Dahulu pada zaman Amirul Mukminin Harun Ar-Rasyid berkuasa ada seorang
pemuda berperangai buruk. Banyak perilakunya tidak menarik simpati
penduduk Bashrah. Ia bukanlah pemuda idaman masyarakat. Penduduk kota
tersebut kehilangan empati terhadapnya.
Karena perilakunya yang tidak terpuji dan banyaknya maksiat
terang-terangan itu, ia kehilangan wibawa di tengah masyarakat.
Penduduk memandang rendah kepadanya. Tak satupun anggota masyarakat
yang peduli kepadanya.
Namun demikian pemuda ini selalu tampil lebih baik saat bulan Rabi'ul
Awal tiba. Ia berdandan perlente. Ia mencuci pakaian yang
dikenakannya. Ia mengenakan wangi-wangian pada pakaiannya. Rambutnya
disisir dengan rapi. Ia bercermin untuk memastikan penampilannya yang
terbaik. Apakah yang dilakukan pemuda ini selanjutnya? Di luar dugaan
masyarakat ia mengadakan jamuan kenduri. Di tengah jamuan itu ia
meminta sejumlah penduduk untuk membacakan maulid atau sejarah
kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Perjamuan kenduri semacam ini ia lakukan sepanjang usianya setiap kali
bulan Rabi'ul Awal tiba. Setiap kali bulan maulid tiba, setiap kali
itu juga ia berhias, berpakaian rapi, mengenakan parfum, menyisir
rambut, menjamu penduduk, dan tentu saja meminta salah satu dari
mereka untuk membacakan riwayat kelahiran Rasulullah SAW.
Meski demikian, penduduk tidak mengubah pandangannya terhadap pemuda
yang beralih senja. Mereka tetap memandang hina salah satu anggotanya
ini. Hingga pada giliran Allah mencabut nyawanya, penduduk masih saja
membencinya. Penduduk dengan enggan dan berat hati mengurus
jenazahnya.
Tetapi alangkah terkejutnya penduduk Bashrah. Ketika orang ini wafat,
mereka mendengar suara tanpa bentuk (hatif) yang menggema di atas
langit Bashrah. "Hai sekalian penduduk Bashrah, saksikanlah jenazah
salah seorang waliyullah. Ia adalah seorang yang mulia di sisiku,"
kata suara tersebut.
Penduduk Bashrah lalu berduyun-duyun menyaksikan jenazah orang
tersebut. Mereka mengurus jenazah itu dengan sebaik-baiknya. Mereka
menggelar upacara pemakamannya.
Dalam mimpi mereka melihat orang yang baru dimakamkan mengenakan
pakaian berbahan sutra halus dan sutra tebal berlungsin emas. Mereka
melihat almarhum berjalan penuh wibawa dengan pakaian indahnya.
"Dengan apa kau mendapatkan kehormatan seperti ini? tanya mereka.
"Berkat penghormatan terhadap hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW,"
jawab waliyullah tersebut.
Cerita ini dikutip dari I'anatut Thalibin karya Sayid Bakri bin Sayid
Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, terbitan Darul Fikr, Beirut, tahun 2005
M/1425-1426 H, juz III, halaman 414. (nu.or.id)
pemuda berperangai buruk. Banyak perilakunya tidak menarik simpati
penduduk Bashrah. Ia bukanlah pemuda idaman masyarakat. Penduduk kota
tersebut kehilangan empati terhadapnya.
Karena perilakunya yang tidak terpuji dan banyaknya maksiat
terang-terangan itu, ia kehilangan wibawa di tengah masyarakat.
Penduduk memandang rendah kepadanya. Tak satupun anggota masyarakat
yang peduli kepadanya.
Namun demikian pemuda ini selalu tampil lebih baik saat bulan Rabi'ul
Awal tiba. Ia berdandan perlente. Ia mencuci pakaian yang
dikenakannya. Ia mengenakan wangi-wangian pada pakaiannya. Rambutnya
disisir dengan rapi. Ia bercermin untuk memastikan penampilannya yang
terbaik. Apakah yang dilakukan pemuda ini selanjutnya? Di luar dugaan
masyarakat ia mengadakan jamuan kenduri. Di tengah jamuan itu ia
meminta sejumlah penduduk untuk membacakan maulid atau sejarah
kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Perjamuan kenduri semacam ini ia lakukan sepanjang usianya setiap kali
bulan Rabi'ul Awal tiba. Setiap kali bulan maulid tiba, setiap kali
itu juga ia berhias, berpakaian rapi, mengenakan parfum, menyisir
rambut, menjamu penduduk, dan tentu saja meminta salah satu dari
mereka untuk membacakan riwayat kelahiran Rasulullah SAW.
Meski demikian, penduduk tidak mengubah pandangannya terhadap pemuda
yang beralih senja. Mereka tetap memandang hina salah satu anggotanya
ini. Hingga pada giliran Allah mencabut nyawanya, penduduk masih saja
membencinya. Penduduk dengan enggan dan berat hati mengurus
jenazahnya.
Tetapi alangkah terkejutnya penduduk Bashrah. Ketika orang ini wafat,
mereka mendengar suara tanpa bentuk (hatif) yang menggema di atas
langit Bashrah. "Hai sekalian penduduk Bashrah, saksikanlah jenazah
salah seorang waliyullah. Ia adalah seorang yang mulia di sisiku,"
kata suara tersebut.
Penduduk Bashrah lalu berduyun-duyun menyaksikan jenazah orang
tersebut. Mereka mengurus jenazah itu dengan sebaik-baiknya. Mereka
menggelar upacara pemakamannya.
Dalam mimpi mereka melihat orang yang baru dimakamkan mengenakan
pakaian berbahan sutra halus dan sutra tebal berlungsin emas. Mereka
melihat almarhum berjalan penuh wibawa dengan pakaian indahnya.
"Dengan apa kau mendapatkan kehormatan seperti ini? tanya mereka.
"Berkat penghormatan terhadap hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW,"
jawab waliyullah tersebut.
Cerita ini dikutip dari I'anatut Thalibin karya Sayid Bakri bin Sayid
Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, terbitan Darul Fikr, Beirut, tahun 2005
M/1425-1426 H, juz III, halaman 414. (nu.or.id)
Komentar
Posting Komentar