Pendirian Muslimat Nahdlatul Ulama dilalui dengan proses yang tak
mudah. Sebelum gagasan ini dilontarkan di forum resmi NU, keterlibatan
praktis perempuan di dunia non demoestik belum menonjol. Kepesertaan
Muktamar ke-13 di Menes tahun 1938, forum pertama dimunculkannya ide
pendirian organisasi perempuan NU, juga masih didominasi kaum
laki-laki.
Tak menonjol bukan berarti tak ada. Sejumlah peran penting sudah
dilakukan kaum hawa di lingkungan NU. Mulai dari aktif di dunia
pendidikan, dakwah, menjadi tenaga perawat bagi para pejuang
kemerdekaan, hingga berperan dalam pasukan gerilya sebagai kurir
pesan-pesan rahasia. Hanya saja, "panggung" yang belum tersedia
membuat kiprah para perempuan kala itu tak terlihat, bahkan belum
terkonsolidasi dengan baik.
Para kiai NU pun pada zaman itu belum banyak yang memiliki fokus pada
pentingnya peran perempuan dalam kancah perjuangan dan organisasi.
Menurut buku "50 Tahun Muslimat NU, Berkhidmat untuk Agama, Negara &
Bangsa" (1996), hanya sebagian kecil di antara mereka yang memahami
kebutuhan akan hadirnya gerakan kaum perempuan. Di antara sebagian
kecil tersebut ada tiga nama kiai: KH Mohammad Dahlan, KH Abdul Wahab
Chasbullah, dan KH Saifuddin Zuhri.
Ketiga kiai yang terkenal dengan kealiman dan cara berpikirnya yang
maju itu turut mendorong semangat kebangkitan perempuan di lingkungan
NU. Ada cerita, Kiai Wahablah yang memberikan restu dan motivasi
ketika para santri putri hendak membentuk grup drum band. Meskipun,
semula inisiatif itu sempat ditolak karena khawatir drum band jadi
ajang menampakkan aurat.
Kiai Saifuddin Zuhri juga termasuk ulama yang peduli dan apresiatif
terhadap kiprah perempuan. Istrinya sendiri, Nyai Solechah, adalah
juru kampanye NU (ketika menjadi partai politik) yang mesti terjun ke
daerah-daerah dari satu podium ke podium lain. Nyai Solechah dipercaya
sebagai salah seorang ketua Pucuk Pimpinan Muslimat NU (1956-1989)
yang sebelumnya memimpin ketua Muslimat NU Jawa Tengah.
Senada dengan Kiai Saifuddin, Kiai Muhammad Dahlan juga menjadi
pribadi yang nyaman buat istrinya untuk berperan banyak dalam
organisasi. Nyai Chodijah Dahlan diberi amanat sebagai ketua pertama
Muslimat NU kala resmi menjadi badan otonom NU pada tahun 1946, meski
tak lama memimpin karena wafat pada tahun 1948. Kiai Dahlan yang juga
ketua PBNU lebih dari sekadar pendorong berdirinya Muslimat. Ia juga
merangkap sebagai guru organisasi bagi istrinya. Selepas ditinggal
Nyai Chodijah, istri kedua Kiai Dahlan juga menerima keluasaan yang
sama. Nyai Aisyah Dahlan aktif menjadi salah satu ketua Muslimat NU
pada kongres di Semarang. Ia mempelopori berdirinya Himpunan Dakwah
Muslimat Indonesia (Nadwah).
Kiai Dahlan bersama A Azis Diyar merupakan penyusun Peraturan Khususi
Nahdlatul Ulama Muslimat yang menjadi anggaran dasar pertama Muslimat
NU. Peraturan Khususi ini disetujui dan ditandatangani oleh KH
Muhammad Hasyim Asy'ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah. Dokumen inilah
yang diubah dan diperbaiki sesuai perkembangan dan menjadi AD/ART
Muslimat NU hingga sekarang.
Tiga kiai ini menjadi oase bagi kebangkitan organisasi perempuan di
NU. Namun, bukan berarti para perempuan bersikap pasif. Justru
kebangkitan tersebut lahir dari inisiatif perempuan NU sendiri,
terutama sejak Nyai Hajjah R Djuaesih secara berani dan tegas
berpidato di atas mimbar Muktamar NU ke-13 soal signifikansi peran
perempuan sebagaimana laki-laki di medan perjuangan Ahlussunnah wal
Jamaah dan bangsa secara umum. Dari gagasan ini, bentuk formal
Muslimat NU terus berkembang, dari diakuinya rumusan organisasinya
hingga menjadi badan otonom dengan segenap keleluasaan untuk mengatur
dirinya sendiri. Muslimat NU pun menjadi organisasi yang kian
bersinar, dan memainkan peran-peran strategis dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. (Mahbib - nu.or.id)
mudah. Sebelum gagasan ini dilontarkan di forum resmi NU, keterlibatan
praktis perempuan di dunia non demoestik belum menonjol. Kepesertaan
Muktamar ke-13 di Menes tahun 1938, forum pertama dimunculkannya ide
pendirian organisasi perempuan NU, juga masih didominasi kaum
laki-laki.
Tak menonjol bukan berarti tak ada. Sejumlah peran penting sudah
dilakukan kaum hawa di lingkungan NU. Mulai dari aktif di dunia
pendidikan, dakwah, menjadi tenaga perawat bagi para pejuang
kemerdekaan, hingga berperan dalam pasukan gerilya sebagai kurir
pesan-pesan rahasia. Hanya saja, "panggung" yang belum tersedia
membuat kiprah para perempuan kala itu tak terlihat, bahkan belum
terkonsolidasi dengan baik.
Para kiai NU pun pada zaman itu belum banyak yang memiliki fokus pada
pentingnya peran perempuan dalam kancah perjuangan dan organisasi.
Menurut buku "50 Tahun Muslimat NU, Berkhidmat untuk Agama, Negara &
Bangsa" (1996), hanya sebagian kecil di antara mereka yang memahami
kebutuhan akan hadirnya gerakan kaum perempuan. Di antara sebagian
kecil tersebut ada tiga nama kiai: KH Mohammad Dahlan, KH Abdul Wahab
Chasbullah, dan KH Saifuddin Zuhri.
Ketiga kiai yang terkenal dengan kealiman dan cara berpikirnya yang
maju itu turut mendorong semangat kebangkitan perempuan di lingkungan
NU. Ada cerita, Kiai Wahablah yang memberikan restu dan motivasi
ketika para santri putri hendak membentuk grup drum band. Meskipun,
semula inisiatif itu sempat ditolak karena khawatir drum band jadi
ajang menampakkan aurat.
Kiai Saifuddin Zuhri juga termasuk ulama yang peduli dan apresiatif
terhadap kiprah perempuan. Istrinya sendiri, Nyai Solechah, adalah
juru kampanye NU (ketika menjadi partai politik) yang mesti terjun ke
daerah-daerah dari satu podium ke podium lain. Nyai Solechah dipercaya
sebagai salah seorang ketua Pucuk Pimpinan Muslimat NU (1956-1989)
yang sebelumnya memimpin ketua Muslimat NU Jawa Tengah.
Senada dengan Kiai Saifuddin, Kiai Muhammad Dahlan juga menjadi
pribadi yang nyaman buat istrinya untuk berperan banyak dalam
organisasi. Nyai Chodijah Dahlan diberi amanat sebagai ketua pertama
Muslimat NU kala resmi menjadi badan otonom NU pada tahun 1946, meski
tak lama memimpin karena wafat pada tahun 1948. Kiai Dahlan yang juga
ketua PBNU lebih dari sekadar pendorong berdirinya Muslimat. Ia juga
merangkap sebagai guru organisasi bagi istrinya. Selepas ditinggal
Nyai Chodijah, istri kedua Kiai Dahlan juga menerima keluasaan yang
sama. Nyai Aisyah Dahlan aktif menjadi salah satu ketua Muslimat NU
pada kongres di Semarang. Ia mempelopori berdirinya Himpunan Dakwah
Muslimat Indonesia (Nadwah).
Kiai Dahlan bersama A Azis Diyar merupakan penyusun Peraturan Khususi
Nahdlatul Ulama Muslimat yang menjadi anggaran dasar pertama Muslimat
NU. Peraturan Khususi ini disetujui dan ditandatangani oleh KH
Muhammad Hasyim Asy'ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah. Dokumen inilah
yang diubah dan diperbaiki sesuai perkembangan dan menjadi AD/ART
Muslimat NU hingga sekarang.
Tiga kiai ini menjadi oase bagi kebangkitan organisasi perempuan di
NU. Namun, bukan berarti para perempuan bersikap pasif. Justru
kebangkitan tersebut lahir dari inisiatif perempuan NU sendiri,
terutama sejak Nyai Hajjah R Djuaesih secara berani dan tegas
berpidato di atas mimbar Muktamar NU ke-13 soal signifikansi peran
perempuan sebagaimana laki-laki di medan perjuangan Ahlussunnah wal
Jamaah dan bangsa secara umum. Dari gagasan ini, bentuk formal
Muslimat NU terus berkembang, dari diakuinya rumusan organisasinya
hingga menjadi badan otonom dengan segenap keleluasaan untuk mengatur
dirinya sendiri. Muslimat NU pun menjadi organisasi yang kian
bersinar, dan memainkan peran-peran strategis dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. (Mahbib - nu.or.id)
Komentar
Posting Komentar