik pemerintahan Suharto maupun masyarakat
yang pada dasarnya masih berhaluan nasionalis.
Mereka berpandangan bahwa Belanda tak beda dengan AS maupun
negara-negara Uni Eropa lainnya, yang menggunakan isu HAM dan
Demokrasi untuk dipolitisasi sebagai alat tekan kepada pemerintah
Indoensia.
Karena sudah kelewatan, akhirnya pemerintah Suharto membubarkan IGGI,
dan meminta Bank Dunia untuk mengambil-alih pimpinan untuk
mengorganisir pemberian bantuan kepada Indonesia. Itulah yang kemudian
IGGI berobah kulit jadi Consultative Group on Indonesia (CGI).
Persekongkolah Belanda dan Inggris waktu itu, melibatkan agen-agen
lokal kita yang kebetulan berada di jajaran posisi strategis birokrasi
pemerintahan. Seperti yang diutarakan oleh Mayor Jendral (purn) Hario
Kecik, jaringan korporasi Belanda-Inggris tersebut disinyalir masih
membina KETURUNAN VAN MOOK dari angkatan 1947 yang pada saat ini pasti
ada dalam jumlah yang cukup besar.
Bahkan menurut Pak Hario Kecik, mereka ini malahan berada di lapisan
atas masyarakat kita. Mungkin bahkan mereka berada di dalam kelompok
pengedar narkoba.
Maka itu, sebagai konsekwensi logis untuk memberantas jaringan
neo-kolonialisme dan imperialisme dari jaringan Belanda-Inggris
tersebut, perlu disusun program pembersihan jaringan tersebut sampai
ke akar-akarnya baik di bidang kebudayaan, ekonomi dan intelijen.
----------
Rujukan Pembanding:
1. Hario Kecik, Dari Bung Karno Hingga Jokowi, Pemikiran Militer Hario
Kecik (Catatan November 2011-September 2012. Yogyakarta: Penerbit
Abhiseka Dipantara, 2013.
2. Rosihan Anwar, Singa dan Banteng, Sejarah Hubungan
Belanda-Indonesia 1945-1950. Jakarta: UI Press, 1997.
3. File gambar : gambarku3.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar